Langsung ke konten utama

PERBEDAAN KONSEP PELANGGARAN HAM DAN KEJAHATAN BIASA DALAM PERSPEKTIF HUKUM DAN HAM INTERNASIONAL

 

PENDAHULUAN

Hak Asasi Manusia (HAM) adalah hak-hak yang dimiliki manusia semata-mata karena ia manusia. Umat manusia memilikinya bukan karena diberikan kepadanya oleh masyarakat atau berdasarkan hukum positif, melainkan semata-mata berdasarkan martabatnya sebagai manusia.[1].Oleh karenanya meskipun setiap orang terlahir dengan warna kulit, jenis kelamin, bahasa, budaya dan kewarganegaraan berbeda tetap memiliki hak-hak yang sifatnya universal.Selain sifatnya yang universal, hak-hak itu tidak dapat dicabut(inalienable), karena hak-hak tersebut melekat kepada dirinya sebagai manusia.Akan tetapi persoalan hak asasi manusia baru mendapat perhatian ketika pengimplementasikannya dalam kehidupan bersama manusia.

Pemikiran tentang keselarasan hidup dalam masyarakat dikemukakan oleh Aristoteles pada abad ke- 4 SM, bahwa untuk mencapai tujuan hidup manusia membutuhkan manusia lain, sehingga keberadaan masyarakat mutlak agar individu Manusia dapat memiliki arti dan berkembang.[2]Pemikiran ini mendapat tempat dalam masyarakat pada waktu itu dan menjadi dasar munculnya institusi negara.Kemudian pada abad ke- 12 Thomas Aquinas mempertegas, bahwa manusia adalah mahluk sosial yang membutuhkan masyarakat agar mengembangkankan kepribadian dan rasionya. Sebagai konsekuensi logis itu, maka perlu kesetabilan dalam masyarakat, sehingga diperlukan kekuasaan raja sebagai pengaturnya.

Pada abad ke- 14 Thomas Hobbes mencetuskan teorinya yang terkenal dengan teori perjanjian, bahwa manusia dalam hidup perlu melakukan perjanjian dengan sesamanya, dan selanjutnya menyerahkan hak-hak tersebut kepada raja untuk kepentingan manusia itu sendiri.Raja dalam hal ini tidak menjadi salah satu pihak dari perjanjian tersebut, tetapi sebagai pihak yang bebas yang mendapat kewenangan luas dengan adanya sebagian hak yang diserahkan masyarakat kepadanya.Hal ini menjadi dasar munculnya Negara atau kerajaan yang absolut, karena kekuasaan raja cenderung sewenang-wenang dan kepentingan individu dan mayarakat tidak terlindungi.

Akhir abad ke-14 hingga awal abadke-17, muncul ide baru dari John Locke bahwa manusia memiliki hak yang tidak dapat dihilangkan, yaitu: life, liberty, dan prosperity.Negara harus melindungi hak-hak tersebut dari tindakan perampasan dan perkosaan.Pemikiran ini menjadi ide dasar dari munculnya gerakan pembelaan hak asasi manusia di dunia barat.Dalam perkenbangannya muncul J.J. Rousseau dengan teori kontrak sosial, bahwa kekuasaan Negara itu karena berdasarkan persetujuan atau kontrak anatara seluruh anggota masyarakat untuk membentuk suatu pemerintahan.Negara tidak bisa mencabut hak-hak dasar individu yang dimiliki individu dan masyarakat, bahkan Negara harus melindungi hak-hak tersebut dari tindakan perampasan dan perkosaan[3]

Pemikiran John Locke dan J.J. Rosseau menjadi dasar berkembangnya pemikiran-pemikiran selanjutnya tentang hak asasi manusia, dan berpengaruh besar pada terjadinya revolusi di Perancis dan Amerika Serikat

Hak asasi manusia lahir di kerajaan Inggris dalam bentuk peraturan tertulis dikemukakan pertama kali dalam Magna Charta 1215, yang menyebutkan bahwa raja dapat dibatasi kekuasaannya dan diminta pertanggungjawaban hukum, sehingga muncul doktrin bahwa tidak ada pihak yang kebal hukum, termasuk raja.Semangat Magna Charta ini menjadi inspirasi munculnya undang-undang dalam kerajaan Inggris pada tahun 1689 yangdikenal dengan Bill of Rights.Munculnya undang-undang ini menjadi awal munculnyanya agium ”manusia sama di muka hukum” (equality before the law). Adagium ini menjadi dasar berkembangnya negara hukum dan demokrasi yang menjamin asas persamaan dan kebebasan sebagai warga negara[4]

Tahun 1776 di Amerika Serikat terjadi deklarasi kemerdekaan (declaration of independence)yang menyatakan dengan tegas bahwa manusia adalah merdeka sejak dalam perut ibunya, sehingga tidak masuk akal jika setelah lahir ia harus terbelenggu. Semangat kemerdekaan ini terinspirasi dari paham Rosseau dan Montequeautentang teori pemisahan kekuasaan (Trias Politica).Teori pemisahan kekuasaan ini menciptakan satu susunan negara yang adil dan seimbang. Pada tahun 1789 di Perancis lahir sebuah deklarasi yang dikenal dengan the French Declarationyang didalamnya dikemukakan hak-hak yang lebih rinci yang menjadi dasar dari rule of the law.

Di samping itu diatur pula mengenai tidak bolehnya penangkapan dan penahanan secara semena-mena, mirip denganpresumption of innsence, hak kebebasan berpendapat, kebebasan beragama, berpendapat dan perlindungan terhadap hak milik. Dengan adanya hak asasi manusia yang terinci tersebut, dapat dikatakan bahwa Deklarasi Perancis sudah mencakup hak-hak yang menjamin timbulnya negara demokrasi maupun negara hukum[5]

 Dalam abad ke -20, Presiden Amerika Serikat Franklin D. Rosevelt, merumuskan dan mengeluarkan The Four Freedom, yaitu freedom of speech, freedom of religion, freedom of frear, freedom of want. Rumusan hak asasi manusia ini merupakan hasil pemikiran bahwa untuk dapat hidup dengan nyaman, manusia tidak hanya dibekali dengan hak politik saja, tetapi kebutuhan sehari-hari harus terpenuhi. The Four Freedom ini menjadi inspirasi adanya Universal Declration of Human Right (UDHR) atau Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM) yang dikeluarkan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada tanggal 10 Desember 1948.UDHR  (DUHAM) tidak saja memuat HAM tetapi juga mencerminkan pengalaman penindasan oleh rezim Fazis dan Nazi dalam Perang Dunia II yang menimbulkan tragedi kemanusiaan.Akhirnya bangsa-bangsa yang dijajah menggunakan HAM terutama “hak menentukan nasib sendiri” (rights to self determination)untuk merdeka.

Pada tahun 1966 dua persetujuan internasional tentang hak-hak ekonomi, sosial dan kultural dan hak-hak sipil dan politik dipublikasikan.Selanjutnya tahun 1976 kedua persetujuan intermasional itu diberlakukan dan dengan demikian UDHR (DUHAM) yang didambakan berlaku di seluruh dunia.

Karel Vasak seorang ahli hukum Perancis, untuk memahami dengan lebih baik perkembangan substansi hak-hak yang terkandung dalam  konsep hak asasi manusia, digunakan istilah “generasi” untuk menunjuk pada substansi dan ruang lingkup hak-hak yang diprioritaskan.Kategori generasi didasarkan pada slogan Revolusi Perancis, yaitu: “kebebasan, persamaan, dan persaudaraan”.[6] Generasi-generasi hak-hak yang dimaksud sebagai berikut:

Hak-hak generasi ketiga diwakili dengan adaya tuntutan dari negara- negara berkembang atau Dunia Ketiga atas tatanan internasional yang adil. Melalui tuntutan atas hak solidaritas atas terciptanya suatu tatanan ekonomi dan hukum internasional yang kondusif bagi terjaminnya[7] (i) hak atas pembangunan; (ii) hak atas perdamaian; (iii) hak atas sumber alam sendiri; (iv) hak atas lingkungan hidup yang baik; dan (v) hak atas warisan budaya sendiri.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

PEMBAHASAN

 

A.    Teori Hak Asasi Manusia

 

Manusia memiliki hak yang dibatasi untuk kepentingan masyarakat, yang tidak lain adalah untuk kepentingan manusia itu sendiri. Secara umum manusia menghendaki ditetapkannya kaidah-kaidah umum dalam sistem konstitusi dan perundang-undangan serta hal-hal yanh harus diikuti dalam pelaksanaanya.Hal tersebut tidak dapat diketahui betasannya dengan konkret dan definitif karena berkisar pada prinsip kebebasab dan prinsip persamaan.Oleh karenanya senantiasa terjadi perbedaan pendapat dan pertentangan paham serta teori yang berbeda-beda.

Hal ini disebabkan pengertian dan batasan-batasan yang dipengaruhi oleh aliran pemikiran, kepercayaan, adat istiadat, kondisi dan situasi.Hal ini menyebabkan jika masalam hak asasi manusia sejak dahulu telah menjadi topic pembahasan oleh para filsuf, pemimpin agama, kaum politisi, sosiolog, ahli hokum ahli ekonomi, dan sastrawan. Dan tidak mengherankan pula bahwa hal tersebut menjadi sebab bagi peristiwa-peristiwa sejarah yang berakhir dengan terjadinya revolusi politik, sosial, kebangkitan pemikiran, perubahan hokum dan perundangan serta lahirnya deklarasi dan perjanjian regional maupun internasional.

Scot Davidson[8], mengatakan bahwa terdapat dua kategori  yang sangat luas dalam penelitian tentang hak asasi manusia, yang pertama Yurispruden analitis, yang mempertanyakan hakikat dan asal usul hak-hak asasi dan bagaimana mungkin kita mengetahui bahwa kita mempunyai hak-hak itu.

Kategori yang kedua Yurispruden normatif, yang mempertanyakan kekhasan hak-hak yang diakui dan dimiliki oleh individu, dan bagaimana kedudukan hak- hak seperti itu dalam kaitannya satu sama lain.

Selanjutnya akan dipaparkan teori hak asasi manusia yang digunakan untuk menjelaskan masalah hak asasi manusia. Teori hak asasi manusia tersebut dapat dilihat dari dua sisi, yaitu paham Universalitas dan Relativisme budaya. Teori universalisme menyatakan bahwa akan semakin banyak budaya “primitif” yang pada akhirnya berkembang untuk kemudian memiliki sistem hukum dan hak yang sama dengan budaya Barat. Teori Reltivisme Budaya di sisi lain menyatakan sebaliknya, yaitu bahwa suatu budaya tradisional tidak dapat di ubah. Adapun teori-teori ini dapat diuraikan sebagai berikut:

1.      Teori Universalisme (Universalism Theory)

Doktrin kontremporer hak asasi manusia merupakan salah satu dari sejumlah perspektif moral universalis.Asal-usul dan perkembangan hak asasi manusia tidak dapat terpisahkan dari pperkembangan universalisme nilai moral.Sejarah perkembangan filosofis hak asasi manusia dapat dijelaskan dalam sejumlah doktrin moral khusus yang meskipun tidak mengekspresikan hak asasi manusia secara menyeluruh, tetap menjadi dasar pra syarat filosofis bagi doktrin kontemporer. Hal tersebut mencakup suatu pandangan moral dan keadilan yang berasal dari sejumlah domain pra social, yangmenyajikan dasar untuk membedakan antara prinsip dan kepercayaan yany “benar” dan yang “konvensional”. Pra syarat yang penting bagi pembelaan hak asasi manusia diantaranya adalah konsep individu sebagai mahluk pemikul hak “alamiah” tertentu dan beberapa pandangan umum mengenai nilai moral yang melekat dan adil bagi setiap individu secara rasional.

           Hak asasi manusia berangkat dari konsep universal moral dan kepercayaan akanberadaan kode-kode moral universal yang melekat pada seluruh umat manusia. Universal moral meletakkan keberadaan kebenaran  moral yang bersifat lintas budaya dan lintas sejarah yang dapat diidentifikasiki secara moral.Asal muasal universalisme moral di Eropa terkait dengan tulisan Aristoteles dalam karyanya Nicomachean Ethics, yang menguraikan suatu argumentasi yang mendukung keberadaan ketertiban moral yang bersifat alamiah.ketertiban alam ini menjadi dasar bagi seluruh sistem keadilan rasional.Kebutuhan atas suatu ketertiban alam kemudian diturunkan dalam serangkaian kriteria universal yang komprehensifuntuk legitimasi dan sistem hukum yang sebenarnya “buatan” manusia.Oleh karenanya kriteria unutk menetukan suatu sistem keadilanyang benar-benar rasional harus menjadi dasar dari segala konvensi-konvensi social dalam searah manusia. Hukum alam ini sudah ada sejak sebelum manusia mengenal konfigurasi social dan politik. Sarana untuk menetukan bentuk  dari keadilan yang alamiah ada pada “ reason”yang terbebas dari pertimbangan dampak dan praduga.

           Dasar dari doktrin hukum alam adalah kepercayaan akan eksistensi suatu kode moral alami yang didasarkan pada identifikasi terhadap kepentingan kemanusiaan tertentu yang bersifat fundamental. Untuk menikmati atas kepentingan mendasar tersebut dijamin oleh hak-hak alamiah yang dimiliki oleh manusia. Hukum alam ini seharusnya menjadi dasar dari system social dan politik yang akan dibentuk kemudian. Oleh sebab itu hak alamiah diperlukan sebagai sesuatu yang serupa dengan hak yang dimiliki individu terlepas dari nilai-nilai masyarakat atau negara.Dengan demikian hak alamiah adalah valid tanpa perlu pengakuan dari pejabat politis atau dewan manapun.Pendukung pendapat ini adalah filsuf abad ke 17 yakni John Locke yang menyampaikan argumennya dalam karyanya “Two Treaties of Government”pada tahun 1668. Intisari dari pandangan Locke adalah pengakuan bahwa seorang individu memeliki hak-hak alamiah terpisah dari pengakuan politis yang diberikan  negara pada mereka. Hak-hak alamiah ini dimiliki secara terpisah dan dimiliki dahulu dari pembentukan komunitas politik manapun. Locke melanjutkan argumentasinya dengan menyatakan bahwa tujuan utama pelantikan pejabat politis di suatu negara berdaulat seharusnya adalah untuk melindungi hak-hak alamiah mendasar individu.Bagi Locke perlindungan dan dukungan bagi hak alamiah individu merupakan justifikasi tunggal dalam pembentukan pemerintahan.hak alamiah untuk hidup, kebebasan dan hak milik menegaskan batasan bagi kewenangan dan yurisdiksi negara.Negara hadir untuk melayani kepentingan dan hak-hak alamiah masyarakatnya.

Dalam universalisme, individu adalah sebuah unit sosial yang memiliki hak-hak yang tidak dapat dipungkiri, dan diarahkan pada pemenuhan kepentingan pribadi.

2.      Teori Relativisme Budaya (Cultural Relativism Theory)

Gagasan tentang relativisme budaya mendalilkan bahwa bahwa kebudayaan merupakan satu-satunya sumber keabsyahan hak atau kaidah moral.Karena itu hak asasi manusia dianggap perlu dipahami dari konteks kebudayaan masing-masing negara. Semua kebudayaan mempunyai hak hidup serta martabat yang sama yang harus dihormati. Berdasarkan dalil ini para pembela gagasan relativisme budaya menolak universalisasi hak asasi manusia apalagi didominasi oleh satu budaya tertentu.

Gagasan bahwa hak asasi manusia terikat dengan konteks budaya umumnya mengemuka sekitar tahun 1990-an menjelang Konferensi Dunia Hak Asasi Manusia di Wina, yang diusung oleh negara-negara berkembang dan negara-negara Islam. Para pemimpin negara-negara di kawasan Lembah Pasifik Barat mengklaim bahwa apa yang mereka sebut sebagai nilai-nilai Asia (Asian Values) lebih relevan untuk kemajuan negara kawasan pasifik Barat dari pada nilai-nilai Barat. Tokoh terkenal yang mengadvokasi adalah Lee Kwan Yew menteri senior dari negara Singapura dan Mahathir Muhammad mantan Perdana Menteri dari negara Malaysia.

Relativisme Budaya (Cultural Relativism) merupakan suatu ide ragam budaya yang ada menyebabkan jarang sekali adanya kesatuan dalam sudut pandang mereka dalam berbagai hal, selalu ada kondisi dimana “mereka yang memegang kekuasaan selalu tidak setuju”. Ketika suatu kelompok menolak hak kelompok lain, sering kali itu terjadi demi kepentingan kelompok itu sendiri. Oleh karena itu hak asasi manusia tidak dapat secara utuh universal kecuali apabila hak asasi manusia tunduk pada ketetapan budaya yang  sering  kali dibuat tidak dengan secara bulat dan dengan demikian tidak dapat mewakili setiap individu.

 

3.      Memadukan teori Universal dengan Pluralisme

Secara umum dalam praktek hak asasi manusia dikondisikan oleh konteks sejarah, tradisi, budaya, agama dan politik ekonomi yang beragam.Akan tetapi dalam keragaman tersebut terdapat nilai-nilai universal yang berpengaruh, yakni martabat manusia, kebebasan, persamaan dan keadilan merupakan milik kemanusiaan secara utuh.Terlepas dari adanya berbagai perdebatan universalitas dan keterkaitan (indivisibility) hak asasi manusia merupakan bagian dari warisan kemanusiaan yang dinikmati umat manusia di masa sekarang.

Oleh karena tidaklah mudah untuk memaksakan konsep universalitas hak asasi manusia kepada beragam tradisi, budaya dan agama, maka adalah penting untuk menggali kesamaan konsep yang prinsipil, yaitu martabat umat manusia.Akan tetapi dengan segala keberagaman tersebut tetap terdapat nilai- nilai universal yang berpengaruh.Martabat manusia, kebebasan, persamaan dan keadilan merupakan sebagian nilai yang mengesampingkan perbedaan dan merupakan milik kemanusiaan secara utuh.

B. Pengertian Pelanggaran HAM

 

Menurut Pasal 1 Angka 6 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, pelanggaran hak asasi manusia adalah setiap perbuatan seseorang atau kelompok orang termasuk aparat negara, baik disengaja maupun tidak disengaja atau kelalaian yang secara hukum mengurangi, menghalangi, membatasi dan atau mencabut hak asasi manusia seseorang atau kelompok orang yang dijamin oleh undang-undang dan tidak mendapatkan atau dikhawatirkan tidak akan memperoleh penyelesaian hukum yang adil dan benar berdasarkan mekanisme hukum yang berlaku.

Hal demikian dikuatkan kembali pada Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM, bahwa pelanggaran HAM adalah setiap perbuatan seseorang atau kelompok orng termasuk aparat negara baik disengaja atau kelalaian yang secara hukum mengurangi, menghalangi, membatasi, dan atau mencabut Hak Asasi Manusia seseorang atau kelompok orang yang dijamin oleh Undang-Undang ini, dan tidak didapatkan, atau dikhawatirkan tidak akan memperoleh penyelesaian hukum yang adil dan benar, berdasarkan mekanisme hukum yang berlaku.

Dengan demikian pelanggaran HAM merupakan tindakan pelanggaran kemanusiaan baik dilakukan oleh individu maupun oleh institusi negara atau institusi lainnya terhadap hak asasi individu lain tanpa ada dasar atau alasan yuridis dan alasan rasional yang menjadi pijakanya. Definisi di atas pada akhirnya mengaburkan antara pelanggaran HAM dengan pelanggaran hukum.

Bagaimana halnya dengan individu atau kelompok masyarakat yang melakukan perbuatan melanggar hak asas manusia yang telah dijamin dalam peraturan perundang undangan (pelaku non state)? Apakah pelaku non state tersebut dapat dialifikasikan sebagai pelanggar hak asasi manusia atau pelanggar hukum? Pada prinsipnya hak asasi manusia adalah hak yang melekat pada hakekat keberadaan manusia, oleh karenanya setiaporang berkewajiban untuk menghargai dan menghormati hak asasi manusia.

   Dengan kata lain, tidak ada seorangpun boleh mengurangi, membatasi, merampas atau mencabut hak asasi manusia yang melekat pada hakekat keberadaan manusia. Berdasarkan pada pengertian tentang hak asas manusia, maka secara harfiah, seseorang atau kelompok orang termasuk aparat negara yang melakukan perbuatan mengurangi, membatasi, merampas atau mencabut hak asasi manusia dapat disebut melanggara hak asasi manusia.

Pada dasarnya, tidak ada definisi yang bisa diterima secara umum. Pelanggaran HAM adalah pelanggaran terhadap kewajiban negara yang lahir dari adanya instrumen-instrumen HAM, baik instrumen nasional maupun internasional. Pelanggaran tersebut dapat berupa kelalaian negara atas norma yang belum masuk dalam pidana nasional namun menjadi bagian dari hak yang diakui secara internasional. Oleh karenanya, titik tekan palanggaran HAM adalah tanggung jawab negara (state responsibility) sedangkan pelanggaran pidana berkaitan dengan pelaku non negara.

 

A.    Pelaku Pelanggaran HAM

Berdasarkan hukum HAM Nasional, secara tegas telah dinyatakan bahwa pelanggaran HAM dapat dilakukan oleh perbuatan seseorang atau kelompok orang termasuk aparat negara baik disengaja, maupun tidak disengaja atau kelalaian yang secara melawan hukum, mengurangi, menghalangi, membatasi dan mencabut HAM seseorang atau kelompok orang yang dijamin oleh undang-undang. Dengan demikian, pelaku pelanggaran dapat dilakukan individu, kelompok orang, dan negara.

Definisi pelanggaran HAM sebagaimana diatur dalam Pasal 1 angka 6 UU Nomor 39 tahun 1999 tentang HAM dapat dijelaskan bahwa ada dua konstruksi:

1.    Setiap perbuatan seseorang atau kelompok orang termasuk aparat negara baik disengaja maupun tidak disengaja atau kelalaian yang secara melawan hukum, mengurangi, menghalangi, membatasi, dan mencabut HAM seseorang atau kelompok orang yang dijamin oleh undang-undang. Konstruksi ini mengategorikan tentang pelaku pelanggaran HAM atau perbuatan yang dapat dianggap sebagai pelanggaran HAM.

2.    Tidak mendapat atau dikhawatirkan tidak akan memperoleh penyelesaian hukum yang adil dan benar berdasarkan mekanisme hukum yang berlaku. Kategori ini mengatur adanya mekanisme penyelesaian atas terjadinya pelanggaran HAM.

Pelanggaran HAM pada dasarnya adalah salah satu bentuk pelanggaran hukum. Dalam terminologi hukum, maka ada yang disebut dengan pelanggaran hukum pidana, hukum perdata, hukum tata usaha negara (TUN), hukum administrasi negara, termasuk juga termasuk pelanggaran hukum hak asasi manusia.

Adapun pelaku pelanggaran HAM dapat dikelompokan menjadi dua, yaitu:

a.    Pelaku Negara (State actor)

Sebagaimana diatur dalam hukum Internasional HAM, state actor yaitu negara atau seluruh penyelenggara negara baik organ negara, lembaga negara, lembaga pemerintahan, termasuk lembaga pemerintahan non-Kementerian.

Penggolongan lembaga negara di Indonesia dapat dibedakan menjadi tiga kelompok, yaitu:

1)   Lembaga Negara yang keberadaannya disebut dalam UUD NKRI Tahun 1945 dan kewenangannya ditentukan juga dalam Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

2)   Lembaga Negara yang keberadaannya disebut dalam UUD NKRI Tahun 1945, namun kewenangannya tidak ditentukan di dalamnya.

3)   Lembaga Negara yang keberadaannya tidak disebut dalam UUD NKRI Tahun 1945 dan kewenangannya tidak ditentukan di dalam UUD NKRI Tahun 1945, tetapi keberadaannya mempunyai apa yang disebut sebagai constitutional importance, sebagiaman Komisi Perlindungan Persaingan Usaha (KPPU), Komisi Pemilihan Umum (KPU), dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Negara dianggap sebagai pelaku pelanggaran HAM merupakan konsekuensi dari tanggung jawab yang diembannya yaitu untuk menghormati (to respect), melindungi (to protect) dan memenuhi (to fulfil) HAM sehingga ketika suatu negara baik sengaja maupun karena kelalaiannya melakukan tindakan yang melanggar ketiga kewajiban tersebut, maka negara telah dianggap melakukan pelanggaran HAM. Hal demikian terutama jika negara tidak berupaya melindungi atau meniadakan hak-hak rakyat yang bersifat non-derogable rights (hak yang tidak dapat dibatasi dan dikurangi) dan membiarkan aparat-aparat negara melakukan pelanggaran itu sendiri.

b.   Pelaku Non-Negara (Non state actor)

Pada awalnya isu utama dalam permasalahan hak asasi manusia hanya menyoroti perilaku negara sebagai pemangku kewajiban atau entitas legal dalam hukum HAM Internasional. Pasca-Perang Dingin, permasalahan HAM meluas pada perilaku aktor-aktor non negara (non state actor).

Salah satu elemen atau unsur penting yang harus diperhatikan dalam hal ini adalah adanya sekelompok masa yang terorganisir, perusahaan multinasional atau perusahaan transnasional. Perusahaan-perusahaan itu memiliki aset ekonomi dan kekuasaan yang mampu menekan dan mempengaruhi pemerintahan bahkan kebijakan negara. Dampak dari kegiatan mempengaruhi pemerintahan atau kebijakan negara inilah yang berdampak negatif terhadap hak asasi manusia.

Ada beberapa contoh permasalahan hak asasi manusia yang timbul sebagai akibat pengaruh pelaku  non-negara yang berakibat pada terjadinya pelanggaran HAM di suatu wilayah terutama bidang ekonomi, sosial, budaya, yaitu:

1)   Perburuhan

Ada beberapa hal yang berakibat pada pelanggaran HAM terkait dengan permasalahan perburuhan di Indonesia, misalnya aktor non state mempengaruhi pemerintah sehingga mengeluarkan kebijakan pemberian upah yang kecil dan pembayaran gaji yang tidak memperhatikan standar biaya hidup minimal di wilayah tertentu. Bisa juga tindakan kontrol yang ekstra ketat terhadap organisasi perburuhan dengan membayar aparat keamanan (polisi dan tentara) untuk menghadapi organisasi buruh yang ada. 

2)   Lingkungan

Permasalahan HAM oleh aktor non-negara yang berdampak pada hak lingkungan, antara lain:

-  Privatisasi sumber daya alam di sekitar wilayah operasi perusahaan yang berdampak negatif pada kesejahteraan masyarakat berupa sulitnya mendapatkan air bersih

-  Pembukaan lahan-lahan pertanian dan hutan untuk pengembangan perusahaan yang berdampak pada hilangnya lahan-lahan masyarakat adat dan kerusakan lingkungan.

 

3)   Kelompok Rentan

-  Anak, ketika perusahaan memperkerjkan anak dengan tujuan menekan biaya produksi karena pekerja anak bisa dibayar dengan sangat murah. Banyak terjadi kasus anak di bawah umur bekerja di perusahaan pertambangan.

-  Masyarakat adat, ketika perusahaan membuka lahan usaha dengan memanfaatkan lahan-lahan komunal milik masyarakat adat, sebagaimana kasus Mesuji dan kasus lahan sawit di Kalimantan.

-  Perempuan, ketika perempuan yang bekerja sebagai buruh tidak mendapatkan hak-hak cuti haid, menyusui serta jam kerjanya yang melampaui batas.

4)   Kehidupan yang layak bagi kemanusiaan.

Ada beberapa kasus perusahaan yang beroperasi di suatu wilayah tidak dibarengi dengan upaya meningkatkan kesejahteraan masyarakat sekitar dan membangun insfrastruktur seperti sarana jalan dan jembatan yang layakbagi masyarakat di sekitarnya, sebagai contoh : PT. Freeport telah beroperasi di bumi periwi ini selama lebih dari empat puluh tahun, namun yang sangat mengenaskan adalah kehidupan masyarakat sekitar perusahaan tersebut beroperasi ternyata jauh dari kemapanan, kecuali untuk beberapa gelintir orang yang dilibatkan dalam aktifitas perusahaan tersebut.

 

 

Kategori Pelanggaran HAM

Pelanggaran HAM dapat dikelompokkan menjadi 2 (dua) bentuk, yaitu:

(1)     Pelanggaran HAM ringan, yang biasanya cukup disebut sebagai pelanggaran HAM. 

(2)     Pelanggaran HAM berat, yaitu meliputi kejahatan genosida dan kejahatan kemanusiaan.

Kejahatan genosida adalah setiap perbuatan yang dilakukan dengan tujuan untuk memusnahkan atau menghancurkan seluruh atau sebagian dari kelompok bangsa, kelompok etnis, kelompok agama, dan ras. Kejahatan Genosida dilakukan dengan cara membunuh anggota kelompok, mengakibatkan penderitaan fisik atau mental yang berat terhadap anggota-anggota kelompok, menciptakan kondisi kehidupan kelompok yang akan mengakibatkan kemusnahan atau kehancuran secara fisik baik seluruh maupun sebagiannya, memaksakan tindakan-tindakan yang bertujuan mencegah kelahiran di dalam kelompok, dan memindahkan secara paksa anak-anak dari kelompok tertentu ke kelompok lain.

Kejahatan kemanusiaan seringkali diartikan sebagai suatu perbuatan yang dilakukan dengan serangan yang meluas dan sistematis. Adapun serangan yang dimaksud ditujukan secara langsung terhadap penduduk sipil berupa:

a.    Pembunuhan

b.    Pemusnahan,

c.    Perbudakan,

d.   Pengusiran atau pemindahan penduduk secara paksa,

e.    Perampasan kemerdekaan atau perampasan kebebasan fisik lain secara secara sewenang-wenang yang melanggar (asas-asas) ketentuan,

f.     Penyiksaan,

g.    Pemerkosaan, perbudakan seksual, pemaksaan kehamilan, pelacuran secara paksa, pemandulan atau sterelisasi secara paksa atau bentuk-bentuk kekerasan seksual lain yang setara,

h.    Penganiayaan terhadap suatu kelompok tertentu atau perkumpulan yang didasari persamaan paham politik, kebangsaan, ras, budaya, etnis, agama, jenis kelamin atau alasan lain yang telah diakui secara universal sebagai hal yang dilarang menurut hukum internasional,

i.      Penghilangan orang secara paksa,

j.      Kejahatan apartheid, penindasan dan dominasi suatu kelompok ras atau kelompok ras lain untuk mempertahankan dominasi dan kekuasaannya.

 

Konsep Dasar Pelanggaran HAM Berat

Situasi aman setelah berakhirnya Perang Dunia dapat dikatakan belum dirasakan oleh masyarakat internasional. Hampir setengah abad setelah Perang Dunia berakhir, masyarakat internasional kembali dikejutkan dengan praktek pembersihan etnis yang terjadi di Eropa bekas negara Yugoslavia. Tindakan pembersihan etnis itu sangat mengancam perdamaian dan keamanan internasional. Peristiwa tragis yang terjadi di negara Yugoslavia tersebut menewaskan ribuan orang termasuk lebih dari dua ratus personil PBB dan anggota pasukan perdamaian PBB, serta mengakibatkan pengungsian lebih dari 2,2 juta orang.

Setahun kemudian, konflik antar etnis di Rwanda pun kembali mengejutkan nurani dunia. Dalam waktu singkat menelan korban jiwa sekitar 800.000 orang dan mengakibatkan pengungsian sekitar 2 juta orang. Pasca berakhirnya Perang Dunia II memberikan dampak yang luar biasa bagi masyarakat internasional. Hukum Internasional Hak Asasi Manusia mengalami perkembangan yang pesat dan signifikan dengan sendirinya yang menjadi rujukan berbagai aktor seperti negara, organisasi internasional, masyarakat internasional, dan individu ketika menanggapi banyak peristiwa pelanggaran Hak Asasi Manusia.

Kejahatan berat hak asasi manusia atau sebutan lain pelanggaran HAM berat dalam hukum internasional berkaitan dengan beberapa ketentuan yang berkembang pasca Perang Dunia ke-2, yaitu 1915 melalui deklarasi pertama tiga negara yaitu Perancis, Inggris, Rusia. Dalam Pengadilan Nuremberg, kjahatan itu meliputi genocide, War Crime, Crime Against Humanity. Hal itu diatur dalam International Criminal Tribunal for the former Yugoslavia (ICTY) dan International Criminal Tribunal for Rwanda (ICTR) yang meliputi War crimes, Crimes against humanity, dan Genocide.

Istilah kejahatan HAM berat telah dikenal dan digunakan pada saat ini, namun sayangnya belum dirumuskan secara jelas baik di dalam resolusi, deklarasi, maupun perjanjian HAM. Kejahatan HAM berat dipahami sebagai suatu perbuatan pelanggaran HAM yang membawa dampak buruk yang luar biasa dahsyat pada jiwa, raga, dan peradaban manusia. Pelanggaran HAM berat sebagai suatu pelanggaran yang mengarah kepada pelanggaran-pelanggaran, sebagai alat bagi pencapaian dari kebijakan-kebijakan pemerintah, yang dilakukan dalam kualitas tertentu dalam suatu cara untuk menciptakan situasi hak untuk hidup, hak atas integritas pribadi atau hak atas kebebasan pribadi dari penduduk suatu negara secara terus menerus yang dilanggar atau diancam.

Berbagai bentuk kejahatan HAM berat tidak cukup diterangkan dalam satu definisi hukum. Kejahatan HAM dikategorikan sebagai berikut:

1.    Kejahatan terhadap perdamaian (Crimes against peace). Termasuk kejahatan terhadap perdamaian ialah merencanakan, mempersiapkan, memulai, atau menjalankan perang agresi, atau perang yang melanggar perjanjian-perjanjian internasional, persetujuan-persetujuan atau jaminan-jaminan, atau turut serta di dalam rencana bersama atau komplotan untuk mencapai salah satu daripada tujuan perbuatan-perbuatan tersebut di atas.

2.    Kejahatan Perang (War Crimes). Termasuk dalam kejahatan perang ialah pelanggaran terhadap hukum atau kebiasaan-kebiasaan perang, seperti pembunuhan (murder), perlakuan kejam terhadap penduduk sipil dengan mengasingkannya, memberlakukan kerja paksa, atau di wilayah pendudukan memperlakukan tawanan-tawanan perang dengan kejam, membunuh, atau merampas milik negara atau milik perseorangan, menghancurkan kota atau desa dengan semena-mena, sekaligus membinasakannya tanpa adanya keperluan militer.

3.    Kejahatan terhadap Kemanusiaan (Crimes against humanity). Termasuk kejahatan terhadap kemanusiaan ialah pembunuhan (murder) yang membinasakan, memperbudak, mengasingkan dan lain-lain kekejaman di luar perikemanusiaan terhadap penduduk sipil, yang dilakukan sebelum atau sesudah perang, perkosaan hak-hak dasar berdasarkan alasan-alasan politik, ras, atau agama. Pemimpin atau orang yang mengorganisir, menghasut dan membantu yang turut serta dalam membentuk atau melaksanakan rencana bersama untuk melakukan kejahatan tersebut.

International Criminal Court (ICC) yang dibentuk berdasarkan Statuta Roma 1998 mempunyai yurisdiksi atas kejahatan paling serius yang merupakan kejahatan HAM berat yaitu:

1.    Kejahatan genosida

2.    Kejahatan terhadap kemanusiaan

3.    Kejahatan perang

4.    Kejahatan agresi.

 

Instrumen Hukum Internasional tentang Pelanggaran HAM Berat

Suatu kejahatan bisa dapat terjadi kapan saja dan dimana saja. Kejahatan maupun pelanggaran yang dilakukan tersebut haruslah diberikan hukuman bagi yang melakukannya. Akan tetapi, masing-masing negara tentu sudah memiliki hukum nasional yang mengatur kejahatan maupun pelanggaran yang dilakukan di wilayah negaranya. Hal demikian dapat menyebabkan ketidaksamaan hukum antara rakyat dari negara satu dengan negara lainnya.

Adanya perbedaan dalam pengakuan dan perlindungan HAM maka perlu ditafsirkan dan diterapkan perundang-undangan yang berlaku secara internasional. Pengaturan itu untuk menyediakan keseragaman standar standar minimum oleh negara terhadap manusia di muka bumi.

Instrumen internasional merupakan alat berupa standar-standar pembatasan pelaksanaan dan mekanisme kontrol terhadap kesepakatan-kesepakatan antar negara tentang jaminan HAM. Oleh karenanya dibutuhkan pembatasan untuk melindungi HAM sehingga dibuat beberapa instrumen hukum internasional yang berlaku universal atas persetujuan berbagai negara untuk menjadi pedoman bagi suatu negara yang menyetujui itu dalam menghukum pelaku kejahatan tertentu.

Instrumen hukum internasional bentuknya berupa kovenan (perjanjian) dan protokol. Kovenan, yaitu perjanjian yang mengikat bagi negara-negara yang menandatanganinya. Istilah covenant (kovenan) digunakan bersarnaan dengan treaty (kesepakatan) dan convention (konvensi/perjanjian). Sedangkan protokol merupakan kesepakatan dari negara-negara penandatangannya yang memiliki fungsi untuk lebih lanjut mencapai tujuan-tujuan suatu kovenan.

Terkait dengan pelanggaran HAM berat yang terjadi di belahan dunia maka negara dapat menganut aturan yang terdapat dalam instrumen-instrumen hukum internasional sebagai pedoman dalam menyelesaikan pelanggaran tersebut. Instrumen hukum internasional yang berkaitan dengan pelanggaran HAM berat di antaranya:

a.    Deklarasi Universal tentang Hak-hak Asasi Manusia (1948)

Deklarasi Universal merupakan instrumen hidup yang memaksa supaya orang memperhatikan ancaman baru terhadap martabat manusia dan kelangsungan hidup kemanusiaan, seperti persenjataan berlebihan atau senjata penghancur massal, dan juga bahaya potensial akibat manipulasi genetik.

Isi Deklarasi Universal sendiri, adalah prinsip kebebasan, persamaan, dan persaudaraan yang berasal dari Revolusi Perancis. Selain ketiga prinsip di atas, Deklarasi Universal juga mengatur ketentuan-ketentuan lain yang berkaitan dalam pelanggaran HAM berat seperti larangan perbudakan, larangan penganiayaan, dan larangan diskriminasi.

Di dalam Pasal 4 DUHAM disebutkan bahwa tidak seorangpun dapat diperbudak atau diperhambakan dan segala bentuk perdagangan budak harus dilarang. Sedangkan untuk ketentuan larangan penganiayaan terdapat dalam Pasal 5 DUHAM yang menyebutkan bahwa tidak seorangpun dapat dianiaya atau diperlakukan secara kejam dengan tidak mengingat kemanusiaan ataupun cara perlakuan dan hukuman yang menghinakan. Negara berkewajiban mengekstradisi atau menuntut pelaku penganiayaan tanpa dibatasi oleh kewarganegaraan pelaku penganiayaan atau tempat pelanggaran yang dituduhkan. Meskipun DUHAM telah diterima tetapi karena sifatnya sebagai deklarasi, maka tidak memiliki kekuatan mengikat secara hukum, sehingga tujuan deklarasi sebagai pengakuan martabat manusia suli diwujudkan. Untuk itu supaya tujuan DUHAM, dapat menjadi kenyataan maka diperlukan alat atau instrumen HAM internasional lainnya.

 

b.    Charter of The United Nation (Piagam PBB)

Piagam PBB ditandatangani pada 26 Juni 1945, di San Francisco. Mulai berlaku pada 24 Oktober 1945. Statuta Mahkamah Internasional merupakan bagian integral Piagam tersebut.

Dalam mukadimah Piagam PBB disebutkan bahwa anggota PBB bertujuan untuk menyelamatkan generasi berikut dari bencana perang, yang dua kali telah membawa penderitaan sejak munculnya Perang Dunia ke-2. Adapun tujuan dari organisasi PBB ini ialah:

1.    Untuk menjaga perdamaian dan keamanan internasional. Untuk itu maka mengambil langkah-langkah kolektif yang efektif untuk pencegahan dan penghapusan ancaman terhadap perdamaian, dan untuk menekan tindakan agresi atau pelanggaran lain dari perdamaian, dan untuk membawa dengan cara damai, dan sesuai dengan prinsip-prinsip keadilan dan hukum internasional, penyesuaian atau penyelesaian sengketa internasional atau situasi yang mungkin menyebabkan pelanggaran perdamaian.

2.    Untuk mengembangkan hubungan persahabatan antar bangsa. Hal itu didasarkan pada penghormatan terhadap prinsip persamaan hak dan penentuan nasib sendiri rakyat, dan untuk mengambil tindakan yang tepat lainnya untuk memperkuat perdamaian universal.

3.    Untuk mencapai kerjasama internasional dalam memecahkan masalah internasional. Kerjasama itu dapat pada bidang ekonomi, sosial, budaya, atau kemanusiaan, dan dalam mempromosikan dan mendorong penghormatan terhadap HAM dan kebebasan dasar bagi semua tanpa membedakan ras, jenis kelamin, bahasa, atau agama.

4.    Untuk menjadi pusat harmonisasi tindakan negara dalam pencapaian tujuan tersebut umum.

 

c.    Konvensi Internasional tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Rasial

Semua manusia pada dasarnya sama di hadapan hukum dan berhak atas perlindungan hukum yang sama atas tindakan diskriminasi dan terhadap hasutan apapun untuk diskriminasi. Adanya suatu diskriminasi antara manusia baik atas dasar ras, warna kulit, atau asal etnis merupakan penghalang bagi hubungan persahabatan dan damai di antara bangsa-bangsa dan dapat mengganggu perdamaian dan keamanan antar negara.

Dengan demikian maka dibentuklah konvensi ini. Tujuan dari konvensi ini sendiri ialah untuk menghapus adanya diskriminasi rasial dalam segala bentuknya dan menjamin hak setiap orang tanpa membedakan ras, warna kulit, asal-usul kebangsaan atau etnis, persamaan di depan hukum dan khususnya menikmati hak-hak lainnya seperti hak katas perlakuan yang sama di hadapan pengadilan, hak untuk kebangsaan, hak pribadi dan perlindungan oleh negara terhadap kekerasan baik yang ditimbulkan oleh pejabat pemerintah atau kelompok indivdu atau lembaga, dan hak lainnya.

 

d.   Konvensi Pencegahan dan Penghukuman Kejahatan Genosida

Genosida menimbulkan kerugian besar pada umat manusia dalam setiap periode sejarah.Dalam rangka untuk membebaskan umat manusia maka diperlukan kerjasama internasional yang akhirnya melahirkan konvensi ini.

Genosida dalam konvensi ini merupakan perbuatan yang dilakukan di masa damai atau pada saat perang. Genosida berarti setiap perbuatan yang dilakukan dengan maksud untuk menghancurkan secara keseluruhan atau sebagian nasional, etnis, ras, atau kelompok agama seperti membunuh anggota kelompok, menyebabkan tubuh atau mental yang berat, membawa kehancuran fisik pada kondisi kehidupan kelompok, melakukan tindakan yang mencegah kelahiran di dalam kelompok, serta memindahkan secara paksa anak-anak dari kelompok ke kelompok lain.

Orang yang didakwa dengan genosida atau tindakan-tindakan lain akan diadili oleh pengadilan dari negara di wilayah dimana perbuatan itu dilakukan, atau dengan pengadilan pidana internasional yang  memiliki yurisdiksi terhadap pihak-pihak tersebut yang akan menerima yurisdiksinya.

 

e.    Konvensi tentang Tidak Berlakunya Hukum Keterbatasan untuk Kejahatan Perang dan Kejahatan Terhadap Kemanusiaan

Dalam pembukaan konvensi ini disebutkan mengingat bahwa kejahatan perang dan kejahatan terhadap kemanusiaan adalah salah satu kejahatan paling parah dalam hukum internasional. Tidak ada deklarasi, instrumen atau konvensi yang berhubungan dengan penuntutan dan penghukuman terhadap kejahatan perang dan kejahatan kemanusiaan yang dibuat untuk jangka waktu terbatas. Konvensi ini menyebutkan bahwa tidak ada batasan hukum yang berlaku bagi kejahatan perang dan kejahatan terhadap kemanusiaan. Konvensi ini berlaku untuk perwakilan dari otoritas negara dan individu swasta yang berpartisipasi atau langsung menghasut orang lain untuk setiap kejahatan tersebut.

f.     Konvensi-Konvensi Jenewa dan Protokolnya

Jenis tindak pidana internasional atau pelanggaran hukum HAM dalam konflik bersenjata baik internasional maupun non- internasional diatur dalam konvensi-konvensi Jenewa dan protokol, yaitu:

1)   Geneva Convention for The Amelioration of the condition of the wounded and sick in armed force in the field, of August 12, 1949, mengatur perbaikan kondisi yang luka dan sakit dalam pertempuran di darat, melindungi tentara yang luka dan sakit serta orang-orang yang menyertainya, bangunan berlindung serta peralatan yang dipakai.

2)   Geneva Convention for the Amelfration of the Condition of wounded, sick and ship wrecked members of Armed forces at sea of August 12, 1949, mengatur mengenai perbaikan kondisi luka dan sakit dan korban karam anggota militer di laut.

3)   Geneva Convention relative to the Treatment of Prisoners of War, of August 12, 1949, mengatur mengenai perlakuan terhadap tawanan perang, melindungi anggota angkatan bersenjata yang menjadi tawanan perang.

4)   Geneva Convention relative to the Protection of Civilian Persons in Time of War, of August 12, 1949, mengatur perlindungan penduduk sipil pada waktu perang.

5)   Protocol Additional to the Geneva Conventions of 12 August 1949, and relating to the Protection of Victims of International Armed Conflicts (Protocol I), mengatur mengenai perluasan perlindungan yang diberikan kepada penduduk sipil dan membatasi alat dan cara berperang dalam sengketa bersenjata internasional.

6)   Protocol Additional to the Geneva Conventions of 12 August 1949, and relating to the Protection of Victims of Non-International Armed Conflicts (Protocol II), mengatur mengenai perlindungan yang membatasi diri penduduk sipil dalam sengketa bersenjata non internasional.

7)   Geneva Convention 10 Oktober 1980, berisikan tentang pelarangan konvensional tertentuyang dapat menimbulkan luka yang luar biasa atau akibat membabi buta.

Adapun pelanggaran berat terhadap konvensi Jenewa antara lain:

1) Pembunuhan yang disengaja

2) Penganiayaan atau tindakan yang dapat merendahkan martabat umat manusia

3) Pemilikan dan perusakan harta benda secara meluas

4) Memaksa tawanan perang untuk mengabdi kepada penguasa perang

5) Menghilangkan hak tawanan perang atas peradilan yang jujur dan teratur

6) Meniadakan atau mentransfer penduduk dengan paksa

7) Menjatuhkan hukuman kurungan

8) Melakukan penyanderaan

Rumusan formal kejahatan terhadap kemanusiaan, kejahatan perang dan kejahatan

genosida kemudian muncul kembali dalam Statuta untuk Pengadilan Pidana Internasional untuk bekas negara Yugoslavia (International Tribunal for Former Yugoslavia-ICTY) dan Rwanda (International Tribunal for Rwanda-ICTR). Pengertian terhadap kejahatan-kejahatan tersebut merupakan pertautan dari Piagam Nurenberg, Statuta untuk ICTY, maupun Statuta untuk ICTR. Ada beberapa kesamaan pengaturan meskipun dengan perumusan yang berbeda-beda.

Dalam perkembangannya, pengaturan yang lebih baru tentang kejahatan genosida, kejahatan terhadap kemanusiaan dan kejahatan perang diatur dalam Statuta Roma 1998 dengan disahkannya dokumen dasar pembentukan Mahkamah Pidana Internasional (International Criminal Court-ICC). Statuta ini merupakan rujukan paling akhir dalam mendefiniskan kejahatan terhadap kemanusiaan, kejahatan genosida, dan kejahatan perang. Terlebih, dalam Statuta tersebut juga telah diatur secara detail tentang unsur-unsur kejahatan (element of crimes) dan hukum acara dan pembuktiannya (rules of procedures and evidences).

 

Tabel. Perkembangan Hukum Internasional tentang Pelanggaran HAM Berat

No

Instrumen

Pengaturan

1

Charter of the International Military Tribunal 1945 (Nuremberg Charter).

Kejahatan Perang dan Kejahatan terhadap Kemanusiaan.

2

Konvensi Genosida 1948.

Kejahatan Genosida.

3

Konvensi Jenewa 1949.

Pelanggaran Berat, Pelanggaran Serius dan Pelanggaran lainnya dalam konteks perang.

4

Protokol Tambahan Konvensi Jenewa 1949

(1977).

Pelanggaran Berat Konvensi dan Pelanggaran hukum dan kebiasaan perang sebagai Kejahatan Perang

5

ICTY.

Genosida, Kejahatan atas Kemanusiaan dan Kejahatan Perang.

6

ICTR.

Genosida, Kejahatan atas Kemanusiaan dan Kejahatan Perang.

7

Statuta Roma

Pelanggaran Berat HAM yang meliputi Genosida, Kejahatan Kemanusiaan, Kejahatan Perang dan Agresi.

 

Pengaturan tentang Pelanggaran HAM Berat di Indonesia

Istilah genosida pertama kali muncul dalam leksikon hukum Indonesia dan dinyatakan sebagai kejahatan dalam hukum nasional pada UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Penjelasan pasal 104 menyatakan bahwa yang dimaksud dengan pelanggaran HAM yang berat adalah pembunuhan massal (genocide), pembunuhan sewenang-wenang atau di luar putusan pengadilan (arbitrary/extrajudicial killing), penyiksaan, penghilangan orang secara paksa, perbudakan atau diskriminasi yang dilakukan secara sistematis (systematic discrimination).

Sementara, kejahatan terhadap kemanusiaan tidak didefinisikan secara spesifik namun disebutkan kejahatan-kejahatan tertentu. UU No. 39 Tahun 1999 memandatkan terbentuknya Pengadilan HAM yang memiliki jurisdiksi pengadilan Pelanggaran HAM yang berat paling lambat 4 (empat) tahun sejak UU disahkan. Tidak sampai 4 (empat) tahun, muncul Undang-undang No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM yang mempunyai jurisdiksi untuk memeriksa dan mengadili pelanggaran HAM yang berat yakni kejahatan genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan.

Dalam merumuskan kejahatan genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan, UU No. 26 tahun 2000 menyatakan bahwa pengertian kejahatan genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan dalam UU ini sesuai dengan Rome Statute of The International Criminal Court (Pasal 6 dan Pasal 7). Hal ini berarti bahwa apa yang dimaksud dengan kejahatan genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan adalah kejahatan-kejahatan yang paling serius sebagaimana dimaksud dalam Statuta Roma 1998.

Pengadopsian ketentuan Statuta Roma 1998 ke dalam UU No. 26 Tahun 2000 ternyata masih memiliki kelemahan. Pertama, tidak lengkapnya jenis kejahatan yang diadopsi. Di dalam Statuta Roma ada empat jenis kejahatan yang terdiri atas genosida, kejahatan kemanusiaan, kejahatan perang, dan agresi. Akan tetapi, UU No. 26 Tahun 2000 hanya mengambil dua jenis kejahatan, yaitu: genosida dan kejahatan atas kemanusiaan. Indonesia tidak mengadopsi kejahatan perang sebagai bagian dari pelanggaran HAM yang berat.

Kedua, adanya kesalahan menerjemahkan ketentuan dalam Statuta Roma 1998. Akibatnya, pengaturan tentang kejahatan genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan dalam UU No. 26 tahun 2000 dalam beberapa bagiannya merupakan ketentuan yang tidak sesuai dengan maksud aslinya. Pada akhirnya perumusan kejahatan genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan tidak dilengkapi adanya element of crimes untuk menjelaskan maksud atas ketentuan tersebut.

UU No. 26 Tahun 2000 secara tegas menyatakan bahwa pelanggaran HAM yang berat adalah kejahatan luar biasa (extraordinary crimes) dan berdampak secara luas baik pada tingkat nasional maupun internasional dan bukan merupakan tindak pidana yang diatur di dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP). Pendefinisian inilah yang menunjukkan bahwa kejahatan genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan adalah berbeda dengan perumusan dalam kejahatan-kejahatan dalam KUHP dan karenanya perlu dilakukan langkah-langkah khusus. Berdasarkan karakteristik kejahatannya yang sangat khusus dan berbeda dengan kejahatan biasa lainnya, maka Pengadilan HAM merupakan pengadilan khusus. Kekhususan itu menyebabkan keperluan untuk adanya langkah-langkah penyelidikan, penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan yang bersifat khusus pula.

Kekhususannya juga terletak pada asas dan prinsipnya yang diatur secara berbeda. Ada beberapa asas yang secara berbeda antara pelanggaran HAM berat dengan tindak pidana biasa. Pertama, tidak berlakunya ketentuan mengenai kadaluarsa dalam pelanggaran HAM yang berat. Kedua, dapat digunakannya asas non-retroaktif untuk kejahatan kemanusiaan dan kejahatan genosida. Ketiga, tindakan percobaan, permufakatan jahat, dan pembantuan terhadap kejahatan genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan, hukumannya disamakan ancaman pidananya dengan pelaku langsung.

UU No. 26 Tahun 2000 juga memberikan penekanan pada ketentuan-ketentuan tertentu misalnya perlindungan terhadap saksi dan korban, serta kewajiban untuk adanya kompensasi, restitusi, dan rehabilitasi bagi korban pelanggaran HAM yang berat. Untuk melengkapi regulasi mengenai operasional dari ketentuan mengenai perlindungan saksi dan hak-hak kompensasi, restitusi, dan rehabilitasi kepada korban, pemerintah mengeluarkan 2 (dua) peraturan pemerintah, yaitu Peraturan Pemerintah No. 2 Tahun 2002 tentang Perlindungan Saksi dan Korban, dan Peraturan Pemerintah No. 3 Tahun 2002 tentang Kompensasi, Restitusi dan Rehabilitasi Korban Pelanggaran HAM yang berat.

Praktik penuntutan terhadap perkara pelanggaran HAM berat di Indonesia telah dilakukan dalam memeriksa dan mengadili perkara pelanggaran HAM yang berat di Timor-Timur, Tanjung Priok, dan Abepura Papua. Perkara yang diadili adalah kejahatan terhadap kemanusiaan dan sampai saat ini belum ada perkara terkait dengan kejahatan genosida.

 

Kejahatan Biasa atau Rezim Pidana

            Rezim pidana merupakan suatu tindak kejahatan[9] (act of crime) yang meletakkan individu sebagai subyek hukum,[10] dan pelakunya dapat dihukum pidana penjara.[11] Tetapi tidak semua jenis kejahatan dapat dikategorikan sebagai kejahatan Hak Asasi Manusia, hanya pelanggaran HAM yang berat (goss violation of human rigts) yang berpotensi terjadinya tindak kejahatan terhadap hak asasi manusia; kejahatan dimaksud, yakni: kejahatan terhadap kemanusiaan (crimes against humanity), kejahatan pemusnahan etnis (genocide), kejahatan perang (war  crime) dan kejahatan agresi (crimes of aggression).[12] 

Rezim pidana dalam arti sebagai kejahatan biasa (ordinary crime) adalah semua perbuatan yang melanggar norma-norma yang berlaku sesuai dengan kebiasaan masyarakat (costumary law), namun tidak semua tindak kejahatan dapat di pidana -hanya tindak kejahatan yang diatur dalam hukum pidana-- yang dapat di pidanakan.[13] Artinya, bagi warga negara Indonesia, tindak kejahatan yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang dapat dihukum.[14]  KUHP berlaku bagi setiap orang yang berada di Indonesia maupun diluar Indonesia yang berada di dalam kendaraan air (kapal laut) atau pesawat udara berbendera Indonesia.[15] Ketentuan ini jelas menunjukkan batas yurisdiksi hukum pidana nasional.

Pidana biasa dan pidana luar biasa dapat dibedakan dalam contoh berikut: Pasal 338 KUHP mengatur tentang pembunuhan “barang siapa dengan “sengaja” merampas nyawa orang lain, diancam karena pembunuhan dengan pidana penjara paling lama lima belas tahun”, bandingkan dengan Pasal 7 Statuta Roma tentang kejahatan terhadap kemanusiaan termasuk pembunuhan dengan unsur dan kualifikasi yang berbeda; yakni: pembunuhan yang dilakukan sebagai bagian dari serangan “meluas” atau “sistematik” yang ditujukan kepada suatu “kelompok penduduk sipil” dengan “mengetahui” serangan itu (atasan atau komandan).  Jadi, pembunuhan dalam pengertian rezim HAM memiliki elemen lebih luas maknanya tidak hanya “sengaja” tapi juga mengetahui, ditujukan kepada kelompok penduduk sipil, meluas dan sistematis.

Pelanggaran HAM jika dilihat dari pola pelanggarannya, ada beberapa hal, yaitu:

 

1.   Latar belakang terjadinya pelanggaran HAM misalnya, arah dari tindakan atau kebijakan politik yang diambil Negara, dasar pengambilan keputusan dan pra kondisi berlangsungnya pelanggaran HAM;

2.      Unsur aparat negara apa saja yang terlibat baik dalam penciptaan kondisi maupun saat berlangsungnya pelanggaran. Atau kelompok-kelompok yang ada di belakang berlangsungnya pelanggaran HAM;

3.      Adanya skenario dalam pelanggaran HAM untuk pencapaian target yang dikehendaki, baik tujuan politik maupun ekonomi. Seperti penciptaan kerusuhan atau konflik etnis dan agama atau tanpa skenario dan membiarkan karena diuntungkan dari keadaan itu.

4.      Setiap pelanggaran HAM juga harus dilihat dari cara berlangsungnya pelanggaran HAM tersebut; apakah pelanggaran itu dengan tindakan atau melalui pembiaran dan atau ketentuan apa yang digunakan dan bagaimana proses hukumnya berlangsung.

5.      Adanya kategorisasi hak-hak apa saja yang dilanggar dalam suatu peristiwa. Apakah tergolong pelanggaran HAM biasa atau HAM berat (gross violation of human rights) yang masuk dalam hak-hak fundamental; 

6.      Setiap pelanggaran harus ditentukan siapa yang menjadi korbannya. Seseorang atau kelompok dapat saja menjadi korban atas alasan atau latar belakang politik maupun non-politik. 

Jika dibandingkan dengan rezim pidana, pelaku dan korbannya jelas berbeda. Setiap Negara memiliki sendiri ketentuan-ketentuan pidana, demikian pula dengan Indonesia paska era kolonial ketentuan pidana tetap berlaku hingga adanya ketentuan baru.[16] Berdasarkan Undang-Undang No. 73 Tahun 1958 (LN No. 127/1985) yang dalam pasal 1 di tetapkan, bahwa Undang-Undang RI No.1/1946 tentang Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) “Wetboek van Strafrecht voor Nederlandsch Indie” untuk golongan penduduk Bumipetera dan Timur Asing, ditetapkan dengan "Ordonnantie” 6 mei 1872, berisi ketentuan tindak pidana/kejahatan. Pada 29 september 1958 setelah kemerdekaan ketentuan pidana itu mulai berlaku untuk seluruh wilayah Indonesia, yang sebelumnya terjadi dualisme dengan ketentuan pidana golongan eropa.[17]

selalu dikatakan “barang siapa” yang berarti menunjuk orang perorang dalam wilayah hukum Indonesia yang melakukan kejahatan akan diancam pidana. Sekalipun kejahatan itu dilakukan secara berkelompok; organisasi atau lembaga seperti aksi geng motor di Pekanbaru pimpinan Klewang, geng motor Mappakoe di Makassar, geng motor XCT, Brigezz, GBR, dan Moonraker di Bandung, yang bertanggungjawab adalah oknum-oknum yang ditangkap. Jadi jelaslah, bahwa individu bertanggungjawab atas tindak kejahatan sekalipun individu yang bersangkutan bergabung dalam organisasi atau lembaga tertentu. Demikian halnya, ketentuan pelaku kejahatan hak asasi manusia, yang bertanggungjawab adalah individu.65

Dan korban dalam tindak pidana, selain individu juga mengganggu kepentingan publik atau negara. pembakaran pabrik atau penggelapan barang oleh orang tertentu dapat mengakibatkan PHK dan kehilangan pekerjaan serta kerugian material bagi perusahaan; Korban pembunuhan yang kebetulan anggota polisi atau militer jelas menggangu institusi kesatuan korban dan merupakan institusi negara; Perilaku korupsi, penyelundupan, melawan pemerintahan yang sah dan membocorkan rahasia negara oleh oknum (individu) pejabat atau intelejen adalah jelas merugikan negara dan merupakan kejahatan yang dapat di pidana sesuai dengan KUHP maupun ketentuan pidana diluar KUHP. Berikut bagan hubungan Negara dan publik/warga kaitan dengan hukum pidana.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

KESIMPULAN

Dengan demikian, rezim tindak pidana atau kejahatan (crime) berbeda dengan rezim pelanggaran HAM (human rights violation) karena sumber hukum keduanya pun berbeda; rezim pidana bersumber dari ketentuan hukum pidana (KUHP dan Pidana diluar KUHP/Nasional) dan rezim HAM bersumber dari hukum asasi manusia (UUD NRI, UU No. 39/1999 dan UU hasil ratifikasi/Nasional) atau dalam ketentuan sumber yang lebih tinggi, dalam konteks hukum internasional; rezim pidana internasional bersumber dari War Crimes And Crimes Against Humanity, Including Genocide yang terdiri dari:[18] 

1.  Convention on the Prevention and Punishment of the Crime of Genocide  ((by the General Assembly of the United Nations in its resolution 96 (I) dated 11 December 1946); 

2.  Convention on the Non-Applicability of Statutory Limitations to War Crimes and Crimes against Humanity (General Assembly resolution 2391 (XXIII) of 26 November 1968);

3.  Principles of international co-operation in the detection, arrest, extradition and punishment of persons guilty of war crimes and crimes against humanity

(General Assembly resolution 3074 (XXVIII) of 3 December 1973);

4.  Statute of the International Tribunal for the Former Yugoslavia  (1991);

5.  Statute of the International Tribunal for Rwanda (1994);

6.  Rome Statute of the International Criminal Court (17 Juli 1998);.

dan Humanitarian Law terdiri dari:[19]  

1.  Geneva Convention relative to the Treatment of Prisoners of War (Geneva I 1949);

2.  Geneva Convention relative to the Protection of Civilian Persons in Time of War (Geneva II 1949);

3.  Protocol Additional to the Geneva Conventions of 12 August 1949, and relating to the Protection of Victims of International Armed Conflicts (Protocol I 1949);  

4.  Protocol Additional to the Geneva Conventions of 12 August 1949, and relating to the Protection of Victims of Non-International Armed Conflicts (Protocol II 1949);  

Dalam sumber hukum humaniter (hukum perang) --hukum antar negara-- lainnya juga terdapat dalam beberapa ketentuan melalui perjanjian internasional, yakni:[20]: a). Konvensi-konvensi Den Haag 1899; b). Konvensi-konvensi Den Haag 1907; c). Konvensi Genewa 1949 dengan dua protokol tambahannya; d). Deklarasi St. Petersburg tentang Penghapusan Penggunaan Proyektil yang Bersifat Mudah Meledak yang Beratnya di bawah 400 Gram di waktu perang (Declaration Renouncing the Use, in Time of War, of Explosive Projectile under 400 Grammes Weight), November-11 Desember 1868; Konvensi Den Haag 1954 tentang Perlindungan Benda-benda Budaya pada waktu Sengketa Bersenjata (Convention for the Protection of Cultural Property in the Event of Armed Conflict), 14 Mei 1954; dan e). Kebiasaan seperti Kebiasaan untuk menandai rumah sakit dengan bendera khusus yang melambangkan bendera masing-masing pihak, penggunaan lambang Palang Merah pada rumah sakit dan sarana transportasi medis, tentara yang luka dan sakit merupakan tawanan perang dan diperlakukan sesuai dengan Konvensi Jenewa III tahun 1949 (di mana awalnya juga disebutkan dalam Konvensi tahun 1864); dokter dan rohaniawan harus dilindungi dan dihormati; dan penduduk sipil bukan sasaran serangan. 

Sedangkan rezim HAM di level internasional bersumber pada Penjanjian Internasional (international treaty)69 dan Piagam (international charter)[21] Perserikatan Bangsa-Bangsa. Sumber-sumber dimaksud, yaitu: 

1.  Kovenan Hak Sipil dan Hak Politik (International Covenant on Civil and Political Rights/ICCPR) disahkan pada 16 Desember 1966.

Protokol Opsional Kovenan Internasional  Hak Sipil dan Politik mengenai mekanisme pengaduan individual (Optional Protocol to the International

            Covenant on Civil and Political Rights. ICCPR-OP1). Disahkan pada 16 Desember 1966.

            Protokol Opsional Kedua Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik mengenai  penghapusan hukuman mati. (Second Optional Protocol to the International Covenant on Civil and Political Rights, aiming at the abolition of the death penalty/ICCPR-OP2). Disahkan pada 15 Desember 1989.

2.  Kovenan Hak Ekonomi, Hak Sosial, dan Hak Budaya (International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights/ICESCR) disahkan pada 16 Desember 1966.

            Protokol Opsional Kovenan Hak Ekonomi, Hak Sosial, dan Hak Budaya mengenai mekanisme komunikasi (Optional Protocol to the Covenant on Economic, Social and Cultural Rights/ICESCR - OP) disahkan pada 10 Desember 2008.

3.  Konvensi Penghapusan Semua Bentuk Diskriminasi Rasial (International Convention on the Elimination of All Forms of Racial Discrimination/ICERD) disahkan pada 21 Desember 1965.

4.  Konvensi Melarang  Penyiksaan dan Perlakuan atau Perlakuan yang  Kejam, Tidak Manusiawi, dan Merendahkan Martabat Manusia (Convention against Torture and Other Cruel, Inhuman or Degrading Treatment or Punishment/CAT) disahkan pada 10 Desember 1984.

            Protokol Opsional Konvensi Melarang  Penyiksaan dan Perlakuan atau Perlakuan yang  Kejam, Tidak Manusiawi, dan Merendahkan Martabat

Manusia mengenai pembentukan mekanisme pengawasan dan Sub Komite Pencegahan Penyiksaan (Optional Protocol to the Convention against Torture and Other Cruel, Inhuman or Degrading Treatment or Punishment/OP-CAT) disahkan pada 18 Desember 2002.

5.  Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan (Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination against Women/CEDAW) disahkan pada 18 Desember 1979.

            Protokol Opsional Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan mengenai mekanisme pengaduan individual dan mekanisme penyelidikan (Optional Protocol to the Convention on the Elimination of Discrimination against Women/OP-CEDAW) disahkan pada 10 Desember 1999.

6.  Konvensi Perlindungan Hak Semua Pekerja Migran dan Anggota Keluarganya (International Convention on the Protection of the Rights of All Migrant Workers and Members of Their Families/ICRMW) disahkan pada 18 Desember 1990.

7.  Konvensi Hak Orang Penyandang Cacat (Disabilitas) (Convention on the Rights of Persons with Disabilities/CRPD) disahkan pada 13 Desember 2006.

            Protokol Opsional Konvensi Hak Orang Penyandang Cacat (Disabilitas) mengenai mekanisme pengaduan individual (Optional Protocol to the Convention on the Rights of Persons with Disabilities/OP-CRPD) disahkan pada 12 Desember 2006.

8.  Konvensi Perlindungan Terhadap Seluruh Orang dari Penghilangan Paksa (International Convention for the Protection of All Persons from Enforced Disappearance/CPED) disahkan pada 20 Desember 2006.

9.  Konvensi Hak Anak (Convention on the Rights of the Child/CRC) disahkan pada 20 Nopember 1989.

            Protokol Opsional Konvensi Hak Anak mengenai Keterlibatan Anak dalam Konflik Bersenjata (Optional protocol to the Convention on the Rights of the Child on the involvement of children in armed conflict/OP-CRC-AC) disahkan pada 25 Mei 2000.

            Protokol Opsional Konvensi Hak Anak  mengenai  Perdagangan Anak, Prostitusi Anak, dan Pornografi Anak (Optional protocol to the Convention on the Rights of the Child on the sale of children, child prostitution and child pornography/OP-CRC-SC) disahkan pada 25 Mai 2000.

Perjanjian Internasional ini oleh Negara pihak (state parties) yang sudah meratifikasinya memiliki konsekuensi dengan kewajiban untuk membuat laporan secara berkala ke komite masing-masing konvensi dan badan-badan HAM Internasional akan melakukan pemantauan terhadap Negara-negara pihak. 

Basis Piagam, PBB membentuk Dewan HAM (UN. Human Rights Council) sebagai badan internasional utama memiliki mekanisme untuk memajukan dan melindungi HAM sesuai dengan tanggung jawabnya berdasarkan Resolusi Majelis Umum PBB 60/251. disebutkan bahwa dasar pembentukan Dewan HAM adalah untuk menegaskan kembali komitmen untuk memperkuat mekanisme HAM PBB, dengan tujuan untuk memastikan kenikmatan yang efektif oleh semua dari semua kategorisasi HAM, baik hak  sipil, hak politik, hak ekonomi, hak sosial dan hak budaya, termasuk hak untuk pembangunan.

Melihat cakupan tanggung jawab tersebut Dewan HAM PBB memiliki mandat dan mekanisme untuk pemajuan dan perlindungan HAM terhadap seluruh anggota PBB. Terkait dengan mekanisme berbasis perjanjian internasional terdapat 2 (dua) mandat Dewan HAM yang bersinggungan dengan badan-badan perjanjian HAM yakni Peninjauan Berkala Universal (Universal Periodic Review/UPR) dan prosedur khusus (Special procedures). 

Prinsipnya, Kejahatan luar biasa (extra ordinary crime) di dalamnya (genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan) adalah kejahatan HAM atau pelanggaran HAM berat yang dinilai bersifat universal karenanya pidana domestik mengalami perluasan yurisdiksi internasional sehingga menjadi hukum pidana internasional (International Criminal Law) yang merupakan bagian dari hukum internasional.[22] Dan dalam perkembangannya, hukum pidana internasional merupakan anak kandung dari hukum humaniter internasional (internasional humanitarian law) atau hukum perang. Hubungan antara hukum hak asasi manusia, hukum pidana internasional (termasuk Rome Statute of the International Criminal Court),[23] dan hukum humaniter sangat kuat, sinergis dan interdependensi.[24]

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Daftar Pustaka

Abdul      Aziz      Thaba,     Islam     dan    Negara    dalam     Politik     Orde    Baru,      Gema

Insani Press, Jakarta, 1996. 

Cess de Rover, To Serve and To Protect, Acuan Universal Penegakan HAM, Rajawali Pres, Jakarta, 2001. 

D, Bourchier, dan VR, Hadiz, (ed)., Indonesian Politics and Society: A Reader, RoutledgeCurzon, London, 2003. 

Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM) 1948

Emilianus Afandi, Menggugat Negara:  Rasionalitas Demokrasi, HAM dan Kebebasan, European Union dan PBHI, 2005.

Ester Indahyani Jusuf, dkk., Kerusuhan Mei 1998: Fakta, Data dan Analisa,. Kerjasama Solidaritas Nusa Bangsa, APHI, dan TIFA, Jakarta, 2005. 

G. Dwipayana dan Ramadhan KH, Soeharto: Ucapan, Pikiran, dan Tindakan Saya, Citra Kharisma Bunda, Jakarta, 1989. 

Hendardi dan Suryadi Radjab, Pelanggaran Hak Asasi Manusia dan Penyiksan, PBHI Jabar, Bandung, 2000.

Hendardi, Penghilangan paksa, Mengungkap Kebusukan Politik Orde Baru, PBHI dan Grasindo, Jakarta, 1998. 

Ifdhal Kasim, Hak Sipil Dan Politik, Esai-Esai Pilihan , Buku I, Lembaga Studi Dan Advokasi Masyarakat (Elsam), Jakarta, 2001. 

JH., McGlynn, Indonesia in the Soeharto Years: Issues, Incidents and Images, (ed. 2), The Lontar Foundation, Jakarta, 2007. 

Jimly Asshiddiqie dan M. Ali Syafaat, Teori Hans Kelsen Tentang Hukum, Konpress, Jakarta, 2012. 

Knut D. Asplund, Suparman Marzuki, Eko Riyadi (Ed), Hukum Hak Asasi Manusia, Yogyakarta, PUSHAM UII, 2008.

Konvensi Wina 1969 tentang Perjanjian Internasional

Laporan Kontras, “Menolak Impunitas, serangkaian prinsip perlindungan dan pemajuan Hak Asasi Manusia: Prinsip-prinsip hak korban”, dari judul asli, The Administration Of Justice And The Human Rights Of Detainees dan Promotion and Protection of Human Rights, Kontras (Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan), Jakarta, 2005. 

Laporan Patrick Quinn, “Kebebasan Berserikat dan Perundingan Bersama: Sebuah Studi Tentang Pengalaman Indonesia 1998–2003”, ILO, Jakarta, Mei 2003. lihat laman, http://www.ilo.org/wcmsp5/groups/public/---asia/---ro-bangkok/---ilojakarta/documents/publication/wcms_141897.pdf

Laporan Pelanggaran Hak-hak tersangka/terdakwa oleh PBHI (2013) atau kunjungi laman, http://www.pbhi.or.id/pers-release

Laporan Penelitian Lisa Misol, “Harga Selangit Hak Asasi Manusia sebagai Ongkos Kegiatan Ekonomi Pihak Militer Indonesia”, Program Bisnis dan Hak Asasi Manusia, Human Rights Watch, Juni 2006. 

Laporan Tahunan Tahunan SETARA Institute, dalam Ismail Hasani dan Bonar Tigor Naipospos (ed)., Politik Diskriminasi Rezim Susilo Bambang Yudhoyono: Kondisi Kebebasan Beragama/berkeyakinan di Indonesia 2011, Pustaka Masyarakat Setara, Jakarta, 2012. 



[1] Jack Donnely, dalam Pusat Studi Hak Asasi Manusia Universitas Islam Indonesia (PUSHAM UII),2008, Yogyakarta, Hal. 11.

[2] Reinhart, dalam Harun Pujiarto, Hak Asasi Manusia;Kajian Filosofis dan Implementasinya dalam Hukum Pidana Indonesia, 1999, Cetakan Pertama, Universitas Atma Jaya Press, Yogyakarta, Hal, 29.

 

                      [3] Ibid. Hal. 29-30.

[4] Ahmad Kosasih, Op.cit. Hal. 20

 

           [5] Baharuddin Lopa, dalam Mahrus Ali dan Syarif Nur Hidayat, 2011, Penyelesaian Pelanggaran Ham Berat, Gramata Publishing, Jakarta, Hal. 3 - 4.

             [6] Karel Vasak,1977, “A 30 Year Struggle: The Sustained Effortto Give Force of to the Universal Declaration of Human Rights”, Unesco Courier, November, Hal.29-32.

            [7] Philip Alston, 1982, “A Third Generation of Solidarity Rights: Progressive Development or Obfuscation of International Human Rights Law”,Netherlands International Law Review, Vol. 29. No.3, Hal. 307-322.

[8] Scott Davidson dalam Melkias Hetharia, 2011, Hak Asasi Manusia Suatu Pengembang Konsep yang Ideal, Logoz Publishing, Bandung, Hal. 68.

[9] Dalam pengertian Pompe, Tindak Pidana adalah: “suatu pelanggaran norma (gangguan terhadap tertib hukum) yang dengan sengaja maupun tidak dengan sengaja telah dilakukan oleh seorang pelaku, dimana penjatuhan hukuman terhadap pelaku tersebut adalah perlu demi terpeliharanya tertib hukum dan terjaminnya kepentingan umum”. Lihat dalam, P.A.F. Lamintang, Dasar-Dasar Hukum Pidana di Indonesia, PT Citra Aditya Bakti, Jakarta, 1997. hlm. 182.

[10] Dalam hukum Internasional, negara tidak lagi sebagai entitas tunggal dalam interaksi internasional. Dalam praktiknya Individu kemudian diakui sebagai subyek hukum baru setelah perang dunia II untuk meminta pertanggung jawaban atas pelaku kejahatan HAM berat (kasus Nuremberg dan Tokyo ), yang kemudian dikenal dengan individual criminal responsibility (Pasal 25 Statuta Roma) dan command responsibility (Pasal 27 Statuta Roma). Hans Kelsen (1881–1973) menyatakan bahwa individu-individu merupakan subyek hukum internasional karena konsep Negara hanya merupakan istilah teknis dari ketentuan hukum yang berlaku terhadap sekolompok orang dalam suatu wilayah territorial tertentu. kelompok ini terdiri dari individu-individu yang bertindak secara kolektif yang diikat dengan hukum. Hukum kemudian dipersamakan dengan Negara (lihat J.G. Starke, Pengantar Hukum Internasional, Sinar Grafika, Jakarta, hlm. 78 dan lihat pula, Jimly Asshiddiqie dan M. Ali Syafaat, Teori Hans Kelsen Tentang Hukum, Konpress, Jakarta, 2012. hlm. 58.)  Tanggung jawab pidana individu (individual criminal responsibility) melalui komite khusus yang merupakan mandat hasil konfrensi perdamain Paris (Preliminary Peace Conference of Paris) setelah perang dunia I memberi laporan tanggal 29 Maret 1919 dan menetapkan bahwa setiap orang dari Negara musuh yang bersalah melanggar hukum dan kebiasaan perang atau hukum humaniter tanpa memandang kedudukannya, tanpa membedakan tingkatan bahkan termasuk kepala Negara dapat dituntut secara pidana. Ketentuan ini kemudian disetujui beberapa Negara dalam Traktat perdamaian Paris (Paris Peace Treaty) pada tahun 1919. 

[11] Sanksi pidana tidak hanya dijatuhkan pada seseorang yang telah melakukan tindak kejahatan, termasuk juga pada pelaku kejahatan yang belum atau tidak selesai dilakukan, atau tidak tercapai hasilnya. Ketentuan ini dapat dilhat pada Pasal 35 (1) KUHP. Lihat, R. Soesilo, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal, Politeia, Bogor, 1991. hlm. 68-69. 

[12] Lihat Pasal 5 (1), 6, 7 dan 8 Statuta Roma, bandingkan dengan Pasal 7 UU No. 26 tahun 2000 yang meratifikasi hanya 2 jenis kejahatan, yaitu: (a). kejahatan genosida; dan (b). kejahatan terhadap kemanusiaan.

[13] Asas legalitas dan asas non-retroaktif, lihat Pasal 1 ayat 1 KUHP: “Tiada suatu perbuatan dapat dipidana kecuali atas kekuatan aturan pidana dalam perundang-undangan yang telah ada, sebelum perbuatan dilakukan”.

[14] Secara garis besar, ada dua bentuk hukuman dalam ketentuan pidana: yaitu Pidana Pokok dan Pidana Tambahan. Masing-masing tindak pidana dimaksud terdiri dari: 1). Pidana Pokok, yaitu a). Pidana Mati; b).

Pidana Penjara; c). Pidana Kurungan dan; d) Denda. Sedang 2). Pidana tambahan, terdiri dari: a). Pencabutan Hak-hak tertentu; b). Perampasan barang-barang tertentu; c}. diputuskan melalui putusan pengadilan. Sementara jenis tindak pidananya sendiri yakni: a). Pembunuhan; b). Penganiayaan; c). Pencurian; d). Pemerasan dan Pengancaman; e). Penggelapan; f). Penghancuran atau Perusakan Barang; g). Kejahatan Jabatan; h). Penadahan; i). Perbuatan Curang; j). Pemalsuan; dan k). Kejahatan atas kesusilaan. Untuk jelasnya baca Kitab UndangUndang Hukum Pidana (KUHP) [UU No. 1 Tahun 1946] yang mulai diberlakukan sejak 29 September 1958 untuk seluruh wilayah Indonesia melalui UU No. 73 Tahun 1958 (LN No. 127/1985).

[15] Lihat Pasal 2, 3 KUHP dan Pasal 3 UU No. 4 Tahun 1976.

[16] Untuk mengetahui lebih dalam masa transisi hukum Indonesia dari hukum kolonial ke hukum nasional, baca buku, Soetandyo Wignjosoebroto, Dari Hukum Kolonial ke Hukum Nasional: Dinamika Sosial-Politik dalam Perkembangan Hukum di Indonesia, RajaGrafindo, Jakarta., 1995.

[17] Saat ini DPR RI sedang membahas RUU KUHP (766 Pasal) dan RUU KUHAP (286 Pasal) untuk mengganti perundang-undangan kolonial menjadi hukum pidana yang sesuai dengan karakter dan budaya bangsa Indonesia. Lihat Naskah Akademis KUHP versi BPHN 2009. Tim perumus terdiri dari tiga kelompok; Buku I diketuai oleh Barda Nawawi Arief, Buku II diketuai oleh Muladi dan Tim Tiga diketuai oleh Harkristuti Harkrisnowo, Draft KUHP ini selesai sejak September 2004.

[18] lihat laman, 

http://www.ohchr.org/EN/ProfessionalInterest/Pages/UniversalHumanRightsInstruments.aspx

Lihat pula dalam, Romli Atmasasmita, Pengantar Hukum Pidana Internasional Op.cit. hlm. 49-50.

[19] Ibid

[20] Knut D. Asplund, Suparman Marzuki, Eko Riyadi (Ed), Hukum Hak Asasi Manusia, Yogyakarta, PUSHAM UII, 2008. hlm. hlm. 333-341. 69 Lihat lebih lanjut laman,  http://www.ohchr.org/EN/ProfessionalInterest/Pages/CoreInstruments.aspx

[22] Romli Atmasasmita, Pengantar Hukum Pidana Internasional, Refika Aditama, Bandung, 2000. Lihat pula, Knut D. Asplund, Suparman Marzuki, Eko Riyadi (Ed), Op. cit, hlm. 321-331. 

[23] Dalam studi ini, Istilah Rome Statute of the International Criminal Court akan digunakan secara bergantian dengan “Statute Roma”, “ICC”, “Mahkamah Pidana Internasional” atau “Pengadilan Kriminal Internasional” dengan makna dan pengertian yang sama.

[24] Romli Atmasasmita, “Hukum Pidana Internasional dan Hukum Hak Asasi Manusia”. Makalah bahan

pelatihan hukum ham, diselenggarakan oleh PUSHAM UII Yogyakarta tanggal 23 september 2005.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

TEORI TENTANG PERUBAHAN HUKUM DAN MASYARAKAT

TEORI TENTANG PERUBAHAN HUKUM DAN MASYARAKAT A.       Beberapa Teori tentang Hukum dan Perubahan Sosial Perubahan sosial adalah segala perubahan pada lembaga kemasyarakatan di dalam masyarakat, yang mempengaruhi sistem sosialnya, termasuk nilai, sikap, dan pola perilaku di antara kelompok-kelompok masyarakat. Pada umumnya suatu perubahan di bidang tertentu akan mempengaruhi bidang lainnya. Maka dari itu jika diterapkan terhadap hukum maka sejauh manakah perubahan hukum mengakibatkan perubahan pada bidang lainnya. [1] Suatu perubahan sosial dan kebudayaan dapat pula bersumber pada sebab-sebab yang berasal dari luar masyarakat itu sendiri dan   bisa dari bangsa lain seperti: pertama, t erjadinya berbagai bencana alam menyebabkan masyarakat yang mendiami daerah-daerah itu terpaksa harus meninggalkan tempat tinggalnya dan mereka harus menyesuaikan diri dengan keadaan alam yang baru yang akan mengakibatkan terjadinya perubahan-perubahan pada ...

SEJARAH JUDICIAL REVIEW (KASUS MARBURY VS MADISON TAHUN 1803)

  SEJARAH   JUDICIAL   REVIEW (KASUS MARBURY VS MADISON TAHUN 1803)   Lembaga pengujian konstitusional yang sudah mendunia dan seperti yang kita kenal saat ini bermula dari putusan Supreme Court (Mahkamah Agung) AS dalam kasus Marbury versus Madison pada tahun 1803. Sejak saat itu “wabah” pengujian konstitusional atau yang populer disebut judicial review ini mulai menyebar dan akhirnya mendapat kedudukan yang penting dalam dunia hukum seperti sekarang ini. Begitu fenomenal dan luar biasanya putusan “Marbury vs Madison” ini, William H. Rehnquist menyebut kasus ini sebagai “most famous case ever decided by the US Supreme Court.” [1]   Selain itu para pakar juga menyebut kasus ini dengan berbagai sebutan/istilah, antara lain ‘most brilliant innovation’ atau ‘landmark decision’ bahkan ada pula yang menyebutnya dengan nada penuh pujian sebagai ‘single most important decision in American Constitutional Law.’ [2] Kasus ini sendiri bermula pada saat John Ad...