Langsung ke konten utama

Makalah Hukum Keuangan Daerah


 

TUGAS

MATA KULIAH PEMERINTAHAN DAERAH

Tentang : Keuangan Daerah

 

 

 

 

 


Description: Unhas1
 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 


Anggota Kelompok   :     ( B 111 13 337 ) Yodi Kristianto

                                          ( B 111 13 339 ) Arwin Rustaman Basda

                                          ( B 111 13 ___ ) Jane Pricilia

 

 

 

 

 

 

 

JURUSAN ILMU HUKUM

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS HASANUDDIN

MAKASSAR

2016


 

KEUANGAN DAERAH

Negara Republik Indonesia sebagai Negara Kesatuan menganut asas desentralisasi dalam menjalankan pemerintahannnya dengan memberikan kesempatan dan keleluasaan kepada daerah untuk menyelenggarakan otonomi daerah. Dalam pasal 18 Undang-Undang Dasar 1945 disebutkan bahwa, pembagian daerah Indonesia atas daerah besar dan kecil, dengan susunan pemerintahannya ditetapkan dengan undang-undang, dengan memandang dan mengingat dasar permusyawaratan dalam sistem pemerintahan Negara, dan hak asal-usul dalam daerah-daerah yang bersifat istimewa. Daerah di Indonesia akan dibagi menjadi daerah Provinsi, Kabupaten, Kecamatan, dan Desa.

Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004, menjelaskan bahwa pemerintahan daerah (daerah otonom) menyelenggarakan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangannya, kecuali urusan pemerintahan pusat, dan dalam menyelenggarakan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangannya, pemerintah daerah menjalankan otonomi seluas-luasnya untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan berdasarkan atas asas otonomi dan tugas pembantuan.

Pada dasarnya, terkandung tiga misi utama pelaksanaan otonomi dareah, yaitu meningkatkan kualitas dan kuantitas pelayanan public kepada masyarakat, menciptakan efisiensi dan efektifitas pengelolaan sumber daya daerah, dan memberdayakan sertra menciptakan ruang bagi masyarakat untuk berpartispasi dalam pembangunan.

Implementasi desentralisasi menandai proses demokratis di daerah mulai berlangsung. Setidaknya hal tersebut diindikasikan dengan terbentuknya pemerintahan daerah yang memiliki kewenangan penuh untuk mengatur dan mengelolah pembangunan di daerah, tanpa dihalangi oleh kendala struktural yang berhubungan dengan kebijakan pemerintah pusat. Secara umum konsep desentralisasi terdiri atas desentralisasi politik (political decentralization), desentralisasi administrative (administrative decentralization), desentalisasi fiskal (fiscal decentralization) dan desentralisasi ekonomi (economic or market decentralization). Dalam rangka mendorong demokratisasi dan pembangunan daerah, implementasi desentralisasi tidak dapat dilepaskan dari keempat bentuk desentralisasi tersebut dan tidak dapat membatasi hanya pada satu bentuk desentralisasi.

Desentralisasi pengelolaan keuangan daerah oleh pemerintah daerah merupakan aspek terpenting bagi kerja pemerintahan dan pembangunan. Masih adanya kendala, baik yang bersifat structural dan kesalahpahaman dari daerah, dalam mengelola keuangan daerah. Untuk itulah perlu adanya pemahaman terhadap keuangan daerah ini, sehingga dalam pelaksanaan kegiatan pemerintahan baik pusat maupun daerah dapat berjalan lancar.

A.    Pengertian Keuangan Daerah

Keuangan Daerah merupakan bagian dari keuangan Negara, oleh karena itu keuangan daerah dapat juga diartikan sebagai semua hak dan kewajiban Daerah dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan Daerah yang dapat dinilai dengan uang, termasuk didalamnya segala bentuk kekayaan yang berhubungan dengan hak dan kewajiban Daerah tersebut, dalam kerangka Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah.

Pengelolaan keuangan daerah telah mengalami berbagai macam penyempurnaan secara konstitusi dimana telah tertuang secara resmi dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1999 dan dilengkapi dengan Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2000. Kemudian peraturan tersebut disempurnakan dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004. Pengertian keuangan daerah dijelaskan dalam penjelasan pasal 156 ayat (1) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah adalah sebagai berikut :

Keuangan daerah adalah semua hak dan kewajiban daerah yang dapat dinilai dengan uang dan segala sesuatu berupa uang dan barang yang dapat dijadikan milik daerah yang berhubungan dengan pelaksanaan hak dan kewajiban tersebut.”[1]

Sedangkan pengertian keuangan daerah menurut Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 29 Tahun 2002 yang sekarang berubah menjadi Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 13 Tahun 2006 tentang Pedoman Pengurusan, Pertanggungjawaban dan Pengawasan Keuangan Daerah Serta Tata Cara Penyusunan Anggaran Pendapatan Belanja Daerah adalah :

semua hak dan kewajiban daerah dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan daerah yang dapat dinilai dengan uang termasuk didalamnya segala bentuk kekayaan yang berhubungan dengan hak dan kewajiban daerah, dalam kerangka anggaran pendapatan dan belanja daerah.”[2]

Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah juga merumuskan pengertian keuangan daerah, yaitu sebagai berikut :

keuangan daerah adalah semua hak dan kewajiban daerah dalam rangka penyelenggaraan pemerintah daerah yang dapat dinilai dengan uang termasuk didalamnya segala bentuk kekayaan yang berhubungan dengan hak dan kewajiban daerah tersebut.”[3]

Selain peraturan perundang-undangan, terdapat juga beberapa ahli yang dalam beberapa literature berusaha merumuskan defenisi dari keuangan daerah, diantaranya :

1.      Prof. Dr. Abdul Halim, Mba, Akt

Dalam bukunya yang berjudul “Akuntansi Keuangan Daerah”, Prof. Dr. Abdul Halim mendefenisikan keuangan daerah yaitu “semua hak dan kewajiban yang dapat dinilai dengan uang, demikian pula segala sesuatu baik berupa uang maupun barang yang dapat dijadikan kekayaan daerah sepanjang belum dimiliki/dikuasai oleh Negara atau Daerah yang lebih tinggi serta pihak-pihak lain sesuai ketentuan/ peraturan perundang-undangan yang berlaku.

2.      D.J. Mamesah

keuangan daerah adalah hak dan kewajiban yang dinilai dengan uang, baik berupa uang atau barang yang dapat dijadikan kekayaan daerah sepenjang belum dimiliki/dikuasai oleh Negara atau daerah yang lebih tinggi.” [4]

Dari beberapa defenisi tentang Keuangan Daerah diatas, pada pokoknya Keuangan Daerah memiliki unsur pokok sebagai berikut :

a.       Hak, yaitu hak untuk memungut sumber-sumber penerimaan daerah seperti pajak daerah, retribusi daerah, hasil perusahaan milik daerah, dan lain-lain, dan atau hak untuk menerima sumber-sumber penerimaan lain seperti Dana Alokasi Umum dan Dana Alokasi Khusus sesuai peraturan yang ditetapkan. Hak tersebut akan meningkatkan kekayaan daerah.

b.      Kewajiban, yaitu kewajiban untuk mengeluarkan uang untuk membayar tagihan-tagihan kepada daerah dalam rangka penyelenggaraan fungsi pemerintah, infrastruktur, pelayanan umum, dan pengembangan ekonomi. Kewajiban tersebut akan menurunkan kekayaan daerah.

c.       Kekayaan yang berhubungan dengan hak dan kewajiban tersebut.

Disamping memiliki unsur-unsur pokok diatas, pengertian keuangan daerah selalu melekat dalam pengertian Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD), yaitu : suatu rencana keuangan tahunan daerah yang ditetapkan berdasarkan peraturan. Selain itu, APBD merupakan salah satu alat untuk meningkatkan pelayanan public dan kesejahteraan masyarakat sesuai dengan tujuan otonomi daerah yang luas, nyata, dan bertanggungjawab.

B.     Sumber-sumber Keuangan Daerah

Sumber keuangan daerah terdiri atas beberapa komponen penerimaan pendapatan. Komponen penerimaan pendapatan merupakan penerimaan yang merupakan hak pemerintah daerah yang diakui sebagai penambah kekayaan bersih. Penerimaan pendapatan terdiri ata : (1) Pendapatan Asli Daerah (PAD); (2) Dana Perimbangan; dan (3) Pendapatan Daerah lainnya yang sah.[5] Berikut akan dijelaskan satu persatu subkomponen Pendapatan dan gambaran umum tentang subkomponen Pendapatan di daerah pada umumnya.

1.      Pendapatan Asli Daerah (PAD)

Pendapatan Asli Daerah (PAD) adalah pendapatan daerah yang dipungut berdasarkan peraturan daerah sesuai dengan peraturan perundang-undangan. PAD bersumber dari :

1)      Pajak Daerah, antara lain : Pajak Kendaraan Bermotor, Pajak Kendaraan di atas Air, Pajak Balik Nama, Pajak Bahan Bakar, Pajak Pengambilan Air Tanah, Pajak Hotel, Pajak Restoran, Pajak Hiburan, Pajak Reklame, Pajak Penerangan Jalan, Pajak Galian Golongan C, Pajak Parkir, dan Pajak lain-lain. Pajak-pajak Daerah ini diatur oleh Undang-undang Nomor 34 Tahun 2000 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, Peraturan Pemerintah Nomor 65 Tahun 2001 tentang Pajak Daerah.

2)      Retribusi Daerah, antara lain : Retribusi Pelayanan Kesehatan, Retribusi Pelayanan Persampahan, Retribusi Biaya Cetak Kartu, Retribusi Pemakaman, Retribusi Parkir di Tepi Jalan, Retribusi Pasar, Retribusi Pengujian Kendaraan Bermotor, Retribusi Pemadam Kebakaran, dan lain-lain. Retribusi ini diatur oleh Undang-undang Nomor 34 Tahun 2000 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, dan Peraturan Pemerintah Nomor 66 Tahun 2001 tentang Retribusi Daerah.

3)      Hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan, antara lain deviden BUMD; dan

4)      Lain-lain pendapatan yang sah, antara lain : hasil penjualan kekayaan daerah yang tidak dipisahkan, jasa giro, pendapatan bunga, keuntungan selisih nilai tukar, komisi, potongan, dan lain-lain yang sah.

2.      Dana Perimbangan

Dana Perimbangan adalah dana yang bersumber dari pendapatan APBN yang dialokasikan kepada daerah untuk mendanai kebutuhan daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi. Dana Perimbangan dikeluarkan bertujuan untuk mengurangi kesenjangan fiskal antara Pemerintah dan Pemerintahan Daerah dan antar-Pemerintah Daerah. Pasal 10 Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 mengatur tentang Dana Perimbangan yang setiap tahun ditetapkan untuk menjadi hak Pemerintah Provinsi dan Daerah Kabupaten/Kota terdiri dari :

1)      Dana Bagi Hasil, bagian Daerah bersumber dari penerimaan pajak dan penerimaan dari sumber daya alam ;

a)      Dana Bagi Hasil Pajak yang bersumber dari :

-          Pajak Bumi dan Bangunan (PBB);

-          Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB);

-          Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 25 dan Pasal 29 Wajib Pajak Orang Pribadi Dalam Negeri dan PPh Pasal 21.

b)      Dana Bagi Hasil Bukan Pajak yang bersumber dari sumber daya alam, berasal dari :

-          kehutanan;

-          pertambangan umum;

-          perikanan;

-          pertambangan minyak bumi;

-          pertambangan gas bumi; dan

-          pertambangan panas bumi.

Pembagian Dana Bagi Hasil dibagi menurut persentase yang berbeda-beda pada setiap sumber Dana Bagi Hasil yang diatur dalam pasal 12 sampai dengan pasal 21 Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 mengatur tentang Dana Perimbangan.

2)      Dana Alokasi Umum (DAU) yang ditetapkan sekurang-kurangnya 26% dari Pendapatan Dalam Negeri Neto yang ditetapkan dalam APBN. DAU tersebut dibagi atas dasar celah fiskal dan alokasi dasar. Celah fiskal adalah kebutuhan fiskal dikurangi dengan kapasitas fiskal Daerah. Alokasi dasar dihitung berdasarkan jumlah gaji Pegawai Negeri Sipil Daerah.

3)      Dana Alokasi Khusus yang (DAK) ditetapkan setiap tahun dalam APBN. DAK dialokasikan kepada Daerah tertentu untuk mendanai kegiatan khusus yang merupakan urusan Daerah. Pemerintah menetapkan kriteria DAK yang meliputi kriteria umum, kriteria khusus, dan kriteria teknis. Kriteria umum ditetapkan dengan mempertimbangkan kemampuan Keuangan Daerah dalam APBD. Kriteria khusus ditetapkan dengan memperhatikan peraturan perundang-undangan dan karakteristik Daerah. Kriteria teknis ditetapkan oleh kementerian negara/departemen teknis. DAK yang diberikan untuk kegiatan khusus, misalnya : reboisasi, penambahan sarana pendidikan dan kesehatan, dan bencana alam.

3.      Pendapatan Daerah lainnya yang sah

Pendapatan Daerah lainnya yang sah bertujuan memberikan peluang kepada Daerah untuk memperoleh pendapatan selain Pendapatan Asli Daerah, Dana Perimbangan dan Pinjaman Daerah[6]. Pendapatan Daerah lainnya yang sah antara lain :

1)      Hibah, adalah penerimaan daerah yang berasal dari pemerintah Negara asing, badan/lembaga asing, badan/lembaga internasional, badan/lembaga dalam negeri/perorangan, baik dalam bentuk devisa, rupiah, maupun barang dan/atau jasa termasuk tenaga ahli dan pelatihan yang tidak perlu dibayar kembali dan bersifat tidak mengikat.

2)      Dana darurat dari pemerintah dalam rangka penanggulangan korban/kerusakan akibat bencana alam.

3)      Dana bagi hasil pajak dari provinsi kapeda kabupaten/kota.

4)      Dana penyesuaian dan dana otonomi khusus yang ditetapkan oleh pemerintah.

5)      Bantuan keuangan dari provinsi atau dari pemerintah daerah lainnya.

 

C.    Prinsip dan Mekanisme Penggunaan Keuangan Daerah

Otonomi daerah memberikan wewenang kepada Pemerintah daerah untuk bertanggungjawab dalam penggunaan dana, baik dana dari Pemerintah pusat maupun dana yang berasal dari Pemerintah daerah sendiri. Cara mengelola keuangan dengan berhasil guna dan berdaya guna merupakan syarat penting untuk peningkatan pelayanan public di daerah. Dalam pelaksanaannya harus tetap berpegang pada prinsip-prinsip pengelolaan keuangan daerah (anggaran) yang baik. Mardiasmo menyatakan bahwa terdapat lima prinsip manajemen keuangan daerah yang diperlukan untuk mengontrol kebijakan keuangan daerah, yaitu meliputi :

·         Akuntabilitas, mensyaratkan bahwa dalam mengambil suatu keputusan hendaknya berperilaku sesuai dengan mandate yang diterimanya. Kebijakan yang dihasilkan harus dapat diakses dan dikomunikasikan secara vertikal maupun horizontal dengan baik.

·         Value for money, prinsip ini diopersionalkan dalam pengelolaan keuangan daerah dan anggaran daerah dengan ekonomis, efektif, dan efisien.

·         Kejujuran dalam mengelola keuangan publik (probity), dalam pengelolaan keuangan daerah harus dipercayakan kepada pegawai yang memiliki integritas dan kejujuran yang tinggi, sehingga potensi munculnya praktek korupsi dapat diminimalkan.

·         Transparansi, merupakan keterbukaanpemerintah dalam membuat kebijakan-kebijakan keuangan daerah sehingga dapat diketahui dan diawasi oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) maupun masyarakat.

·         Pengendalian, dalam pengelolaan keuangan daerah perlu dilakukan monitoring terhadap penerimaan maupun pengeluaran Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD), sehingga bila terjadi selisih (varians) dapat dengan segera dicari penyebab timbulnya selisih.

Asas umum dalam mengelolah keuangan daerah berdasarkan pasal 66 Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, sebagai berikut :


·         Keuangan daerah dikelola secara tertib, taat pada peraturan perundang-undangan, efisien, ekonomis, efektif, transparan, dan bertanggungjawab dengan memperhatikan keadilan, kepatuhan, dan manfaat untuk masyarakat.

·         Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD), perubahan APBD, dan pertanggungjawaban pelaksanaan APBD setiap tahun ditetapkan dengan peraturan daerah.

·         APBD mempunyai fungsi otorisasi, perencanaan, pengawasan, alokasi, distribusi, dan stabilisasi.

·         Semua penerimaan dan pengeluaran daerah dalam tahun anggaran yang bersangkutan harus dimasukkan dalam APBD.

·         Surplus dapat digunakan untuk membiayai pengeluaran daerah tahun anggaran berikutnya.

·         Penggunaan surplus APBD dimaksudkan untuk membentuk dana cadangan atau penyertaan dalam perusahaan daerah harus memperoleh persetujuan terlebih dahulu daripada Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD).

Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2005 dan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 13 Tahun 2006 pasal 4, terdapat prinsip penting dalam mengelola keuangan daerah, meliputi :

·         Taat pada peraturan perundang-undangan, dengan maksud bahwa pengelolaan keuangan daerah harus berpedoman pada peraturan perundang-undangan.

·         Efektif, merupakan pencapaian hasil program dengan target yang telah ditetapkan, yaitu dengan cara membandingkan keluaran dengan hasil.

·         Efisien, merupakan pencapaian keluaran yang maksimum dengan masukan tertentu atau penggunaan masukan terendah untuk mencapai keluaran tertentu.

·         Ekonomis, merupakan pemerolehan masukan dengan kualitas dan kuantitas tertentu pada tingkat harga terendah.

·         Transparan, merupakan prinsip keterbukaan ynag memungkinkan masyarakat untuk mengetahui dan mendapatkan akses informasi seluas-luasnya tentang keuangan daerah.

·         Bertanggung jawab, marupakan wujud dari kewajiban seseorang untuk mempertanggungjawabkan pengelolaan dan pengendalian sumber daya dan pelaksanaan kebijakan yang dipercayakan kepadanya dalam rangka pencapaian tujuan yang telah ditetapkan.

·         Keadilan, adalah keseimbangan distribusi kewenangan dan pendanaannya dan/keseimbangan distribusi hak dan kewajiban berdasarkan pertimbangan yang objektif.

·         Kepatutan, adalah tindakan atau suatu sikap yang dilakukan dengan wajar dan proporsional.

·         Manfaat, maksudnya keuangan daerah diutamakan untuk pemenuhan kebutuhan masayarakat.

Penggunaan Keuangan Daerah

1.      Belanja Daerah

Belanja daerah meliputi semua pengeluaran dari rekening kas umum daerah yang mengurangi ekuitas dana, dan merupakan kewajiban daerah dalam satu tahun anggaran dan tidak akan diperoleh pembayarannya kembali oleh daerah.

Klasifikasi belanja menurut Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2005 tentang Standar Akuntansi Pemerintahan terdiri atas belanja urusan wajib dan belanja urusan pilihan. Klasifikasi belanja menurut urusan wajib mencakup:

a.       Pendidikan;

b.      Kesehatan;

c.       Pekerjaan umum;

d.      Perumahan rakyat;

e.       Penataan ruang;

f.       Perencanaan pembangunan;

g.      Perhubungan;

h.      Lingkungan hidup;

i.        Pertanahan;

j.        Kependudukan dan catatan sipil;

k.      Pemberdayaan perempuan;

l.        Keluarga berencana dan keluarga sejahtera;

m.    Sosial; 

n.      Tenaga kerja;

o.      Koperasi dan usaha kecil menengah;

p.      Penanaman modal;

q.      Kebudayaan;

r.        Pemuda dan oleh raga;

s.       Kesatuan bangsa dan politik dalam negeri;

t.        Pemerintahan umum;

u.      Kepegawaian;

v.      Pemberdayaan masyarakat dan desa;

w.    Statistik;

x.      Arsip; dan

y.      Komunikasi dan informatika.

Klasifikasi belanja menurut urusan pilihan mencakup:

a.       Pertanian;

b.      Kehutanan;

c.       Energi dan sumber daya mineral;

d.      Pariwisata;

e.       Kelautan dan perikanan;

f.       Perdagangan;

g.      Perindustrian; dan

h.      Transmigrasi.

Klasifikasi belanja menurut organisasi disesuaikan dengan susunan organisasi pada masing-masing pemerintah daerah dan klasifikasi belanja menurut program dan kegiatan disesuaikan dengan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah. Sedangkan belanja menurut kelompok belanja, terdiri dari:

1)      Belanja tidak langsung. Kelompok belanja tidak langsung ini tidak terkait langsung dengan pelaksanaan program dan kegiatan. Kelompok belanja tidak langsung terbagi menurut jenis belanja yang terdiri dari:

a)      Belanja pegawai;

b)      Bunga;

c)      Subsidi;

d)     Hibah;

e)      Bantuan sosial;

f)       Belanja bagi hasil;

g)      Bantuan keuangan; dan

h)      Belanja tidak terduga.

2)      Belanja langsung. Kelompok belanja langsung merupakan belanja yang terkait secara langsung dengan pelaksanaan program dan kegiatan. Kelompok belanja langsung dari suatu kegiatan dibagi menurut jenis belanja yang terdiri atas:

a)      Belanja pegawai;

b)      Belanja barang dan jasa; dan

c)      Belanja modal.

 

2.      Pembiayaan

Pembiayaan daerah adalah semua penerimaan yang perlu dibayar kembali dan/atau pengeluaran yang akan diterima kembali, baik pada tahun anggaran yang bersangkutan maupun tahun-tahun anggaran berikutnya. Pembiayaan daerah meliputi semua transaksi keuangan untuk menutup defisit atau untuk memanfaatkan surplus.

Apabila APBD diperkirakan surplus diutamakan untuk membayar pokok utang, penyertaan modal (investasi) daerah, pemberian pinjaman kepada pemerintah pusat/pemerintah daerah lain, dan/atau pendanaan belanja peningkatan jaminan sosial. Sementara itu, jika APBD diperkirakan defisit maka ditetapkan pembiayaan untuk menutup defisit tersebut yang diantaranya dapat bersumber dari sisa lebih perhitungan anggaran tahun anggaran sebelumnya, pencairan dana cadangan, hasil penjualan kekayaan daerah yang dipisahkan, penerimaan pinjaman, dan penerimaan kembali pemberian pinjaman atau penerimaan piutang.

Pembiayaan daerah terdiri dari penerimaan pembiayaan dan pengeluaran pembiayaan. Penerimaan pembiayaan mencakup:

1)      Sisa lebih perhitungan anggaran Daerah;

2)      Penerimaan pinjaman Daerah;

Pinjaman Daerah bertujuan memperoleh sumber pembiayaan dalam rangka penyelenggaraan urusan Pemerintahan Daerah. Pinjaman Daerah bersumber dari:

a)      Pemerintah;

b)      Pemerintah Daerah lain;

c)      Lembaga keuangan bank;

d)     Lembaga keuangan bukan bank; dan

e)      Masyarakat berupa Obligasi Daerah.

3)      Penerimaan kembali pemberian pinjaman;

4)      Pencairan dana cadangan daerah;

5)      Penerimaan piutang; dan

6)      Hasil penjualan kekayaan Daerah yang dipisahkan.

Sedangkan pengeluaran pembiayaan mencakup:

1)      Pembentukan dana cadangan;

2)      Penanaman modal (investasi) pemerintah daerah;

3)      Pembayaran pokok utang; dan

4)      Pemberian pinjaman daerah.

Menurut Saragih, apapun komposisi dari APBD suatu daerah tentu harus disesuaikan dengan perkembangan keuangan pemerintah daerah yang bersangkutan. Setiap daerah tidak harus memaksakan diri untuk menggenjot pengeluaran tanpa diimbangi dengan kemampuan pendapatannya, khususnya kapasitas PAD[7]. Dikhawatirkan jika pemerintah daerah menetapkan kebijakan defisit pada APBD-nya, maka sumber pembiayaan untuk menutupi sebagian atau seluruh defisit anggaran berasal dari pinjaman atau utang.

Oleh sebab itu, masih menurut Saragih, yang lebih aman adalah tidak mendesain anggaran daerah yang ekspansif tanpa diimbangi dengan kemampuan pendapatannya. Bisa-bisa keuangan pemerintah daerah bangkrut hanya karena mengikuti ambisi untuk menggenjot pengeluaran, baik rutin maupun pembangunan.[8] Upaya yang dapat dilakukan untuk menciptakan struktur APBD yang baik adalah dengan memperkecil (didasari efisiensi dan efektivitas) belanja rutin daerah pada pos-pos yang tidak perlu dan mendesak. Hal inilah yang mendorong perubahan paradigma penganggaran dari yang berbasis line item (tradisional) ke arah penganggaran berbasis kinerja. Artinya, penganggaran berbais kinerja ini melihat penilaian kinerja lembaga berdasarkan besarnya dana yang terserap dari suatu program atau kegiatan. Setiap rupiah yang dikeluarkan harus dapat menghasilkan (yield) nilai tambah bagi perekonomian daerah atau kemakmuran masyarakat yang diindikasikan melalui target yang bersifat kuantitatif. Selanjutnya dalam proses penganggarannya, sistem ini juga menghendaki dipertimbangkannya beberapa fungsi, yakni fungsi alokasi, distribusi, dan stabilisasi.

D.    Pertanggungjawaban Keuangan Daerah dan Desa

Dalam pelaksanaan Pengelolaan Keuangan Daerah, Kekuasaan pengelolaan keuangan daerah dilaksanakan oleh kepala satuan kerja pengelola keuangan daerah selaku pejabat APBD dan pengguna anggaran / barang daerah (Pasal 10 UU No. 17/2003) yang mempunyai tugas sebagai berikut :

1.      Menyusun dan melaksanakan kebijakan pengelolaan APBD;

2.      Menyusun rancangan APBD dan rancangan Perubahan APBD;

3.      Melaksanakan pemungutan pendapatan daerah yang telah ditetapkan dengan Peraturan Daerah;

4.      Melaksanakan fungsi bendahara umum daerah;

5.      Menyusun laporan keuangan yang merupakan pertanggungjawaban pelaksanaan APBD. TUGAS PPKD

6.      Menyusun anggaran SKPD yang dipimpinnya;

7.      Menyusun dokumen pelaksanaan anggaran;

8.      Melaksanakan anggaran SKPD yang dipimpinnya;

9.      Melaksanakan pemungutan penerimaan bukan pajak;

10.  Mengelola utang piutang daerah yang menjadi tanggungjawab SKPD yang dipimpinnya;

11.  Mengelola barang milik/kekayaan daerah yang menjadi tanggungjawab SKPD yang dipimpinnya;

12.  Menyusun dan menyampaikan laporan keuangan SKPD yang dipimpinnya.

13.  Bupati menyampaikan ranperda tentang pertanggungjawaban pelaksanaan APBD kepada DPRD berupa laporan keuangan yang telah diperiksa oleh Badan Pemeriksa Keuangan, selambat-lambatnya 6 (enam) bulan setelah tahun anggaran berakhir. (Pasal 31 UU No. 17/2003)

14.  Berlaku sejak APBD TA 2006. PP 58 Tahun 2005

15.  APBD, P-APBD, & pertanggung-jawaban pelaksanaan APBD setiap tahun ditetapkan perda. ( Pasal 16, Ayat 4 )

16.  Kepala Daerah menyampaikan ranperda tentang pertangungjawaban pelaksanaan APBD kpd DPRD berupa laporan keuangan yang telah diperiksa oleh BPK, selambat- lambatnya 6 bulan setelah TA berakhir. ( Pasal 101 ) PP 58 Tahun 2005

17.  Laporan keuangan pelaksanaan APBD disampaikan kepada BPK selambat- lambatnya 3 bln setelah TA berakhir. (Pasal 102, Ayat 1)

18.  Pemeriksaan laporan keuangan oleh BPK selambat- diselesaikan selambat-lambatnya 2 bln stl menerima laporan keuangan dari pemda. (Pasal 102, Ayat 2) PP 58 TAHUN 2005.

19.  Apabila sampai batas waktu itu BPK belum menyampaikan laporan hasil pemeriksaan, pemeriksaan ranperda diajukan kepada DPRD. (Pasal 102, Ayat 3)

20.  Kepala daerah berikan tanggapan & lakukan penyesuaian thd LK berdasar hasil pemeriksaan BPK atas LK Pemda. (Pasal 103)

Dasar Hukum Pertanggungjawaban Kepala Daerah Dalam Pelaksanaan APBD tercantum dalam UU No 17 Tahun 2003 pada pasal 31 ayat 1 dan 2, yang berbunyi :

1.      Gubernur/Bupati/Walikota menyampaikan rancangan peraturan daerah tentang pertanggungjawaban pelaksanaan APBD kepada DPRD berupa laporan keuangan yang telah diperiksa oleh Badan Pemeriksa Keuangan, selambat-lambatnya 6 (enam) bulan setelah tahun anggaran berakhir.

2.      Laporan keuangan dimaksud setidak-tidaknya meliputi Laporan Realisasi APBD, Neraca, Laporan Arus Kas, dan Catatan atas Laporan Keuangan, yang dilampiri dengan laporan keuangan perusahaan daerah.

Kedudukan Kepala Daerah dalam Pertanggungjawaban Pelaksanaan APBD tercantum dalam UU No 32 Tahun 2004 pada pasal 184 ayat 1 sampai 3, yang berbunyi:

1.      Kepala daerah menyampaikan rancangan Perda tentang pertanggungjawaban pelaksanaan APBD kepada DPRD berupa laporan keuangan yang telah diperiksa oleh Badan Pemeriksa Keuangan paling lambat  6 (enam) bulan setelah tahun anggaran berakhir.

2.      Laporan keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sekurang-kurangnya meliputi laporan realisasi APBD, neraca, laporan arus kas, dan catatan atas laporan keuangan, yang dilampiri dengan laporan keuangan badan usaha milik daerah.

3.      Laporan keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disusun dan disajikan sesuai dengan standar akuntansi pemerintahan yang ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.

Jenis Laporan Keuangan yang disampaikan oleh Kepala Daerah adalah sebagai berikut :

1.      Entitas pelaporan menyusun laporan keuangan yang meliputi:

a.       Laporan Realisasi Anggaran.

b.      Neraca.

c.       Laporan Arus Kas.

d.      Catatan atas Laporan Keuangan.

2.      Entitas akuntansi menyusun Lap. Keuangan yang meliputi:

a.       Laporan Realisasi Anggaran.

b.      Neraca.

c.       Catatan atas Laporan Keuangan.

Tahapan pembuatan Laporan Pertanggungjawaban Kepala Daerah Berdasarkan PP No 58 Tahun 2005 sebagai berikut :

1.      APBD, P-APBD, dan pertanggungjawaban pelaksanaan APBD setiap tahun ditetapkan perda.( Pasal 16, Ayat 4 )

2.      Kepala Daerah menyampaikan Ranperda tentang pertangungjawaban pelaksanaan APBD kepada DPRD berupa laporan keuangan yang telah diperiksa oleh BPK, selambat-lambatnya 6 bulan setelah TA berakhir.( Pasal 101 )

3.      Laporan keuangan pelaksanaan APBD disampaikan kepada BPK selambat-lambatnya 3 bulan setelah Tahun Anggaran berakhir.( Pasal 102, Ayat 1 )

4.      Pemeriksaan laporan keuangan oleh BPK diselesaikan selambat-lambatnya 2 bulan setelah menerima laporan keuangan dari Pemda.( Pasal 102, Ayat 2 )

5.      Apabila sampai batas waktu itu BPK belum menyampaikan laporan hasil pemeriksaan, Ranperda diajukan kepada DPRD. (Pasal 102, Ayat 3 )

6.      Kepala daerah berikan tanggapan & lakukan penyesuaian terhadap Laporan Keuangan berdasar hasil pemeriksaan BPK atas Laporan Keuangan Pemda. ( Pasal 103 )

Komponen Laporan Keuangan

1.      Laporan keuangan dimaksud setidak-tidaknya meliputi:

a.       Laporan Realisasi APBD,

b.      Neraca,

c.       Laporan Arus Kas, dan

d.      Catatan atas Laporan Keuangan, yang dilampiri dengan

e.       Laporan keuangan perusahaan daerah.

2.      Bentuk dan isi laporan pertanggungjawaban pelaksanaan APBD disusun dan disajikan sesuai dengan standar akuntansi pemerintahan.

Proses Penyusunan Laporan Keuangan

1.      PPK-SKPD menyiapkan LK-SKPD tahun anggaran berkenaan dan disampaikan kepada kepala SKPD untuk ditetapkan sebagai laporan pertanggungjawaban pelaksanaan anggaran SKPD.

2.      Laporan keuangan disampaikan kepada PPKD sbg dasar penyusunan laporan keuangan pemda.

3.      LK-SKPD disampaikan kepada kepala daerah melalui PPKD paling lambat 2 (dua) bulan setelah tahun anggaran berakhir.

4.      Laporan keuangan itu disusun oleh pejabat pengguna anggaran sebagai hasil pelaksanaan anggaran yang berada di SKPD yang menjadi tanggung jawabnya.

5.      PPKD menyusun LK Pemda dengan cara menggabungkan laporan-laporan keuangan SKPD paling lambat 3 bulan setelah berakhirnya tahun anggaran berkenaan.

6.      LK Pemda disampaikan kpd kepala daerah melalui Sekda selaku koordinator pengelolaan keuda dalam rangka memenuhi pertanggungjawaban pelaksanaan APBD.


 

DAFTAR PUSTAKA

Rujukan Peraturan Perundang-undangan :

Undang-Undang Dasar 1945

Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2000 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah

Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara

Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah

Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Dana Perimbangan

Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 13 Tahun 2006 tentang Pedoman Pengurusan, Pertanggungjawaban dan Pengawasan Keuangan Daerah Serta Tata Cara Penyusunan Anggaran Pendapatan Belanja Daerah

Peraturan Pemerintah Nomor 65 Tahun 2001 tentang Pajak Daerah

Peraturan Pemerintah Nomor 66 Tahun 2001 tentang Retribusi Daerah

Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2005 tentang Standar Akuntansi

Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah

Rujukan Buku :

Buku Panduan Keuangan Daerah. “Rencana Program Investasi Jangka Menengah”. Direktorat Jenderal Cipta Karya. 2007

Chalid, Pheni. “Keuangan Daerah, Investasi, dan Desentralisasi.Kemitraan Partnership. Jakarta. 2005.

Halim, Abdul. “Akuntansi Keuangan Daerah”. Salemba Empat. Jakarta. 2008

Mardiasmo. “Otonomi dan Manajemen Keuangan Daerah”. Andi. Yogyakarta. 2002

Panglima Saragih, Juli. “Desentralisasi Fiskal dan Keuangan Daerah dalam Otonomi”. Ghalia Indonesia. Jakarta. 2003.

Paratama, Faradillah. “Pelaksanaan Peraturan Daerah Nomor 11 Tahun 2008 tentang Alokasi Dana Desa di Kecamatan Lappariaja Kabupaten Bone”. Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin. Makassar. 2013.

Rachim, Abd. “Barometer Keuangan Daerah”. Andi. Yogyakarta. 1995.

Ramasyafardi. “Administrasi Keuangan Negara dan Daerah”. Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Tanjungpura. Pontianak. 2013.

Yuwono, Sony DKK.”Memahami APBD dan Permasalahannya”. Bayumedia Publishing. Malang. 2008

Rujukan Internet :




[1] Lihat penjelasan pasal 156 ayat (1) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.
[2] Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 13 Tahun 2006 tentang Pedoman Pengurusan, Pertanggungjawaban dan Pengawasan Keuangan Daerah Serta Tata Cara Penyusunan Anggaran Pendapatan Belanja Daerah.
[3] Lihat pasal 1 Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah.
[4] Rachim, Abd. “Barometer Keuangan Daerah”. Andi. Yogyakarta. 2002. Hal., 47.
[5] Buku Panduan Keuangan Daerah. “Rencana Program Investasi Jangka Menengah”. Direktorat Jenderal Cipta Karya
[6] Diambil dari skripsi Ramasyafardi tentang “Administrasi Keuangan Negara dan Daerah”. Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Tanjungpura. Pontianak. 2013. Hal., 12
[7] Saragih didalam bukunya “Desentralisasi Fiskal dan Keuangan Daerah dalam Otonom”. 2003. Hal., 82
[8] ,ibid.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

TEORI TENTANG PERUBAHAN HUKUM DAN MASYARAKAT

TEORI TENTANG PERUBAHAN HUKUM DAN MASYARAKAT A.       Beberapa Teori tentang Hukum dan Perubahan Sosial Perubahan sosial adalah segala perubahan pada lembaga kemasyarakatan di dalam masyarakat, yang mempengaruhi sistem sosialnya, termasuk nilai, sikap, dan pola perilaku di antara kelompok-kelompok masyarakat. Pada umumnya suatu perubahan di bidang tertentu akan mempengaruhi bidang lainnya. Maka dari itu jika diterapkan terhadap hukum maka sejauh manakah perubahan hukum mengakibatkan perubahan pada bidang lainnya. [1] Suatu perubahan sosial dan kebudayaan dapat pula bersumber pada sebab-sebab yang berasal dari luar masyarakat itu sendiri dan   bisa dari bangsa lain seperti: pertama, t erjadinya berbagai bencana alam menyebabkan masyarakat yang mendiami daerah-daerah itu terpaksa harus meninggalkan tempat tinggalnya dan mereka harus menyesuaikan diri dengan keadaan alam yang baru yang akan mengakibatkan terjadinya perubahan-perubahan pada ...

SEJARAH JUDICIAL REVIEW (KASUS MARBURY VS MADISON TAHUN 1803)

  SEJARAH   JUDICIAL   REVIEW (KASUS MARBURY VS MADISON TAHUN 1803)   Lembaga pengujian konstitusional yang sudah mendunia dan seperti yang kita kenal saat ini bermula dari putusan Supreme Court (Mahkamah Agung) AS dalam kasus Marbury versus Madison pada tahun 1803. Sejak saat itu “wabah” pengujian konstitusional atau yang populer disebut judicial review ini mulai menyebar dan akhirnya mendapat kedudukan yang penting dalam dunia hukum seperti sekarang ini. Begitu fenomenal dan luar biasanya putusan “Marbury vs Madison” ini, William H. Rehnquist menyebut kasus ini sebagai “most famous case ever decided by the US Supreme Court.” [1]   Selain itu para pakar juga menyebut kasus ini dengan berbagai sebutan/istilah, antara lain ‘most brilliant innovation’ atau ‘landmark decision’ bahkan ada pula yang menyebutnya dengan nada penuh pujian sebagai ‘single most important decision in American Constitutional Law.’ [2] Kasus ini sendiri bermula pada saat John Ad...

PERBEDAAN KONSEP PELANGGARAN HAM DAN KEJAHATAN BIASA DALAM PERSPEKTIF HUKUM DAN HAM INTERNASIONAL

  PENDAHULUAN Hak Asasi Manusia (HAM) adalah hak-hak yang dimiliki manusia semata-mata karena ia manusia. Umat manusia memilikinya bukan karena diberikan kepadanya oleh masyarakat atau berdasarkan hukum positif, melainkan semata-mata berdasarkan martabatnya sebagai manusia. [1] .Oleh karenanya meskipun setiap orang terlahir dengan warna kulit, jenis kelamin, bahasa, budaya dan kewarganegaraan berbeda tetap memiliki hak-hak yang sifatnya universal.Selain sifatnya yang universal, hak-hak itu tidak dapat dicabut (inalienable) , karena hak-hak tersebut melekat kepada dirinya sebagai manusia.Akan tetapi persoalan hak asasi manusia baru mendapat perhatian ketika pengimplementasikannya dalam kehidupan bersama manusia. Pemikiran tentang keselarasan hidup dalam masyarakat dikemukakan oleh Aristoteles pada abad ke- 4 SM, bahwa untuk mencapai tujuan hidup manusia membutuhkan manusia lain, sehingga keberadaan masyarakat mutlak agar individu Manusia dapat memiliki arti dan berkembang. [2] ...