Zaman Purbakala
Dalam suatu kalimat yang sering
dikutip orang, termuat dalam karyanya Esprit des lois (jiwa undang-undang)
Montesquieu mengatakan bahwa semua bangsa termasuk suku Iroquois yang suka
memakan tawanannya, mempunyai hukum bangsa-bangsa (law of nations),
pernyataan yang agak meragukan ini tidak terbuktikan oleh teknologi modern.
Gambaran yang lahir dari laporan-laporan ethnolog adalah samar dan
beragam. Bahkan perbedaan antara perang dan damai tidak terlalu dikenal oleh
suku primitif. Diantara mereka ada yang masih belum mengembangkan pengertian
pertikaian kolektif dan terorganisir sebagaimana karakteristik dari peperangan
(modern), sedangkan yang lainnya hidup dalam keadan permusuhan terang-terangan
atau tersembunyi secara permanen terhadap suku-suku tetangga. Pandangan bahwa
seseorang asalkan saja ia orang asing adalah musuh, telah meninggalkan jejaknya
pada pikiran beradab pada tahap permulaan. Dikalangan suku primitif, orang
asing itu kadang-kadang bahkan tidak dianggap sebagai manusia. Diantara
faktor-faktor yang menentukan adalah kepadatan penduduk dan keadaan-keadaan
alam lain, begitu pula ciri-ciri khas rasial dan keadaan masing-masing mengenai
kemajuan pada tahap pra-peradaban.
Memang benar bahwa dikalangan
suku-suku primitif, terdapat praktek seperti pengiriman dan penerimaan duta-duta
suatu hal yang ditegaskan oleh Montesquieu dalam perhaliannya terhadap suku Iroquois
atau tidak membunuh orang-orang yang lemah dan tidak berdaya dalam peperangan,
tetapi praktek-praktek seperti itu tidak mantap dan dapat ditafsirkan tanpa
satu kepastian. Penjelasan serta generalisasi yang mirip teori-teori Rousseau
mengenai tata-kelakuan primitif dengan menafsirkan ini dalam arti hukum bangsa-bangsa
(hukum internasional) modern seharusnya kita ragukan. Bagaimanapun juga,
tidaklah beralasan untuk beranggapan soma dengan Montesquieu bahwa dalam
kehidupan umat manusia ada sesuatu hal semacam konsepsi yang melekat mutlak
pada nurani orang mengenai hukum internasional (international law).
Namun, secara historis, gejala
tentang hukum internasional ini telah tampak jelas sejak permulaan sejarah
dokumenter, yaitu sejak 4000 tahun S.M. Kira-kira 3100 tahun S.M. sebuah traktat
dibuat antara Eannatum, raja negara kota Lagash di Mesopotamia
yang menang perang, dengan Umma, sebuah negara kota Mesopotamia lainnya.
Traktat dirumuskan dalam bahasa sumeriah dan telah diabadikan berupa tulisan
terpahal atas sebuah monumen batu (stele), yang ditemukan dalam
dasawarsa pertama dari abad sekarang. Meskipun penggunaan istilah ‘negara’ pada
kelompok masyarakat tersebut diatas adalah berlebihan, namun mereka itu telah
terlibat dalam perang dan dalam traktat itu telah ditetapkan kekebalan (pengutamaan)
dari pada terusan air di perbatasan dan batu tapal perbatasan yang diakui oleh Umma
sebagai pihak yang ditundukkan dibawah sumpah kepada tujuh dewa tersakti.
Dengan demikian, tujuh dewa yang untuk maksud perjanjian tersebut sama-sama
dipuja oleh kedua belah pihak itu menjadi pihak penjamin bagi pelaksanaan
traktat; mereka akan menghukum barang siapa yang melanggar perjanjian.
Dalam hal ini, penulis beranggapan
bahwa perjanjian Lagash-Umma mengandung suatu klausula arbitrasi, yang
berarti bahwa arbitrasi menjadi salah satu lembaga yang paling dihormati dalam
kehidupan umat manusia. Dan yang paling penting lagi diantara
perjanjian-perjanjian yang di abadikan berasal dari zaman 2000 tahun S.M. ialah
pakta perdamaian dan persekutuan yang diadakan di tahun 1279 S.M., antara
Rameses II dari Mesir dengan Haltusili II dari Kheta. Bahasa naskah asli
ialah Akkadi (Babilon), yang dikatakan oleh ahli-ahli bahasa dan budaya
ketimuran sebagai pihak-pihak perjanjian menjanjikan bantuan timbal balik dalam
menghadapi musuh di dalam negeri yang harus diserahkan kalau mencari
perlindungan para raja dari negeri lain. Disini kita menemukan sebuah contoh
asli dari tipe ekstradisi tipe politik pada abad pemulaan.
Yunani Purbakala
Di masa waktu 1000 tahun S.M.,
bangsa Yunani tampil pada singasana sejarah dan segera mengembangkan kebudayaan
tinggi dan beragam. Yang menakjubkan dan menjadi sumber kata-raja bagi
inspirasi generasi mendatang Tetapi dalam lingkungan internasional, pandangan
Yunani sangat terbatas. Selama zaman kemerdekaan di Yunani, sangat sedikit
perjanjian-perjanjian dibuat antara masyarakat Yunani dan bukan Yunani. Tetapi
pada umumnya, orang Yunani beranggapan bahwa orang yang bukan Yunani sebagai
barbar (orang biadab) dan mutlak dianggap sebagai musuh dan ditakdirkan oleh
orang Yunani sebagai budak mereka.
Aristoteles, dalam satu kalimat
terkenal dalam salah satu karyanya politica, menyamakan perang melawan
orang-orang yang tidak mau tunduk, meskipun mereka ditakdirkan untuk
diperintah dengan pemburuan. Perang demikian dianggapnya benar menurut kodrati.
Mungkin ekspresi yang paling jelas
dari pada eratnya ikatan politik di Yunani adalah banyak dan beragamnya
traktat-traktat antara kelompok masyarakat Yunani ketika itu. Suatu sistem
traktat yang begitu beragam tidak tampak di lingkungan internasional sampai
abad XIX. Kesepakatankesepakatan politik yang sudah lumrah seperti perjanjian
perdamaian, persekutuan, dan konfederasi merupakan inti dari pada bahan-bahan
Yunani yang dapat diabadikan. Menarik diperhalikan, bahwa sampai di zaman 400
tahun S.M., perjanjian perdamaian dibuat hanya untuk suatu masa waktu tertentu
yang mengingatkan kita pada masa-masa dahulu kala dimana perang menjadi keadaan
biasa.
Kesepakatan lain yang dimuat dalam
perjanjian politiknya adalah mengizinkan kebebasan perorangan dan perlindungan
harta milik, termasuk hak untuk memperoleh harta benda tidak bergerak, kepada
warga bangsa dari negara-negara perjanjian yang seberapa jauh dapat
dibandingkan dengan traktat modern tentang perdagangan. Diantara
kelonggaran-kelonggaran oleh traktat, yang sekarang tidak lagi digunakan, ialah
hak perkawinan antara warga negara dari masing-masing traktat dan hak untuk
menghadiri perlombaan-perlombaan umum. Warga negara konfederasi sedikit sekali
menerima persamaan hak dengan warga bangsa sendiri. Perjanjian demikian ini
pada waktu itu dinamakan isopolities, beragam sekali.
Bahkan sekalipun traktat tidak ada,
negara Yunani sering memberikan hak yang sama atau paling sedikit perlindungan
kepada warga nengara lain. Suatu bukti lagi dari adanya perasaan kebangsaan
serumpun atau pertalian persaudaraan. Satu kelompk orang yang diakui oleh hukum
dan dinamakan metoikoi adalah berlainan, dalam arti bahwa kelompok ini
meliputi sejumlah orang bukan Yunani Metoikoi ini adalah penduduk
permanen dan terdaftar resmi dengan status demikian juga. Mereka memperoleh
perlindungan hukum penuh, tetapi tidak menikmati hak-hak politik dan hak milik
akan benda tidak bergerak, mereka tunduk untuk kewajiban milisi dinas militer bawahan.
Metokoi melakukan peranan penting dalam perusahaan dagang dan niaga dan
terutama mereka tinggal dalam jumlah yang besar sampai puncaknya hampir
sebanyak setengah juta jiwa, di Athena yang berarti merupakan sepersepuluh atau
seperdelapan dari seluruh penduduk yang ada.
Tetapi hubungan dengan hukum yang
internasional tampak lebih erat lagi dalam hal proxenoi. Seorang warga
negara terkemuka yang dinamakan proxenos, diperjajakan oleh suatu negara
asing dengan tugas melindungi warga negaranya, pun dengan tugas diplomatik
dinegara setempat (dalam hal ini, proxenos menjadi warga negaranya).
Seringkali proxenois dinamakan dengan konsul modern, terutama dengan
konsul kehormatan (honorary consul, consules elicti), yang
dizaman modern sekarang dipilih dari kalangan penduduk dan bahkan dari warga
negaranya setempat. Tetapi proxenos lebih sebagai pejabat politik dari
pada pejabat komersil, dan itu tidak diangkat resmi untuk memangku jabatannya
oleh negara asalnya (tidak diberikan equatur). Lagi pula kekuasaan dan
fungsi-fungsi proxenoi sangat berbeda-beda yang disesuaikan menurut
keadaan waktu itu.
Suatu keistimewaan dalam zaman
Yunani kuno dulu adalah adanya praktek arbitrasi yang dalam sengketa-sengketa
tentang daerah-daerah perbatasan, tentang hak-hak atas sungai dan sumber-sumber
perairan, dan tentang soal-soal lain yang menyangkut hukum publik. Bahkan ada
persetujuan, walaupun tidak sempurna untuk menyelesaikan melalui arbitrasi
sengketa yang mungkin timbul antara pihak suatu cara penyelesaian sengketa yang
menjadi aturan penting ketika itu.
Romawi di Zaman Purbakala
Berlainan dengan Yunani, maka
diantara segala hasil kebudayaan Roma, hukum menduduki tempat yang paling
tinggi dan penting. Sebagaimana dihimpun dan diwariskan kepada
generasi-generasi yang menyusul oleh Kaisar Justianus dari Bynzantinia (A.D.
527-565) dalam Corpus Juris Civilis, telah berhasil memaparkan keagungan
secara abadi. Apabila ada disebutkan tentang hukum internasional dari bangsa
Roma, ini justru tidak begitu penting suatu hal yang di duga berbeda dari
keadaan Yunani. Walaupun demikian, kemampuan dan kebebasan yang unik dari pada
karya Roma dibidang hukum dapat dilihat di lapangan internasional.
Lebih-lebih dari kebiasaan
bangsa-bangsa Yunani, maka dalam kebiasaan roma, pula penyelenggaraan traktat
dan pernyataan perang diatur oleh raja-raja keagamaan. Sampai di zaman
raja-raja yang terakhir di tahun 509 S.M. sekelompok pendeta-pendeta istimewa, fetiales,
yang tergabung dalam sebuah Dewan, bernama collegium fetialium,
dipercayakan pada tugas penyelenggaraan upacara-upacara keagamaan yang
berhubungan dengan traktat-traktat dan perang serta urusan intenasional
lainnya. Tugas fetiales berkenaan dengan permulaan perang lebih
istimewa. Tergantung apabila pihak asing melanggar kewajibannya terhadap Roma.
Ketika itu, dalam keadaan atau syarat-syarat demikian, perang telah diumumkan,
maka perang ini dianggap benar dan suci (bellum justum et pium’). Tata
cara ini dianggap memberikan jaminan kepada rakyat Roma bahwa dalam perang yang
bersangkutan dewa-dewa berada di pihak mereka. Sehingga dengan demikian,
kondisi mental dan moral rakyat dapat diperkuat.
Just fetiale
adalah aturan-aturan yang bersangkutan dengan tata cara hubungan-hubungan asing
yang dilakukan oleh fetiales, teoritis merupakan hukum intern Roma, atau
sebagian dari pada hukum tidak tertulis dalam hukum tata negara Roma. Tetapi
dalam hipotesa yang bersangkutan dengan pelanggaran yang dilakukan oleh bangsa
asing terhadap Roma, maka jus fetiale mengandung aspek hukum
internasional, walaupun dalam bentuk Kaisar.
Traktat yang di buat Roma, relatif
sedikit dan untuk sebagian besar diadakan di zaman republik. Tetapi pada
umumnya, traktat ini bukan merupakan unsur-unsur yang dapat dianggap sebagai
contoh-contoh dalam pengertian hukum internasional. Secara kasar dapat
dikatakan bahwa kebanyakan traktat-traktat mencerminkan metode-metode expansi
politik dari Roma.
Selain itu, Roma juga mengembangkan
tipe traktat menyerah (dalam perang) yang amat khas. Dikenal sebagai deditio.
Mengikuti contoh stipulatio, yaitu cara-cara formil yang tumbuh dalam
hukum perjanjian pendahuluan tertentu kepada wakil-wakil dari bangsa yang
ditundukkan. Pihak yang menyerah dalam jalan ini, akan mendapatkan kesempatan
layak, meskipun tidak sebagai hak menuntut, untuk menerima perlakuan yang
manusiawi. Tipe perjanjian lain yang khas Roma adalah ‘persekutuan yang tidak
sama’ (foedera iniqua), dengan mana, negara sekutu mengakui kekuasaan
tertinggi, majestas, dari pada Roma. Mungkin juga di negara-negara
sekutu demikian tunduk pada pembatasan hak untuk melakukan perang tersendiri.
Perjanjian persekutuan demikian adalah serupa dengan perjanjian yang mendirikan
ikatan hubungan vassal.
Di antara perjanjian-perjanjian
penting Roma yang diadakan di zaman republik, maka yang paling penting adalah
perjanjian dengan Carthago di tahun 509-306 dan 279 S.M. Pada umumnya,
perjanjian ini bersifat istimewa karena mendirikan daerah lingkungan
kepentingan dan kekuasaan masing-masing pihak, tetapi dengan restriksi yang
keras di bidang maritim dibebankan kepada Roma, sehingga kapalnya tidak boleh
memasuki perairan pantai penting, terutama di Afrika. Tetapi tipe perjanjian
ini paling tidak lazim. Roma sebagai negara Imperial tidak begitu membutuhkan
persetujuan internasional. Kaisar-kaisar dari abad kedua dan ketiga dari zaman
Nasrani membuat persetujuan perdagangan dengan negara-negara tetangga yang
membuka daerah-daerah perbatasan ditempat tertentu untuk waktu yang telah
ditetapkan untuk keperluan perdagangan.
Persetujuan pertama dan paling penting
dari tipe ini dibuat di tahun A.D. 175 antara Kaisar Marcus Aurelius dan suku
bangsa Marcomanni dari jerman. Roma telah mengenal perbedaan antara
penandatanganan dan pengesahan (ratifikasi) persetujuan internasional. Tetapi
hal ini membawa akibat yang ekstrim, yakni pihak perunding dari Romawi yang
menutup persetujuan dibawah sumpah, tetapi pengesahannya ditolak oleh senat
dapat diserahkan (ekstradisi) kepada pihak lawan. Aturan ini barangkali
disebabkan keinginan untuk memuaskan dewa-dewa yang si perunding telah disebut
dalam sumpahnya.
Dalam perkembangannya, Inggris
adalah negara yang pertama kali menyebarkan hukum Roma kelingkungan
internasional, Tetapi sumber-sumber yang terdapat di Roma juga berkepentingan,
terutama untuk hukum perdata. Tentang hukum internasional sesunguhnya dapat
dikatakan tidak ada perhalian. Sisa-sisa afiliasi dengan hukum Roma dibidang
teori dan konsepsi tampak luas dalam terminologi hukum internasional modern.
Maka, istilah “servitut negara” (state servitude) berasal dari servitus
yang dalam hukum Roma mengartikan hak lalu lintas dan kelonggaran-kelonggaran
lainnya, yang melekat pada sebidang tanah. Istilah perkripsi (daluarsa) dengan
berbagai tipenya (extinctif, acquisitif, dan daluwarsa).
Mengenai sikap Romawi dalam peperangan
pada umumnya maka kita dapat melihal beberapa tanggapan amat penting yang
berasal dari Socrates dan Plato. Menurut Plato, ia mengusulkan untuk membatasi
pengertian perang pada pertikaian-pertikaian dengan orang Barbar. Pertikaian
antara orang-orang Yunani sendiri ia katakan bukan perang, melainkan penyakit
dan kesalahpahaman. Karenanya Plato menyarankan agar perang antar orang Yunani
sendiri kalau tidak dapat dihindarkan hendaknya dilakukan dengan kelunakan.
Abad Pertengahan Dunia Barat
Hukum Gereja
Iklim abad pertengahan dari dunia
barat tidak memberikan kesempatan bagi perkembangan hukum internasional. Ini
jelas dalam keadaan-keadaan di Abad kegelapan setelah tumbangnya kerajaan Roma,
tidak mengenai hukum sama sekali. Pembinaan hukum dan sejalan dengan ini
pembinaan peradaban, adalah terutama hasil karya Gereja. Gereja telah
memberikan perkembangan sistem hukum yang komprehensif. Hukum canoniek
(hukum gereja katolik), sistem hukum ini mendapatkan kodifikasi di masa akhir
dari abad pertengahan dalam bentuk beberapa collectanea yang merupakan
apa yang menjadi dinamakan Corpus Juris Canonici. Hukum canoniek
tidak bersifat nasional bahkan universal yang di anut oleh seluruh umat Kristen
di dunia.
Sumbangan terbesar Gereja dalam
urusan-urusan duniawi adalah mengenai hukum perang dan damai. Selama abad
pertengahan, perang perorangan merupakan bencana yang menimpa Eropa
Kontinental. Selaku prinsip perang perorangan dianggap sah menurut syarat yang
berbeda-beda di berbagai wilayah. Tetapi selain itu, ada satu hal berkenaan
dengan pengaturan peperangan umum oleh Gereja, yang lebih dekat pada bidang
penelitian kita mengenai peranan hukum Gereja dalam hubungannya dengan hukum
internasional, meskipun tidak begitu penting. Ini adalah interdiksi (perintah
larangan) yang diumumkan oleh Dewan Ketiga Gereja Lateraan terhadap perbudakan
tawanan perang umat kristen. Dewan Kedua Gereja Lateraan tahun 1139 melarang
pengguasaan tanah sebagai permusuhan yang berbahaya dan keji terhadap tuhan.
Pikiran yang dimuliakan mengenai kedudukan
dan kekuasaan tertinggi yang ada pada pada Sri Paus mempunyai peranan dalam
penjabaran kekuasaan atau campur tangan Gereja kedalam hubungan internasional.
Lagi pula Sri Paus secara turun-temurun dengan alasan missi ke-Tuhanan
menganggap memegang kekuasaan tertinggi untuk melakukan arbitrasi bagi semua
umat kristen. Doktrin ini menemukan penteranannya agak istimewa pula, tatkala
di tahun 1298 Raja Edward I dari Inggeris dan Raja Philip Indah dari Perancis
menyerahkan suatu perselisihan antara mereka kepada pewasitan oleh Sri Paus
Bonifacius XVIII sebagai perseorangan dan sebagai Benedictus Gaetanus (nama
asli dari Sri Paus Bonifacius XVIII).
Walaupun demikian, Sri Paus
memberikan keputusan pewasitannya atas kekuasaan pontifical (kekuasaan
Paus) menurut cara-cara hikmat yang ditentukan untuk peristiwa yang
bersangkutan. Tetapi raja Philip menolak keputusan Sri Paus Bonifacius.
Seringkah Sri Paus menurunkan raja-raja bahkan kaisar-kaisar juga seperti Otto
IV dan Frederick II dari tahta kekuasaannya dan membebaskan kaula negara dari
kewajiban-kewajiban pengabdiannya kepada raja yang diturunkan itu. Puncaknya
tercapai dengan sebuah gagasan yang menempatkan Sri Paus sebagai penguasa
tertinggi di dunia. Adalah berdasarkan gagasan ini bahwasanya Sri Paus Alexander
VI ditahun 1493 telah mengadakan pembagian Dunia Baru di bawah kekuasaan
Spanyol dan Portugal. Tetapi untuk tindakan Sri Paus terhadap peristiwa
terdahulu, misalnya, di tahun 1155, Sri Paus Adrianus IV memberikan kekuasaan
kepada raja Henry II dari Inggris untuk menaklukan Irlandia. Begitu pula
ditahun 1455 Sri Paus Nicholas V memberikan kekuasaan kepada raja Portugal
untuk menundukan semua negeri-negeri yang mungkin di temukan di sebelah barat
dari garis yang ditarik dari tanjung Badejoz melalui Guinea.
Perang Sabil merupakan bagian yang
istimewa pentingnya dalam sejarah kegiatan perundang-undangan Gereja dilapangan
internasional. Meskipun sebagian dari peraturan-peraturan gereja mengenai
Perang Sabil ditetapkan seluruhnya kepada hubungan-hubungan dalam batas-batas
wilayah Eropa. MisaInya berlakunya wewenang hukum Gereja atas harta benda
peserta perang Sabil, namun hubungan-hubungan internasional dipengaruhi juga
oleh aturan-aturan yang dikeluarkan oleh Sri Paus dan Dewan Gereja yang
melarang penjualan kepada orang-orang Sarasen2 tentang senjata-senjata,
kapal-kapal, kayu-kayuan untuk pembuatan kapal, dan bends-bends lain yang dapat
digunakan peperangan. Sesungguhnya setiap perdagangan dengan orang-orang
Sarasen2 dianggap tidak sah. Hukuman terhadap pelanggaran akan
diperberat.
Hukum Imperial
Di samping Sri Paus, Kaisar memegang
kekuasaan tertinggi dan universal dalam dunia barat. Di tahun 800, Sri Paus Leo
III yang menganugerahi Charlemagne dengan mahkota Imperial, mendirikan kembali
kerajaan Roma di bagian barat dan mengukuhkan kekeramatannya dalam semangat
agama Kristen. Kerajaan ini dalam abad ketika itu dinamakan Kerajaan Roma Suci
meliputi kurang lebih wilayah Eropa Tengah, termasuk Burgandia, Nederland,
Italia Utara, dan kadang Denmark, Hongaria dan Polandia. Dipandang dari segi
hukum tata negara, kerajaan ini merupakan suatu monarki besar, karenanya tidak
mungkin ada hubungan internasional antara anggota-anggotanya, baik raja-raja
maupun kota-kota besar kekuasaan Kaisar bahkan menjangkau hingga di luar batas
wilayah kerajaan. Wewenang untuk memberikan gelar raja terletak terutama pada
Kaisar. Penerimaan gelar raja untuk sebagian besar adalah pangeran (princes)
yang berkuasa di daerah-daerah bagian kerajaan, misalnya Bohemia di tahun 1088.
Martabat tertinggi dan preseance (pengutamaan) dipomatik, yang terletak
pada Kaisar dengan gelar Romanorum Rex semper Augustus, diakui
selama Abad XII Pertengahan di seluruh dunia barat. Meskipun sebelum abad XII
gelar Imperator ada kalanya direbut oleh raja bawahan.
Hal inilah yang pada hakekatnya
merupakan sekedar aspek-aspek kekuasaan Kaisar yang mempunyai pengaruh hukum
kepada hubungan internasional. Dapat ditambahkan juga kalau Kaisar memiliki
kewenangan penumpasan perang abadi melalui pengumuman ‘masa perdamaian negeri’
(landfrieden) yang mengambil pedoman dari Maklumat Gereja. Disamping
itu, perkembangan hukum internasional juga tidak semata-mata karena pengaruh
gereja, namun ada faktor lain yang ikut berpengaruh, yaitu feodalisme. Ikatan
feodal menjangkau kepada urusan tanah yang dikuasai oleh vassal, sampai kepada
hubungan dengan pesewa-pesewa. Pesewa-pesewa ini, begitu pula dengan
pesewa-pesewa tanah-tanah besar milik yang dipertuan agung menjadi abdi yang
terikat pada tanah.
Ikatan feodal menembus batas-batas
di luar wilayah negeri. Maka raja Inggris suatu waktu pernah menjadi vassal
dari raja Perancis untuk daerah Normandin (hertogdom). Graaf Champagne, seorang
bangsawan Perancis dan vassal (lari Perancis menguasi tanah-tanah yang diterima
dari kaisar dan Hertog Burgondia.
Abad Pertengahan Dunia Timur
Kerajaan Besar Roma Bagian Timur
Pembagian Kerajaan Besar Roma atas
Bagian Barat (Latin) dan Bagian Timur (Yunani) di ikrarkan dalam wasiat Kaisar
Theodosius (A.D. 395). Karena menghadapi ancaman dari suku-suku bangsa Barbar
di wilayah sebelah utara, maka pusat kekuasaan kerajaan telah dipindahkan
kesebelah timur. jauh sebelum tahun 330 Bizantyum (Konstantinopel/ Instanbul),
dijadian ibu kota kerajaan. Tahun 476, Kerajaan Besar Roma Bagian Barat runtuh
akibat serangan dari suku bangsa Barbar, tetapi Kerajaan Besar Roma Bagian
Timur (Yunani) dapat bertahan sampai tahun 1453, sebelum jatuhnya Byzantium
ketangan kekuasaan Sultan Mohammad II dari Turki, Byzantium selalu menjadi
tempat bersemayam yang paling gemilang bagi peradaban Nasrani sampai kota ini
ditundukan dan dirangsak oleh laskar-laskar Perang Sabil dari Barat di tahun
1204.
Adapun pusat kerajaan-kerajaan
bagian timur adalah Asia Kecil, Yunani, dan daerah-daerah Balkan Selatan. Juga
meliputi wilayah Mesir (jatuh ketangan kekuasaan Arab tahun 641) dan
daerah-daerah Afrika Utara, Syiria, Palestine, Cyprus, daerah pantai utara dari
Laut Hitam, Sicilia, dan beberapa daerah luas di Italia, termasuk Roma sendiri
selama kurang lebih dua abad. Jangkauan kekuasaan kerajaan besar semakin lama
semakin pesat. Pernah berhasil memulihkan kekuasaan di abad IX dan X Haman
akhirnya pecah juga sehingga wilayah kekuasaanya hanya terbatas pada ibukota
dengan daerah sekitamya dan beberapa daerah Yunani. Dalam hal ini, kedudukan
Kaisar Basileus di Kerajaan Besar Byzantium jauh lebih kuat dari pada kaisar
kerajaan besar Roma suci.
Sumbangan terbesar dari kerajaan
besar Byzantium kepada hukum internasional adalah terletakdi bidang peningkatan
dan pemurnian diplomasi dan praktek traktat. Berbeda dengan kaisar Roma, maka
Basileus selalu harus merundingkan persetujuan dengan raja-raja tetangga,
terutama raja Persia, Rusia dan Bulgaria, negara-negara kota di Italia,
Khalifah-khalifah di Baghdad dan Mesir, dan raja‑raja Islam lainnya. Dalam
melakukan hubungan luar negeri ini, kekuasaan absolut yang ada pada Basileus
menyebabkan ia dapat bertindak dengan bebas.
Pertemuan Antara Barat dan Timur;
Peranan Konsul
Dalam kesempatan ini, kita hanya
membahas cara-cara/ praktek komunikasi yang menghubungkan antara dunia barat
dan timur ketika itu. Sebuah misi diplomatik yang diutus oleh Khalifah Harun Al
Rasyid ke Kaisar Charlemagne di tahun 801 tidak menghasilkan perbuatan traktat
apapun. Sekalipun Khalif memberikan kepada kaum jamaah yang berkunjung ke tanah
suci Yerusalem, kelonggaran-kelonggaran yang begitu jauh hanya dinikmati oleh
orang-orang Yunani. Akan tetapi operasi-operasi Perang Sabil penuh dengan
pertempuran-pertempuran. Perjanjian peperangan tanpa pertumpahan darah terjadi
pada Perjanjian Joppa pada tahun 1229 dengan mana Kaisar Frederick II
memenangkan Yerusalem, Betlehem, dan Nazareth dari Sultan Al Kamil. Dalam
diplomasi Kaisar yang cerdik lihai, maka unsur yang paling efisien dan
bermanfaat ialah penghargaan yang ikhlas di pihak Kaisar terhadap kebudayaan
Arab. Peristiwa ini, begitu pule dengan persahabatan kekal yang ditunjukan oleh
Kaisar terhadap bangsa Arab merupakan babak yang cemerlang dalam drama berlumur
darah yang berlangsung selama ini.
Maka berkembanglah perdagangan dan kebudayaan
yang maju dengan negeri-negeri Arab. Membentang di sepanjang alur-alur
pelayaran di Lautan Tengah. Dipihak dunia kristen, maka Pisa, Genoa, Venetia,
dan Aragon menduduki tempat terkemuka, sedangkan dunia Arab dipelopori oleh
Mesir, Siria, Tunisia, dan Maroko. Peraturan anti Sarasen dari kalangan Gereja
tidak dapat membendung arcs perdagangan ini. Dalam hubungan dengan Mesir
khsusnya, yang merupakan kekuatan perang kaum Muslim, maka traktat yang dibuat
oleh negara Kristen dengan negeri Islam ini seakan-akan merupakan pengkhianatan
terhadap cita-cita perjuangan umat Kristen. Perjanjian pertama yang dibuat
dengan Mesir oleh Pisa di tahun 1154. Kemudian di tahun 1208 Venetia menyusul
dengan memperoleh fasilitas-fasilitas istimewa di bidang perdagangan dari Mesir
sebagai imbalan terhadap, jasa-jasa baik Venetia yang katanya telah membendung
rencana serangan besar laskar Perang Sabil atas Mesir.
Persetujuan yang dilakukan ini lazim
ketika itu dinamakan kapitulasi, suatu istilah yang agak mengelabui, dan
berasal dari kapitula yang merupakan bagian-bagian bernomor dari
persetujuan-persetujuan yang dibuat. Kebanyakan persetujuan merupakan pemberian
konsesi unilateral yang dalam hal ini lebih menarikbagi raja-raja Muslim sesuai
dengan perasaan kebesaran dan kemurahan halinya. Sewaktu-waktu konsesi
unilateral dapat dibatalkan, ini merupakan suatu hal yang berabad-abad kemudian
mendapat tantangan dari diplomat-diplomat dan ahli-ahli hukum barat, yang beranggapan
bahwa memang menyenangkan menikmati keuntungan dari konsesi-konsesi yang
bersifat unilateral tadi, tetapi tidak menyenangkan jika diganggu oleh
kebalikannya yang dapat merugikan. Di abad XVIII dan XIX kapitulasi-kapitulasi
itu diubah menjadi perjanjian perdagangan, tetapi kepanjangan yang disebabkan
oleh tidak adanya resiprositas atau azas timbal balik masih belum hapus sama
sekali. Baru di abad sekarang inilah kepentingan tidak adanya persamaan derajat
dapat dihapuskan.
Suatu praktek konsul di zaman modern
sekarang ini adalah berasal dari adat kebiasaan Arab di abad pertengahan.
Konsul-konsul yang ditempatkan di negeri-negeri Kristen kadangkala dipilih dari
warga bangsa yang menghuni negeri setempat yang disebut dengan Consules
Hospites. Praktek Perjanjian perdagangan dan penerimaan duta-konsul yang terbangun
antara dunia timur dan barat ini semakin membuka komunikasi toleransi keyakinan
yang selama ini terhalangi oleh perang.
Abad Modern
Abad modern lazimnya dianggap sejak
tahun 1492, tahun dimana Columbus menemukan Benua Amerika yang merupakan
penemuan yang membuka tonggak sejarah ke abad modern. Akan tetapi pertumbuhan
hukum nasional di zaman baru itu pertama-tama harus di korelasikan dengan
tumbuhnya negara-negara nasional seperti Spanyol, Inggris dan Perancis.
Pertumbuhan negara-negara baru ini merupakan proses yang berulur, lama, dan
menjadi sempurna pada tahap, permulaan dari abad modern. Tidak saja hukum
feodal hilang di lingkungan internasional, tetapi juga kedudukan sebagian besar
negara kota dan persekutuan kecil lainnya yang secara politis tidak dapat
dipertahankan lagi.
Bahkan sekalipun tidak ada
pembentukan negara nasional, seperti Italia, namun banyak negara kota bertekuk
lutut dalam menghadapi arus konsolidasi teritorial, atau gerakan persatuan
kebangsaan. Di bagian Eropa Utara, Liga Hansa mengalami nasib yang sama.
Akibatnya ialah bahwa pihak-pihak peserta dalam transaksi-transaksi internasionalnya
menjadi berkurang. Memang benar bahwa anggota atau negara-negara bagian dari
Kerajaan Besar Roma Suci, sebagaimana sudah disinggung diatas, kadang suka
niengadakan persetujuan yang bersifat internasional, dan kecenderungan kearah
ini tampak meningkat di zaman baru itu. Akan tetapi dipandang dari segi hukum,
mereka tetap I unduk kepada kekuasaan Kaisar dan tentunya juga kepada pemegang
hak konstitusional dalam kerajaan besar. Dalam prakteknya, meskipun Swiss
kadangkala bersikap sebagai anggota kerajaan besar, dan harus mendapatkan
pengakuan sah dalam hal kemerdekaannya melalui perjanjian perdamaian
westphalia, namun Swiss telah dipandang sebagai merdeka sejak tahun 1499.3
Babak baru era modern yang ditandai
dengan perkembangan yang demikian pesat pada bidang ilmu pengetahuan dan
teknologi pada paruh ke-2 abad XX, meningkatnya hubungan kerjasama dan
ketergantungan antar negara, menjamurnya negara-negara baru dalam jumlah yang
banyak sebagai akibat dekolonisasi, munculnya organisasi-organisasi
internasional dalam jumlah yang banyak telah menyebabkan ruang lingkup hukum
internasional menjadi lebih luas. Selanjutnya, hukum internasional bukan saja
mengatur hubungan antar negara, tetapi juga subyek-subyek hukum internasional
lainnya, kelompok-kelompok supra-nasional dan gerakan-gerakan pembebasan
nasional. Bahkan dalam hal-hal tertentu, hukum intenasional juga diberlakukan
terhadap individu dalam hubungannya dengan negara-negara4.
Perjanjian West Phalia dan Sejarah
Hukum Internasional Modern
Dalam sejarah hukum, khususnya hukum internasional, Perjanjian
West Phalia merupakan tonggak sejarah dari lahirnya negara-negara modern
menurut hukum internasional. Latar belakang dari lahirnya perjanjian
legendaris ini bukan saja disemangati oleh persoalan-persoalan keagamaan, pertentangan
antara agama Katolik dan Protestan, tetapi lebih jauh dalam soal-soal
perkembangan kenegaraan dan hubungan antara bangsa serta pengakuan
internasional. Seperti diketahui bahwa hukum internasional, selain hukum agama
sangat berpengaruh besar dalam perkembangan hukum di Eropa Barat sehingga
berabad-abad lamanya hukum Romawi ini dipegang secara unifikasi oleh
negara-negara yang tadinya memang berada di bawah Imperium Romawi tersebut.
Selain itu, Perang Tiga Puluh Tahun5
(bahkan lebih dari itu menurut beberapa ahli sejarah) telah membawa
dampak besar bagi perubahan-perubahan peradaban umat manusia di muka bumi.
Beberapa negara yang tadinya menjadi satu kerajaan besar, oleh akibat keinginan
masyarakat kecil berpecah-pecah menjadi beberapa negara. Contohnya di
negara-negara Eropa Bagian Barat dan negara-negara yang dikenal dengan
Luxemburg, Belanda dan Belgia (Benelux) yang tadinya bersatu menjadi satu
negara. Demikian pula dengan adanya kerajaan-kerajaan kecil oleh keinginan
masyarakat bersatu menjadi satu negara, seperti Italia.
Bukan itu saja, perubahan-perubahan
penting dari sejarahperang tiga puluh tahun adalah solusi-solusi perdamaian
dari akibat perang yang lama tersebut serta adanya kodrat manusia yang ingin
berdamai. Solusi perdamaian memang bukan pertama-tama berkembang dalam Perjanjian
West Phalia yang, merupakan tonggak sejarah mengakhiri perang tiga puluh
tahun di Eropa, tetapi bagaimanapun juga, perjanjian ini telah menghasilkan
dokumen-dokumen penting bagi sejarah umat manusia di muka bumi. Persatuan Eropa
(European Unity) dapat dipandang sebagai cikal bakal dari perjanjian
ini. Demikaian pula halnya dengan terbentuknya asosiasi-asosiasi regional
banyak mengacu pada Perjanjian West Phalia ini. Konklusi perdamaian yang
merupakan titik puncak dan Perjanjian West Phalia telah membawa semangat
kebersamaan pada umat manusia di muka bumi, khususnya semangat kebersamaan pada
pilar-pilar kemanusiaan bahwa, perang, kedengkian, pembinasaan, pemerkosaan
hak-hak asasi adalah perbuatan dosa yang tidak terampuni di muka bumi. Semangat
kebersaman tanpa tendensi agama dan ras (seperti terjadi dalam satu bagian
perang tiga puluh tahun, perang Salerma antara Inggris dan jerman soal agama
Katolik-Protestan dan Perang Salib antara Inggris dan Arab soal ajaran Islam-Kristen)
sebagai pertanda permusuhan itu sia-sia belaka.
Bangkitnya Negara-Negara Modern
Perang tiga puluh tahun (1618-1648),
barangkali merupakan pertikaian di benua Eropa yang paling dahsyat setelah
invasi suku-suku Barbar, merupakan peristiwa yang, paling penting dalam abad
XVII. Perang ini sekaligus merupakan klimaks, dan praktis yang terakhir, dari
peperangan-peperangan agama. Perang diakhiri dengan Perdamaian West Phalia
setelah perundingan berlarut-larut selama lebih dari tiga tahun, yang serentak
diadakan di Munster dan Osnabruck. Mayoritas besar dari negara-negara Eropa
terwakili dalam perundingan ini, sehingga merupakan Kongres Eropa yang pertama
(Inggris dan Polandia termasuk negara-negara yang tidak hadir). Tetapi tidak
ada cara-cara penyelenggaraan seperti yang terdapat dalam perundingan-perundingan
modern, misalnya pengangkatan ketua sidang, kegiatan panitia, pembuatan laporan
atau tekhnik-tekhnik persidangan lainnya.
Pemilihan dua tempat untuk
perundingan disebabkan terutama disebabkan oleh perselisihan antara Perancis
dan Swedia tentang prioritas kedudukan. Di Munster sebagai kota Katolik,
Perancis diberi kedudukan utama, sedangkan Swedia mendapatkan prioritas di kota
Protestan, Osnabruck. Kedua naskah perjanjian perdamaian yang di tandatangani
di Munster dan Osnabruck itu, secara yuridis merupakan suatu traktat yang
terkenal dengan nama Perjanjian West Phalia. Perancis dan Swedia
bertindak sebagai penjamian perjanjian ini. Selama kurang lebih satu abad Perdamaian
West Phalia telah menjadi perangkat bagi organisasi politik Eropa. Suatu
karakteristik dari Perjanjian West Phalia adalah bahwa peristiwa ini
dijadikan titik tolak bagi sejarah hukum internasional dalam
publikasi-publikasi utama tentang perihal ini. Bahkan perdamaian ini adakalanya
dianggap sebagai saat lahirnya hukum internasional Eropa. Meskipun pandangan
ini tidak sungguh beralasan, namun perdamaian ini memang merupakan suatu
tonggak sejarah dalam perkembangan hukum internasional.
Selain jaminan dari Perancis dan
Swedia itu, terdapat tiga pokok yang penting dan luar biasa dalam traktat ini.
Pertama, negeri-negeri yang menjadi anggota-anggota kerajaan besar Roma,
berjumlah lebih dari tiga ratus, sekarang, anggota-anggota negara dengan resmi
mempunyai hak untuk mengadakan persekutuan dengan negara-negara lain, ini
berarti bahwa mereka juga mempunyai hak untuk melakukan perang, asalkan
persekutuan itu tidak ditujukan untuk melawan Kaisar atau kerajaanbesar besar
dan ketertibannya atau memperkosa Perdamaian West Phalia, hal-hal mana merupakan
syarat-syarat yang dilaksanakan. Dengan demikian, negeri-negeri bagian kerajaan
besar Roma ini meningkat kedudukannya kedalam suatu status internasional yang
menghampiri kedaulatan, meskipun istilah lama, yaitu Landeshoheit
(kekuasaan tertinggi atas suatu wilayah; supremasi teritorial), dipertahankan.
Dipandang dari segi-segi kebudayaan dan ekonomi, Perang Tiga Puluh Tahun itu
membawa jerman kembali kepada keadaan lebih dari satu abad yang lalu. la telah
kehilangan sepertiga dari jumlah penduduknya menurut perkiraan yang layak.
Pukulan ini ditambah dengan kelumpuhan kekuasaan politik kerajaan besar yang
tidak dapat dipulihkan kembali sebagai akibat dari Perdamaian West Phalia.
Kedua, perdamaian ini menghasilkan
pengakuan internasional untuk pertama kalinya bagi agama Protestan atau lebih
tegasnya lagi bagi Lutheranisme dan Calvinisme. Hasil ini
melebihi hasil yang tercapai pada perjanjian perdamaian keagamaan di Augsburg
di tahun 1555. Kaum katolik atau kaum Protestan yang pada tanggal 1 Januari 1624,
telah menikmati hak beribadah baik secara terbuka maupun secara pribadi,
mendapat pengukuhan dalam haknya ini. Lepas dari persoalan agama apakah yang
dimasa lampau telah, atau kelak dkan, berkuasa di wilayah mereka masing-masing.
Mereka yang keibadahan dan keagamaannya tidak memperoleh pengakuan resmi pada
tanggal 1 Januari 1624 diberi kebebasan keyakinan (conscientia libera)
dan perlindungan hak-hak sipil, meskipun di wilayah-wilayah kewarisan dari
kerajaan I lapsburg (Austria) toleransi terhadap umat Protestan tetap lebih
terbatas. Pengambilalihan biara-biara dan harta benda kegerejaan dikukuhkan.
Apabila telah berlaku pada atau sebelum tanggal 1 Januari 1624.
Sebagaimana diketahui, perdamaian
keagamaan di Augsburg itu telah memberikan kekuasaan yang sama kepada
pangeran-pangeran Katolik dan pangeran-pangeran Lutheran atas urusan-urusan
agama dari kaula-kaulanya masing-masing. Perjanjian West Phalia,
meskipun pada imiumnya mengukuhkan kekuasaan demikian dari pangeran-pangeran,
memberikan perlindungan kepada afiliasi atau pemilihan keagamaan dari individu.
Dan jika perdamaian Ausburg merupakan urusan intra-Jerman, dan hasil dari
perang saudara keagamaan, maka Perdamaian West Phalia merupakan soal
yang termasuk dalam hukum internasional melalui perwujudan sebuah konvensi
multilateral. Fakta bahwa Perancis menjadi peserta pasca Perdamaian West
Phalia adalah penting istimewa. Meskipun Sri Paus Innocent X, dalam sebuah dekrit
zele demus dei, menyatakan bahwa toleransi dan ketentuan-ketentuan
keagamaan lainnya, yang menjadi inti Perjanjian West Phalia, adalah
“batal, tidak adil, terkutuk, tidak berlaku” dan pernyataan pembatalan ini juga
ditunjukan kepada sumpah-sumpah dan janji-janji dalam perjanjian, namun
perjanjian ini telah dilaksanakan seluruhnya. Apabila antara karya Grotius dan Perdamaian
West Phalia ada hubungan semangat, maka hubungan serupa ini juga ada antara
kutukan terhadap karya Grotius, dan pengutukan Perdamaian West Phalia
yang keduanya telah dilakukan oleh Sri Paus ketika itu.
Mengenai sanksi yang dibubuhkan
kepada perjanjian ini, terdapat ketentuan bahwa tindakan-tindakan permusuhan
yang telah dilakukan di masa lampau akan “di lupakan dan di ampuni secara abadi
“sehingga segala tuntutan akibat tindakan-tindakan permusuhan itu akan
dikubur”. Istilah itu berulang-ulang termuat dalam traktat yang menyusul
kemudian. Apabila terjadi pelanggaran terhadap perjanjian, maka dicapai kata
sepakat bahwa pihak yang dirugikan pertama-tama akan menyerahkan persoalan
kepada usaha “penyelesaian secara damai atau penyelesaian secara yuridis”.
Apabila usaha ini tidak berhasil dalam jangka waktu tiga tahun (sic), maka
semua pihak peserta perjanjian ini “akan mengangkat senjata dengan segala
muslihal dan kekuatan untuk menaklukkan pihak pelangar”. Dalam kenyataannya,
tindakan bersama demikian tidak pernah terjadi, bahkan tidak pernah dirembugkan
secara serius. Meskipun demikian, dipandang dari segi sejarah, ketentuan ini
adalah penting sebagai usaha pertama kearah penyelenggaraan organisasi
internasional untuk pemeliharaan perdamaian.
Perdamaian West Phalia
telah membawa perubahan besar terhadap status politik negara-negara Eropa
Barat. Di kalangan negara-negara Eropa, kekuasaan tertinggi sekarang beralih ke
tangan Perancis dibawah pemerintahan Raja Louis XIV (1643-1715). Bahasa
Perancis meningkat menjadi bahasa paling utama dalam perundingan internasional
demikian rupa sehingga kelama-lamaan menggantikan bahasa Latin sebagai
kebiasaan cara komunikasi antara diplomat-diplomat dari berbagai kebangsaan
(ini suatu contoh, kebetulan, dari kebiasaan praktek internasional, dan bukan
hukum internasional).
Melalui sebuah perjanjian
tersendiri, J.I. Traktat Munster, dengan Nederland, maka Spanyol yang melepaskan
kekuasaannya atas Portugal di tahun 1641, sekarang terpaksa harus mengakui
kemerdekaan Nederland. Lagi pula politiknya yang ketat dan tidak bijaksana,
meskipun mempunyai koloni-koloni di benua amerika, telah mengliambat kemajuan
ekonomi Spanyol.
Dalam pada itu, Inggris berhasil
mencapai kedudukan kedua di kalangan negara-negara Eropa. Pentingnya Perang
Tiga Puluh tahun bagi Inggris adalah terutama bertalian fakta hAwa ia telah
dapat memanfaatkan politik non-intervensi kedalam peperangan, sehingga
ia berhasil mengembangkan kekuatan angkatan lautnya, membangun imperium kolonial,
dan menggalang kekuatan ekonomi dan keuangannya. Keketika itu hasil
perjuangannya melawan absolutisme, Inggris telah dapat memelihara
tradisi-tradisinya dalam menegakkan hukum sebagai kekuatan utama dalam hubungan
antar negara.
Nederland pun mengalami perkembangan
yang dalam banyak aspek menunjukan persamaannya dalam perkemhmigan berbagai
aspek di Inggris. Meskipun dalam dua kali perang maritim dengan Inggris
(1652-1654, 1664-1667), ternyata Inggris lebih kuat, namun kemajuan Nederland
dalam kekuatan maritim, ekspansi kolonial, dan dalam kekayaan dan kebudayaan
pada umumnya, terus meningkat dalam periode ini. Baik dalam hukum publik
internasional maupun dalam hukum perdata internasional, Nederland menduduki
tempat paling terkemuka.
Pada dasarnya, pola struktur Eropa
Barat selama periode ini tetap berlaku menurut struktur yang telah dibentuk
oleh perjanjian Perdamaian West Phalia. Tetapi ada beberapa perubahan
yang harus kita perhalikan. Perjanjian perdamaian Utrecht (1713) telah
mengakhiri perang suksesi Spanyol yang berlarut-larut, melalui pencabutan hak
atau tuntutan secara timbal balik, yaitu oleh Raja Spanyol atas Mahkota
Perancis. Selain Perancis dan Spanyol, juga Inggris dan Nederland menjadi
penandatanganan perdamaian Utrecht ini, yang tidak bersifat multilateral
seperti halnya dengan Perdamaian West Phalia, melainkan terdiri dari
beberapa perjanjian bilateral. Perjanjian perdamaian Utrecht memberikan Inggris
banyak keuntungan di bidang perdagangan dan politik, misalnya pemilikan atas
wilayah Jabal tarik dan berakhirnya kekuasaan tertinggi Perancis di Eropa
sebagai akibat dari peperangan yang berturut-turut dilancarkan oleh rajanya.
Sebenarnya perjanjian Utrecht telah menyatakan bahwa “perdamaian dan keamaanan
dikalangan umat Kristen dapat dipulihkan dengan suatu keseimbangan kekuatan
yang adil, yang merupakan landasan yang terbaik dan paling kuat untuk
persahabatan bersama dan persesuaian yang kekal”. Keseimbangan yang berarti
suatu kondisi politik antar negara-negara, dalam mana tidak ada negara yang
mencapai suatu kekuatan yang begitu hebat sehingga akan membahayakan
kemerdekaan politik negara lain. Sampai zaman kekuasaan politik Napoleon,
memang situasi politik sedikit banyak adalah sesuai dengan prinsip ini. Akan
tetapi perlombaan diplomatik menjadi tambah ruwet dengan timbulnya negara baru
yang lebih kuat (J.1. Prussia).
Negara ini sebagai kerajaan sejak
tahun 1701 mencapai kedudukan terkemuka dibawah kekuasaan Raja Frederick Besar
(1740-1786) setelah menaklukan Austria dan Perancis. Selain itu, Rusia di Eropa
Timur menjadi negara terkuat di bawah pemerintahan Kaisar Peter Besar
(1740-1786) dengan hasil perjanjian Perdamaian Nystad (1721). Sebaliknya,
seketika itu, Swedia jatuh dari kedudukannya sebagai negara kuat di Eropa
Utara. Tetapi kemunduran kekuatan di pihak umat Protestan disini telah dapat
diimbangi di lain pihak oleh munculnya Prussia dan oleh ekspansi kolonial dan
perdagangan yang hebat dari negara Inggris. Dengan timbulnya Russia, maka
peranan negara-negara Katolik dalam konstalasi kekuatan politik secara relatif
makin berkurang. Sekalipun Perancis dapat mempertahankan kedudukannya,
barangkali lebih-lebih disebabkan oleh kebudayaannya yang tinggi dari pada
disebabkan oleh kekuatan.
Dalam perkembangannya, pada lain
pihak, masyarakat internasional, khususnya negara-negara, mulai mengembangkan
penyelesaian-penyelesaian sengketa dengan cara-cara damai, misalnya melalui
perundingan, baik langsung maupun dengan perantaraan pihak ketiga, dengan
menyelenggarakan konperensi-konperensi ataupun kongres-kongres internasional.
Dalam perkembangan selanjutnya, konperensi atau kongres internasional itu tidak
lagi hanya sebagai sarana penyelesaian sengketa, melainkan berkembang menjadi
sarana membentuk atau merumuskan prinsip-prinsip dan kaidah-kaidah hukum
internasional dalam bentuk perjanjian-perjanjian atau konvensi-konversi
internasional mengenai suatu bidang tertentu. Sebagai contoh adalah, Konperensi
Perdamaian Den Haag I tahun 1899 dan II tahun 1907 yang menghasilkan
prinsip-prinsip dan kaidahkaidah hukum perang internasional yang dalam perkembangannya
sekarang ini, menjadi hukum humaniter.
Demikian juga pada masa sekitar abad
XIX telah lahir lembaga atau organisasi internasional, seperti, Palang Merah
Internasional (International Committee for the Red Cross) berkat
jasa-jasa dan Henry Dunant, serta berdirinya Organisasi Telekomunikasi
Internasional (International Telecomunication Organisation) yang
kemudian berubah menjadi Uni Telekomunikasi Internasional (International
Telecomunication Union). Kedua organisasi internasional ini dapat dipandang
sebagai organisasi internasional yang tertua di dunia yang masih ada hingga
kini. Meskipun jumlahnya pada masa itu masih bisa dihitung dengan jari, namun
berdirinya organisasi internasional ini dapat dipandang sebagai awal yang
positif bagi perkembangan masyarakat dan hukum internasional. Pada sisi lain,
hal ini dapat pula dipandang sebagai gerak dan langkah maju menuju ke arah
semakin mapannya eksistensi masyarakat internasional pada umumnya, negara-negara
pada khususnya, maupun hukum Internasional itu sendiri.
Sejarah Hukum Internasional pada masa Abad ke-19
Masa Antara 1907-1945 (Tahap
Konsolidasi Bagi Negara-Negara Kolonial, Tahap Memperjuangkan Hak Hidup Bagi
Bangsa-Bangsa Terjajah)
Keberhasilan membangun struktur
masyarakat Internasional baru selama masa 1648-1907 yang ditandai dengan
keberhasilan mempertahankan hak hidup dan eksistensi negara-negara nasional
sebagai kesatuan-kesatuan politik yang merdeka, berdaulat, dan sama derajat,
serta keberhasilan memperkenalkan konperensi-konperensi internasional sebagai
media untuk membentuk hukum Internasional maupun organisasi-organisasi
internasional, semakin memantapkan usaha untuk mewujudkan konsolidasi ini.
Selanjutnya, berbagai pembenahan sesudah tahun 1907 menunjukkan, bahwa
masyarakat internasional yang terdiri dari negara-negara dan
organisasi-organisasi internasional semakin menampakkan kedewasaannya.
Namun demikian, terdapat pula ekses
negatif dan konsolidasi ini yakni timbulnya usaha saling memperebutkan pengaruh
antara negara-negara kolonial tersebut, yang seringkah dilakukan dengan
cara-cara melanggar hukum internasional. Meletusnya Perang Dunia I (1914-1918),
merupakan lembaran hitam dalam perjalanan sejarah masyarakat internasional.
Perang Dunia I hampir saja memporak-porandakan tata kehidupan masyarakat
internasional pada masa itu, padahal dasar-dasamya dengan susah payah telah
diletakkan selama berabad-abad sebelumnya. Setelah berakhirnya Perang Dunia I,
satu modal utama yang masih melekat pada masyarakat Internasional
(negara-negara) adalah adanya kesadaran, bahwa perang atau kekerasan bukanlah
merupakan cara terbaik untuk menyelesaikan sengketa. Bahkan dengan belajar dari
pengalaman-pengalaman sebelumnya, muncullah keinginan-keinginan untuk mencegah
dan menghapuskan peperangan yang pada hakekatnya hanyalah sebagai sarana untuk
menghancurkan eksistensi umat manusia, meskipun sebenarnya sudah ada
prinsip-prinsip dan kaidah-kaidah hukum yang mengaturnya.
Berdirinya Liga Bangsa-Bangsa (the
League of Nations) pada tahun 1919 tak lama setelah berakhirnya Perang
Dunia I, sebagai organisasi internasional yang bergerak dalam ruang lingkup dan
tujuan global, yakni mewujudkan ketertiban, keamanan, dan perdamaian dunia,
secara tersimpul dapat pula dipandang sebagai usaha-usaha untuk kembali
mengatur masyarakat internasional berdasarkan pada prinsip-prinsip dan
kaidah-kaidah hukum internasional. Di samping itu, dalam batas-batas tertentu,
Liga Bangsa-Bangsa pun, baik langsung maupun tak langsung, dapat benfungsi
sebagai badan pembentuk hukum internasional. Keputusan-keputusan atau
resolusi-resolusi yang dikeluarkannya, berlaku dan mengikat sebagai hukum
terhadap negara-negara anggotanya. Bahkan tidak jarang Liga Bangsa-Bangsa
sebagai onganisasi global, mengeluarkan keputusan atau resolusi yang mengandung
kaidah-kaidah hukum internasional yang berlaku umum. Hal ini menunjukkan bahwa
hukum internasional semakin bertambah luas, tidak lagi hanya terbatas pada
hukum yang mengatur dan/atau hukum yang dihasilkan oleh hubungan antara negana,
melainkan sudah mencakup hukum yang mengatur dan juga hukum yang dihasilkan
oleh onganisasi internasional.
Meskipun demikian, pada masa itu
hukum internasional bagian terbesar masih terdiri dan hukum yang mengatur
hubungan-hubungan antar negara. Demikian pula dengan dibentuknya badan
peradilan internasional, seperti Mahkamah Internasional Permanen (Permanent
Court of International Justice) pada tahun 1921, sebagai salah satu organ
dari Liga Bangsa-Bangsa serta badan penyelesaian sengketa lain yang sudah ada
sebelumnya, dapat diartikan bahwa masyarakat internasional masih percaya dan
hormat pada hukum internasional dalam mengatitr hubunganhubungan
internasional.
Pada hakekatnya, bendirinya
organisasi-onganisasi internasional adalah sebagai perwujudan dari kerjasama
internasional antara negara-negana untuk mencapai suatu tujuan tertentu, dengan
kata lain, organisasi internasional berfungsi sebagai sarana kerjasama
internasional yang dilembagakan. Hal ini tidaklah berarti, bahwa di luar jalur
kelembagaan tersebut tidak ada jalur lain untuk mencapai tujuan.
Perundingan-perundingan bilateral maupun konperensi-konperensi internasional
multilateral tetap merupakan jalur yang diandalkan sebagai sarana untuk
mencapai tujuan. Sebuah perjanjian bilateral yang patut dicatat disini, yakni
Pakta Briand-Kellog (Briand-Kellog Pact) pada tahun 1928, merupakan
hasil dari perundingan bilateral antara Amerika Serikat yang diwakili Menteri
Luar Negerinya yang bernama Kellog, dan Perancis yang diwakili oleh Menteri
Luar negerinya, yaitu Briand, yang isinya berkenaan dengan penghapusan
cara-cara kekerasan seperti perang, yang sebelumnya dijadikan sebagai sarana
dalam menyelesaikan sengketa-sengketa antar negara.
Peristiwa lainnya yang juga patut
dicatat dalam sejarah perkembangan hukum internasional adalah Konperensi
Kodifikasi Hukum Internasional di Den Haag (Belanda) pada tahun 1930 yang
diprakarsai oleh Liga Bangsa-Bangsa. Sesuai dengan namanya, Konperensi Den Haag
1930 ini berusaha untuk mengkodifikasikan berbagai bidang hukum internasional.
Konperensi ini telah menghasilkan beberapa konvensi internasional yang sangat
berarti bagi pertumbuhan dan perkembangan hukum internasional pada kurun waktu
tersebut, seperti Konvensi tentang Wesel, Cek, dan Aksep, konvensi tentang
orang-orang yang berkewarganegaraan dan tanpa kewarganegaraan. Sedangkan
mengenai lebar laut teritorial, negara-negara peserta Konperensi Den Haag
ternyata gagal mencapai kata sepakat.6
Liga Bangsa-Bangsa ini ternyata
tidak berumur panjang. Perang Dunia II yang meletus pada tahun 1939 dan
diperluas dengan. Perang Asia Timur Raya yang meletus ketika Jepang membom
pangkalan Angkatan Laut Amerika Serikat, Pearl Harbour di Hawaii pada tanggal 7
Desember 1941, merupakan peristiwa yang kedua kalinya memporak-porandakan
struktur masyarakat internasional yang sebenarnya sudah mulai mapan. Meletusnya
Perang Dunia II pada sisi lain dapat dipandang sebagai kegagalan dari Liga
Bangsa-Bangsa dalam usahanya mewujudkan ketertiban, keamanan, dan perdamaian
dunia. Belajar dan pengalaman sebelumnya, maka segera setelah berakhirnya
Perang Dunia II pada tahun 1945, dibentuklah Perserikatan Bangsa-Bangsa (the
United Nations) yang secara resmi berdiri pada tanggal 24 Oktober 1945 yang
maksud dan tujuannya tidak jauh berbeda dengan Liga Bangsa-Bangsa7.
Dua kali Perang Dunia yang terjadi
dalam kurun waktu yang relatif pendek, kalau disimak dengan seksama, sebenamya
hanyalah merupakan lintasan sejarah atau sebagai gempa besar yang menggoncang
struktur dan kehidupan normal masyarakat internasional yang tunduk pada hukum
internasional. Ternyata kedua perang dunia tersebut tidak sampai merombak atau
merusak secara total sendi-sendi dan struktur masyarakat internasional. Sesudah
Perang Dunia II masyarakat internasional ternyata justru semakin pasti menuju
ke arah kemajuan. Hal ini ditunjukkan oleh munculnya fakta-fakta baru yang
secara umum mendorong pertumbuhan dan perkembangan masyarakat dan hukum
internasional.
Setelah berakhimya Perang Dunia II,
mulailah timbul masa kecerahan yang merupakan tahap baru bagi perkembangan
masyarakat dan hukum internasional. Dikatakan demikian, oleh karena terjadi
beberapa perubahan dan perkembangan baru yang sangat berbeda dengan masa
sebelumnya. Namun, sebelum dibahas lebih lanjut perubahan dan perkembangan baru
tersebut, ada baiknya kita berpaling sejenak ke belakang untuk meninjau peta
bumi politik dunia secara menyeluruh. Hal ini sangat penting, sebab apa yang
telah dikemukakan di atas, baik pada tahap atau masa memperjuangkan hak hidup
(1648-1907), maupun pada tahap atau masa konsolidasi (1907-1945), semua itu
hanyalah berlaku bagi negara-negara di kawasan Eropa dan belakangan juga di
kawasan Amerika.
Keadaan itu tidak mencerminkan dunia
secara menyeluruh, sebab sudah secara umum diketahui, bahwa semenjak awal abad
XVII hingga setelah berakhimya Perang Dunia II, sebagian besar bangsa-bangsa di
dunia, terutama di benua Asia, Afrika, dan Pasifik, merupakan bangsa-bangsa
terjajah. Dengan demikian, polarisasi dunia atau masyarakat internasional pada
masa itu terbagi menjadi dua. Pertama, kelompok bangsa atau negara penjajah
(kolonial), khususnya negara-negara di benua Eropa dan Amerika, yang merupakan
bagian kecil dari bangsa-bangsa di dunia. Kedua, kelompok yang jumlahnya jauh lebih
besar, yaitu bangsa-bangsa atau wilayah terjajah di benua Asia, Afrika, dan
beberapa wilayah di kawasan Pasifik.
Jika ditinjau pada masa sekitar
tahun 1907, sebagai awal dan masa konsolidasi masyarakat internasional (bagi
negara-negara di kawasan Eropa) yang sebelumnya telah berhasil memperjuangkan
dan mempertahankan hak hidupnya (1648-1907), pada belahan dunia lain, khususnya
di kawasan Asia dan Afrika, serta Pasifik, justru baru mulai muncul usaha-usaha
memperjuangkan dan memperoleh kembali hak hidupnya yang telah berabad-abad
dikuasai oleh negara-negara kolonial. Timbulnya pergerakan-pergerakan nasional
di wilayah-wilayah jajahan untuk memperoleh kemerdekaan, pada awal abad ke 20
(sekitar tahun 1907) sampai berakhirnya Perang Dunia II pada tahun 1945, dan
yang bahkan masih berlangsung terus sesudahnya, menunjukkan bahwa pada masa
1907-1945 dan sesudahnya itulah bangsa-bangsa terjajah berada pada tahap atau
masa memperjuangkan hak hidupnya. Mereka mulai berhasil memperoleh hak-haknya,
yakni berhasil berdiri sendiri sebagai negara-negara merdeka, berdaulat, dalam
kedudukan yang sama derajat dengan negara-negara bekas penjajahnya1.
Dengan demikian, pandangan tidak lagi terfokus pada negara-negara kolonial di
kawasan Eropa dan Amerika, melainkan sudah mencakup seluruh penjuru dunia
secara global.
Jika dicermati peta bumi politik
dunia, khususnya setelah Perang Dunia II, tampak adanya perbedaan yang mencolok
jika dibandingkan dengan masa sebelumnya. Jika sebelumnya peta bumi politik
dunia terpolarisasi menjadi kelompok negara atau bangsa-bangsa penjajah dan
kelompok bangsa-bangsa ter ajah, maka setelah Perang Dunia IL polarisasi dunia
atau masyarakat internasional muncul dalam wujud kelompok negara-negara
kolonial (bekas penjajah) dan kelompok negara-negara baru merdeka. Secara
politik, kelompok negara-negara penjajah ini disebut juga sebagai Blok Barat,
karena pada umumnya, mereka ini adalah negara-negara di belahan dunia bagian
barat, yang dipimpin oleh Amerika Serikat. Akan tetapi sebagian negara-negara
baru merdeka, ada pula yang masuk kelompok ini, berdasarkan alasan historis dan
kedekatannya dengan negara-negara bekas penjajahnya. Sedangkan sebagian lagi,
ada negara-negara baru merdeka yang masuk kedalam lingkungan pengaruh
negara-negara komunis-sosialis yang lazim disebut negara-negara Blok Timur,
yang dipimpin oleh Uni Sovyet (sekarang Rusia). Sebagian lagi, bahkan sebagian
besar negara-negara baru merdeka tersebut mengelompokan diri kedalam kelompok
tersendiri di luar dari kedua kelompok tersebut diatas, yang disebut kelompok
negara-negara Non-Blok (Indonesia salah satu pemrakarsanya)
Komentar
Posting Komentar