PENDAHULUAN
Hak Asasi
Manusia (HAM) adalah hak-hak yang dimiliki manusia semata-mata karena ia
manusia. Umat manusia memilikinya bukan karena diberikan kepadanya oleh
masyarakat atau berdasarkan hukum positif, melainkan semata-mata berdasarkan
martabatnya sebagai manusia.[1].Oleh
karenanya meskipun setiap orang terlahir dengan warna kulit, jenis kelamin,
bahasa, budaya dan kewarganegaraan berbeda tetap memiliki hak-hak yang sifatnya
universal.Selain sifatnya yang universal, hak-hak itu tidak dapat dicabut(inalienable), karena hak-hak tersebut
melekat kepada dirinya sebagai manusia.Akan tetapi persoalan hak asasi manusia
baru mendapat perhatian ketika pengimplementasikannya dalam kehidupan bersama manusia.
Pemikiran tentang keselarasan hidup dalam
masyarakat dikemukakan oleh Aristoteles pada abad ke- 4 SM, bahwa untuk
mencapai tujuan hidup manusia membutuhkan manusia lain, sehingga keberadaan
masyarakat mutlak agar individu Manusia dapat memiliki arti dan berkembang.[2]Pemikiran
ini mendapat tempat dalam masyarakat pada waktu itu dan menjadi dasar munculnya
institusi negara.Kemudian pada abad ke- 12 Thomas Aquinas mempertegas, bahwa
manusia adalah mahluk sosial yang membutuhkan masyarakat agar mengembangkankan
kepribadian dan rasionya. Sebagai konsekuensi logis itu, maka perlu kesetabilan
dalam masyarakat, sehingga diperlukan kekuasaan raja sebagai pengaturnya.
Pada
abad ke- 14 Thomas Hobbes mencetuskan
teorinya yang terkenal dengan teori perjanjian, bahwa manusia dalam hidup perlu
melakukan perjanjian dengan sesamanya, dan selanjutnya menyerahkan hak-hak
tersebut kepada raja untuk kepentingan manusia itu sendiri.Raja dalam hal ini
tidak menjadi salah satu pihak dari perjanjian tersebut, tetapi sebagai pihak
yang bebas yang mendapat kewenangan luas dengan adanya sebagian hak yang
diserahkan masyarakat kepadanya.Hal ini menjadi dasar munculnya Negara atau
kerajaan yang absolut, karena kekuasaan raja cenderung sewenang-wenang dan
kepentingan individu dan mayarakat tidak terlindungi.
Akhir abad ke-14 hingga awal abadke-17,
muncul ide baru dari John Locke bahwa
manusia memiliki hak yang tidak dapat dihilangkan, yaitu: life, liberty, dan prosperity.Negara
harus melindungi hak-hak tersebut dari tindakan perampasan dan
perkosaan.Pemikiran ini menjadi ide dasar dari munculnya gerakan pembelaan hak
asasi manusia di dunia barat.Dalam perkenbangannya muncul J.J. Rousseau dengan teori kontrak sosial, bahwa kekuasaan Negara
itu karena berdasarkan persetujuan atau kontrak anatara seluruh anggota masyarakat
untuk membentuk suatu pemerintahan.Negara tidak bisa mencabut hak-hak dasar
individu yang dimiliki individu dan masyarakat, bahkan Negara harus melindungi hak-hak tersebut dari tindakan
perampasan dan perkosaan[3]
Pemikiran John Locke dan J.J. Rosseau menjadi
dasar berkembangnya pemikiran-pemikiran selanjutnya tentang hak asasi manusia,
dan berpengaruh besar pada terjadinya revolusi di Perancis dan Amerika Serikat
Hak asasi
manusia lahir di kerajaan Inggris dalam bentuk peraturan tertulis dikemukakan
pertama kali dalam Magna Charta 1215,
yang menyebutkan bahwa raja dapat dibatasi kekuasaannya dan diminta
pertanggungjawaban hukum, sehingga muncul doktrin bahwa tidak ada pihak yang
kebal hukum, termasuk raja.Semangat Magna Charta ini menjadi inspirasi munculnya
undang-undang dalam kerajaan Inggris pada tahun 1689 yangdikenal dengan Bill of Rights.Munculnya undang-undang
ini menjadi awal munculnyanya agium ”manusia sama di muka hukum” (equality before the law). Adagium ini
menjadi dasar berkembangnya negara hukum dan demokrasi yang menjamin asas
persamaan dan kebebasan sebagai warga negara[4]
Tahun 1776 di Amerika Serikat terjadi
deklarasi kemerdekaan (declaration of independence)yang menyatakan dengan tegas
bahwa manusia adalah merdeka sejak dalam perut ibunya, sehingga tidak masuk
akal jika setelah lahir ia harus terbelenggu. Semangat kemerdekaan ini
terinspirasi dari paham Rosseau dan Montequeautentang teori pemisahan kekuasaan
(Trias Politica).Teori pemisahan kekuasaan ini menciptakan satu susunan negara
yang adil dan seimbang. Pada tahun 1789 di Perancis lahir sebuah deklarasi yang
dikenal dengan the French Declarationyang didalamnya dikemukakan hak-hak yang
lebih rinci yang menjadi dasar dari rule of the law.
Di samping itu diatur pula mengenai
tidak bolehnya penangkapan dan penahanan secara semena-mena, mirip
denganpresumption of innsence, hak kebebasan berpendapat, kebebasan beragama,
berpendapat dan perlindungan terhadap hak milik. Dengan adanya hak asasi
manusia yang terinci tersebut, dapat dikatakan bahwa Deklarasi Perancis sudah
mencakup hak-hak yang menjamin timbulnya negara demokrasi maupun negara hukum[5]
Dalam
abad ke -20, Presiden Amerika Serikat Franklin
D. Rosevelt, merumuskan dan mengeluarkan The Four Freedom, yaitu freedom of speech, freedom of religion, freedom
of frear, freedom of want. Rumusan hak asasi manusia ini merupakan hasil
pemikiran bahwa untuk dapat hidup dengan nyaman, manusia tidak hanya dibekali
dengan hak politik saja, tetapi kebutuhan sehari-hari harus terpenuhi. The Four
Freedom ini menjadi inspirasi adanya Universal
Declration of Human Right (UDHR) atau Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia
(DUHAM) yang dikeluarkan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada tanggal 10
Desember 1948.UDHR (DUHAM) tidak saja
memuat HAM tetapi juga mencerminkan pengalaman penindasan oleh rezim Fazis dan
Nazi dalam Perang Dunia II yang menimbulkan tragedi kemanusiaan.Akhirnya
bangsa-bangsa yang dijajah menggunakan HAM terutama “hak menentukan nasib
sendiri” (rights to self determination)untuk
merdeka.
Pada tahun
1966 dua persetujuan internasional tentang hak-hak ekonomi, sosial dan kultural
dan hak-hak sipil dan politik dipublikasikan.Selanjutnya tahun 1976 kedua persetujuan
intermasional itu diberlakukan dan dengan demikian UDHR (DUHAM) yang didambakan
berlaku di seluruh dunia.
Karel Vasak
seorang ahli hukum Perancis, untuk memahami dengan lebih baik perkembangan
substansi hak-hak yang terkandung dalam
konsep hak asasi manusia, digunakan istilah “generasi” untuk menunjuk
pada substansi dan ruang lingkup hak-hak yang diprioritaskan.Kategori generasi
didasarkan pada slogan Revolusi Perancis, yaitu: “kebebasan, persamaan, dan
persaudaraan”.[6] Generasi-generasi
hak-hak yang dimaksud sebagai berikut:
Hak-hak
generasi ketiga diwakili dengan adaya tuntutan dari negara- negara berkembang
atau Dunia Ketiga atas tatanan internasional yang adil. Melalui tuntutan atas
hak solidaritas atas terciptanya suatu tatanan ekonomi dan hukum internasional
yang kondusif bagi terjaminnya[7]
(i) hak atas pembangunan; (ii) hak atas perdamaian; (iii) hak atas sumber alam
sendiri; (iv) hak atas lingkungan hidup yang baik; dan (v) hak atas warisan
budaya sendiri.
PEMBAHASAN
A.
Teori Hak
Asasi Manusia
Manusia
memiliki hak yang dibatasi untuk kepentingan masyarakat, yang tidak lain adalah
untuk kepentingan manusia itu sendiri. Secara umum manusia menghendaki ditetapkannya
kaidah-kaidah umum dalam sistem konstitusi dan perundang-undangan serta hal-hal
yanh harus diikuti dalam pelaksanaanya.Hal tersebut tidak dapat diketahui
betasannya dengan konkret dan definitif karena berkisar pada prinsip kebebasab
dan prinsip persamaan.Oleh karenanya senantiasa terjadi perbedaan pendapat dan
pertentangan paham serta teori yang berbeda-beda.
Hal ini
disebabkan pengertian dan batasan-batasan yang dipengaruhi oleh aliran
pemikiran, kepercayaan, adat istiadat, kondisi dan situasi.Hal ini menyebabkan
jika masalam hak asasi manusia sejak dahulu telah menjadi topic pembahasan oleh
para filsuf, pemimpin agama, kaum politisi, sosiolog, ahli hokum ahli ekonomi,
dan sastrawan.
Dan tidak
mengherankan pula bahwa hal tersebut menjadi sebab bagi peristiwa-peristiwa
sejarah yang berakhir dengan terjadinya revolusi politik, sosial, kebangkitan
pemikiran, perubahan hokum dan perundangan serta lahirnya deklarasi dan
perjanjian regional maupun internasional.
Scot Davidson[8],
mengatakan bahwa terdapat dua kategori
yang sangat luas dalam penelitian tentang hak asasi manusia, yang
pertama Yurispruden analitis, yang mempertanyakan hakikat dan asal usul hak-hak
asasi dan bagaimana mungkin
kita mengetahui bahwa kita mempunyai hak-hak itu.
Kategori
yang kedua Yurispruden normatif, yang mempertanyakan kekhasan hak-hak yang
diakui dan dimiliki oleh individu, dan bagaimana kedudukan hak- hak seperti itu
dalam kaitannya satu sama lain.
Selanjutnya
akan dipaparkan teori hak asasi manusia yang digunakan untuk menjelaskan
masalah hak asasi manusia. Teori hak asasi manusia tersebut dapat dilihat dari
dua sisi, yaitu paham Universalitas dan Relativisme budaya. Teori universalisme
menyatakan bahwa akan semakin banyak budaya “primitif” yang pada akhirnya
berkembang untuk kemudian memiliki sistem hukum dan hak yang sama dengan budaya
Barat. Teori Reltivisme Budaya di sisi lain menyatakan sebaliknya, yaitu bahwa
suatu budaya tradisional tidak dapat di ubah. Adapun teori-teori ini dapat
diuraikan sebagai berikut:
1.
Teori Universalisme (Universalism Theory)
Doktrin kontremporer hak asasi
manusia merupakan salah satu dari sejumlah perspektif moral
universalis.Asal-usul dan perkembangan hak asasi manusia tidak dapat
terpisahkan dari pperkembangan universalisme nilai moral.Sejarah perkembangan
filosofis hak asasi manusia dapat dijelaskan dalam sejumlah doktrin moral
khusus yang meskipun tidak mengekspresikan hak asasi manusia secara menyeluruh,
tetap menjadi dasar pra syarat filosofis bagi doktrin kontemporer. Hal tersebut
mencakup suatu pandangan moral dan keadilan yang berasal dari sejumlah domain
pra social, yangmenyajikan dasar untuk membedakan antara prinsip dan kepercayaan
yany “benar” dan yang “konvensional”. Pra syarat yang penting bagi pembelaan
hak asasi manusia diantaranya adalah konsep individu sebagai mahluk pemikul hak
“alamiah” tertentu dan beberapa pandangan umum mengenai nilai moral yang
melekat dan adil bagi setiap individu secara rasional.
Hak asasi
manusia berangkat dari konsep universal moral dan kepercayaan akanberadaan
kode-kode moral universal yang melekat pada seluruh umat manusia. Universal
moral meletakkan keberadaan kebenaran
moral yang bersifat lintas budaya dan lintas sejarah yang dapat
diidentifikasiki secara moral.Asal muasal
universalisme moral di Eropa terkait dengan tulisan
Aristoteles dalam karyanya Nicomachean
Ethics, yang menguraikan suatu argumentasi yang mendukung keberadaan
ketertiban moral yang bersifat alamiah.ketertiban alam ini menjadi dasar bagi
seluruh sistem keadilan rasional.Kebutuhan atas suatu ketertiban alam kemudian
diturunkan dalam serangkaian kriteria universal yang komprehensifuntuk
legitimasi dan sistem hukum yang sebenarnya “buatan” manusia.Oleh karenanya
kriteria unutk menetukan suatu sistem keadilanyang benar-benar rasional harus
menjadi dasar dari segala konvensi-konvensi social dalam searah manusia. Hukum alam ini sudah
ada sejak sebelum manusia mengenal konfigurasi social dan politik. Sarana untuk
menetukan bentuk dari keadilan yang
alamiah ada pada “ reason”yang
terbebas dari pertimbangan dampak dan praduga.
Dasar dari
doktrin hukum alam adalah kepercayaan akan eksistensi suatu kode moral alami
yang didasarkan pada identifikasi terhadap kepentingan kemanusiaan tertentu
yang bersifat fundamental. Untuk menikmati atas kepentingan mendasar tersebut
dijamin oleh hak-hak alamiah yang dimiliki oleh manusia. Hukum alam ini
seharusnya menjadi dasar dari system social dan politik yang akan dibentuk
kemudian. Oleh sebab itu hak alamiah diperlukan sebagai sesuatu yang serupa
dengan hak yang dimiliki individu terlepas dari nilai-nilai masyarakat atau
negara.Dengan demikian hak alamiah adalah valid tanpa perlu pengakuan dari
pejabat politis atau dewan manapun.Pendukung pendapat ini adalah filsuf abad ke
17 yakni John Locke yang
menyampaikan argumennya dalam karyanya “Two
Treaties of Government”pada tahun 1668. Intisari dari pandangan Locke adalah pengakuan bahwa seorang
individu memeliki hak-hak alamiah terpisah dari pengakuan politis yang
diberikan negara pada mereka. Hak-hak
alamiah ini dimiliki secara terpisah dan dimiliki dahulu dari pembentukan
komunitas politik manapun. Locke melanjutkan argumentasinya dengan menyatakan
bahwa tujuan utama pelantikan pejabat politis di suatu negara berdaulat
seharusnya adalah untuk melindungi hak-hak alamiah mendasar individu.Bagi Locke perlindungan dan dukungan bagi
hak alamiah individu merupakan justifikasi tunggal dalam pembentukan
pemerintahan.hak alamiah untuk hidup, kebebasan dan hak milik
menegaskan batasan bagi kewenangan dan yurisdiksi negara.Negara hadir
untuk melayani kepentingan dan hak-hak alamiah masyarakatnya.
Dalam
universalisme, individu adalah sebuah unit sosial yang memiliki hak-hak yang
tidak dapat dipungkiri, dan diarahkan pada pemenuhan kepentingan pribadi.
2.
Teori
Relativisme Budaya (Cultural Relativism
Theory)
Gagasan
tentang relativisme budaya mendalilkan bahwa bahwa kebudayaan merupakan
satu-satunya sumber keabsyahan hak atau kaidah moral.Karena itu hak asasi
manusia dianggap perlu dipahami dari konteks kebudayaan masing-masing negara.
Semua kebudayaan mempunyai hak hidup serta martabat yang sama yang harus
dihormati. Berdasarkan dalil ini para pembela gagasan relativisme budaya
menolak universalisasi hak asasi manusia apalagi didominasi oleh satu budaya
tertentu.
Gagasan
bahwa hak asasi manusia terikat dengan konteks budaya umumnya mengemuka sekitar
tahun 1990-an menjelang Konferensi Dunia Hak Asasi Manusia di Wina, yang
diusung oleh negara-negara berkembang dan negara-negara Islam. Para pemimpin
negara-negara di kawasan Lembah Pasifik Barat mengklaim bahwa apa yang mereka sebut sebagai nilai-nilai Asia (Asian Values) lebih relevan untuk
kemajuan negara kawasan pasifik Barat dari pada nilai-nilai Barat. Tokoh
terkenal yang mengadvokasi adalah Lee Kwan Yew menteri senior dari negara
Singapura dan Mahathir Muhammad mantan Perdana Menteri dari negara Malaysia.
Relativisme
Budaya (Cultural Relativism) merupakan
suatu ide ragam budaya yang ada menyebabkan jarang sekali adanya kesatuan dalam
sudut pandang mereka dalam berbagai hal, selalu ada kondisi dimana “mereka yang
memegang kekuasaan selalu tidak setuju”. Ketika suatu kelompok menolak hak
kelompok lain, sering kali itu terjadi demi kepentingan kelompok itu sendiri.
Oleh karena itu hak asasi manusia tidak dapat secara utuh universal kecuali
apabila hak asasi manusia tunduk pada ketetapan
budaya yang sering kali dibuat tidak dengan secara bulat dan dengan
demikian tidak dapat mewakili setiap individu.
3. Memadukan
teori Universal dengan Pluralisme
Secara umum
dalam praktek hak asasi manusia dikondisikan oleh konteks sejarah, tradisi,
budaya, agama dan politik ekonomi yang beragam.Akan tetapi dalam keragaman
tersebut terdapat nilai-nilai universal yang berpengaruh, yakni martabat
manusia, kebebasan, persamaan dan keadilan merupakan milik kemanusiaan secara
utuh.Terlepas dari adanya berbagai perdebatan universalitas dan keterkaitan
(indivisibility) hak asasi manusia merupakan bagian dari warisan kemanusiaan
yang dinikmati umat manusia di masa sekarang.
Oleh karena
tidaklah mudah untuk memaksakan konsep universalitas hak asasi manusia kepada
beragam tradisi, budaya dan agama, maka adalah penting untuk menggali kesamaan
konsep yang prinsipil, yaitu martabat umat manusia.Akan tetapi dengan segala keberagaman
tersebut tetap terdapat nilai- nilai universal yang berpengaruh.Martabat
manusia, kebebasan, persamaan dan keadilan merupakan sebagian nilai yang
mengesampingkan perbedaan dan merupakan milik kemanusiaan secara utuh.
B. Pengertian Pelanggaran HAM
Menurut
Pasal 1 Angka 6 Undang-Undang Nomor 39 Tahun
1999 tentang Hak Asasi Manusia, pelanggaran hak asasi manusia adalah setiap perbuatan seseorang atau
kelompok orang termasuk aparat negara, baik disengaja maupun tidak disengaja
atau kelalaian yang secara hukum mengurangi, menghalangi, membatasi dan atau
mencabut hak asasi manusia seseorang atau kelompok orang yang dijamin oleh
undang-undang dan tidak mendapatkan atau dikhawatirkan tidak akan memperoleh
penyelesaian hukum yang
adil dan benar berdasarkan mekanisme hukum yang berlaku.
Hal demikian dikuatkan kembali pada Undang-Undang Nomor 26 Tahun
2000 tentang Pengadilan
HAM, bahwa pelanggaran
HAM adalah setiap perbuatan seseorang atau kelompok orng termasuk aparat negara
baik disengaja atau kelalaian yang secara hukum mengurangi, menghalangi,
membatasi, dan atau mencabut Hak Asasi Manusia seseorang atau kelompok orang
yang dijamin oleh Undang-Undang ini, dan tidak didapatkan, atau dikhawatirkan tidak akan memperoleh penyelesaian hukum yang adil dan benar, berdasarkan
mekanisme hukum yang berlaku.
Dengan demikian pelanggaran HAM merupakan tindakan pelanggaran kemanusiaan
baik dilakukan oleh individu maupun oleh institusi negara atau institusi
lainnya terhadap hak asasi individu lain tanpa ada dasar atau alasan yuridis
dan alasan rasional yang menjadi pijakanya. Definisi di atas pada akhirnya
mengaburkan antara pelanggaran HAM dengan pelanggaran hukum.
Bagaimana halnya dengan individu atau kelompok
masyarakat yang melakukan perbuatan melanggar hak asas manusia yang telah
dijamin dalam peraturan perundang undangan (pelaku non state)? Apakah pelaku
non state tersebut dapat dialifikasikan sebagai pelanggar hak asasi manusia
atau pelanggar hukum? Pada prinsipnya hak asasi manusia adalah hak yang melekat
pada hakekat keberadaan manusia, oleh karenanya setiaporang berkewajiban untuk
menghargai dan menghormati hak asasi manusia.
Dengan kata lain, tidak ada seorangpun boleh
mengurangi, membatasi, merampas atau mencabut hak asasi manusia yang melekat
pada hakekat keberadaan manusia. Berdasarkan pada pengertian tentang hak asas
manusia, maka secara harfiah, seseorang atau kelompok orang termasuk aparat
negara yang melakukan perbuatan mengurangi, membatasi, merampas atau mencabut
hak asasi manusia dapat disebut melanggara hak asasi manusia.
Pada dasarnya, tidak ada definisi yang bisa diterima secara umum.
Pelanggaran HAM adalah pelanggaran terhadap kewajiban negara yang lahir dari
adanya instrumen-instrumen HAM, baik instrumen nasional maupun internasional.
Pelanggaran tersebut dapat berupa kelalaian negara atas norma yang belum masuk
dalam pidana nasional namun menjadi bagian dari hak yang diakui secara
internasional. Oleh karenanya, titik tekan palanggaran HAM adalah tanggung
jawab negara (state responsibility) sedangkan pelanggaran pidana
berkaitan dengan pelaku non negara.
A. Pelaku
Pelanggaran HAM
Berdasarkan
hukum HAM Nasional, secara tegas telah dinyatakan bahwa pelanggaran HAM dapat
dilakukan oleh perbuatan seseorang atau kelompok orang termasuk
aparat negara baik
disengaja, maupun tidak disengaja atau kelalaian yang secara melawan hukum, mengurangi,
menghalangi, membatasi dan mencabut HAM seseorang atau kelompok orang yang
dijamin oleh undang-undang. Dengan
demikian, pelaku pelanggaran dapat dilakukan individu, kelompok orang, dan
negara.
Definisi pelanggaran HAM sebagaimana
diatur dalam Pasal 1 angka 6 UU Nomor 39 tahun 1999 tentang
HAM dapat dijelaskan bahwa ada dua konstruksi:
1.
Setiap perbuatan seseorang
atau kelompok orang termasuk aparat negara baik disengaja maupun tidak
disengaja atau kelalaian yang secara melawan hukum, mengurangi, menghalangi,
membatasi, dan mencabut HAM seseorang atau kelompok orang yang dijamin oleh
undang-undang. Konstruksi ini mengategorikan tentang pelaku pelanggaran HAM atau
perbuatan yang dapat dianggap sebagai pelanggaran HAM.
2.
Tidak mendapat atau
dikhawatirkan tidak akan memperoleh penyelesaian hukum yang adil dan benar
berdasarkan mekanisme hukum yang berlaku. Kategori ini mengatur adanya
mekanisme penyelesaian atas terjadinya pelanggaran HAM.
Pelanggaran HAM pada dasarnya adalah salah satu
bentuk pelanggaran hukum. Dalam terminologi hukum, maka ada yang disebut dengan
pelanggaran hukum pidana, hukum perdata, hukum tata usaha negara (TUN), hukum
administrasi negara, termasuk juga termasuk pelanggaran hukum hak asasi
manusia.
Adapun pelaku pelanggaran HAM dapat dikelompokan
menjadi dua, yaitu:
a. Pelaku Negara (State actor)
Sebagaimana
diatur dalam hukum Internasional HAM, state actor yaitu negara atau seluruh
penyelenggara negara baik organ negara, lembaga negara, lembaga pemerintahan,
termasuk lembaga pemerintahan non-Kementerian.
Penggolongan lembaga negara di Indonesia dapat
dibedakan menjadi tiga kelompok, yaitu:
1) Lembaga
Negara yang keberadaannya disebut dalam UUD NKRI Tahun 1945 dan kewenangannya ditentukan juga dalam
Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
2) Lembaga
Negara yang keberadaannya disebut dalam UUD NKRI Tahun 1945, namun kewenangannya tidak ditentukan
di dalamnya.
3) Lembaga
Negara yang keberadaannya tidak disebut dalam UUD NKRI Tahun 1945 dan
kewenangannya tidak ditentukan di dalam UUD NKRI Tahun 1945, tetapi
keberadaannya mempunyai apa yang disebut sebagai constitutional importance, sebagiaman Komisi Perlindungan
Persaingan Usaha (KPPU), Komisi Pemilihan Umum (KPU), dan Komisi Pemberantasan
Korupsi (KPK).
Negara dianggap sebagai pelaku
pelanggaran HAM merupakan konsekuensi dari tanggung jawab yang diembannya yaitu
untuk menghormati (to respect), melindungi (to protect) dan
memenuhi (to fulfil) HAM sehingga ketika suatu negara baik sengaja
maupun karena kelalaiannya melakukan tindakan yang melanggar ketiga kewajiban
tersebut, maka negara telah dianggap melakukan pelanggaran HAM. Hal demikian terutama jika negara tidak berupaya melindungi atau meniadakan
hak-hak rakyat yang bersifat non-derogable rights (hak yang tidak dapat
dibatasi dan dikurangi) dan membiarkan aparat-aparat negara melakukan
pelanggaran itu sendiri.
b. Pelaku Non-Negara (Non state actor)
Pada awalnya
isu utama dalam permasalahan hak asasi manusia hanya menyoroti perilaku negara
sebagai pemangku kewajiban atau entitas legal dalam hukum HAM Internasional. Pasca-Perang Dingin, permasalahan HAM meluas pada
perilaku aktor-aktor non negara (non
state actor).
Salah satu
elemen atau unsur penting
yang harus diperhatikan dalam hal ini adalah adanya sekelompok masa yang
terorganisir, perusahaan multinasional atau perusahaan transnasional. Perusahaan-perusahaan itu memiliki aset
ekonomi dan kekuasaan yang mampu menekan dan mempengaruhi pemerintahan bahkan
kebijakan negara.
Dampak dari kegiatan mempengaruhi pemerintahan atau kebijakan negara inilah
yang berdampak negatif terhadap hak asasi manusia.
Ada beberapa
contoh permasalahan hak asasi manusia yang timbul sebagai akibat pengaruh
pelaku non-negara yang berakibat pada terjadinya pelanggaran HAM di suatu wilayah terutama bidang ekonomi, sosial, budaya, yaitu:
1)
Perburuhan
Ada beberapa hal yang berakibat pada
pelanggaran HAM terkait
dengan permasalahan perburuhan di Indonesia, misalnya aktor non state mempengaruhi pemerintah
sehingga mengeluarkan kebijakan pemberian upah yang kecil dan pembayaran gaji yang tidak memperhatikan standar biaya hidup minimal di wilayah tertentu. Bisa juga tindakan kontrol
yang ekstra ketat terhadap organisasi perburuhan dengan membayar aparat
keamanan (polisi dan tentara) untuk menghadapi organisasi buruh yang ada.
2)
Lingkungan
Permasalahan
HAM oleh aktor non-negara yang berdampak pada hak lingkungan, antara lain:
- Privatisasi sumber daya alam di sekitar wilayah operasi perusahaan yang
berdampak negatif pada kesejahteraan masyarakat berupa sulitnya mendapatkan air
bersih
- Pembukaan lahan-lahan pertanian dan hutan untuk pengembangan perusahaan
yang berdampak pada hilangnya lahan-lahan masyarakat adat dan kerusakan
lingkungan.
3)
Kelompok Rentan
- Anak, ketika perusahaan memperkerjkan anak dengan tujuan menekan biaya
produksi karena pekerja anak bisa dibayar dengan sangat murah. Banyak terjadi
kasus anak di bawah umur bekerja di perusahaan pertambangan.
- Masyarakat adat, ketika perusahaan membuka lahan usaha dengan memanfaatkan
lahan-lahan komunal milik masyarakat adat, sebagaimana kasus Mesuji dan kasus
lahan sawit di Kalimantan.
- Perempuan, ketika perempuan yang bekerja sebagai buruh tidak mendapatkan
hak-hak cuti haid, menyusui serta jam kerjanya yang melampaui batas.
4)
Kehidupan yang layak bagi
kemanusiaan.
Ada beberapa
kasus perusahaan yang beroperasi di suatu wilayah tidak dibarengi dengan upaya
meningkatkan kesejahteraan masyarakat sekitar dan membangun insfrastruktur
seperti sarana jalan dan jembatan yang layakbagi masyarakat di sekitarnya,
sebagai contoh : PT. Freeport telah beroperasi di bumi periwi ini selama lebih
dari empat puluh tahun, namun yang sangat mengenaskan adalah kehidupan
masyarakat sekitar perusahaan tersebut beroperasi ternyata jauh dari kemapanan,
kecuali untuk beberapa gelintir orang yang dilibatkan dalam aktifitas
perusahaan tersebut.
Kategori Pelanggaran HAM
Pelanggaran HAM dapat dikelompokkan menjadi 2 (dua) bentuk, yaitu:
(1)
Pelanggaran HAM ringan, yang biasanya cukup disebut
sebagai pelanggaran HAM.
(2)
Pelanggaran HAM berat, yaitu meliputi kejahatan
genosida dan kejahatan kemanusiaan.
Kejahatan genosida adalah
setiap perbuatan yang dilakukan dengan tujuan untuk memusnahkan atau
menghancurkan seluruh atau sebagian dari kelompok bangsa, kelompok etnis,
kelompok agama, dan ras. Kejahatan Genosida dilakukan dengan cara membunuh
anggota kelompok, mengakibatkan penderitaan fisik atau mental yang berat
terhadap anggota-anggota kelompok, menciptakan kondisi kehidupan kelompok yang
akan mengakibatkan kemusnahan atau kehancuran secara fisik baik seluruh maupun
sebagiannya, memaksakan tindakan-tindakan yang bertujuan mencegah kelahiran di
dalam kelompok, dan memindahkan secara paksa anak-anak dari kelompok tertentu ke
kelompok lain.
Kejahatan kemanusiaan seringkali
diartikan sebagai suatu perbuatan yang dilakukan dengan serangan yang meluas
dan sistematis. Adapun serangan yang dimaksud ditujukan secara langsung
terhadap penduduk sipil berupa:
a.
Pembunuhan
b.
Pemusnahan,
c.
Perbudakan,
d.
Pengusiran atau pemindahan penduduk secara paksa,
e.
Perampasan kemerdekaan atau perampasan kebebasan fisik
lain secara secara sewenang-wenang yang melanggar (asas-asas) ketentuan,
f.
Penyiksaan,
g.
Pemerkosaan, perbudakan seksual, pemaksaan kehamilan,
pelacuran secara paksa, pemandulan atau sterelisasi secara paksa atau
bentuk-bentuk kekerasan seksual lain yang setara,
h.
Penganiayaan terhadap suatu kelompok tertentu atau
perkumpulan yang didasari persamaan paham politik, kebangsaan, ras, budaya,
etnis, agama, jenis kelamin atau alasan lain yang telah diakui secara universal
sebagai hal yang dilarang menurut hukum internasional,
i.
Penghilangan orang secara paksa,
j.
Kejahatan apartheid, penindasan dan dominasi suatu
kelompok ras atau kelompok ras lain untuk mempertahankan dominasi dan
kekuasaannya.
Konsep Dasar Pelanggaran
HAM Berat
Situasi aman setelah berakhirnya Perang Dunia dapat dikatakan belum
dirasakan oleh masyarakat internasional. Hampir setengah abad setelah Perang
Dunia berakhir, masyarakat internasional kembali dikejutkan dengan praktek
pembersihan etnis yang terjadi di Eropa bekas negara Yugoslavia. Tindakan
pembersihan etnis itu sangat mengancam perdamaian dan keamanan internasional.
Peristiwa tragis yang terjadi di negara Yugoslavia tersebut menewaskan ribuan
orang termasuk lebih dari dua ratus personil PBB dan anggota pasukan perdamaian
PBB, serta mengakibatkan pengungsian lebih dari 2,2 juta orang.
Setahun kemudian, konflik antar etnis di Rwanda pun kembali mengejutkan
nurani dunia. Dalam waktu singkat menelan korban jiwa sekitar 800.000 orang dan
mengakibatkan pengungsian sekitar 2 juta orang. Pasca berakhirnya Perang Dunia II memberikan dampak yang luar biasa bagi
masyarakat internasional. Hukum Internasional Hak Asasi Manusia mengalami
perkembangan yang pesat dan signifikan dengan sendirinya yang menjadi rujukan
berbagai aktor seperti negara, organisasi internasional, masyarakat
internasional, dan individu ketika menanggapi banyak peristiwa pelanggaran Hak
Asasi Manusia.
Kejahatan berat hak asasi manusia atau sebutan lain pelanggaran HAM berat
dalam hukum internasional berkaitan dengan beberapa ketentuan yang berkembang
pasca Perang Dunia ke-2, yaitu 1915 melalui deklarasi pertama tiga negara yaitu
Perancis, Inggris, Rusia. Dalam Pengadilan Nuremberg, kjahatan itu meliputi genocide,
War Crime, Crime Against Humanity. Hal itu diatur dalam International
Criminal Tribunal for the former Yugoslavia (ICTY) dan International
Criminal Tribunal for Rwanda (ICTR) yang meliputi War crimes, Crimes
against humanity, dan Genocide.
Istilah
kejahatan HAM berat telah dikenal dan digunakan pada saat ini, namun sayangnya
belum dirumuskan secara jelas baik di dalam resolusi, deklarasi, maupun
perjanjian HAM. Kejahatan HAM berat dipahami sebagai suatu perbuatan
pelanggaran HAM yang membawa dampak buruk yang luar biasa dahsyat pada jiwa,
raga, dan peradaban manusia. Pelanggaran HAM berat sebagai suatu pelanggaran
yang mengarah kepada pelanggaran-pelanggaran, sebagai alat bagi pencapaian dari
kebijakan-kebijakan pemerintah, yang dilakukan dalam kualitas tertentu dalam
suatu cara untuk menciptakan situasi hak untuk hidup, hak atas integritas
pribadi atau hak atas kebebasan pribadi dari penduduk suatu negara secara terus
menerus yang dilanggar atau diancam.
Berbagai
bentuk kejahatan HAM berat tidak cukup diterangkan dalam satu definisi hukum.
Kejahatan HAM dikategorikan sebagai berikut:
1.
Kejahatan terhadap perdamaian (Crimes
against peace). Termasuk kejahatan terhadap perdamaian ialah merencanakan,
mempersiapkan, memulai, atau menjalankan perang agresi, atau perang yang
melanggar perjanjian-perjanjian internasional, persetujuan-persetujuan atau
jaminan-jaminan, atau turut
serta di dalam rencana bersama atau komplotan untuk mencapai salah satu
daripada tujuan perbuatan-perbuatan tersebut di atas.
2.
Kejahatan Perang (War Crimes).
Termasuk dalam kejahatan perang ialah pelanggaran terhadap hukum atau
kebiasaan-kebiasaan perang, seperti pembunuhan (murder), perlakuan kejam
terhadap penduduk sipil dengan mengasingkannya, memberlakukan kerja paksa, atau
di wilayah pendudukan memperlakukan tawanan-tawanan perang dengan kejam,
membunuh, atau merampas milik negara atau milik perseorangan, menghancurkan
kota atau desa dengan semena-mena, sekaligus membinasakannya tanpa adanya
keperluan militer.
3.
Kejahatan terhadap Kemanusiaan (Crimes
against humanity). Termasuk kejahatan terhadap kemanusiaan ialah pembunuhan
(murder) yang membinasakan, memperbudak, mengasingkan dan lain-lain
kekejaman di luar perikemanusiaan terhadap penduduk sipil, yang dilakukan
sebelum atau sesudah perang, perkosaan hak-hak dasar berdasarkan alasan-alasan
politik, ras, atau agama. Pemimpin atau orang yang mengorganisir, menghasut dan
membantu yang turut serta dalam membentuk atau melaksanakan rencana bersama
untuk melakukan kejahatan tersebut.
International
Criminal Court (ICC) yang dibentuk
berdasarkan Statuta Roma 1998 mempunyai yurisdiksi atas kejahatan paling serius
yang merupakan kejahatan HAM berat yaitu:
1.
Kejahatan genosida
2.
Kejahatan terhadap kemanusiaan
3.
Kejahatan perang
4.
Kejahatan
agresi.
Instrumen
Hukum Internasional tentang Pelanggaran HAM Berat
Suatu kejahatan bisa dapat terjadi kapan
saja dan dimana saja. Kejahatan maupun pelanggaran yang dilakukan tersebut haruslah diberikan
hukuman bagi yang melakukannya. Akan tetapi, masing-masing negara tentu sudah memiliki hukum nasional yang
mengatur kejahatan maupun pelanggaran yang dilakukan di wilayah negaranya. Hal
demikian dapat menyebabkan ketidaksamaan hukum antara rakyat dari negara satu
dengan negara lainnya.
Adanya perbedaan dalam
pengakuan dan perlindungan HAM maka perlu ditafsirkan dan diterapkan
perundang-undangan yang berlaku secara internasional. Pengaturan itu untuk
menyediakan keseragaman standar standar minimum oleh negara terhadap manusia di
muka bumi.
Instrumen internasional
merupakan alat berupa standar-standar pembatasan pelaksanaan dan mekanisme kontrol terhadap kesepakatan-kesepakatan antar negara tentang
jaminan HAM. Oleh karenanya dibutuhkan pembatasan untuk melindungi HAM sehingga
dibuat beberapa instrumen hukum internasional yang berlaku universal atas
persetujuan berbagai negara untuk menjadi pedoman bagi suatu negara yang
menyetujui itu dalam menghukum pelaku kejahatan tertentu.
Instrumen hukum internasional bentuknya berupa
kovenan (perjanjian) dan protokol. Kovenan, yaitu perjanjian yang mengikat bagi
negara-negara yang menandatanganinya. Istilah covenant (kovenan)
digunakan bersarnaan dengan treaty (kesepakatan) dan convention (konvensi/perjanjian).
Sedangkan protokol merupakan kesepakatan dari negara-negara penandatangannya
yang memiliki fungsi untuk lebih lanjut mencapai tujuan-tujuan suatu kovenan.
Terkait dengan pelanggaran HAM berat yang
terjadi di belahan dunia maka negara dapat menganut aturan yang terdapat dalam
instrumen-instrumen hukum internasional sebagai pedoman dalam menyelesaikan
pelanggaran tersebut. Instrumen hukum internasional yang berkaitan dengan
pelanggaran HAM berat di antaranya:
a.
Deklarasi Universal tentang Hak-hak
Asasi Manusia (1948)
Deklarasi
Universal merupakan instrumen hidup yang memaksa supaya orang memperhatikan
ancaman baru terhadap martabat manusia dan kelangsungan hidup kemanusiaan,
seperti persenjataan berlebihan atau senjata
penghancur massal, dan juga bahaya potensial akibat manipulasi genetik.
Isi Deklarasi Universal sendiri, adalah prinsip
kebebasan, persamaan, dan persaudaraan yang berasal dari Revolusi Perancis. Selain ketiga prinsip di atas, Deklarasi Universal juga mengatur
ketentuan-ketentuan lain yang berkaitan dalam pelanggaran HAM berat seperti
larangan perbudakan, larangan penganiayaan, dan larangan diskriminasi.
Di dalam
Pasal 4 DUHAM disebutkan bahwa tidak seorangpun dapat diperbudak atau
diperhambakan dan segala bentuk perdagangan budak harus dilarang. Sedangkan
untuk ketentuan larangan penganiayaan terdapat dalam Pasal 5 DUHAM yang
menyebutkan bahwa tidak seorangpun dapat dianiaya atau diperlakukan secara
kejam dengan tidak mengingat kemanusiaan ataupun cara perlakuan dan hukuman
yang menghinakan. Negara berkewajiban mengekstradisi atau menuntut pelaku
penganiayaan tanpa dibatasi oleh kewarganegaraan pelaku penganiayaan atau
tempat pelanggaran yang dituduhkan. Meskipun DUHAM telah diterima tetapi karena
sifatnya sebagai deklarasi, maka tidak memiliki kekuatan mengikat secara hukum,
sehingga tujuan deklarasi sebagai pengakuan martabat manusia suli diwujudkan.
Untuk itu supaya tujuan DUHAM, dapat menjadi kenyataan maka diperlukan alat atau instrumen HAM internasional lainnya.
b.
Charter of The United Nation (Piagam PBB)
Piagam PBB ditandatangani pada 26 Juni 1945, di San Francisco. Mulai
berlaku pada 24 Oktober 1945. Statuta Mahkamah Internasional
merupakan bagian integral Piagam tersebut.
Dalam
mukadimah Piagam PBB disebutkan bahwa anggota PBB bertujuan untuk menyelamatkan
generasi berikut dari bencana perang, yang dua kali telah membawa penderitaan
sejak munculnya Perang Dunia ke-2. Adapun tujuan dari organisasi PBB ini ialah:
1. Untuk
menjaga perdamaian dan keamanan internasional. Untuk itu maka mengambil langkah-langkah kolektif yang efektif untuk
pencegahan dan penghapusan ancaman terhadap perdamaian, dan untuk menekan
tindakan agresi atau pelanggaran lain dari perdamaian, dan untuk membawa dengan
cara damai, dan sesuai dengan prinsip-prinsip keadilan dan hukum internasional,
penyesuaian atau penyelesaian sengketa internasional atau situasi yang mungkin
menyebabkan pelanggaran perdamaian.
2. Untuk
mengembangkan hubungan persahabatan antar bangsa. Hal itu didasarkan pada penghormatan terhadap prinsip
persamaan hak dan penentuan nasib sendiri rakyat, dan untuk mengambil tindakan
yang tepat lainnya untuk memperkuat perdamaian universal.
3. Untuk
mencapai kerjasama internasional dalam memecahkan masalah internasional. Kerjasama itu dapat pada bidang ekonomi, sosial, budaya, atau
kemanusiaan, dan dalam mempromosikan dan mendorong penghormatan terhadap HAM dan kebebasan dasar bagi semua tanpa membedakan ras,
jenis kelamin, bahasa, atau agama.
4. Untuk
menjadi pusat harmonisasi tindakan negara dalam pencapaian tujuan tersebut
umum.
c.
Konvensi Internasional tentang
Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Rasial
Semua manusia pada dasarnya sama di
hadapan hukum dan berhak atas perlindungan hukum yang sama atas
tindakan diskriminasi dan terhadap hasutan apapun untuk
diskriminasi. Adanya suatu diskriminasi antara manusia baik atas dasar ras,
warna kulit, atau asal etnis merupakan penghalang bagi hubungan persahabatan
dan damai di antara bangsa-bangsa dan dapat mengganggu perdamaian dan keamanan
antar negara.
Dengan demikian maka dibentuklah
konvensi ini. Tujuan dari konvensi ini sendiri ialah untuk menghapus adanya
diskriminasi rasial dalam segala bentuknya dan menjamin hak setiap orang tanpa
membedakan ras, warna kulit, asal-usul kebangsaan atau etnis, persamaan di
depan hukum dan khususnya menikmati hak-hak lainnya seperti hak katas perlakuan
yang sama di hadapan pengadilan, hak untuk kebangsaan, hak pribadi dan
perlindungan oleh negara terhadap kekerasan baik yang ditimbulkan oleh pejabat
pemerintah atau kelompok indivdu atau lembaga, dan hak lainnya.
d.
Konvensi Pencegahan dan Penghukuman
Kejahatan Genosida
Genosida menimbulkan kerugian besar
pada umat manusia dalam setiap periode sejarah.Dalam rangka untuk membebaskan
umat manusia maka diperlukan kerjasama internasional yang akhirnya melahirkan
konvensi ini.
Genosida dalam konvensi ini
merupakan perbuatan yang dilakukan di masa damai atau pada saat perang.
Genosida berarti setiap perbuatan yang dilakukan dengan maksud untuk
menghancurkan secara keseluruhan atau sebagian nasional, etnis, ras, atau
kelompok agama seperti membunuh anggota kelompok, menyebabkan tubuh atau mental
yang berat, membawa kehancuran fisik pada kondisi kehidupan kelompok, melakukan
tindakan yang mencegah kelahiran di dalam kelompok, serta memindahkan secara
paksa anak-anak dari kelompok ke kelompok lain.
Orang yang didakwa dengan genosida
atau tindakan-tindakan lain akan diadili oleh pengadilan dari negara di wilayah
dimana perbuatan itu dilakukan, atau dengan pengadilan pidana internasional yang memiliki
yurisdiksi terhadap pihak-pihak tersebut yang akan menerima yurisdiksinya.
e.
Konvensi tentang Tidak Berlakunya Hukum Keterbatasan untuk Kejahatan Perang
dan Kejahatan Terhadap Kemanusiaan
Dalam pembukaan konvensi ini
disebutkan mengingat bahwa kejahatan perang dan kejahatan terhadap kemanusiaan
adalah salah satu kejahatan paling parah dalam hukum internasional. Tidak ada deklarasi, instrumen atau konvensi yang berhubungan dengan
penuntutan dan penghukuman terhadap kejahatan perang dan kejahatan kemanusiaan
yang dibuat untuk jangka waktu terbatas. Konvensi ini menyebutkan bahwa tidak
ada batasan hukum yang berlaku bagi kejahatan perang dan kejahatan terhadap
kemanusiaan. Konvensi ini berlaku untuk perwakilan dari otoritas negara dan
individu swasta yang berpartisipasi atau langsung menghasut orang lain untuk
setiap kejahatan tersebut.
f.
Konvensi-Konvensi Jenewa dan
Protokolnya
Jenis tindak pidana internasional atau
pelanggaran hukum HAM dalam konflik bersenjata baik internasional maupun non-
internasional diatur dalam konvensi-konvensi Jenewa dan protokol, yaitu:
1) Geneva
Convention for The Amelioration of the condition of the wounded and sick in
armed force in the field, of August 12, 1949, mengatur
perbaikan kondisi yang luka dan sakit dalam pertempuran di darat, melindungi tentara yang luka dan sakit serta orang-orang yang menyertainya, bangunan berlindung serta peralatan yang dipakai.
2) Geneva
Convention for the Amelfration of the Condition of wounded, sick and ship
wrecked members of Armed forces at sea of August 12, 1949, mengatur
mengenai perbaikan kondisi luka dan sakit dan korban karam anggota militer di laut.
3) Geneva
Convention relative to the Treatment of Prisoners of War, of August 12, 1949, mengatur
mengenai perlakuan terhadap tawanan perang, melindungi anggota angkatan
bersenjata yang menjadi tawanan perang.
4) Geneva
Convention relative to the Protection of Civilian Persons in Time of War, of
August 12, 1949, mengatur perlindungan penduduk sipil pada waktu
perang.
5) Protocol
Additional to the Geneva Conventions of 12 August 1949, and relating to the
Protection of Victims of International Armed Conflicts (Protocol I), mengatur
mengenai perluasan perlindungan yang diberikan kepada penduduk sipil dan
membatasi alat dan cara berperang dalam sengketa bersenjata internasional.
6) Protocol
Additional to the Geneva Conventions of 12 August 1949, and relating to the
Protection of Victims of Non-International Armed Conflicts (Protocol II), mengatur
mengenai perlindungan yang membatasi diri penduduk sipil dalam sengketa
bersenjata non internasional.
7) Geneva
Convention 10 Oktober 1980, berisikan tentang pelarangan
konvensional tertentuyang dapat menimbulkan luka yang luar biasa atau akibat
membabi buta.
Adapun pelanggaran berat terhadap konvensi Jenewa antara lain:
1) Pembunuhan yang disengaja
2) Penganiayaan atau tindakan yang dapat merendahkan martabat umat manusia
3) Pemilikan dan perusakan harta benda secara meluas
4) Memaksa tawanan perang untuk mengabdi kepada penguasa perang
5) Menghilangkan hak tawanan perang atas peradilan yang jujur dan teratur
6) Meniadakan atau mentransfer penduduk dengan paksa
7) Menjatuhkan hukuman kurungan
8) Melakukan penyanderaan
Rumusan formal kejahatan terhadap kemanusiaan,
kejahatan perang dan kejahatan
genosida kemudian muncul kembali dalam Statuta
untuk Pengadilan Pidana Internasional untuk bekas negara Yugoslavia (International Tribunal for
Former Yugoslavia-ICTY) dan Rwanda (International Tribunal for Rwanda-ICTR).
Pengertian terhadap kejahatan-kejahatan tersebut merupakan pertautan dari
Piagam Nurenberg, Statuta untuk ICTY, maupun Statuta untuk ICTR. Ada beberapa
kesamaan pengaturan meskipun dengan perumusan yang berbeda-beda.
Dalam perkembangannya, pengaturan yang lebih
baru tentang kejahatan genosida, kejahatan terhadap kemanusiaan dan kejahatan
perang diatur dalam Statuta Roma 1998 dengan disahkannya dokumen dasar
pembentukan Mahkamah Pidana Internasional (International Criminal Court-ICC).
Statuta ini merupakan rujukan paling akhir dalam mendefiniskan kejahatan
terhadap kemanusiaan, kejahatan genosida, dan kejahatan perang. Terlebih, dalam
Statuta tersebut juga telah diatur secara detail tentang unsur-unsur kejahatan
(element of crimes) dan hukum acara dan pembuktiannya (rules of procedures
and evidences).
Tabel. Perkembangan Hukum Internasional tentang Pelanggaran HAM Berat
No |
Instrumen |
Pengaturan |
1 |
Charter of the International
Military Tribunal 1945 (Nuremberg Charter). |
Kejahatan Perang dan
Kejahatan terhadap Kemanusiaan. |
2 |
Konvensi Genosida 1948. |
Kejahatan Genosida. |
3 |
Konvensi Jenewa 1949. |
Pelanggaran Berat,
Pelanggaran Serius dan Pelanggaran lainnya dalam konteks perang. |
4 |
Protokol Tambahan Konvensi
Jenewa 1949 (1977). |
Pelanggaran Berat Konvensi
dan Pelanggaran hukum dan kebiasaan perang sebagai Kejahatan Perang |
5 |
ICTY. |
Genosida, Kejahatan atas
Kemanusiaan dan Kejahatan Perang. |
6 |
ICTR. |
Genosida, Kejahatan atas
Kemanusiaan dan Kejahatan Perang. |
7 |
Statuta Roma |
Pelanggaran Berat HAM yang
meliputi Genosida, Kejahatan Kemanusiaan, Kejahatan Perang dan Agresi. |
Pengaturan
tentang Pelanggaran HAM Berat di Indonesia
Istilah genosida pertama kali muncul dalam
leksikon hukum Indonesia dan dinyatakan sebagai kejahatan dalam hukum nasional
pada UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Penjelasan pasal 104
menyatakan bahwa yang dimaksud dengan pelanggaran HAM yang berat adalah
pembunuhan massal (genocide), pembunuhan sewenang-wenang atau di luar
putusan pengadilan (arbitrary/extrajudicial killing), penyiksaan,
penghilangan orang secara paksa, perbudakan atau diskriminasi yang dilakukan
secara sistematis (systematic discrimination).
Sementara, kejahatan terhadap kemanusiaan tidak
didefinisikan secara spesifik namun disebutkan kejahatan-kejahatan tertentu. UU
No. 39 Tahun 1999 memandatkan terbentuknya Pengadilan HAM yang memiliki
jurisdiksi pengadilan Pelanggaran HAM yang berat paling lambat 4 (empat) tahun
sejak UU disahkan. Tidak sampai 4 (empat) tahun, muncul Undang-undang No. 26
Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM yang mempunyai jurisdiksi untuk memeriksa dan
mengadili pelanggaran HAM yang berat yakni kejahatan genosida dan kejahatan
terhadap kemanusiaan.
Dalam merumuskan kejahatan genosida dan
kejahatan terhadap kemanusiaan, UU No. 26 tahun 2000 menyatakan bahwa
pengertian kejahatan genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan dalam UU ini
sesuai dengan Rome Statute of The International Criminal Court (Pasal 6
dan Pasal 7). Hal ini berarti bahwa apa yang dimaksud dengan kejahatan genosida
dan kejahatan terhadap kemanusiaan adalah kejahatan-kejahatan yang paling
serius sebagaimana dimaksud dalam Statuta Roma 1998.
Pengadopsian ketentuan Statuta Roma 1998 ke
dalam UU No. 26 Tahun 2000 ternyata masih memiliki kelemahan. Pertama,
tidak lengkapnya jenis kejahatan yang diadopsi. Di dalam Statuta Roma ada
empat jenis kejahatan yang terdiri atas genosida, kejahatan kemanusiaan,
kejahatan perang, dan agresi. Akan tetapi, UU No. 26 Tahun 2000 hanya mengambil
dua jenis kejahatan, yaitu: genosida dan kejahatan atas kemanusiaan. Indonesia
tidak mengadopsi kejahatan perang sebagai bagian dari pelanggaran HAM yang
berat.
Kedua, adanya kesalahan menerjemahkan ketentuan dalam Statuta Roma 1998.
Akibatnya, pengaturan tentang kejahatan genosida dan kejahatan terhadap
kemanusiaan dalam UU No. 26 tahun 2000 dalam beberapa bagiannya merupakan
ketentuan yang tidak sesuai dengan maksud aslinya. Pada akhirnya perumusan
kejahatan genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan tidak dilengkapi adanya element
of crimes untuk menjelaskan maksud atas ketentuan tersebut.
UU No. 26 Tahun 2000 secara tegas menyatakan
bahwa pelanggaran HAM yang berat adalah kejahatan luar biasa (extraordinary
crimes) dan berdampak secara luas baik pada tingkat nasional maupun
internasional dan bukan merupakan tindak pidana yang diatur di dalam Kitab
Undang-undang Hukum Pidana (KUHP). Pendefinisian inilah yang menunjukkan bahwa
kejahatan genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan adalah berbeda dengan
perumusan dalam kejahatan-kejahatan dalam KUHP dan karenanya perlu dilakukan
langkah-langkah khusus. Berdasarkan karakteristik kejahatannya yang sangat
khusus dan berbeda dengan kejahatan biasa lainnya, maka Pengadilan HAM
merupakan pengadilan khusus. Kekhususan itu menyebabkan keperluan untuk adanya
langkah-langkah penyelidikan, penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan yang
bersifat khusus pula.
Kekhususannya juga terletak pada asas dan
prinsipnya yang diatur secara berbeda. Ada beberapa asas yang secara berbeda
antara pelanggaran HAM berat dengan tindak pidana biasa. Pertama, tidak
berlakunya ketentuan mengenai kadaluarsa dalam pelanggaran HAM yang berat. Kedua,
dapat digunakannya asas non-retroaktif untuk kejahatan kemanusiaan dan
kejahatan genosida. Ketiga, tindakan percobaan, permufakatan jahat, dan
pembantuan terhadap kejahatan genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan,
hukumannya disamakan ancaman pidananya dengan pelaku langsung.
UU No. 26 Tahun 2000 juga memberikan penekanan
pada ketentuan-ketentuan tertentu misalnya perlindungan terhadap saksi dan
korban, serta kewajiban untuk adanya kompensasi, restitusi, dan rehabilitasi
bagi korban pelanggaran HAM yang berat. Untuk melengkapi regulasi mengenai
operasional dari ketentuan mengenai perlindungan saksi dan hak-hak kompensasi,
restitusi, dan rehabilitasi kepada korban, pemerintah mengeluarkan 2 (dua)
peraturan pemerintah, yaitu Peraturan Pemerintah No. 2 Tahun 2002 tentang Perlindungan Saksi dan
Korban, dan Peraturan Pemerintah No. 3 Tahun 2002 tentang Kompensasi, Restitusi
dan Rehabilitasi Korban Pelanggaran HAM yang berat.
Praktik
penuntutan terhadap perkara pelanggaran HAM berat di Indonesia telah dilakukan
dalam memeriksa dan mengadili perkara pelanggaran HAM yang berat di
Timor-Timur, Tanjung Priok, dan Abepura Papua. Perkara yang diadili adalah
kejahatan terhadap kemanusiaan dan sampai saat ini belum ada perkara terkait
dengan kejahatan genosida.
Kejahatan Biasa atau Rezim Pidana
Rezim
pidana merupakan suatu tindak kejahatan[9]
(act of crime) yang meletakkan
individu sebagai subyek hukum,[10] dan pelakunya dapat dihukum
pidana penjara.[11] Tetapi tidak semua jenis
kejahatan dapat dikategorikan sebagai kejahatan Hak Asasi Manusia, hanya
pelanggaran HAM yang berat (goss
violation of human rigts) yang berpotensi terjadinya tindak kejahatan
terhadap hak asasi manusia; kejahatan dimaksud, yakni: kejahatan terhadap
kemanusiaan (crimes against humanity),
kejahatan pemusnahan etnis (genocide),
kejahatan perang (war crime) dan kejahatan agresi (crimes of aggression).[12]
Rezim
pidana dalam arti sebagai kejahatan biasa (ordinary
crime) adalah semua perbuatan yang melanggar norma-norma yang berlaku
sesuai dengan kebiasaan masyarakat (costumary
law), namun tidak semua tindak kejahatan dapat di pidana -hanya tindak
kejahatan yang diatur dalam hukum pidana-- yang dapat di pidanakan.[13] Artinya, bagi warga negara
Indonesia, tindak kejahatan yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
(KUHP) yang dapat dihukum.[14] KUHP berlaku bagi setiap orang yang berada di
Indonesia maupun diluar Indonesia yang berada di dalam kendaraan air (kapal
laut) atau pesawat udara berbendera Indonesia.[15]
Ketentuan ini jelas menunjukkan batas yurisdiksi hukum pidana nasional.
Pidana
biasa dan pidana luar biasa dapat dibedakan dalam contoh berikut: Pasal 338
KUHP mengatur tentang pembunuhan “barang siapa dengan “sengaja” merampas nyawa
orang lain, diancam karena pembunuhan dengan pidana penjara paling lama lima
belas tahun”, bandingkan dengan Pasal 7 Statuta Roma tentang kejahatan terhadap
kemanusiaan termasuk pembunuhan dengan unsur dan kualifikasi yang berbeda;
yakni: pembunuhan yang dilakukan sebagai bagian dari serangan “meluas” atau
“sistematik” yang ditujukan kepada suatu “kelompok penduduk sipil” dengan
“mengetahui” serangan itu (atasan atau komandan). Jadi, pembunuhan dalam pengertian rezim HAM
memiliki elemen lebih luas maknanya tidak hanya “sengaja” tapi juga mengetahui,
ditujukan kepada kelompok penduduk sipil, meluas dan sistematis.
Pelanggaran HAM jika dilihat dari pola
pelanggarannya, ada beberapa hal, yaitu:
1. Latar belakang terjadinya pelanggaran HAM
misalnya, arah dari tindakan atau kebijakan politik yang diambil Negara, dasar
pengambilan keputusan dan pra kondisi berlangsungnya pelanggaran HAM;
2.
Unsur aparat negara apa saja yang terlibat
baik dalam penciptaan kondisi maupun saat berlangsungnya pelanggaran. Atau
kelompok-kelompok yang ada di belakang berlangsungnya pelanggaran HAM;
3.
Adanya skenario dalam pelanggaran HAM untuk
pencapaian target yang dikehendaki, baik tujuan politik maupun ekonomi. Seperti
penciptaan kerusuhan atau konflik etnis dan agama atau tanpa skenario dan
membiarkan karena diuntungkan dari keadaan itu.
4. Setiap
pelanggaran HAM juga harus dilihat dari cara berlangsungnya pelanggaran HAM
tersebut; apakah pelanggaran itu dengan tindakan atau melalui pembiaran dan
atau ketentuan apa yang digunakan dan bagaimana proses hukumnya berlangsung.
5.
Adanya kategorisasi hak-hak apa saja yang
dilanggar dalam suatu peristiwa. Apakah tergolong pelanggaran HAM biasa atau
HAM berat (gross violation of human rights) yang masuk dalam hak-hak
fundamental;
6.
Setiap pelanggaran harus ditentukan siapa yang
menjadi korbannya. Seseorang atau kelompok dapat saja menjadi korban atas
alasan atau latar belakang politik maupun non-politik.
Jika dibandingkan
dengan rezim pidana, pelaku dan korbannya jelas berbeda. Setiap Negara memiliki
sendiri ketentuan-ketentuan pidana, demikian pula dengan Indonesia paska era
kolonial ketentuan pidana tetap berlaku hingga adanya ketentuan baru.[16]
Berdasarkan Undang-Undang No. 73 Tahun 1958 (LN No. 127/1985) yang dalam pasal
1 di tetapkan, bahwa Undang-Undang RI No.1/1946 tentang Kitab Undang-undang
Hukum Pidana (KUHP) “Wetboek van
Strafrecht voor Nederlandsch Indie” untuk golongan penduduk Bumipetera dan
Timur Asing, ditetapkan dengan "Ordonnantie” 6 mei 1872, berisi ketentuan
tindak pidana/kejahatan. Pada 29 september 1958 setelah kemerdekaan ketentuan
pidana itu mulai berlaku untuk seluruh wilayah Indonesia, yang sebelumnya terjadi
dualisme dengan ketentuan pidana golongan eropa.[17]
selalu dikatakan “barang siapa” yang berarti
menunjuk orang perorang dalam wilayah hukum Indonesia yang melakukan kejahatan
akan diancam pidana. Sekalipun kejahatan itu dilakukan secara berkelompok; organisasi
atau lembaga seperti aksi geng motor di Pekanbaru pimpinan Klewang, geng motor
Mappakoe di Makassar, geng motor XCT, Brigezz, GBR, dan Moonraker di Bandung,
yang bertanggungjawab adalah oknum-oknum yang ditangkap. Jadi jelaslah, bahwa
individu bertanggungjawab atas tindak kejahatan sekalipun individu yang
bersangkutan bergabung dalam organisasi atau lembaga tertentu. Demikian halnya,
ketentuan pelaku kejahatan hak asasi manusia, yang bertanggungjawab adalah
individu.65
Dan korban dalam tindak pidana, selain
individu juga mengganggu kepentingan publik atau negara. pembakaran pabrik atau
penggelapan barang oleh orang tertentu dapat mengakibatkan PHK dan kehilangan
pekerjaan serta kerugian material bagi perusahaan; Korban pembunuhan yang
kebetulan anggota polisi atau militer jelas menggangu institusi kesatuan korban
dan merupakan institusi negara; Perilaku korupsi, penyelundupan, melawan
pemerintahan yang sah dan membocorkan rahasia negara oleh oknum (individu)
pejabat atau intelejen adalah jelas merugikan negara dan merupakan kejahatan
yang dapat di pidana sesuai dengan KUHP maupun ketentuan pidana diluar KUHP.
Berikut bagan hubungan Negara dan publik/warga kaitan dengan hukum pidana.
KESIMPULAN
Dengan
demikian, rezim tindak pidana atau kejahatan (crime) berbeda dengan rezim pelanggaran HAM (human rights violation) karena sumber hukum keduanya pun berbeda;
rezim pidana bersumber dari ketentuan hukum pidana (KUHP dan Pidana diluar
KUHP/Nasional) dan rezim HAM bersumber dari hukum asasi manusia (UUD NRI, UU
No. 39/1999 dan UU hasil ratifikasi/Nasional) atau dalam ketentuan sumber yang
lebih tinggi, dalam konteks hukum internasional; rezim pidana internasional
bersumber dari War Crimes And Crimes Against
Humanity, Including Genocide yang terdiri dari:[18]
1. Convention on the Prevention and Punishment of the
Crime of Genocide ((by the General Assembly of the United Nations in its
resolution 96 (I) dated 11 December 1946);
2. Convention on the Non-Applicability of Statutory Limitations to War Crimes and Crimes against Humanity (General Assembly resolution 2391 (XXIII)
of 26 November 1968);
3. Principles of international co-operation in the detection, arrest, extradition and punishment of persons guilty of war crimes and crimes
against humanity
(General
Assembly resolution 3074 (XXVIII) of 3 December 1973);
4. Statute of the International Tribunal for the Former
Yugoslavia (1991);
5. Statute of the International Tribunal for Rwanda (1994);
6. Rome Statute of the International Criminal Court (17 Juli 1998);.
dan
Humanitarian Law terdiri dari:[19]
1. Geneva
Convention relative to the Treatment of Prisoners of War (Geneva I 1949);
2. Geneva
Convention relative to the Protection of Civilian Persons in Time of War (Geneva II 1949);
3. Protocol
Additional to the Geneva Conventions of 12 August 1949, and relating to the Protection of
Victims of International Armed Conflicts (Protocol I 1949);
4. Protocol
Additional to the Geneva Conventions of 12 August 1949, and relating to the Protection of
Victims of Non-International
Armed Conflicts (Protocol II 1949);
Dalam
sumber hukum humaniter (hukum perang) --hukum antar negara-- lainnya juga
terdapat dalam beberapa ketentuan melalui perjanjian internasional, yakni:[20]: a). Konvensi-konvensi Den
Haag 1899; b). Konvensi-konvensi Den Haag 1907; c). Konvensi Genewa 1949 dengan
dua protokol tambahannya; d). Deklarasi St. Petersburg tentang Penghapusan
Penggunaan Proyektil yang Bersifat Mudah Meledak yang Beratnya di bawah 400
Gram di waktu perang (Declaration
Renouncing the Use, in Time of War, of Explosive Projectile under 400 Grammes
Weight), November-11 Desember 1868; Konvensi Den Haag 1954 tentang
Perlindungan Benda-benda Budaya pada waktu Sengketa Bersenjata (Convention for the Protection of Cultural
Property in the Event of Armed Conflict), 14 Mei 1954; dan e). Kebiasaan
seperti Kebiasaan untuk menandai rumah sakit dengan bendera khusus yang
melambangkan bendera masing-masing pihak, penggunaan lambang Palang Merah pada
rumah sakit dan sarana transportasi medis, tentara yang luka dan sakit
merupakan tawanan perang dan diperlakukan sesuai dengan Konvensi Jenewa III
tahun 1949 (di mana awalnya juga disebutkan dalam Konvensi tahun 1864); dokter
dan rohaniawan harus dilindungi dan dihormati; dan penduduk sipil bukan sasaran
serangan.
Sedangkan
rezim HAM di level internasional bersumber pada Penjanjian Internasional (international treaty)69 dan Piagam (international
charter)[21] Perserikatan Bangsa-Bangsa.
Sumber-sumber dimaksud, yaitu:
1. Kovenan Hak Sipil dan Hak Politik (International
Covenant on Civil and Political Rights/ICCPR) disahkan pada 16 Desember 1966.
Protokol
Opsional Kovenan Internasional Hak Sipil
dan Politik mengenai mekanisme pengaduan individual (Optional
Protocol to the International
•
Covenant on
Civil and Political Rights. ICCPR-OP1). Disahkan pada 16 Desember 1966.
•
Protokol Opsional Kedua Kovenan Internasional tentang
Hak Sipil dan Politik mengenai
penghapusan hukuman mati. (Second
Optional Protocol to the
International Covenant on Civil and Political Rights, aiming at the abolition
of the death
penalty/ICCPR-OP2). Disahkan pada 15 Desember 1989.
2. Kovenan Hak Ekonomi, Hak Sosial, dan Hak
Budaya (International
Covenant on Economic,
Social and Cultural Rights/ICESCR) disahkan pada 16 Desember 1966.
•
Protokol Opsional Kovenan Hak Ekonomi, Hak Sosial, dan
Hak Budaya mengenai mekanisme komunikasi (Optional
Protocol to the Covenant on Economic,
Social and Cultural Rights/ICESCR - OP) disahkan pada 10 Desember 2008.
3. Konvensi Penghapusan Semua Bentuk
Diskriminasi Rasial (International
Convention on
the Elimination of All Forms of Racial Discrimination/ICERD) disahkan pada 21 Desember 1965.
4. Konvensi Melarang Penyiksaan dan Perlakuan atau Perlakuan
yang Kejam, Tidak Manusiawi, dan
Merendahkan Martabat Manusia (Convention
against Torture and
Other Cruel, Inhuman or Degrading Treatment or Punishment/CAT) disahkan pada 10 Desember 1984.
•
Protokol Opsional Konvensi Melarang Penyiksaan dan Perlakuan atau Perlakuan
yang Kejam, Tidak Manusiawi, dan
Merendahkan Martabat
Manusia
mengenai pembentukan mekanisme pengawasan dan Sub Komite Pencegahan Penyiksaan
(Optional
Protocol to the Convention against Torture and Other Cruel,
Inhuman or Degrading Treatment or Punishment/OP-CAT) disahkan pada 18 Desember 2002.
5. Konvensi Penghapusan Segala Bentuk
Diskriminasi terhadap Perempuan (Convention
on the Elimination of All Forms of Discrimination against Women/CEDAW) disahkan pada 18 Desember 1979.
•
Protokol Opsional Konvensi Penghapusan Segala Bentuk
Diskriminasi terhadap Perempuan mengenai mekanisme pengaduan individual dan
mekanisme penyelidikan (Optional
Protocol to the Convention on the Elimination of
Discrimination against Women/OP-CEDAW) disahkan pada 10 Desember 1999.
6. Konvensi Perlindungan Hak Semua Pekerja
Migran dan Anggota Keluarganya (International
Convention on the Protection of the Rights of All Migrant Workers and Members of
Their Families/ICRMW) disahkan pada 18 Desember 1990.
7. Konvensi Hak Orang Penyandang Cacat
(Disabilitas) (Convention on
the Rights of Persons with
Disabilities/CRPD) disahkan pada 13 Desember 2006.
•
Protokol Opsional Konvensi Hak Orang Penyandang Cacat
(Disabilitas) mengenai mekanisme pengaduan individual (Optional
Protocol to the Convention on
the Rights of Persons with Disabilities/OP-CRPD) disahkan pada 12 Desember 2006.
8. Konvensi Perlindungan Terhadap Seluruh
Orang dari Penghilangan Paksa (International
Convention for the Protection of All Persons from Enforced Disappearance/CPED) disahkan pada 20 Desember 2006.
9. Konvensi Hak Anak (Convention on
the Rights of the Child/CRC) disahkan pada 20 Nopember 1989.
•
Protokol Opsional Konvensi Hak Anak mengenai
Keterlibatan Anak dalam Konflik Bersenjata (Optional
protocol to the Convention on the Rights of the Child on the
involvement of children in armed conflict/OP-CRC-AC) disahkan pada 25 Mei 2000.
•
Protokol Opsional Konvensi Hak Anak mengenai
Perdagangan Anak, Prostitusi Anak, dan Pornografi Anak (Optional
protocol to the Convention on the Rights of
the Child on the sale of children, child prostitution and child pornography/OP-CRC-SC) disahkan pada 25 Mai 2000.
Perjanjian
Internasional ini oleh Negara pihak (state
parties) yang sudah meratifikasinya memiliki konsekuensi dengan kewajiban
untuk membuat laporan secara berkala ke komite masing-masing konvensi dan
badan-badan HAM Internasional akan melakukan pemantauan terhadap Negara-negara
pihak.
Basis
Piagam, PBB membentuk Dewan HAM (UN.
Human Rights Council) sebagai badan internasional utama memiliki mekanisme
untuk memajukan dan melindungi HAM sesuai dengan tanggung jawabnya berdasarkan
Resolusi Majelis Umum PBB 60/251.
disebutkan bahwa dasar pembentukan Dewan HAM adalah untuk menegaskan kembali
komitmen untuk memperkuat mekanisme HAM PBB, dengan tujuan untuk memastikan
kenikmatan yang efektif oleh semua dari semua kategorisasi HAM, baik hak sipil, hak politik, hak ekonomi, hak sosial
dan hak budaya, termasuk hak untuk pembangunan.
Melihat
cakupan tanggung jawab tersebut Dewan HAM PBB memiliki mandat dan mekanisme
untuk pemajuan dan perlindungan HAM terhadap seluruh anggota PBB. Terkait
dengan mekanisme berbasis perjanjian internasional terdapat 2 (dua) mandat
Dewan HAM yang bersinggungan dengan badan-badan perjanjian HAM yakni Peninjauan
Berkala Universal (Universal Periodic
Review/UPR) dan prosedur khusus (Special
procedures).
Prinsipnya,
Kejahatan luar biasa (extra ordinary
crime) di dalamnya (genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan) adalah
kejahatan HAM atau pelanggaran HAM berat yang dinilai bersifat universal
karenanya pidana domestik mengalami perluasan yurisdiksi internasional sehingga
menjadi hukum pidana internasional (International
Criminal Law) yang merupakan bagian dari hukum internasional.[22] Dan dalam perkembangannya,
hukum pidana internasional merupakan anak kandung dari hukum humaniter
internasional (internasional humanitarian
law) atau hukum perang. Hubungan antara hukum hak asasi manusia, hukum
pidana internasional (termasuk Rome Statute
of the International Criminal Court),[23] dan hukum humaniter sangat
kuat, sinergis dan interdependensi.[24]
Daftar
Pustaka
Abdul Aziz
Thaba, Islam dan Negara
dalam Politik
Orde Baru,
Gema
Insani
Press, Jakarta, 1996.
Cess de
Rover, To Serve and To Protect, Acuan
Universal Penegakan HAM, Rajawali Pres, Jakarta, 2001.
D,
Bourchier, dan VR, Hadiz, (ed)., Indonesian
Politics and Society: A Reader, RoutledgeCurzon, London, 2003.
Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia
(DUHAM) 1948
Emilianus
Afandi, Menggugat Negara: Rasionalitas Demokrasi, HAM dan Kebebasan, European
Union dan PBHI, 2005.
Ester
Indahyani Jusuf, dkk., Kerusuhan Mei
1998: Fakta, Data dan Analisa,. Kerjasama Solidaritas Nusa Bangsa, APHI,
dan TIFA, Jakarta, 2005.
G.
Dwipayana dan Ramadhan KH, Soeharto:
Ucapan, Pikiran, dan Tindakan Saya, Citra Kharisma Bunda, Jakarta,
1989.
Hendardi
dan Suryadi Radjab, Pelanggaran Hak Asasi
Manusia dan Penyiksan, PBHI Jabar, Bandung, 2000.
Hendardi, Penghilangan paksa, Mengungkap Kebusukan
Politik Orde Baru, PBHI dan Grasindo, Jakarta, 1998.
Ifdhal
Kasim, Hak Sipil Dan Politik, Esai-Esai
Pilihan , Buku I, Lembaga Studi Dan Advokasi Masyarakat (Elsam), Jakarta,
2001.
JH.,
McGlynn, Indonesia in the Soeharto Years:
Issues, Incidents and Images, (ed. 2), The Lontar Foundation, Jakarta,
2007.
Jimly
Asshiddiqie dan M. Ali Syafaat, Teori
Hans Kelsen Tentang Hukum, Konpress, Jakarta, 2012.
Knut D.
Asplund, Suparman Marzuki, Eko Riyadi (Ed), Hukum
Hak Asasi Manusia, Yogyakarta, PUSHAM UII, 2008.
Konvensi Wina 1969 tentang Perjanjian
Internasional
Laporan
Kontras, “Menolak Impunitas, serangkaian prinsip perlindungan dan pemajuan Hak
Asasi Manusia: Prinsip-prinsip hak korban”, dari judul asli, The Administration Of Justice And The Human
Rights Of Detainees dan Promotion and Protection of Human Rights, Kontras (Komisi untuk Orang Hilang dan Korban
Tindak Kekerasan), Jakarta, 2005.
Laporan
Patrick Quinn, “Kebebasan Berserikat dan Perundingan Bersama: Sebuah Studi
Tentang Pengalaman Indonesia 1998–2003”, ILO, Jakarta, Mei 2003. lihat laman,
http://www.ilo.org/wcmsp5/groups/public/---asia/---ro-bangkok/---ilojakarta/documents/publication/wcms_141897.pdf
Laporan
Pelanggaran Hak-hak tersangka/terdakwa oleh PBHI (2013) atau kunjungi laman,
http://www.pbhi.or.id/pers-release
Laporan
Penelitian Lisa Misol, “Harga Selangit Hak Asasi Manusia sebagai Ongkos
Kegiatan Ekonomi Pihak Militer Indonesia”, Program Bisnis dan Hak Asasi
Manusia, Human Rights Watch, Juni 2006.
Laporan Tahunan Tahunan SETARA Institute,
dalam Ismail Hasani dan Bonar Tigor Naipospos (ed)., Politik Diskriminasi Rezim Susilo Bambang Yudhoyono: Kondisi Kebebasan
Beragama/berkeyakinan di Indonesia 2011, Pustaka Masyarakat Setara,
Jakarta, 2012.
[1] Jack Donnely, dalam Pusat Studi
Hak Asasi Manusia Universitas Islam Indonesia (PUSHAM UII),2008,
Yogyakarta, Hal. 11.
[2] Reinhart, dalam
Harun Pujiarto, Hak Asasi Manusia;Kajian
Filosofis dan Implementasinya dalam Hukum Pidana Indonesia, 1999, Cetakan
Pertama, Universitas Atma Jaya Press, Yogyakarta, Hal, 29.
[4] Ahmad Kosasih, Op.cit. Hal. 20
[5] Baharuddin
Lopa, dalam Mahrus Ali dan Syarif Nur Hidayat, 2011, Penyelesaian Pelanggaran
Ham Berat, Gramata Publishing, Jakarta, Hal. 3 - 4.
[6] Karel Vasak,1977,
“A 30 Year Struggle: The Sustained
Effortto Give Force of to the Universal Declaration of Human Rights”,
Unesco Courier, November, Hal.29-32.
[7] Philip Alston,
1982, “A Third Generation of Solidarity
Rights: Progressive Development or Obfuscation of International Human Rights
Law”,Netherlands International Law Review, Vol. 29. No.3, Hal. 307-322.
[8] Scott Davidson dalam Melkias
Hetharia, 2011, Hak Asasi Manusia Suatu
Pengembang Konsep yang Ideal, Logoz Publishing, Bandung, Hal. 68.
[9]
Dalam pengertian Pompe, Tindak Pidana adalah: “suatu pelanggaran norma
(gangguan terhadap tertib hukum) yang dengan sengaja maupun tidak dengan
sengaja telah dilakukan oleh seorang pelaku, dimana penjatuhan hukuman terhadap
pelaku tersebut adalah perlu demi terpeliharanya tertib hukum dan terjaminnya
kepentingan umum”. Lihat dalam, P.A.F. Lamintang, Dasar-Dasar Hukum Pidana di Indonesia, PT Citra Aditya Bakti,
Jakarta, 1997. hlm. 182.
[10]
Dalam hukum Internasional, negara tidak lagi sebagai entitas tunggal dalam
interaksi internasional. Dalam praktiknya Individu kemudian diakui sebagai
subyek hukum baru setelah perang dunia II untuk meminta pertanggung jawaban
atas pelaku kejahatan HAM berat (kasus Nuremberg dan Tokyo ), yang kemudian
dikenal dengan individual criminal
responsibility (Pasal 25 Statuta Roma) dan
command responsibility (Pasal 27 Statuta Roma). Hans Kelsen (1881–1973)
menyatakan bahwa individu-individu merupakan subyek hukum internasional karena
konsep Negara hanya merupakan istilah teknis dari ketentuan hukum yang berlaku
terhadap sekolompok orang dalam suatu wilayah territorial tertentu. kelompok
ini terdiri dari individu-individu yang bertindak secara kolektif yang diikat
dengan hukum. Hukum kemudian dipersamakan dengan Negara (lihat J.G. Starke, Pengantar Hukum Internasional, Sinar
Grafika, Jakarta, hlm. 78 dan lihat pula, Jimly Asshiddiqie dan M. Ali Syafaat,
Teori Hans Kelsen Tentang Hukum,
Konpress, Jakarta, 2012. hlm. 58.)
Tanggung jawab pidana individu (individual
criminal responsibility) melalui komite khusus yang merupakan mandat hasil
konfrensi perdamain Paris (Preliminary
Peace Conference of Paris) setelah perang dunia I memberi laporan tanggal
29 Maret 1919 dan menetapkan bahwa setiap orang dari Negara musuh yang bersalah
melanggar hukum dan kebiasaan perang atau hukum humaniter tanpa memandang
kedudukannya, tanpa membedakan tingkatan bahkan termasuk kepala Negara dapat
dituntut secara pidana. Ketentuan ini kemudian disetujui beberapa Negara dalam
Traktat perdamaian Paris (Paris Peace
Treaty) pada tahun 1919.
[11]
Sanksi pidana tidak hanya dijatuhkan pada seseorang yang telah melakukan tindak
kejahatan, termasuk juga pada pelaku kejahatan yang belum atau tidak selesai
dilakukan, atau tidak tercapai hasilnya. Ketentuan ini dapat dilhat pada Pasal
35 (1) KUHP. Lihat, R. Soesilo, Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi
Pasal, Politeia, Bogor, 1991. hlm. 68-69.
[12]
Lihat Pasal 5 (1), 6, 7 dan 8 Statuta Roma, bandingkan dengan Pasal 7 UU No. 26
tahun 2000 yang meratifikasi hanya 2 jenis kejahatan, yaitu: (a). kejahatan
genosida; dan (b). kejahatan terhadap kemanusiaan.
[13]
Asas legalitas dan asas non-retroaktif, lihat Pasal 1 ayat 1 KUHP: “Tiada suatu perbuatan dapat dipidana
kecuali atas kekuatan aturan pidana dalam perundang-undangan yang telah ada,
sebelum perbuatan dilakukan”.
[14]
Secara garis besar, ada dua bentuk hukuman dalam ketentuan pidana: yaitu Pidana
Pokok dan Pidana Tambahan. Masing-masing tindak pidana dimaksud terdiri dari:
1). Pidana Pokok, yaitu a). Pidana Mati; b).
Pidana Penjara; c). Pidana Kurungan dan; d) Denda. Sedang 2).
Pidana tambahan, terdiri dari: a). Pencabutan Hak-hak tertentu; b). Perampasan
barang-barang tertentu; c}. diputuskan melalui putusan pengadilan. Sementara
jenis tindak pidananya sendiri yakni: a). Pembunuhan; b). Penganiayaan; c).
Pencurian; d). Pemerasan dan Pengancaman; e). Penggelapan; f). Penghancuran
atau Perusakan Barang; g). Kejahatan Jabatan; h). Penadahan; i). Perbuatan
Curang; j). Pemalsuan; dan k). Kejahatan atas kesusilaan. Untuk jelasnya baca
Kitab UndangUndang Hukum Pidana (KUHP) [UU No. 1 Tahun 1946] yang mulai
diberlakukan sejak 29 September 1958 untuk seluruh wilayah Indonesia melalui UU
No. 73 Tahun 1958 (LN No. 127/1985).
[15]
Lihat Pasal 2, 3 KUHP dan Pasal 3 UU No. 4 Tahun 1976.
[16]
Untuk mengetahui lebih dalam masa transisi hukum Indonesia dari hukum kolonial
ke hukum nasional, baca buku, Soetandyo Wignjosoebroto, Dari Hukum Kolonial ke Hukum Nasional: Dinamika Sosial-Politik dalam
Perkembangan Hukum di Indonesia, RajaGrafindo, Jakarta., 1995.
[17]
Saat ini DPR RI sedang membahas RUU KUHP (766 Pasal) dan RUU KUHAP (286 Pasal)
untuk mengganti perundang-undangan kolonial menjadi hukum pidana yang sesuai
dengan karakter dan budaya bangsa Indonesia. Lihat Naskah Akademis KUHP versi
BPHN 2009. Tim perumus terdiri dari tiga kelompok; Buku I diketuai oleh Barda
Nawawi Arief, Buku II diketuai oleh Muladi dan Tim Tiga diketuai oleh
Harkristuti Harkrisnowo, Draft KUHP ini selesai sejak September 2004.
[18]
lihat laman,
http://www.ohchr.org/EN/ProfessionalInterest/Pages/UniversalHumanRightsInstruments.aspx
Lihat pula dalam, Romli Atmasasmita, Pengantar Hukum Pidana Internasional Op.cit.
hlm. 49-50.
[19] Ibid
[20]
Knut D. Asplund, Suparman Marzuki, Eko Riyadi (Ed), Hukum Hak Asasi Manusia, Yogyakarta, PUSHAM UII, 2008. hlm. hlm.
333-341. 69 Lihat lebih lanjut laman, http://www.ohchr.org/EN/ProfessionalInterest/Pages/CoreInstruments.aspx
[21]
Lihat lebih lanjut laman,
[22]
Romli Atmasasmita, Pengantar Hukum Pidana
Internasional, Refika Aditama, Bandung, 2000. Lihat pula, Knut D. Asplund,
Suparman Marzuki, Eko Riyadi (Ed), Op.
cit, hlm. 321-331.
[23]
Dalam studi ini, Istilah Rome Statute of the International Criminal Court akan
digunakan secara bergantian dengan “Statute Roma”, “ICC”, “Mahkamah Pidana
Internasional” atau “Pengadilan Kriminal Internasional” dengan makna dan
pengertian yang sama.
[24]
Romli Atmasasmita, “Hukum Pidana Internasional dan Hukum Hak Asasi Manusia”. Makalah bahan
pelatihan hukum ham, diselenggarakan
oleh PUSHAM UII Yogyakarta tanggal 23 september 2005.
Komentar
Posting Komentar