STUDI KASUS HUKUM LINGKUNGAN INTERNASIONAL
A. PENCEMARAN MINYAK (HYDROCARBON)
Pencemaran minyak dan hidokarbon minyak bumi mendapat perhatian besar karena pengaruhnya tehadap penurunan kualitas air yang merupakan efek langsung atau efek jangka panjang. Petroleum hidrokarbon masuk ke perairan laut melalui berbagai cara, yaitu rembesan alam dari dasar laut (natural seep), kecelakaan tanker (tanker accident), operasi normal tanker, kebocoran dan semburan proses produksi dan eksplorasi, run off sungai, kilang minyak di darat, limbah kota dan jatuhan atmosfer. Kecelakaan tanker menjadi permasahan karena buangan minyak yang relatif besar pada suatu lokasi. Konsentrasi polutan yang besar pada suat area akan menyebabkan kerusakan pada area tersebut, karena efek akur dan berjangka pendek pada area yang sempit dan efek kronis pada area yang lebih luas.
Posisi geografis Indonesia yang sangat strategis bagi jalur perdaganagan dari Eropa, Afrika Timur dan Timur Tengah,menuju Asia Tenggara, Asia Timur dan Amerika, dirasakan lebih efisien sehingga menjadikan jalur Selat Malaka banyak diminati. Potensi pencemaran minyak akibat tumpahan dari kapal tanker, operasional standar, buangan air ballast menjadi relatif besar.
Ketika sejumlah minyak tumpah dilautan maka berbagai proses pelapukan secara fisik, kimia dan biologi akan terjadi. Pergerakan dan penyebaran slick akan terjadi dengan cepat pada kondisi yang tenang untuk lapisan yang tipis, pada kondisi yang kurang ideal maka penyebaran akan dipengaruhi oleh angin, keadaan laut, dan temperatur laut. Proses penyebaran akan semakin meningkat dengan adanya evaporasi. Evaporasi akan sangat tergantung dari faktor lingkungan seperti temperatur udara dan laut, angin dan keadaan laut. Kecepatan evaporasi juga dipengaruhi oleh konsentrasi minyak dan banyaknya jumlah atom C yang terikat (Riley, 1989). Kebanyakan komponen minyak mentah memiliki kelarutan yang terbatas di air (bahkan sangat tidak mungkin untuk > C10), tingkat kecepatan disolusi tergantung dari kondisi cuaca (Riley, 1989). Setelah minyak dengan berat molekul ringan terevaporasi, komponen terlarut mengalami disolusi dan komponen tak dapat dilarutkan (immescible) akan teremulsi. Kecepatan emulsi akan dipengaruhi oleh gangguan yang diakibatkan oleh gelombang dan turbulensi.
Komponen minyak yang tidak larut dalam air akan mengapung pada permukaan laut sehingga meyebabkan air laut berwarna hitam. Beberapa komponen minyak akan tenggelam dan terakumulasi di dalam sedimen sebagai deposit hitam pada pasir dan batuan-batuan di pantai. Pada kasus tumpahan tunggal, seperti kecelakaan tanker, dampak awal yang hebat adalah kematian dan berkurangnya spesies. Pemulihan ini hanya membutuhkan waktu beberapa minggu untuk pantai berbatu dimana area dapat dibersihkan dengan cepat atau untuk di dasar atau beberapa tahun untuk di dasar atau area rawa dimana minyak tahan untuk periode waktu yang lama (tabel 1.) (Hyland dan Sceneider, 1976 dalam Bishop, 1983). Tabel 1. Efek minyak pada komunitas dan populasi laut.
Daerah pasang surut umumnya dapat pulih dengan cepat ketika gelombang membersihkan area yang terkontaminasi minyak dengan sangat cepat. Dengan alasan yang sama, pantai berbatu akan pulih lebih cepat dibandingkan dengan lapisan dasar yang lembut dimana minyak akan bertahan untuk periode yang lama. Kontaminasi tingkat rendah yang berkelanjutan dari pelabuhan, kilang minyak atau pabrik pengolahan limbah, tidak menyebabkan kematian spesies seperti pada tumpahan tunggal. Minayak akan terakumulasi dan menghitam secara berangsur-angsur, dan secara berangsur-angsur pula terjadi perubahan dalam struktur komunitas dan populasi akrana efek sublethal kronik yang terjadi. PAH adalah komponen organik derivatif dari mineral minyak bumi dan batubara (fossil fuel), merupakan senyawa hidrokarbon (HC) dengan kandungan karbon siklik komplek, bersifat persisten dan toksik terhadap beberapa jenis biota laut. Dalam alam aktivitas mikroba juga mampu menghasilkan senyawa (biosynthesis) PAH. Toksisitas senyawa PAH dalam perairan sangat tergantung pada faktor faktor : karakteristik senyawa PAH, kadar senyawa PAH, kadar O2 terlarut, temperatur, salinitas, aktivitas mikroba, jenis biota laut, lamanya pemaparan. Efek akut terhadap biota laut terjadi apabila senyawa PAH (C8-C14) memiliki toksisitas dan kelarutan tinggi, senyawa PAH dengan jumlah karbon tinggi (C>14) bersifat kurang toksik (efek kronis) karena kelarutannya yang rendah.
B. TEKNIK PENGELOLAAN TUMPAHAN MINYAK DI LAUT
Beberapa teknik penanggulangan tumpahan minyak diantaranya in-situ burning, penyisihan secara mekanis, bioremediasi, penggunaan sorbent dan penggunaan bahan kimia dispersan. Setiap teknik ini memiliki laju penyisihan minyak berbeda dan hanya efektif pada kondisi tertentu.
In-situ burning adalah pembakaran minyak pada permukaan air sehingga mampu mengatasi kesulitan pemompaan minyak dari permukaan laut, penyimpanan dan pewadahan minyak serta air laut yang terasosiasi, yang dijumpai dalam teknik penyisihan secara fisik. Cara ini membutuhkan ketersediaan booms (pembatas untuk mencegah penyebaran minyak) atau barrier yang tahan api. Beberapa kendala dari cara ini adalah pada peristiwa tumpahan besar yang memunculkan kesulitan untuk mengumpulkan minyak dan mempertahankan pada ketebalan yang cukup untuk dibakar serta evaporasi pada komponen minyak yang mudah terbakar. Sisi lain, residu pembakara yang tenggelam di dasar laut akan memberikan efek buruk bagi ekologi. Juga, kemungkinan penyebaran api yang tidak terkontrol.
Cara kedua yaitu penyisihan minyak secara mekanis melalui dua tahap yaitu melokalisir tumpahan dengan menggunakan booms dan melakukan pemindahan minyak ke dalam wadah dengan menggunakan peralatan mekanis yang disebut skimmer. Upaya ini terhitung sulit dan mahal meskipun disebut sebagai pemecahan ideal terutama untuk mereduksi minyak pada area sensitif, seperti pantai dan daerah yang sulit dibersihkan dan pada jam-jam awal tumpahan. Sayangnya, keberadaan angin, aur dan gelombang mengakibatkan cara ini menemui banyak kendala.
Cara ketiga adalah bioremediasi yaitu mempercepat proses yang terjadi secara alami, misalkan dengan menambahkan nutrien, sehingga terjadi konversi sejumlah komponen menjadi produk yang kurang berbahaya seperti CO2 , air dan biomass. Selain memiliki dampak lingkunga kecil, cara ini bisa mengurangi dampak tumpahan secara signifikan. Sayangnya, cara ini hanya bisa diterapkan pada pantai jenis tertentu, seperti pantai berpasir dan berkerikil, dan tidak efektif untuk diterapkan di lautan.
Cara keempat dengan menggunakan sorbent yang bisa menyisihkan minyak melalui mekanisme adsorpsi (penempelan minyak pad permukaan sorbent) dan absorpsi (penyerapan minyak ke dalam sorbent). Sorbent ini berfungsi mengubah fasa minyak dari cair menjadi padat sehingga mudah dikumpulkan dan disisihkan. Sorbent harus memiliki karakteristik hidrofobik,oleofobik dan mudah disebarkan di permukaan minyak, diambil kembali dan digunakan ulang. Ada 3 jenis sorbent yaitu organik alami (kapas, jerami, rumput kering, serbuk gergaji), anorganik alami (lempung, vermiculite, pasir) dan sintetis (busa poliuretan, polietilen, polipropilen dan serat nilon)
Cara kelima dengan menggunakan dispersan kimiawi yaitu dengan memecah lapisan minyak menjadi tetesan kecil (droplet) sehingga mengurangi kemungkinan terperangkapnya hewan ke dalam tumpahan. Dispersan kimiawi adalah bahan kimia dengan zat aktif yang disebut surfaktan (berasal dari kata : surfactants = surface-active agents atau zat aktif permukaan).
C. STUDI KASUS TORREY CANYON
Torrey Canyon merupakan peristiwa polusi minyak pertama yang di dokumentasikan oleh ahli ekologi pantai. Meski pengaruhnya kurang sensasional dibanding tumpahan minyak Exxon Valdez terhadap sensitivitas ekologi dan keindahan alam, sejarah yang terperinci dari proses recovery di pantai yang dipengaruhi oleh tumpahan Torrey Canyon tak ada bandingnya (Smith, 1968; Southward dan Southward, 1978; Hawkins dan Southward, 1992 dalam Raffaelli dan Hawkins, 1996). Torrey Canyon itu membawa 119.000 ton minyak mentah Kuwait pada instalasi penyulingan pada Milford Haven, Southward Wales. Pada jam 08:50 Sabtu 18 Maret 1967, kapal menabrak Pollard Rock, bagian dari Seven Stones di lepas pantai barat daya UK, pada kecepatan 16 knots. Momentum kapal merusak hampir setengah dari panjang kapal, menyebabkan 30.000 ton minyak tumpah pada jam pertama setelah kejadian dan selanjutnya 20.000 ton tumpah selama tujuh hari operasi penyelamatan. Yang membedakan bencana Torrey Canyon bukan berasal dari volume tumpahan minyak tetapi volume dispersan untuk menghilangkan minyak dari pantai berpasir dan berbatu. Toksisitas minyak pada awalnya relatif randah, evaporai dari fraksi yang lebih ringan akan mengurangi toksisitasnya. Jadi konsekuensi ekologis dari tumpahan minyak Torrey Canyon adalah penggunaan dispersant yang intensif selama musim semi 1967, yang mana lebih dari 10.000 ton dispersan digunakan pada 14.000 ton minyak yang sampai ke pantai di Cornwall.
Dispersan generasi yang pertama yang tersedia dalam 1967 memiliki toksisitas yang tinggi terhadap organisme laut, hanya waktu aplikasi yang kurang diketahui dengan baik. Hasil laboratorium menunjukan bahwa LC50-24 jam bervariasi dari 0,5–5 ppm pada organisme sublitoral dan 5–100 ppm pada organisme intertidal. Konsentrasi etal ini jauh lebih rendah dari konsentrasi yang dibutuhkan untuk mendispersi minyak dan konsekuensinya semua hewan dan banyak alga mati pada area yang dekat dengan penggunaan dispersan. Toksisitas dispersan akan mengubah sifat fisik dari pantai berpasir. Surfaktan mengubah sifat kohesif pasir dengan menurunkan tegangan permukaan air interstitial. Pergeraka pasir dalam jumlah besar tercatat selama penggunaan detergen. Campuran antara minyak dan detergen juga meningkatkan biomassa bakteri anaerobik membawa lapisan hitam Redox Potential Discontinuity (RPD) ke permukaan sedimen, sedangkan emulsi detergen-minyak masuk lebih dalam ke pasir ( hingga 50 cm). surfaktan juga menyebabkan air terkuras dari pasir secara lebih efektif, yang mengakibatkan peningkatan proporsi udara pada pasang rendah. Pada paang tinggi gelembung udara interstitial dikuatkan oleh molekul surfaktan sehingga sulit untuk dikeluarkan, akibatnya akan menghalangi dan membatasi sirkulai air jebakan di pantai (Webb, 1991 dalam Raffaelli dan Hawkins, 1996). Waktu pemulihan dampak sebelum menduga recovery, kodisi normal fluktuasi spasial dan temporal komponen utama fucoid, barnacle dan limpet di eulitoral pantai Devon dan Cornwall yang merupakan terpapar harus di didefinisikan. Kumpulan kecil yang diisolasi menghasilkan fucus, tetapi lebih sedikit dari tanaman yang total penutupannya tidak lebih dari 20%. Pengeompokan dan fluktuasi dihasilkan dari variasi rekruitmen dalam skala kecil yang berbeda dalam mikrohabitat. Rcovery dideinisikan sebagai pengembalian ke kondisi normal dalam variasi spasial dan temporal. Setelah peningkatan masif fucul awal, penurunan kemampuan dari kunci herbivore Patellameningkat, dengan fluktuasi lebih kecil. Penutupan fucus menjadi abnormal pada 11 tahun pertama, dan mungkin sedikit meningkat pada awal 1980-an, sebelum kembali normal setelah 15 tahun atau lebih. Kelimpahan dan struktur populai Patella vulgataabnormal selama 10 –13 tahun. Jadi, dengan demikian, waktu recovery setidaknya 10 tahun, jika struktur populasi dari limpet dan kepadatan teritip yang dijadikan indikator, waktu recovery lebih dari 15 tahun. Skala waktu ini tidak mengherankan jika dibandingkan dengan masa hidup organisme utama yang menjadi pertimbangan; Fucus 4 –5 tahun, Patella mencapai 20 tahun tetapi biasanya , 10 tahun, dan Chthamalus setidaknya 5 –20 tahun. Jika memperkirakan rata-rata masa hidup limpet 7 –10 tahun, maka kestabilan struktur populasi akan stabil setelah 15 tahun.
D. ANALISIS KASUS
Hal yang dapat dipelajari secara cepat dari kasus ini adalah penggunaan dispersan dalam skal luas menyebabkan efek toksik akut, maka pendekatan berbeda digunakan pada kasus yang lain. Penggunaan biodegradasi alami (bioremediasi) dengan menambahkan nutrien yang membatasi pertumbuhan bakteri pada minyak, khususnya pada media oleophilic. Dengan jelas, peristiwa Torrey Canyon adalah satu awal contoh dari suatu bencana ekologis yang besar dibuat menjadi lebih buruk karena penaganan yang tidak tepat. Pendekatan yang lebih dipertimbankan telah dilakukan dan prosedur yang lebih masuk akal telah diterpkan dan di tingkatkan dalam kasus Exxon Valdez.
DAFTAR PUSTAKA
Bishop, P. L. 1983. Marine Pollution and Its Control. McGraw Hill Book Company. USA Burgers, CJ. 1995. Ramsar Information Sheet of verlorenvlei.
Effendi, Eko. 2008. Human Impact On the Shore. Institut Pertanian Bogor :Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan Sekolah Pasca Sarjana. Bogor
Raffaelli, D and S. Hawkins. 1996. Intertidal Ecology. Chapman and Hall. London. 356 +xi hal. Riley, J. P. 1989. Chemical Oceanography. Vol.9. academic Press. London
A. PENCEMARAN MINYAK (HYDROCARBON)
Pencemaran minyak dan hidokarbon minyak bumi mendapat perhatian besar karena pengaruhnya tehadap penurunan kualitas air yang merupakan efek langsung atau efek jangka panjang. Petroleum hidrokarbon masuk ke perairan laut melalui berbagai cara, yaitu rembesan alam dari dasar laut (natural seep), kecelakaan tanker (tanker accident), operasi normal tanker, kebocoran dan semburan proses produksi dan eksplorasi, run off sungai, kilang minyak di darat, limbah kota dan jatuhan atmosfer. Kecelakaan tanker menjadi permasahan karena buangan minyak yang relatif besar pada suatu lokasi. Konsentrasi polutan yang besar pada suat area akan menyebabkan kerusakan pada area tersebut, karena efek akur dan berjangka pendek pada area yang sempit dan efek kronis pada area yang lebih luas.
Posisi geografis Indonesia yang sangat strategis bagi jalur perdaganagan dari Eropa, Afrika Timur dan Timur Tengah,menuju Asia Tenggara, Asia Timur dan Amerika, dirasakan lebih efisien sehingga menjadikan jalur Selat Malaka banyak diminati. Potensi pencemaran minyak akibat tumpahan dari kapal tanker, operasional standar, buangan air ballast menjadi relatif besar.
Ketika sejumlah minyak tumpah dilautan maka berbagai proses pelapukan secara fisik, kimia dan biologi akan terjadi. Pergerakan dan penyebaran slick akan terjadi dengan cepat pada kondisi yang tenang untuk lapisan yang tipis, pada kondisi yang kurang ideal maka penyebaran akan dipengaruhi oleh angin, keadaan laut, dan temperatur laut. Proses penyebaran akan semakin meningkat dengan adanya evaporasi. Evaporasi akan sangat tergantung dari faktor lingkungan seperti temperatur udara dan laut, angin dan keadaan laut. Kecepatan evaporasi juga dipengaruhi oleh konsentrasi minyak dan banyaknya jumlah atom C yang terikat (Riley, 1989). Kebanyakan komponen minyak mentah memiliki kelarutan yang terbatas di air (bahkan sangat tidak mungkin untuk > C10), tingkat kecepatan disolusi tergantung dari kondisi cuaca (Riley, 1989). Setelah minyak dengan berat molekul ringan terevaporasi, komponen terlarut mengalami disolusi dan komponen tak dapat dilarutkan (immescible) akan teremulsi. Kecepatan emulsi akan dipengaruhi oleh gangguan yang diakibatkan oleh gelombang dan turbulensi.
Komponen minyak yang tidak larut dalam air akan mengapung pada permukaan laut sehingga meyebabkan air laut berwarna hitam. Beberapa komponen minyak akan tenggelam dan terakumulasi di dalam sedimen sebagai deposit hitam pada pasir dan batuan-batuan di pantai. Pada kasus tumpahan tunggal, seperti kecelakaan tanker, dampak awal yang hebat adalah kematian dan berkurangnya spesies. Pemulihan ini hanya membutuhkan waktu beberapa minggu untuk pantai berbatu dimana area dapat dibersihkan dengan cepat atau untuk di dasar atau beberapa tahun untuk di dasar atau area rawa dimana minyak tahan untuk periode waktu yang lama (tabel 1.) (Hyland dan Sceneider, 1976 dalam Bishop, 1983). Tabel 1. Efek minyak pada komunitas dan populasi laut.
Daerah pasang surut umumnya dapat pulih dengan cepat ketika gelombang membersihkan area yang terkontaminasi minyak dengan sangat cepat. Dengan alasan yang sama, pantai berbatu akan pulih lebih cepat dibandingkan dengan lapisan dasar yang lembut dimana minyak akan bertahan untuk periode yang lama. Kontaminasi tingkat rendah yang berkelanjutan dari pelabuhan, kilang minyak atau pabrik pengolahan limbah, tidak menyebabkan kematian spesies seperti pada tumpahan tunggal. Minayak akan terakumulasi dan menghitam secara berangsur-angsur, dan secara berangsur-angsur pula terjadi perubahan dalam struktur komunitas dan populasi akrana efek sublethal kronik yang terjadi. PAH adalah komponen organik derivatif dari mineral minyak bumi dan batubara (fossil fuel), merupakan senyawa hidrokarbon (HC) dengan kandungan karbon siklik komplek, bersifat persisten dan toksik terhadap beberapa jenis biota laut. Dalam alam aktivitas mikroba juga mampu menghasilkan senyawa (biosynthesis) PAH. Toksisitas senyawa PAH dalam perairan sangat tergantung pada faktor faktor : karakteristik senyawa PAH, kadar senyawa PAH, kadar O2 terlarut, temperatur, salinitas, aktivitas mikroba, jenis biota laut, lamanya pemaparan. Efek akut terhadap biota laut terjadi apabila senyawa PAH (C8-C14) memiliki toksisitas dan kelarutan tinggi, senyawa PAH dengan jumlah karbon tinggi (C>14) bersifat kurang toksik (efek kronis) karena kelarutannya yang rendah.
B. TEKNIK PENGELOLAAN TUMPAHAN MINYAK DI LAUT
Beberapa teknik penanggulangan tumpahan minyak diantaranya in-situ burning, penyisihan secara mekanis, bioremediasi, penggunaan sorbent dan penggunaan bahan kimia dispersan. Setiap teknik ini memiliki laju penyisihan minyak berbeda dan hanya efektif pada kondisi tertentu.
In-situ burning adalah pembakaran minyak pada permukaan air sehingga mampu mengatasi kesulitan pemompaan minyak dari permukaan laut, penyimpanan dan pewadahan minyak serta air laut yang terasosiasi, yang dijumpai dalam teknik penyisihan secara fisik. Cara ini membutuhkan ketersediaan booms (pembatas untuk mencegah penyebaran minyak) atau barrier yang tahan api. Beberapa kendala dari cara ini adalah pada peristiwa tumpahan besar yang memunculkan kesulitan untuk mengumpulkan minyak dan mempertahankan pada ketebalan yang cukup untuk dibakar serta evaporasi pada komponen minyak yang mudah terbakar. Sisi lain, residu pembakara yang tenggelam di dasar laut akan memberikan efek buruk bagi ekologi. Juga, kemungkinan penyebaran api yang tidak terkontrol.
Cara kedua yaitu penyisihan minyak secara mekanis melalui dua tahap yaitu melokalisir tumpahan dengan menggunakan booms dan melakukan pemindahan minyak ke dalam wadah dengan menggunakan peralatan mekanis yang disebut skimmer. Upaya ini terhitung sulit dan mahal meskipun disebut sebagai pemecahan ideal terutama untuk mereduksi minyak pada area sensitif, seperti pantai dan daerah yang sulit dibersihkan dan pada jam-jam awal tumpahan. Sayangnya, keberadaan angin, aur dan gelombang mengakibatkan cara ini menemui banyak kendala.
Cara ketiga adalah bioremediasi yaitu mempercepat proses yang terjadi secara alami, misalkan dengan menambahkan nutrien, sehingga terjadi konversi sejumlah komponen menjadi produk yang kurang berbahaya seperti CO2 , air dan biomass. Selain memiliki dampak lingkunga kecil, cara ini bisa mengurangi dampak tumpahan secara signifikan. Sayangnya, cara ini hanya bisa diterapkan pada pantai jenis tertentu, seperti pantai berpasir dan berkerikil, dan tidak efektif untuk diterapkan di lautan.
Cara keempat dengan menggunakan sorbent yang bisa menyisihkan minyak melalui mekanisme adsorpsi (penempelan minyak pad permukaan sorbent) dan absorpsi (penyerapan minyak ke dalam sorbent). Sorbent ini berfungsi mengubah fasa minyak dari cair menjadi padat sehingga mudah dikumpulkan dan disisihkan. Sorbent harus memiliki karakteristik hidrofobik,oleofobik dan mudah disebarkan di permukaan minyak, diambil kembali dan digunakan ulang. Ada 3 jenis sorbent yaitu organik alami (kapas, jerami, rumput kering, serbuk gergaji), anorganik alami (lempung, vermiculite, pasir) dan sintetis (busa poliuretan, polietilen, polipropilen dan serat nilon)
Cara kelima dengan menggunakan dispersan kimiawi yaitu dengan memecah lapisan minyak menjadi tetesan kecil (droplet) sehingga mengurangi kemungkinan terperangkapnya hewan ke dalam tumpahan. Dispersan kimiawi adalah bahan kimia dengan zat aktif yang disebut surfaktan (berasal dari kata : surfactants = surface-active agents atau zat aktif permukaan).
C. STUDI KASUS TORREY CANYON
Torrey Canyon merupakan peristiwa polusi minyak pertama yang di dokumentasikan oleh ahli ekologi pantai. Meski pengaruhnya kurang sensasional dibanding tumpahan minyak Exxon Valdez terhadap sensitivitas ekologi dan keindahan alam, sejarah yang terperinci dari proses recovery di pantai yang dipengaruhi oleh tumpahan Torrey Canyon tak ada bandingnya (Smith, 1968; Southward dan Southward, 1978; Hawkins dan Southward, 1992 dalam Raffaelli dan Hawkins, 1996). Torrey Canyon itu membawa 119.000 ton minyak mentah Kuwait pada instalasi penyulingan pada Milford Haven, Southward Wales. Pada jam 08:50 Sabtu 18 Maret 1967, kapal menabrak Pollard Rock, bagian dari Seven Stones di lepas pantai barat daya UK, pada kecepatan 16 knots. Momentum kapal merusak hampir setengah dari panjang kapal, menyebabkan 30.000 ton minyak tumpah pada jam pertama setelah kejadian dan selanjutnya 20.000 ton tumpah selama tujuh hari operasi penyelamatan. Yang membedakan bencana Torrey Canyon bukan berasal dari volume tumpahan minyak tetapi volume dispersan untuk menghilangkan minyak dari pantai berpasir dan berbatu. Toksisitas minyak pada awalnya relatif randah, evaporai dari fraksi yang lebih ringan akan mengurangi toksisitasnya. Jadi konsekuensi ekologis dari tumpahan minyak Torrey Canyon adalah penggunaan dispersant yang intensif selama musim semi 1967, yang mana lebih dari 10.000 ton dispersan digunakan pada 14.000 ton minyak yang sampai ke pantai di Cornwall.
Dispersan generasi yang pertama yang tersedia dalam 1967 memiliki toksisitas yang tinggi terhadap organisme laut, hanya waktu aplikasi yang kurang diketahui dengan baik. Hasil laboratorium menunjukan bahwa LC50-24 jam bervariasi dari 0,5–5 ppm pada organisme sublitoral dan 5–100 ppm pada organisme intertidal. Konsentrasi etal ini jauh lebih rendah dari konsentrasi yang dibutuhkan untuk mendispersi minyak dan konsekuensinya semua hewan dan banyak alga mati pada area yang dekat dengan penggunaan dispersan. Toksisitas dispersan akan mengubah sifat fisik dari pantai berpasir. Surfaktan mengubah sifat kohesif pasir dengan menurunkan tegangan permukaan air interstitial. Pergeraka pasir dalam jumlah besar tercatat selama penggunaan detergen. Campuran antara minyak dan detergen juga meningkatkan biomassa bakteri anaerobik membawa lapisan hitam Redox Potential Discontinuity (RPD) ke permukaan sedimen, sedangkan emulsi detergen-minyak masuk lebih dalam ke pasir ( hingga 50 cm). surfaktan juga menyebabkan air terkuras dari pasir secara lebih efektif, yang mengakibatkan peningkatan proporsi udara pada pasang rendah. Pada paang tinggi gelembung udara interstitial dikuatkan oleh molekul surfaktan sehingga sulit untuk dikeluarkan, akibatnya akan menghalangi dan membatasi sirkulai air jebakan di pantai (Webb, 1991 dalam Raffaelli dan Hawkins, 1996). Waktu pemulihan dampak sebelum menduga recovery, kodisi normal fluktuasi spasial dan temporal komponen utama fucoid, barnacle dan limpet di eulitoral pantai Devon dan Cornwall yang merupakan terpapar harus di didefinisikan. Kumpulan kecil yang diisolasi menghasilkan fucus, tetapi lebih sedikit dari tanaman yang total penutupannya tidak lebih dari 20%. Pengeompokan dan fluktuasi dihasilkan dari variasi rekruitmen dalam skala kecil yang berbeda dalam mikrohabitat. Rcovery dideinisikan sebagai pengembalian ke kondisi normal dalam variasi spasial dan temporal. Setelah peningkatan masif fucul awal, penurunan kemampuan dari kunci herbivore Patellameningkat, dengan fluktuasi lebih kecil. Penutupan fucus menjadi abnormal pada 11 tahun pertama, dan mungkin sedikit meningkat pada awal 1980-an, sebelum kembali normal setelah 15 tahun atau lebih. Kelimpahan dan struktur populai Patella vulgataabnormal selama 10 –13 tahun. Jadi, dengan demikian, waktu recovery setidaknya 10 tahun, jika struktur populasi dari limpet dan kepadatan teritip yang dijadikan indikator, waktu recovery lebih dari 15 tahun. Skala waktu ini tidak mengherankan jika dibandingkan dengan masa hidup organisme utama yang menjadi pertimbangan; Fucus 4 –5 tahun, Patella mencapai 20 tahun tetapi biasanya , 10 tahun, dan Chthamalus setidaknya 5 –20 tahun. Jika memperkirakan rata-rata masa hidup limpet 7 –10 tahun, maka kestabilan struktur populasi akan stabil setelah 15 tahun.
D. ANALISIS KASUS
Hal yang dapat dipelajari secara cepat dari kasus ini adalah penggunaan dispersan dalam skal luas menyebabkan efek toksik akut, maka pendekatan berbeda digunakan pada kasus yang lain. Penggunaan biodegradasi alami (bioremediasi) dengan menambahkan nutrien yang membatasi pertumbuhan bakteri pada minyak, khususnya pada media oleophilic. Dengan jelas, peristiwa Torrey Canyon adalah satu awal contoh dari suatu bencana ekologis yang besar dibuat menjadi lebih buruk karena penaganan yang tidak tepat. Pendekatan yang lebih dipertimbankan telah dilakukan dan prosedur yang lebih masuk akal telah diterpkan dan di tingkatkan dalam kasus Exxon Valdez.
DAFTAR PUSTAKA
Bishop, P. L. 1983. Marine Pollution and Its Control. McGraw Hill Book Company. USA Burgers, CJ. 1995. Ramsar Information Sheet of verlorenvlei.
Effendi, Eko. 2008. Human Impact On the Shore. Institut Pertanian Bogor :Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan Sekolah Pasca Sarjana. Bogor
Raffaelli, D and S. Hawkins. 1996. Intertidal Ecology. Chapman and Hall. London. 356 +xi hal. Riley, J. P. 1989. Chemical Oceanography. Vol.9. academic Press. London
Komentar
Posting Komentar