Minyak bumi memiliki daya tarik tersendiri diantaranya ialah
karena tersebarnya sumber-sumber penghasil minyak itu sendiri dan merupakan
sumber energi utama bagi setiap negara di dunia yang memegang peranan sangat
besar dalam kehidupan sehari-hari. Setiap negara memiliki ciri khas tersendiri
dalam hal kualitas minyak mentah ini. Dalam perdagangan internasional dikenal
beberapa kualitas minyak mentah yang ada di dunia dengan jenisnya, seperti
halnya barang dagang yang lain maka minyak mentah juga mempunyai kata sandang
yaitu berkualitas rendah sampai ke tinggi.
Peran
minyak mentah tidak dapat disangkal lagi bahwa komoditas tersebut mempengaruhi
semua kegiatan manusia, antara lain meliputi transportasi, kelistrikan,
industri, rumah tangga dan sebagainya. Sebagai bahan dasar pembuat berbagai
macam bahan bakar seperti avtur, bensin, kerosin (minyak tanah), diesel, bahan
bakar industri, minyak pelumas, lilin paraffin dan aspal maka tentunya dapat
diketahui bahwa semakin baik/berkualitas bahan dasar yang digunakan maka
semakin tinggi kualitas barang yang dihasilkan pula. Dengan mempunyai ataupun
membeli minyak mentah kualitas tinggi maka proses destilasi dalam mengolah
minyak mentah tersebut menjadi bahan bakar akan semakin mudah dan berkualitas
lebih baik.
Dahulu Indonesia memiliki banyak minyak, yakni pada era 1979
masa ini bagi Indonesia disebut boom minyak, dengan pecahnya
revolusi Iran hanya berusia singkat. Pada Januari 1981, harga minyak mencapai
titik tertinggi pada masanya yakni di atas US$ 35/barel dan kemudian merosot.
1982 perekonomian global mulai mengalami stagnasi dan memasuki resesi
memilukan. Pertumbuhan ekonomi Indonesia terpukul oleh dua kekuatan, yakni
penurunan konsumsi energi secara global yang berakibat turunnya permintaan akan
minyak Indonesia dan menyusutnya pasar dunia bagi komoditas non-migasnya.[49] Terjadi
krisis minyak, bahkan di organisasi negara-negara pengekspor minyak, akan
tetapi ketika terjadi krisis minyak ini yakni tahun 1979-1980 Arab Saudi
bertindak sebagai swing producer(produsen tunggal).
Selama dekade boom minyak ini, Pertamina
mengimplementasikan sistem pajak minyak yang efektif melalui sebuah sistem yang
di kenal sebagai “pembagian produksi” yang menjamin bahwa sebagian besar
keuntungan pendapatan dari harga tinggi masuk ke Indonesia. Perusahaan minyak
diberi hak eksploitasi sebagai imbalan atas kontrak dimana pendapatan dibagi
berdasarkan atas perjanjian sebelumnya, yakni 15 % untuk Pertamina dan
selebihnya perusahaan asing.[51]Inilah
awalnya penderitaan minyak di Indonesia, negara yang pernah terjadi boom
minyak ini, membawa masuk orang-orang asing yang lebih menguntungkan
perusahaan asing ini, Pertamina dengan alasan tidak mampu mengelola kilang
minyak yang ada Indonesia.
Kenaikan
harga minyak dunia sejak 2007 hingga Juli 2008 sangat mengkhawatirkan (meski
masih di atas 100 dollar AS per barel. Rekor harga minyak 101,70 dollar AS pada
April 1980, setelah revolusi Iran, telah jauh terlampaui. Kenaikan harga
minyak dunia setiap tahun semakin
tinggi, meskipun fluktuatif, akan tetapi jika terdapat masalah-masalah global
maka akan berdampak minyak semakin tinggi.
Kenaikan minyak beberapa tahun terakhir ini disebabkan oleh beberapa
faktor. Dua faktor yang berlaku jangka panjang adalah tingginya permintaan
minyak berhadapan dengan keterbatasan pasokan. Tingginya permintaan datang dari
negara-negara maju dan negara-negara yang sedang bertumbuh pesat
perekonomiannya. China dan India yang sedang mengalami pertumbuhan ekonomi
tinggi mengambil porsi terbesar dari total permintaan minyak dunia. Ada juga
lonjakan permintaan pada masa-masa tertentu, seperti ketika musim dingin di
Amerika Serikat dan negara-negara Eropa.
Berhadapan dengan tingginya permintaan
tersebut, sejumlah negara penghasil minyak mengambil sikap yang berbeda-beda.
Negara-negara yang tergabung di dalam OPEC selain Saudi Arabia yang
senantiasa memainkan peran pro-kepentingan Amerika Serikat memilih
mempertahankan quota produksi yang ada. Sikap paling tegas untuk mempertahankan
quota produksi datang dari Venezuela dan Iran. Pemerintahan kedua negara ini
berpandangan bahwa harga minyak dunia memang seharusnya di atas 100 dollar AS
per barel. Selain itu, umumnya negara-negara OPEC menilai, kenaikan harga
minyak dunia tidak disebabkan rendahnya pasokan, melainkan diakibatkan ulah
para spekulan. Pandangan inilah yang memenangkan sikap OPEC secara organisasi. Berbeda
dengan itu, negara-negara penghasil minyak non-OPEC berusaha meningkatkan quota
produksi, memanfaatkan kesempatan meraup sebesar-besarnya keuntungan dari
lonjakan harga minyak. Hal ini terutama dilakukan Inggris, Meksiko dan
Norwegia. Namun penambahan produksi negara-negara tersebut relatif kecil, tidak
mampu meredakan panasnya harga minyak dunia.
Aktivitas spekulasi memang disebut-sebut
sebagai faktor dominan kenaikan harga minyak dunia. Harga yang sangat
fluktuatif, dapat naik dan turun 25 dollar AS per barrel dalam sehari, memang
jejak khas yang hanya mampu dihasilkan aktivitas spekulasi. Sejumlah lembaga
riset internasional menyebutkan setidaknya aktivitas spekulasi punya andil
sebesar 10 dollar AS per barrel dari kenaikan harga minyak. Seperti halnya di
pasar komoditas pertanian, tingginya spekulasi di pasar minyak dunia
terutama disebabkan oleh krisis sektor perumahan (subprime mortgage) di AS dan labilnya nilai dollar AS. Para investor
didorong oleh kepentingan melakukan aktivitas lindung nilai kekayaan dari
potensi kerugian berinvestasi di pasar saham dan pasar uang. Beberapa pengamat
pasar perminyakan internasional mengungkapkan, setiap penurunan 1% nilai dollar
AS, harga minyak naik 4 dollar per barel. Dorongnya ini diperkuat oleh
ekpektasi tingginya harga minyak dunia di masa mendatang.
Kenaikan harga minyak secara temporer juga disebabkan oleh
ketegangan politik dan bencana alam di sejumlah negara penghasil minyak.
Beberapa contoh antara lain aksi pemberontak yang menyerang pipa penyalur minyak
mentah milik Shell di Nigeria; penembakan dua kapal Iran di Teluk Persia oleh
kapal perang AS; dan pemogokan 1.200 buruh penyulingan mnyak Grangemouth,
Skotlandia, terkait persoalan pensiun. Nigeria menghasilkan 2,1 juta barel
minyak per hari. Setengah dari jumlah tersebut diproduksi kelompok Shell.
Grangemouth memasok lebih dari 40% kebutuhan minyak Inggris. Pemogokan ini
membuat jaringan pipa Forties yang memasok 700.000 barrel minyak dari Laut
Utara ke Inggris dan pasar dunia berhenti beroperasi. Ketiga peristiwa di atas
berperan dalam kenaikan harga minyak dari 100 dollar AS per barel di bulan
Februari 2008 mencapai 120 dollar AS di minggu ketiga April 2008.
Perisitiwa-peristiwa lain yang juga mendorong kenaikan harga minyak selama
beberapa waktu adalah ketegangan antara Iran dengan Israel-Amerika Serikat
terkait nuklir Iran, hempasan badai Gustav di AS, dan serangan Rusia atas
Georgia. Georgia adalah titik kunci pengapalan minyak dan gas eksport dari
Azerbaijan ke Eropa. Di atas wilayah ini terbentang 1.768 kilometer pipa minyak
Baku-Tbilisi-Ceyhan (BTC) yang merupakan kedua terpanjang di dunia setelah
jaringan popa Druzhba (Rusia-Jerman-Eropa Barat). Dan paling hangat yakni
gejolak politik di Libya menyebabkan minyak mencapai US$118 bph.
Nasib Indonesia tampaknya kurang beruntung.
Ketika harga minyak dunia bergerak naik, seharusnya, sebagai negara kaya
minyak, bangsa kita mendapatkan limpahan keuntungan. Tetapi yang terjadi tidak
demikian. Pemerintah berdalih, kita tidak bisa
menikmati kenaikan harga minyak dunia karena lifting atau
produksi minyak siap jual kita dari tahun ke tahun terus turun. Di tahun 1977,
angka liftingminyak Indonesia mencapai 1,685 juta barel per hari.
Tahun 2002, kemampuanlifting turun jadi tinggal 1,2 juta barel per
hari, lalu turun lagi menjadi 1,149 juta barel per hari di tahun 2003, dan 981
ribu barel per hari pada tahun 2004.[52]Tampaknya
capaian lifting minyak Indonesia memang akan terus turun. Hal
ini karena sumur-sumur minyak di Indonesia sudah tua, produksi minyaknya sudah
berkurang setelah puluhan tahun dibor kontraktor asing. Sedangkan penemuan
sumur-sumur baru belum memuaskan.
Karena itu, ketika di awal 2008 Departemen
Energi dan Sumber Daya Mineral (EDSM) mengusulkan target dalam APBN 2008
sebesar 1.034.000 juta barel per hari, Depkeu dan Badan Pelaksana
Kegiatan Hulu Migas (BP Migas) segera menolaknya. Target ini dinilai terlalu
tinggi. Depkeu dan BP Migas melihat ada sejumlah kondisi yang membuat target
Departemen ESDM sulit tercapai. Lapangan Pondok Tengah di tahun 2007 hanya
mampu merealisasikan 3.500 barel dari target 16.000 barel. Minyak blok Cepu hanya
10.000 barel per hari. Di tahun 2007, banyak lapangan minyak mengalami
penurunan produksi, seperti Lapangan Belanak dan West Seno. Alasan lain adalah
tidak tercapainya target produksi di sejumlah lapangan baru, seperti
Lapangan Pondok Tengah (Pertamina), Lapangan Belanak (Conoco Philips),
Mengoepeh (Pearl Oil Indonesia), Oseil (Citic Seram), Piano (Petrochina).
Untuk meningkatkan lifting minyak,
Depkeu mengeluarkan sejumlah kebijakan seperti membebaskan bea masuk atas impor
barang untuk kegiatan hulu migas dan panas bumi, menanggung PPN atas impor
barang untuk usaha eksplorasi hulu migas dan panas bumi, serta
membebasan tarif bea masuk untuk platform pengeboran, produksi terapung
atau di bawah air. Meskipun demikian, tidak seoptimis koleganya, departemen ini
hanya berani mengusulkan target lifting minyak 899 ribu barel per hari.
Demikian halnya BP Migas. Meskipun berdasarkan angka produksi 21 Januari
yang mencapai 1,001 juta barel. Kepala BP Migas Kardaya
Warnika menjamin produksi migas 2008 melampaui 1 juta barel per hari, tetapi
usulan target lifting dalam APBN 2008 yang diajukan lembaga
ini hanya 906 ribu barel per hari. Dengan berbagai pertimbangan, dalam
APBN-P 2008, pemerintah dan DPR menetapkan target lifting sebesar
927 barel per hari, dengan harga minyak Indonesia (Indonesian Crude Price/ICP)
sebesar 95 dollar AS per barel. Dengan itu, target penerimaan negara akan
sebesar Rp 18.8 triliun. Namun jika realisasi liftingdi bawah
target, defisit akan membesar. Setiap pengurangan lifting sebesar
10.000 barel akan meningkatkan defisit APBN-P 2008 sebesar Rp 1,5 triliun.
Lifting minyak Indonesia
itu sebagian dipasok ke kilang dalam negeri, sebagian di ekspor. Minyak yang masuk
kilang Pertamina adalah sebagian minyak jatah pemerintah (sekitar 40-60 persen
dari lifting) ditambah 25 % DMO (domestic market obligation)
dari jatah kontraktor asing. Karena itu, agar pas dengan kapasitas kilang
(sekitar 1 juta barel per hari), pemerintah mengimpor minyak mentah. Alasan
lain impor minyak mentah adalah untuk memenuhi kebutuhan kilang dalam negeri
terhadap jenis minyak yang dapat memproduksi hasil-hasil sepertilube base dan
aspal, dan untuk meningkatkan hasil kilang berupa BBM.
Semula jenis minyak mentah yang diimpor
adalah ALC (Arabian Light Crude) dari Arab Saudi, kemudian dalam rangka
imbal beli (counter trade) Indonesia juga mengimpor minyak mentah dari
Iran (ILC). Dalam upaya meningkatkan hasil kilang berupa BBM, Indonesia
mengimpor minyak mentah dari Australia (Jabiru dan Harriet) dan dari
Malaysia (Tapis) yang kecenderungannya meningkat. Sementara minyak
mentah yang diekspor adalah minyak jatah kontraktor asing setelah dipotong 25%
DMO dan sebagian jatah pemerintah, yang konon harus dieskpor karena tidak semua
minyak mentah yang ditambang dari sumur-sumur Indonesia sesuai dengan desain
dan constraint kilang dalam negeri.
Hal yang sama juga terjadi dengan hasil
olahan kilang-kilang dalam negeri. Minyak mentah yang masuk kilang, akan keluar
sebagai beragam produk olahan. Tidak semuanya bisa menjadi BBM. Hanya sekitar
30-35 persen yang jadi bensin, dan 15-20 persen jadi solar. Sisanya bisa minyak
tanah, elpiji, avtur, minyak bakar, aspal, lilin, dan lain-lain.
Dari produk-produk tersebut, ada yang kita ekspor, seperti LSWR dan Naptha
yang diekspor ke Jepang.
Jika konsumsi BBM dalam negeri meningkat
melampaui yang mampu diproduksi kilang dalam negeri, mau tidak mau kita harus
mengimpornya. Pemerintah SBY-JK
tidak berbohong tentang kenaikan konsumsi BBM dalam negeri. Pada tahun 1990, konsumsi
BBM nasional sebesar 173,136 juta barel, tidak sampai 500 ribu barel per hari.
Masuk era 2000-an, konsumsi BBM Indonesia telah meningkat drastis. Pada tahun
2003 konsumsi BBM meningkat menjadi 329,525 juta barel. Sejak tahun 2004,
konsumsi BBM sudah melampaui 1 juta barel per hari. Untuk tahun 2008, diprediksi
konsumsi BBM Indonesia mencapai 1,4 juta
barel.
Karena itu, jika jumlah BBM yang diimpor
terus bertambah besar. Pada tahun 2001, kita mengimpor 75,27 juta barel BBM.
Jumlah ini meningkat menjadi 79,12 juta barel di tahun 2002, dan 108,69 juta barel
di tahun 2003.[55] Kini,
karena besarnya impor, status Indonesia telah berubah dari net exporter minyak
menjadi net importer, sehingga pemerintah Indonesia menarik diri
dari OPEC, organisasi negara-negara penghasil (eksportir) minyak.
Harga
minyak dunia selalu naik. Demikian pula konsumsi
BBM dalam negeri, dari tahun ke tahun terus membengkak. Sementara tentang
realisasi lifting, masih diragukan kebenarannya, karena anjuran BPK
agar memasang detector pada
fasilitas pengeboran, tidak dilaksanakan BP Migas. Namun jikapun ketiga
halkenaikan harga minyak dunia, kenaikan konsumsi BBM, dan penurunan liftingminyak
itu benar adanya, tidak serta merta kebijakan kenaikan harga BBM dapat
dibenarkan pula. Ada banyak hal yang perlu diperiksa terkait politik energi
nasional, sebuah wilayah gelap yang menyimpan begitu banyak rahasia. Di
dalamnya tersembunyi relasi-relasi kepentingan perusahaan-perusaahan migas asing,
negara-negara kaya, lembaga-lembaga keuangan dunia, para broker minyak, dan pemerintah.
Meskipun negeri kita kaya minyak,
kenyataannya pemodal asing lah yang menguasai sumur-sumur minyak yang tersebar
di seantero negeri ini. Sebanyak 85,4% konsesi pengelolaan migas nasional
dikuasai perusahan asing. Yang terbesar dikuasai ExxonMobil, Vico, Conoco
Philips, Chevron dan British Petroleum. Keenam perusahan itu
menguasai 90 persen total produksi minyak Indonesia. Perusahaan-perusahaan
multinasional tersebut menguasi minyak Indonesia lewat skenario kontrak bagi
hasil atau production sharing contract (PSC). Selama ini pemerintah mengklaim mendapat bagian yang lebih
besar dalam kontrak bagi hasil migas, yaitu sebesar 85%, sementara perusahaan
swasta (kontraktor kontrak kerja sama/KKKS) yang mayoritas perusahaan migas
asing hanya mendapat 15%.
Hitungan tersebut manipulatif. Sebenarnya, KKKS mendapat jatah
lebih besar. Sebelum sampai pada equiti to be split, lifting minyak
yang akan dibagikan, kontraktor telah terlebih dahulu mengambil bagiannya
sebagai cost recovery. Besarcost recovery ini dapat
mencapai 100 persen dari seluruh biaya produksi. Tidak dibatasi item apa-apa
saja yang masuk dalam cost recovery. Setelah dipotong cost
recovery, yang dapat mencapai 20 persen dari gross production,
minyak hasil lifting dibagi, pemerintah mendapat 70-65% dan kontraktor mendapat
25-30%. Sebesar 25 persen dari jatah kontraktor di jual di dalam negeri (domestic
market obligation/DMO). Karena DMO dan pajak, seolah-olah jatah kontraktor
hanya sebesar 15 persen. Padahal, DMO itu tidak diberikan gratis, tetapi dijual
seharga ICP kepada kilang-kilang pertamina.
Jika dihitung secara jujur, negara justru mendapat porsi lebih
kecil. Contohnya pada produksi minyak tahun 2005. Sebelum dipotong cost
recovery, BP-MIGAS mencatat angka lifting minyak 2005 adalah 364.376.000
barel. Dengan harga rata-rata minyak mentah di tahun itu 60 dollar AS per
barel, total pendapatan dari lifting minyak 2005 sebesar 21,8 miliar dollar AS.
Setelah dipotong cost recoveryuntuk KKKS sebesar 4,19 miliar dollar
AS, sisa pendapatan migas yang harus dibagi hasil 17,61 miliar dollar AS. Dari
bagi hasil di tahun itu, pemerintah mendapat 10,6 miliar dollar AS dan KPS 7,04
miliar dollar AS. Dengan demikian, sistem bagi hasilnya pemerintah mendapat
48,62 persen, sementara KKKS mendapat 51,5 persen.
Cost recovery adalah
pembebanan biaya produksi yang dikeluarkan kontraktor migas kepada pemerintah.
Jadi setelah produksi minyak mulai berjalan, sebagian hasilnya menjadi jatah
kontraktor sebagai ganti biaya yang telah dikeluarkan selama eksplotiasi.
Selama ini, penentuan cost recovery memang tidak pernah
transparan. Tidak heran jika dengan audit yang belum mendalam saja, Badan
Pemeriksa Keuangan (BPK) dan Komite Pemberantasan Korupsi (KPK) telah menemukan
puluhan triliun kerugian negara. Sejak 19 Desember 2005, Badan Pemeriksa
Keuangan (BPK) melakukan pemeriksaan terhadap KKKS yang beroperasi di Indonesia
untuk tahun 2004 hingga semester I-2005. Dari 43 KKKS yang ada, 5 perusahaan
yang mendapat giliran pertama adalah PT Chevron Pacifik Indonesia (CPI),
ConocoPhillips-Grissik (Copi-Grissik), PetroChina International Jabung Ltd
(PIJL), PT Medco E&P Rimau, serta BOB Pertamina Hulu-PT Bumi Siak Pusako
(BSP).Dari
pemeriksaan terhadap CPI saja, BPK menemukan kerugian negara sekurang-kurangnya
Rp 13,65 triliun. Kerugian tersebut berasal dari pembebanan sejumlah item biaya
operasional yang tidak semestinya kepada cost recovery. Beberapa
contohnya adalah pembebanan cost recovery untuk proyek
Politeknik Caltex Riau (6,56 juta dollar AS); school cost selama
tahun 2004 dan 2005 senilai 6,29 juta dollar AS dan sumbangan pada sekolah
internasional sebesar 5,94 juta dollar AS; biaya community development (
1,5 juta dollar AS) dan community relationship(1,47 juta dollar
AS); dan interest recovery sebesar 4,97 juta dollar AS
(Kompas, 26 Oktober 2006). Cost recovery tersebut dipotong
langsung dari minyak dan dibayar dalam bentuk minyak (inkain).
Pemeriksaan BPK pada tahun
buku 2004-2005 menemukan penggunaan dana bagi hasil oleh KKKS yang belum
disetujui oleh pemerintah, sebesar 1,79 juta USD dollar AS. Perusahaan migas
yang melakukan itu adalah Chevron, Conoco Philips, Petrochina International
Jabung Limited, Medco E&P Indonesia-Rimau Block, BOB PT Bumi
SiakPusako-Pertamina Hulu, Total Indonesia Kalimantan, VICO Indonesia, China
National Offshore Oil Company SES Ltd (CNOOC), ExxonMobil Oil, British
Petroleum West Jawa, dan Premier Oil Natuna Sea (Kontan, 4 September 2008). Hal
ini tentu merugikan negara karena berpengaruh pada APBN. Tanpa persetujuan
pemerintah, dana bagi hasil tersebut berpotensi ditentukan sendiri (dimark-up)
oleh KKKS. Harusnya pemerintah memotong dana bagi hasil di tahun berikutnya,
tetapi setelah 4 tahun berjalan, belum ada tindakan itu.
Pada pemeriksaan 2006-2007 terhadap
sejumlah kontraktor migas asing, seperti Total, Conoco Philips, ExxonMobil Oil,
Cevron Pacific Indonesia, BP dan Cynox Oil Company, BPK menemukan, dalam 2
tahun tersebut negara merugi Rp 27 triliun. Kerugian dihasilkan oleh
penggelembungan biaya produksi minyak yang ditagihkan sebagai Cost
Recovery. Misalnya, salah satu kontraktor mengklaim biaya sewa mesin
generator ke anak usahanya sendiri senilai 80 juta dollar AS per tahun. Dari
situ negara rugi 30 juta dollar AS per tahun. Dari pemeriksaan atas Laporan
Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP) di Depkeu, sejak 2005 hingga 2007, Badan
Pemeriksa Keuangan (BPK) menemukan ada dana sebesar Rp 39,9 triliun yang tidak
dibayarkan perusahaan asing kepada pemerintah dan diklaim sebagai cost
recovery. Temuan lain berupa penerimaan migas yang tidak tercatat dan
dibelanjakan tanpa melalui mekanisme APBN. Jumlahnya mencapai Rp 120,3 triliun.
Tindakan KKKS memanipulai cost recovery memang
sulit diterima. Sejumlah perusahaan mengalihkan beban biaya untuk sekolah anak,
kegiatan wisata, anggota klub olahraga golf dan tenis, kesenian, hingga bantuan
korban bencana tsunami, gaji tenaga asing tanpa izin, pajak penghasilan, biaya
bunga, hingga biaya jasa konsultan hukum ke dalam cost recovery.
Conoco Philips membebankan Rp 70 jutaan biaya kursus bahasa Indonesia bagi
pekerja asingnya ke dalam cost recovery. Padahal peraturan Mena mewajibkan setiap
ekspatriat yang bekerja di Indonesia bisa berbahasa Indonesia. Premier Oil
Natuna Sea, yang mengelola Blok A Natuna, Kepulauan Riau, bahkan mengalihkan
biaya seperti fashion show ke dalam cost recovery.
Melalui skenario bagi hasil dengan cost recovery-nya,
para pemodal asing itu meraup keuntungan besar dari lonjakan harga minyak.
Beberapa contoh seperti Chevron, Exxon Mobil, British Petroleum dan
Total meraup keuntungan masing-masing 18,6 miliar dollar AS, 40,6 miliar dollar
AS, 31,3 miliar dollar AS, dan 17,7 miliar dollar AS. Ironisnya, hal itu
terjadi ketika pada saat yang sama, dan oleh sebab yang sama, APBN mengalami
defisit, industri dalam negeri kembang-kempis dan dan rakyat harus berhadapan
dengan kenaikan harga BBM dan kenaikan harga berbagai kebutuhan hidup sebagai
dampak lanjutan.
Pemerintah menghitung beban subsidi dengan
cara mengalikan jumlah BBM bersubsidi terhadap harga MOPS plus alfa.
Perhitungan ini cenderung manipulatif, karena kenyataannya tidak semua BBM
bersubsidi diimpor. Seperti yang telah diejaskan di atas, mayoritas BBM
dalam negeri justru diproduksi oleh kilang-kilang dalam negeri. Sebagian
terbesar minyak mentah yang diolah pada kilang dalam negeri adalah milik pemerintah.
Hanya sebagian kecil minyak mentah yang berasal dari impor minyak mentah
ataukah dari 25% DMO yang dibeli dengan harga ICP.Pada tahun 2007. Pada tahun tersebut
lifting minyak mentah Indonesia dalam setahun 384 juta barel. Sekitar 60.92%
(212 Juta barrel) adalah jatah pemerintah plus 25% DMO yang diolah di kilang
dalam negeri. Jumlah DMO paling banyak sekitar 50 juta barel, yang dibayar
dengan patokan harga minyak mentah Indonesia (ICP), yang selalu lebih rendah
dari hanya minyak mentah dunia. Sedangkan untuk minyak yang jadi jatah
pemerintah, harganya harus dipandang sebagai “nol” rupiah karena dipakai untuk
diri sendiri.
Kapasitas kilang Indonesia (328 juta barel
setahun), pemerintah mengimpor minyak mentah sebesar 116 juta barel (35,37
persen). Minyak
mentah ini dibeli dengan harga minyak mentah, jauh dibawah harga MOPS yang
adalah harga BBM. Dari volume minyak mentah yang diolah di kilang sebesar 328
juta barel, sebesar 244 juta barel keluar sebagai BBM. Jumlah ini telah memenuhi
64,63 persen kebutuhan setahun BBM di Indonesia. Sisanya, 116 juta barel (35,37
persen) barulah diimpor dengan harga MOPS. Dari data ini, sekitar 75
persen minyak mentah yang diolah di kilang dapat menjadi BBM. Itu berarti jika
lifting minyak yang jadi jatah pemerintah dalam setahun sebesar 200 juta barel
saja, BBM yang dihasilkan sekitar 150 juta barel. Karena 1 barel setara 159 liter, maka dalam
setahun BBM yang dihasilkan dari 200 juta barel jatah pemerintah sekitar 25
juta kiloliter. Jumlah itu sudah 70 persen dari jatah BBM bersubsidi tahun
2008. Artinya, harga 70% BBM bersubsidi harusnya ditentukan berdasarkan biaya
produksi di kilang plus biaya distribusi, sekitar 15 dollar AS per barel, bukan
harga MPOS plus alfa yang melampaui 100 dollar AS per barel. Sedangkan yang 30%
sisanya, dapat terpenuhi dari olahan kilang atas minyak mentah impor yang
harganya dibawah harga MOPS plus alfa.
Harga BBM impor harusnya dapat lebih murah.
Itu bisa dilakukan jika pemerintah membersihkan ekspor-impor minyak dari
aktivitas para broker minyak internasional. Fakta
yang ada minyak impor,
baik yang dibeli dari pasar spot, ataukah dari kontrak jangka panjang,
sebenarnya tidak dibeli langsung oleh Pertamina. Pertamina membelinya melalui
para broker. Shell Singapore, Formasa Taiwan, RIM Intellegence, dan Platts
Singapore adalah beberapa diantaranya. Pertamina menenderkan pembelian minyak
pada pasar spot kepada para broker jual-beli minyak tersebut. Sedangkan untuk
kontrak jangka panjang, dilakukan oleh Petral, anak perusahaan Pertamina, dan
Pacific Petroleum Trading (PPT), traderminyak yang 50 persen
sahamnya dikuasai Pertamina.
Demikian pula yang terjadi dengan ekspor
minyak mentah dan produk olahan kilang Indonesia. Karena berstatus badan hukum
negara, BP Migas tidak dapat menjual minyak secara langsung, melainkan
menyerahkan penjualan kepada para trader. Para trader/broker itu
leluasa menjual dengan harga yang lebih rendah sehingga merugikan pemerintah,
karena BP Migas beroperasi tanpa kontrol.Pelibatan broker berarti memungkinkan
terjadinya mark-up harga. Karena itu, pengamat pertambangan
dan Energi, Pri Agung Rakhmanto memperhitungkan, harga minyak mentah yang
dibeli Pertamina 0,68 sampai 4 dollar AS per barel lebih mahal dari harga riil.
Selain itu, nilai alfa (yaitu margin pengangkutan dan fee) yang
diambil Pertamina menjadi sangat besar karena harus dibagi dengan
trader/broker.
Dengan memahami kenyataan
pada inti ekonomi-politik migas, banyak kelompok kritis yang melihat bahwa
menaikkan harga BBM bagi rakyat bukanlah langkah tepat. Masih sangat luas
alternatif solusi atas kenaikan harga minyak dunia yang bisa diambil
pemerintah. Solusi yang paling maju adalah menasionalisasi perusahaan
migas asing yang menguasasi mayoritas konsesi migas di Indonesia. Langkah ini
kini banyak ditempuh pemerintahan-pemerintahan kerakyatan di Amerika Latin,
terutama Venezuela. Tentu nasionalisasi bukanlah tindakan semena-mena. Ada
berbagai varian langkah yang dapat ditempuh. Yang paling radikal adalah
mengambilalih penguasaan aset dan operasional kontraktor migas asing setelah
terlebih dahulu memberi ganti rugi sesuai nilai aset mereka. Jika itu dianggap
terlampau radikal, nasionalisasi dapat ditempuh dengan menaikan porsi saham
pemerintah pada perusahaan patungan yang dibentuk bersama dengan perusahaan
migas asing.
Masih ada jalan lain berupa renegosiasi
kontrak bagi hasil. Kontrak-kontrak bagi hasil migas sebelumnya digugurkan,
lalu dibuatkan kontrak baru dengan sistem bagi hasil yang lebih menguntungkan
negara. Dengan jalan ini pula, mekanisme cost recovery dapat
ditiadakan, atau minimal dengan membatasi dan mengawasi secara ketat item-item
biaya yang boleh diklaim sebagai cost recovery.
Argumentasi yang menyatakan Pertamina tidak
siap dari sisi sumber daya manusia dan teknologi untuk mengelola ladang-ladang
minyak nasional karena itu diserahkan pada pihak asing tidak dapat
diterima. Karena kenyataannya, Pertamina justru mendapat kepercayaan menjadi
kontraktor minyak di sejumlah negara. Saat ini Pertamina terlibat dalam Kontrak
kerja sama dengan Petronas, Carigali, dan PetroVietnam, untuk mengelola Blok
SK-305 di Malaysia. Pertamina juga terlibat di dalam joint operating
company bersama PIDC Vietnam dan Petronas Malaysia untuk mengelola
Blok-10 dan 11-1 di Vietnam. Di Irak, Pertamina mengelola Blok-3 Western
Dessert.
Persoalan Pertamina mungkin terletak pada
dukungan finansial untuk melakukan eksplorasi dan dana awal dalam eksploitasi.
Tetapi jika pemerintah mampu memerintahkan bank-bank yang beroperasi di
Indonesia untuk memberikan komitmen kredit pada Pertamina, persoalan ini akan
teratasi. Problemnya, sektor perbankan nasional pun telah dikuasai asing,
sehingga pemerintah tampak tidak punya gigi untuk mengarahkan kebijakan
perbankan yang pro-kepentingan nasional.
Dengan nasionalisasi, dalam berbagai
variannya, atau renegosiasi kontrak yang memberi porsi bagi hasil lebih besar
lagi pada negara, kondisi defisit APBN, di saat kontraktor migas asing menuai
rejeki gila-gilaan dari kenaikan harga minyak dunia saat ini, tidak akan
terjadi. Sebaliknya, kenaikan harga minyak dunia akan menyuntikkan tambahan
pendapatan pemerintah, sehingga bukan saja harga BBM untuk rakyat tidak perlu
dinaikkan, pemerintah juga dapat memenuhi berbagai kebutuhan mendesak rakyat.
Ada juga yang mengusulkan agar kewajiban
kontraktor minyak asing untuk menjual minyak ke dalam negeri atau yang
disebut domestic market obligation(DMO) ditingkatkan. Sebelumnya,
berdasarkan UU Migas, DMO hanya 25 persen. Artinya perusahaan asing boleh
menjual tiga perempat jatah minyaknya ke luar negeri. Jika DMO dinaikan menjadi
75 persen, impor minyak mentah untuk memenuhi kebutuhan kilang nasional dapat
dikurangi. Minyak mentah yang diimpor sekedar untuk menghasilkan produk olahan
kilang tertentu yang mungkin kurang bisa dihasilkan dari minyak mentah
Indonesia. Bahkan jika langkah ini diikuti dengan pembangunan atau peningkatan
kapasitas kilang dalam negeri, kita bisa saja tidak perlu mengimpor BBM, karena
kebutuhan BBM dalam negeri terpenuhi dari produksi kilang
domenstik. Pemerintah juga dapat menerapkan wind profit tax,
yaitu pajak atas lonjakan keuntungan yang diperoleh kontraktor migas karena
lonjakan harga minyak dunia.
Adapun minyak yang terdapat di Indonesia sebenarnya cukup untuk
memenuhi minyak dalam negeri akan tetapi, karena kontraktor asing itulah yang
menyebabkan Indonesia harus melakukan impor minyak, termasuk dari Arab Saudi,
adapun daftar kilang yang di miliki Indonesia yakni :
Tabel 1: Daftar
Kilang Minyak di Indonesia:
No |
Daerah |
Jumlah Produksi Barel/hari |
1. |
Sumatera Utara |
5000 |
2. |
Dumai |
50.000 |
3. |
Plaju, Sumsel |
145.000 |
4. |
Cilacap |
348.000 |
5. |
Balikpapan |
266.000 |
6. |
Balongan, Jabar |
125.000 |
7. |
Sorong, Irian Jaya |
10.000 |
8. |
Cepu, Jateng |
5.000 |
Sumber: http://id.wikipedia.org/wiki/Kilang_minyak.htm
1. Pertamina
Unit Pengolahan I Pangkalan Brandan, Sumatera Utara (Kapasitas 5 ribu
barel/hari). Kilang minyak pangkalan brandan sudah ditutup sejak awal tahun
2007
2. Pertamina
Unit Pengolahan II Dumai/Sei Pakning, Riau (Kapasitas Kilang Dumai 127 ribu
barel/hari, Kilang Sungai Pakning 50 ribu barel/hari)
3. Pertamina
Unit Pengolahan III Plaju, Sumatera Selatan (Kapasitas 145 ribu barel/hari)
4. .
Pertamina Unit Pengolahan IV Cilacap (Kapasitas 348 ribu barel/hari)
5. Pertamina
Unit Pengolahan V Balikpapan, Kalimantan Timur (Kapasitas 266 ribu barel/hari)
6. Pertamina
Unit Pengolahan VI Balongan, Jawa Barat (Kapasitas 125 ribu barel/hari)
7. Pertamina
Unit Pengolahan VII Sorong, Irian Jaya Barat (Kapasitas 10 ribu barel/hari)
8. Pusdiklat
Migas Cepu, Jawa Tengah (Kapasitas 5 ribu barel/hari)
Semua kilang minyak di
atas dioperasikan oleh Pertamina.
Sumber :
http://id.wikipedia.org/wiki/Kilang_minyak.htm
B. Potensi
Perminyakan Arab Saudi
Peranan minyak dalam dunia internasional menjadi penting semasa
Perang Dunia I ketika bangsa-bangsa yang terlibat dalam perang tersebut
menggantungkan energi pada minyak untuk menggerakkan mekanisme industri,
militer, teknologi, komunikasi dan transportasi mereka. Pada waktu itu Timur
Tengah sudah menduduki posisi sentral dalam penyediaan energi dunia, akan
tetapi baru pada awal tahun 1970an dunia menyadari betapa potensi minyak dapat
digunakan sebagai senjata yang dapat menggetarkan sistem internasional yang
ada.
Secara total, minyak yang terkandung didalam perut bumi
ini dipercaya adalah sebanyak 1349 Milliar Barrel, yang tersebar dari kutub
utara sampai kutub selatan. Saudi Arabia adalah negara yang mempunyai cadangan
minyak terbesar dunia tahun 2005 yaitu mempunyai 262,7 Milliar barrel, menurut
data worldfact book nya CIA. Timur Tengah dan Arab Saudi berperan penting
dalam geopolitik perminyakan, karena Timur Tengah dan Arab Saudi memiliki
sumber daya minyak yang luar biasa besarnya. Dua per tiga dari minyak bumi yang
tersedia di bumi berlokasi di Timur Tengah, dengan Arab Saudi yang terbesar
menyusul Irak dan Iran.
Wilayah nasional Arab Saudi meliputi sekitar 4/5 total luas
wilayah jazirah Arab. Negara yang jumlah penduduknya mayoritas Muslim ini kaya
akan minyak, penduduk asing yang bermukim di Arab Saudi yang mencari nafkah
sangat kecukupan dalam hal pendapatan yang di dapatkan. Sampai dengan tahun
1960-an penduduk Arab Saudi masih nomaden atau semi nomaden (berpindah-pindah).
Namun sehubungan dengan terjadinya lonjakan pertumbuhan ekonomi yang luar biasa
berkat adanya rezki minyak ini dalam jumlah yang melimpah, proses urbanisasi
pun berlangsung dengan cepat sehingga sekarang ini sekitar 95% penduduk Arab
Saudi tinggal di daerah perkotaan dan hidup serba kecukupan.
Berkat kenaikan harga-harga minyak secara tajam yang
melipatgandakan pendapatan nasional pada tahun 1974, Arab Saudi dengan cepat
berhasil tampil sebagai salah satu negara yang pertumbuhannya paling tinggi
sedunia. Negara ini menikmati surplus perdagangan yang luar biasa dengan semua
negara yang menjadi mitra dagangnya. Sementara itu transaksi impornya juga
meningkat pesat. Pemerintah Riyadh sama sekali tidak menemui kesulitan dalam
menemukan sumber pembiayaan atas berbagai program-program pembangunnya. Arab
Saudi juga bahkan mampu membangun kekuatan pertahanan yang kuat serta
memberikan dana bantuan dalam jumlah besar secara cuma-cuma kepada negara
tetangganya di Jazirah Arab dan negara-negara Islam lainnya. Pada tahun 1973
aset-aset luar negeri milik Arab Saudi diperkirakan mencapai sekitar US$ 4,3
milyar. Jumlah ini terus melambung tinggi sehingga tidak sampai satu dasawarsa
kemudian jumlahnya menjadi US$ 152 milyar.
Sejarah Arab Saudi ketika terjadi krisis minyak kedua 1979/1980
Arab Saudi bertindak sebagai swing producer (produser
penyeimbang). Kekurangan pasok minyak dunia akibat krisis itu di penuhinya,
meskipun dalam perkembangan selanjutnya negara-negara anggota OPEC yang lain
sudah semakin mampu memproduksi lebih banyak dan dan ikut memanfaatkan
kesempatan krisis itu. Dengan peran Arab Saudi yang demikian ketika itu harga
minyak mentah dapat dipertahankan stabilitasnya.
Ketika harga minyak mulai menunjukkan penurunan di tahun 1982,
Arab Saudi masih bersedia menjalankan peran sebagai swing
producer . Sikap ini kurang dipahami oleh anggota OPEC lainnya.
Sehingga ketika konsumen terus memenuhi stock dengan
jalan membeli seluruh produksi minyak OPEC dengan harga berapapun, anggota OPEC
semakin berlomba memompa minyaknya sebanyak mungkin. Ketika stok dirasa sudah
cukup kuat dan konsumen mengadakan serangan balik kepada Arab Saudi permintaan
minyak melemah. Sedikit demi sedikit harga minyak menurun. Seandainya Arab
Saudi melepaskan perannya sebagai swing producer pada
waktu itu, maka dapat dipastikan harga minyak merosot drastis, tidak slow
down seperti terjadi. Keadaan ini nampaknya masih belum disadari
oleh anggota-anggota OPEC yang lain, mulai bermain-main dengan berbagai mekanisme
keuntungan maupun sistem penjualan seperti barter, counter purchase,
compensation, offset, bilateral clearing account, maupun switch
trading. Akhirnya Arab Saudi tidak tahan lagi menghadapi hal demikian,
bulan desember 1985 Arab Saudi melepaskan fungsinya sebagai swing
producer. Bahkan sebagai tindakan balasan Arab Saudi mempelopori
penjualan minyak dengan sistem baru pada masa itu, yaitu sistem transaksi netback.Sistem
ini mengaitkan harga minyak mentah dengan produk akhirnya, jadi harga minyak
mentah baru ditentukan setelah diketahui harga realisasi dari BBM yang terjual.
Dengan adanya sistem ini berbarengan juga Zaki Yamani, Menteri
Perminyakan Arab Saudi waktu itu mengusulkan strategi market share dengan
prinsip free for all (bebas berproduksi dan menjual). Dengan
prinsip ini setiap anggota OPEC bebas memproduksi dan menjual kepada siapapun
dan dengan sistem apapun untuk merebut pasar. Akibatnya harga minyak mentah
terus mengalami penurunan dan mencapai puncaknya di bulan Agustus 1986 ( US$ 9
per barel).
Arab Saudi adalah produser minyak terbesar
dunia dan eksporter minyak mentah di tahun 2010 dan kedua terbesar dunia minyak
sawit setelah Rusia. Ekonomi Arab Saudi bergantung secara besar kepada minyak
mentah. Pendapatan ekspor minyak telah terhitung hinga 80-90 persen dari total
pendapatan Saudi dan diatas 40 persen dari Pendapatan Kotor
Domestik (GDP).
Arab Saudi telah melewati fokusnya melebihi titik produksi
minyak sejak Saudi Aramco mengatakan bahwa itu telah mencapai target kapasitas
produksinya 12 miliar barel per hari. Sebagai tambahan, bagian kapasitas
produksi minyaknya adalah mencapai target Negara Arab Saudi 1.5-2 miliar barel
per hari. Sebagiannya, Arab Saudi sedang bergerak untuk meragamkan Ekonominya
dengan meluaskan penyaringannya, minyak kimia, dan industri produk mineralnya
(seperti penyaring perharga tinggi).
Operasi sektor hidrokarbon Arab Saudi telah didominasi oleh
perusahan minyaknegara, yakni Saudi Aramco. Saudi Aramco adalah
perusahaan terbesar dalam hal cadangan dan produksi hidrokarbon. Menteri minyak
dan sumber mineral Arab Saudi dan Majlis Tertinggi untuk minyak dan
mineral telah mengawasi sektor dan Saudi Aramco secara langsung. Majlis
tertinggi, yang terdiri dari anggota keluarga kerajaan, pemimpin-pemimpin
industri dan menteri-menteri pemerintahan, adalah bertanggung jawab untuk
minyak dan gas alam pembuatan kebijakan, meliputi penglihatan kembali kontrak,
sebagaimana Saudi Aramco perencanan strategis. Kementrian bertanggung jawab untuk
perencanaan nasional dalam area energi dan mineral, termasuk petrokimia.
Arab Saudi adalah pengguna terbesar minyak di Timur
Tengah, khusunya di daerah transportasi bakar dan daerah penggalian
kilang-kilang Arab Saudi. Pertumbuhan konsumsi domestic telah dipacu dengan
bombastik ekonomi karena secara sejarah bertepatan dengan harga minyak
yang tinggi dan bahan bakar subsidi yang besar. Di tahun 2008, Arab Saudi
adalah nomor 15 terbesar pemakai dari energi utama keseluruhan, yang mana
hampir 60 persen adalah berbasis minyak dan gas alam. Arab Saudi sedang
bergerak kedepan dengan perencanaan memproduksi kekuatan dari reactor nuklir
ditahun 2020 untuk memenuhi kebutuhan energi domestic dan membebaskan minyak
dan gas alam dari ekspor dan pemakaian akhir yang tinggi dari pembakaran untuk
pengumpulan energi. Sementara itu, Arab Saudi mengikuti dalam usaha Majlis
Kerjasama Daerah Teluk untuk menghubungkan kekuatan negara anggota dengan
tujuan untuk mengurangi kekurangan bahan pada periode jatuh. Menurut jurnal minyak
dan gas, Arab Saudi mencakup sekitar 260 trilyun barel dari cadangan minyak
(ditambah 2.5 tilyun barel di Saudi-Kuwait Neutral Zone), mencakupi sekitar
seperlima dari cadangan minyak dunia. Walau Arab Saudi memiliki sekitar 100
ladang minyak dan gas yang besar (dan lebih dari 1500 sumur) lebih dari separuh
dari cadangannya berisi dalam delapan lapangan, mencakup raksasa 1260 mil
lapangan Ghawar (tambang minyak terbesar di dunia, dengan perkiraan cadangannya
yang tersisa 70 trilyun barel). Tambang Ghawar saja memiliki cadangan minyak
lebih dari enam negara yang lain.
Arab Saudi adalah negara pengguna minyak terbesar di
Timur Tengah. Pada tahun 2009, Arab Saudi telah menkonsumsi sekitar 2.4 juta
barel/hari minyak, lebih dari 50 persen sejak tahun 2000, karena ekonomi yang
kuat dan pertumbuhan industri dan harga yang tersubsidi. Sumbangsih kepada
perkembangan ini adalah perkembangan minyak mentah, yang mencapai 1 juta
barel/hari semenjak bulan-bulan musim panas, dan pemakaian gas alam cair (NGLs)
untuk produksi minyak. Khalid Al-Fatih, Direktur Utama Saudi Aramco,
mengingatkan bahwa permintaan domestik adalah bagian untuk mencapai lebih dari
8 juta barel/hari (persamaan harga minyak) pada tahun 2030 jika disana tidak
terdapat perkembangan dalam efisiensi energi dan pertumbuhan yang
berkesinambungan.
Arab Saudi bertahan sebagai produksi minyak terluas di dunia,
diperkirakan oleh Biro Informasi Energi Amerika Serikat bahwa lebih dari 12
juta barel/hari pada akhir tahun 2010. Lebih dari 2 juta barel/hari dari kapasitas
telah ditambahkan pada tahun 2009 dengan penambahan increments di Khurais, AFK
(Abu Hadriya, Fadhili, dan Khursaniyah), Shaybah, dan Nuayyim.
Untuk tahun 2010, Biro Informasi Energi Amerika memperkirakan
bahwa Arab Saudi telah memproduksi pada tingkat rata-rata 10.2 juta barel/hari
dari total minyak, mencakup minyak mentah, lease condensate, gas alam cair dan
minyak cair lainnya (meliputi setengah dari Zona Netral Saudi-Kuwait 600,000
barel/hari). Sebagai tambahan hingga 8.4 juta barel/hari dari minyak mentah,
Arab Saudi memproduksi sekitar 1.8 juta barel/hari dari gas alam cair (NGLs)
dan likuid lainnya, yang tidak diproduksi oleh OPEC. Arab Saudi, sebuah
pemimpin produksi gas alam cair dunia, telah mengalami pertumbuhan dalam
permintaan untuk gas alam cair dari negara-negara berkembang, termasuk India
(tujuan ekspor utama) yang mana telah dipakai untuk masak dan transportasi.
Tabel 2: Tambang
produksi utama Arab Saudi pada tahun 2010:
No |
Daerah |
Jumlah Produksi Barel/hari |
1. |
Ghawar |
5 juta |
2. |
Safaniya |
1,5 juta |
3. |
Khurais |
1,2 juta |
4. |
Qatif |
0,5 juta |
5. |
Shaybah |
0,5 juta |
6. |
Zuluf |
450.000 |
7. |
Abqaiq |
400.000 |
Sumber: http://www.eia.doe.gov/cabs/saudi_arabia/Full.html
Country
Analysis Brief Last Updated Januari 2011
1. Ghawar (dalam pulau):
Ghawar saja telah mencapai hampir setengah jumlah kapasitas produksi minyak,
dan tambang minyak terbesar di dunia. Ia memproduksi lebih dari 5 juta
barel/hari dari minyak mentah Arab. Ghawar juga memproduksi lebih dari negara
yang lain kecuali Rusia dan Amerika Serikat.
2. Safaniya (luar pulau):
Tambang minyak ketiga terbesar di dunia dalam segi produksi dan luar pulau
terbesar dengan kapasitas produksi 1.5 juta barel/hari.
3. Khurais (dalam pulau):
tambang minyak terbesar dibawa secara global pada tahun 2009, ia mempunyai
kapasitas produksi 1.2 juta barel/hari dari Arab light crude.
4. Qatif (dalam pulau): 0.5
juta barel/hari dari Arab Medium Crude.
5. Shaybah (dalam
pulau): Memproduksi 0.5 juta barel/hari
dari Arab Extra Light crude.
6. Zuluf (luar
pulau): Memproduksi sekitar 450.000 barel/hari dari Arab
Medium crude.
7. Abqaiq (luar
pulau): Memproduksi sekitar 400.000 barel/hari dari Arab
Extra Light crude.
Arab Saudi memproduksi banyak dari minyak mentah, dari yang
berat hingga super light dari total kapasitas produksi minyak Arab Saudi,
sekitar 65 hingga 70 persen adalah gravitasnya tinggi, dan berkualitas. Negara
ini berusaha untuk mengurangkan pembagian tingkatan kedua. Pada tahun 2009,
Saudi Aramco mengatakan 83% dari produksinya terdiri dari premium lighter
grades. Lighter grades secara umum diproduksi di luar pulau, dimana medium dan berat
grades datang secara besar dari tambang luar pulau. Kebanyakan produksi minyak
Saudi, kecuali “extra light” dan “super light” dianggap
sebagai asam, yang mencakupi tingkat sulful yang tinggi. Saudi Aramco
mengatakan bahwa tambangnya tidak memerlukan pemakaian teknik pencarian minyak
yang terbaru, walaupun tambang-tambang di Zona Netral dapat mengakibatkan
limpahan uap air.
Tujuan jangka panjang Arab Saudi adalah untuk melanjutkan
minyak gasnya. Walaupun kementrian hanya berkomitmen untuk menaikkan kapasitas
hingga 12.5 juta barel/hari, kenaikan yang potensial hingga 15 juta
barel/hari (setelah 2011) yang telah didiskusikan ketika pertemuan di
Jeddah pada Juni 2008. Saudi Aramco telah mengatakan bahwa itu telah
mengakibatkan anggaran 20-30 milyar Dolar hingga lima tahun mendatang untuk
menutup tingkat kemerosotan dan menjaga tingkat kapasitas terbaru.
Saudi Aramco
melanjutkan rencana yang giat untuk menaikkan kapasitas produksi minyak mentah
meskipun terdapat beberapa penundaan terakhir, Key Projectsmereka
adalah:
Tabel 3: Peningkatan
Kapasitas Produksi Minyak Saudi Aramco
No |
Daerah |
Jumlah
Produksi Barel/hari |
1. |
Khurais |
1,2 juta |
2. |
Nuayyim |
0,1 juta |
3. |
Shaybah |
0,5-0,75 juta |
4. |
Khursaniyah |
0,5 juta |
5. |
Zona Netral |
0,15 juta |
6. |
Manifa |
Tertunda |
Sumber: http://www.eia.doe.gov/cabs/saudi_arabia/Full.html
Country
Analysis Brief Last Updated Januari 2011
1. Khurais: 1.2 juta barel/hari proyek
Arab yang dating langsung pada pertengahan 2009. Dalam segi kapasitas, ia
adalah tambang keempat terbesar di dunia.
2. Nuayyim: 0.1 juta barel/hari proyek
Arab pada pertengahan tahun 2009.
3. Perluasan Shaybah: Perluasan dari 0.5
juta barel/hari hingga 0.75 juta barel/hari dari Ekstra minyak Arab pada tahun
2009.
4. Khursaniyah: 0.5 juta barel/hari
proyek Arab selesai pada tahun 2009.
5. Perluasan Zona Netral: Secara alami
diprediksi akan menghasilkan 0.15 juta barel/hari diperluas pada tahun 2011.
6. Manifa: Proyek yang berat ini akan
ditunda hingga paling lambat tahun 2013.
Arab Saudi mengekspor minyak cair sebanyak 7,3 juta barel/hari
pada 2009, dan tahun 2010 sebesar 7,5 juta barel/hari. Sebagian besar minyak
mentah Arab Saudi di ekspor ke Asia sebesar 55 % yakni 4,125 juta barel/hari
seperti sebagian besar produk minyak olahan dan gas alam cair (NGL). Pada tahun
2009 Arab Saudi mengekspor 1 juta barel/hari minyak cair ke Amerika Serikat
(turun dari tahun 2008 yakni sebesar 1,5 juta barel/hari) terhitung dari 9 %
total minyak impor Amerika Serikat. Arab Saudi pengekspor keempat terbesar
setelah Kanada, Meksiko, dan Venezuela. Ekspor lain Arab Saudi yakni Jepang
sebesar 1,2 juta barel/ hari, Korea Selatan 850.000 barel/hari dan Cina 839.000
barel/hari.
Tabel 4: Persentasi Tujuan Ekspor Minyak Arab Saudi:
No |
Tujuan |
Minyak Mentah(Crude Oil) |
Minyak Olahan (Refined Product) |
1. |
Timur Jauh |
57% |
50 % |
2. |
Amerika Serikat |
14% |
3 % |
3. |
Mediterania |
5% |
4 % |
4. |
Eropa |
4% |
9 % |
5. |
Lainnya |
20% |
34 % |
Sumber: http://www.eia.doe.gov/cabs/saudi_arabia/Full.html
Saudi Aramco Annual Review
Arab Saudi merupakan negara perindustrian yang bertumpu pada
sektor minyak bumi dan pertokimia. Perekonomian negara ini sangat disokong oleh
hasil minyak bumi. Cadangan minyak Arab Saudi tahun 2003 diperkirakan mencapai
260,1 miliar barel, setara dengan seperempat total cadangan minyak dunia pada
saat itu.[61] Arab
Saudi sangat berperan dalam organisasi penghasil minyak yakni OPEC (Organization
of Petroleum Exporting Countries), selain memang sebagai salah satu negara
penggagas organisasi ini pada tahun 1960 bersama Iran, Kuwait, Irak dan
Venezuela juga pendapatan ekspor Arab Saudi sebagian besar diperoleh dari hasil
perdagangan minyak yakni sekitar 90 persen. Tahun 2007 Arab Saudi produksinya
meningkat mencapai 11,8 juta barel per hari. Sedangkan tahun 2010 menurut data
OPEC cadangan minyak Arab Saudi mencapai 265 miliar barel.
C. Kerjasama
Indonesia dengan Arab Saudi dalam Bidang Perminyakan
Negara yang menjadi mitra Indonesia dalam memasok import minyak
mentah yaitu Saudi Arabia, Amerika Serikat, Libya, Iran, Malaysia dan Vietnam.
Selain pasokan dari negara, kerjasama juga dilakukan oleh para perusahaan
minyak dunia seperti BP (British Petroleum), Caltex, Exxon dan
sebagainya dalam hal kegiatan eksplorasi. Berdasarkan data dirjen Migas
setidaknya terdapat beberapa kerjasama bilateral energi antara Indonesia dengan
beberapa negara yaitu dengan Cina, Inggris, Amerika Serikat, Jepang, Korea
Selatan, Taiwan, Yemen, Norwegia, Vietnam, Norwegia, Jordania, Iraq, Iran,
Kuwait dan Sudan.
Arab Saudi merupakan salah satu
mitra strategis Indonesia dalam hal
kerjasama perdagangan migas. Hubungan Diplomatik antara Indonesia
dan Kerajaan Arab Saudi secara resmi telah bermula sejak tanggal 1 Mei 1950
ketika Indonesia mendirikan Kantor Kedutaan Besar untuk Arab Saudi, Iran dan
Pakistan. Sementara Arab Saudi sendiri baru secara resmi mrndirikan Kedutaan
Besar di Jakarta pada tahun 1955. Sejak saat itu, hubungan diplomatik antara
Indonesia dan Arab Saudi semakin erat terlebih dengan diperkuat oleh adanya
hubungan agama, budaya, dan politik selama bertahun-tahun. Akan tetapi,
sekalipun hubungan diplomatik keduanya telah berlangsung sejak tahun 1950-an
namun dalam kaitannya migas, hubungan perdagangan migas antara Indonesia dengan
Arab Saudi baru terjalin pertama kali di tahun 2004 dimana pada saat itu kedua
belah pihak merupakan anggota OPEC.
Kerjasama perdagangan migas antara Indonesia dengan Arab Saudi
bermula ketika Indonesia berencana untuk mengimpor minyak mentah (crude oil)
khususnya Arabian Light Crude (ALC) sebanyak 39,63 juta barel
dari Saudi Aramco di tahun 2003 (Rakor Paripurna Bidang Polkam 2003). Namun,
Implementasi dari rencana tersebut baru terlaksana di tahun 2004 ketika
Indonesia untuk pertama kalinya selama menjadi anggota OPEC sejak tahun 1960
mulai mengimpor minyak dari Arab Saudi dan bahkan juga dari Iran, dan Kuwait.
Akan tetapi, hal ini bukanlah kali pertama Indonesia melakukan impor minyak
dari negara lain, karena pada dasarnya Indonesia sebenarnya telah menjadi
net-importer minyak sejak tahun 2002. [63] Indonesia
mengimpor minyak mentah karena produksi minyak dalam negeri kian merosot sejak
tahun 1977.
Produksi minyak Indonesia pada tahun 1977 adalah sekitar 1.686,2
ribu barel per hari dan jumlah ini terus merosot hingga menjadi 1.094,4 ribu
barel per hari pada tahun 2004. [64] Dengan
jumlah produksi sebesar itu, pemerintah Indonesia merasa perlu untuk mengimpor
minyak dari negara lain termasuk Arab Saudi yang dikenal memiliki cadangan
minyak terbesar di dunia (CIA WorldFactBok 2010). Dengan demikian, sejak tahun
2004 Indonesia secara resmi menjalin kerjasama perdagangan migas dengan Arab
Saudi untuk pertama kalinya yang diawali dari sebuah kerjasama impor minyak
mentah, khususnyaArabian Light Crude (ALC).
Di sisi lain, posisi Indonesia sebagai anggota OPEC dan jabatan
yang dipegang oleh delegasi Indonesia yakni Dr. Yusgiantoro sebagai Sekjen OPEC
untuk periode tahun 2004 hinggga 2007 ketika itu cukup memberikan keuntungan
tersendiri bagi Indonesia terkait perkembangan kerjasama di bidang migas yang
telah terjalin antara Indonesia dengan Arab Saudi. Indonesia diuntungkan
karena ALC sejak tahun 1980-an sudah tidak lagi diperdagangkan di pasar spot
dan adanya kedekatan yang terjalin antara Indonesia dengan Arab Saudi di OPEC
memungkinkan Indonesia mendapatkan minyak mentah dengan harga khusus.[65] Kerjasama
strategis di bidang migas yang terbangun sejak tahun 2004 ini pun harus
berlanjut dari waktu ke waktu. Pemerintah Indonesia, dalam kunjungan Presiden
Susilo Bambang Yudhoyono ke Arab Saudi pada April 2006 lalu, bahkan sempat
merencanakan kerjasama perdagangan migas baru antara Pertamina dengan Aramco
dalam hal pengolahan minyak mentah dari Arab Saudi yang kemudian diolah
dipasarkan di Indonesia maupun ke tempat-tempat lain di Asia. Tidak hanya itu, dalam kurun waktu
2006 hingga 2008 saja telah terjadi peningkatan jenis migas yang
diekspor oleh Arab Saudi ke Indonesia yang mana tidak lagi terbatas pada ALC
melainkan juga Liquified Petroleum
Gas (LPG).[66] Sayangnya,
ditengah pesatnya perkembangan kerjasama migas yang terjalin antara Indonesia
dengan Arab Saudi sebagaimana telah di jelaskan diatas, pemerintah Indonesia
memutuskan untuk menangguhkan keanggotaannya di OPEC pada
September 2008 bersamaan dengan diadakannya Konferensi OPEC
ke-149 di Wina, Austria. Kebijakan yang diambil oleh pemerintah Indonesia ini
patut disayangkan karena kesemua bentuk kerjasama perdagangan migas yang
terjalin antara Indonesia dengan Arab Saudi di atas terbangun justru karena
kedekatan antara Indonesia dengan Arab Saudi yang terbangun dalam keanggotaan
OPEC. Terlebih lagi, berkat keanggotaannya di OPEC, Indonesia dapat mengimpor
minyak dari Arab Saudi dengan harga khusus yang lebih murah.
Indonesia mengimpor minyak dari Arab Saudi dalam hal ini melalui
Saudi Aramco, di karenakan cadangan minyak yang ada di Indonesia memang belum
mencukupi dari pemenuhan kebutuhan minyak dalam negeri, tahun 2010 pihak PT
PERTAMINA (Perusahaan Pertambangan Minyak dan Gas Bumi Negara)menjajaki
perjanjian dengan Saudi Aramco (Oil National Company of Kingdom Saudi
Arabia) dalam hal impor minyak sebesar 200.000 bph yang sebelumnya PT.
Pertamina telah mendapatkan crude oil dari Saudi Aramco
sebanyak 125.000 bph. Indonesia mengharapkan dapat mengimpor minyak sebesar
325.000 bph dari Saudi Aramco untuk memenuhi kebutuhan kilang minyak dalam
negeri.
Kondisi perekonomian Arab Saudi terkini dan peluangnya bagi
Indonesia berdasarkan Sumber : Laporan Konjen RI di Jeddah, Maret 2011:
1. Arab Saudi mengalami
surplus tahun 2010 sebesar SR 108,5 milyar (US$ 28,93 milyar) walaupun
pembelanjaan negara tersebut lebih dibandingkan dengan anggaran pengeluaran
tahun 2010.
2. Pada Anggaran Pendapatan
dan Belanja Negara (APBN) Arab Saudi tahun 2011 disebutkan bahwa pengeluaran
Arab Saudi tahun 2011 SR 580 milyar (US$ 154,7 milyar), naik SR 40 milyar
dibandingkan tahun 2010.
3. GDP tahun 2010
diperkirakan naik16,6% dibandingkan tahun 2009 akibat adanya pertumbuhan 25%
dari sektor minyak.
4. GDP sektor non minyak
diperkirakan naik 9,2% sektor pemerintah 15,7%, dan sektor swasta 5,3% pada
saat kurs berlaku.
5. Inflasi tahunan di Arab
Saudi turun menjadi 5,3% pada bulan Januari 2011 dari 5,4% pada Desember 2010,
akibat turunnya harga-harga makanan pada bulan sebelumnya.
6. Turunnya harga-harga
makanan diimbangi dnegan naiknya biaya sewa (0,8%), dan biaya transportasi
(0,7%).
7. Laporan triwulan BPS Arab
Saudi pada bulan Juni 2010 menyebutkan bahwa angka pengangguran warga Arab
Saudi pada tahun 2009 hingga pertengahan 2010 mencapai 10,5%, meningkat sebesar
0,5% dibandingkan tahun sebelumnya (2008).
8. Kementerian Perminyakan
dan Sumberdaya Mineral Arab Saudi pada tanggal 23 Februari 2011 menjelaskan
bahwa produksi minyak Arab Saudi mencapai level tertinggi selama dua tahun
terakhir.
9. Ekspor minyak mencapai
6,49 juta barel per hari pada bulan Desember 2010, naik dari angka sebelumnya
yaitu 6,342 juta barel per hari pada November 2010.
10. Arab Saudi menjadi negara anggota OPEC terbesar
yang memproduksi minyak.
11. Perlu dilakukan kontrol terhadap kenaikan harga
minyak yang mencapai US$ 112 per barel akibat gejolak berdarah yang terjadi di
Libya sehingga menghentikan ekspor minyaknya ke luar negeri.
12. Titik berat RAPBN 2011 Arab Saudi:
a. Peningkatan proses
pembangunan dan menjamin program-program investasi yang mendorong pertumbuhan
ekonomi. Mengoptimalkan SDM dan memberikan prioritas terhadap proyek-proyek
yang menjamin keseimbangan pembangunan serta peluang kerja dan penciptaan
lapangan kerja.
b. Sektor pendidikan,
kesehatan, pelayanan sosial dan pengamanan, jalan-jalan dan jalan raya,
menempatkan proyek-proyek penting yang berkaitan dengan riset dan pembangungan
serta proyek-proyek sain dan teknologi untuk e-government.
13. Untuk menjaga ketahanan pangan dan stabilitas
harga, di tahun 2011 Arab Saudi berencana mengimpor 2 juta ton gandum dan
diperkirakan akan menjadi 3 juta ton setelah tahun 2016 dimana pada tahun
tersebut telah diberhentikan produksi lokal secara menyeluruh.
14. Arab Saudi merupakan negara utama pembeli gandum,
dan berkeinginan untuk meningkatkan cadangan barang-barang kebutuhan pokok
seperti gandum, beras, minyak, dan gula.
15. Secara makro, ekonomi Arab Saudi saat ini dalam
kondisi cukup kuat yang didukung oleh cadangan devisa yang besar dan kebijakan
fiskal yang sangat hati-hati.
16. Dalam rangka menunjang program pemerintah, pada
tanggal 19-22 maret 2011 akan diselenggarakn Jeddah Economic
Forum (JEF) ke-11 tahun 2011 di Hotel Hilton jeddah.
17. Terkait dnegan hubungannya dengan kemungkinan
dampaknya terhadap hubungan ekonomi dan investasi Arab-Indonesia akibat krisis
politik di negara-negara Timur Tengah dapat disampaikan:
a. Tidak ada dampak
langsung karena hubungan dagang kedua negara pada umumnya dilakukan secara
langsung (tidak melalui negara ketiga), dengan tern yang cenderung meningkat
dari tahun ke tahun.
b. Apabila krisis politik
negara-negara di Timur Tengah merambat ke Uni Emirate Arab makan akan berdampak
pada hubungan dagang Indonesia-Arab karena beberapa komoditi yang diekspor
Indonesia ke Arab Saudi dan negara Timur Tengah lainnya dilakukan melalui
pelabuhan di Dubai.
c. Kondisi krisis
politik yang terjadi dapat menjadi peluang bagi Indonesia untuk meningkatkan ekspor
Indonesia terutama bahan dan produk makanan yang menjadi kebutuhan pokok dan
sangat diperlukan oleh Arab Saudi yang selama ini dipasok oleh negara mitra
dagangnya di Timur Tengah. Peluang juga terbuka bagi Indonesia unuk menarik dan
mengalihkan investasi Arab Saudi ke Indonesia terutama di bidang pertanian dan
keuangan yang berbasis syariah, sehingga diperlukan promosi perdagangan dan
investasi secara langsung yang dilakukan pengusaha yang didukung oleh
pemerintah Indonesia.
18. Indonesia dapat memanfaatkan situasi ini untuk
meningkatkan hubungan ekonomi dengan Arab Saudi yang juga sesama anggota GNB
dan G-20 serta bekas anggota OPEC baik dalam kerangka bilateral maupun dengan
melakukan pendekatan pada setiap pertemuan G-20 dan pertemuan multilateral
lainnya.
Peluang-peluang yang dilaporkan secara umum bagi Indonesia, akan
tetapi terdapat poin-poin yang terkait dengan kerjasama perminyakan maupun
kondisi perminyakan di Arab Saudi yang bisa dijadikan kajian sebagai sebuah
peluang yang bisa di gunakan Indonesia dalam memenuhi kebutuhan energi dalam
negerinya, sebagai bentuk energy security.
Komentar
Posting Komentar