Penyelesaian Pencemaran Laut Lintas Batas Akibat Kebocoran Minyak Montara Australia Menurut Konvensi Hukum Laut 1982
Karya Tulis Ilmiah
Penyelesaian
Pencemaran Laut Lintas Batas Akibat
Kebocoran Minyak Montara Australia Menurut Konvensi Hukum Laut 1982
Disusun oleh :
Yodi Kristianto
B111 13 337
Fakultas Hukum
UNIVERSITAS
HASANUDDIN
2016
Kata Pengantar
. Puji dan syukur ke hadirat Tuhan Yang
Maha Esa atas berkat dan rahmatNya yang senantiasa berlimpah dalam
kehidupan kita.
Penulis bersyukur atas selesainya karya tulis ini dengan baik. Sebelumnya penulis mengucapkan terimah
kasih kepada dosen Mata Kuliah PIP Hukum Laut, Dr. Marcel Hendrapati SH., MH. yang telah memberikan binbingan dan nasihat kepada saya dalam menyelesaikan karya tulis dengan judul “Penyelesaian
Pencemaran Laut Lintas Batas Akibat Kebocoran Minyak Montara Australia
Menurut Konvensi Hukum Laut 1982”. Penulis menyadari bahwa karya tulis ini masih jauh dari sempurna, oleh karena
itu kritik dan saran dari semua pihak yang bersifat membangun selalu diharapkan demi kesempurnaan karya tulis ini.
Akhir kata, penulis sampaikan terima kasih
kepada semua pihak yang telah berperan serta dalam penyusunan karya tulis ini dari awal sampai akhir. Semoga Tuhan Yang Maha Esa selalu menuntun kita semua. Amin.
Makassar, 9 Mei 2016
YODI KRISTIANTO
DAFTAR ISI
Judul
Kata
pengantar .................................................................................................. ii
Daftar
Isi............................................................................................................ iii
Bab I
Pendahuluan............................................................................................. 1
A. Latar belakang...................................................................................... 4
B. Rumusan .............................................................................................. 4
C. Tujuan .................................................................................................. 4
D. Manfaat ............................................................................................... 4
Bab II Pembahasan............................................................................................. 5
A. Bagaimana
upaya–upaya yang dilakukan oleh kedua negara yang bersangkutan dalam
menyelesaikan masalah tersebut.................................................................................... 5
B. Apa
kendala yang dihadapi dalam penerapan ketentuan yang diatur dalam konvensi
hukum laut 1982 terkait dengan penyelesaian pencemaran lintas batas tersebut............. 7
Bab III Penutup.................................................................................................. 9
A. Kesimpulan .......................................................................................... 9
B. Saran..................................................................................................... 11
Daftar Pustaka.................................................................................................... 12
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Lingkungan hidup merupakan salah
satu komponen penting dalam kehidupan manusia. Selain menjadi tempat tinggal,
lingkungan hidup juga menjadi penyedia sumber daya alam yang menjadi pemenuh
kebutuhan manusia[1].
Lingkungan hidup juga merupakan ruang yang ditempati oleh mahluk hidup dan
benda yang tidak hidup didalamnya.
Salah satu bagian dari lingkungan
hidup tersebut adalah laut. Laut memiliki peran luar biasa dalam
penyediaan sumber daya alam yang tidak terbatas bagi manusia. Pengelolaan
sumber daya yang ada di laut memberikan manfaat yang besar bagi manusia. Namun
dalam pengelolaan lingkungan laut tersebut, seyogyanya memiliki dampak
terhadap lingkungan laut itu sendiri. Untuk bisa mempertahankan dan
melestarikan sumber daya tersebut, maka salah satunya adalah dengan memberikan
perhatian dalam perlindungan dan pelestarian wilayah di lingkungan laut.
Oleh karena itu, maka dibutuhkan suatu alat yang dapat mengontrol pihak yang
melakukan pengelolaan lingkungan laut. Antara lain adalah dengan diadakannya
suatu perangkat hukum yang isinya mengatur dan membantu dalam pelestarian
lingkungan laut tersebut. Salah satu masalah terbesar dalam pelestarian
lingkungan laut adalah adanya pencemaran. Pencemaran lingkungan laut
semakin banyak mendapat perhatian dari mata dunia internasional[2].
Hal tersebut disebabkan oleh dampak yang diakibatkan oleh aktifitas suatu
Negara dalam melakukan pengelolaan laut mulai mengganggu ketersediaan sumber
daya alam tersebut baik bagi Negara berpantai itu sendiri maupun bagi Negara-Negara
lain dalam hal ini adalah Negara tetangga yang bersinggungan garis pantainya.
Pada awalnya pencemaran diusahakan untuk
sedikit mungkin tidak menjadi masalah bagi Negara pantai maupun Negara lain,
hal ini dikarenakan laut masih memiliki kemampuan untuk membersihkan dirinya
sendiri, dengan tetap mempertahankan fungsi dari laut itu sendiri. Hanya saja
di era globalisasi ini seiring dengan meningkatnya teknologi membuat pemakaian
laut semakin tinggi dan berakibat masuknya zat– zat baru ke dalam laut,
ditambah lagi dengan zat–zat yang sebelumnya telah ada mengakibatkan penumpukan
yang membuat laut menjadi kotor dan berkurang kualitasnya sehingga berpengaruh pada
daya guna serta fungsi dari laut itu sendiri.
Dalam hal ini penulis mengambil salah
satu kasus terjadi pada tahun 2009 lalu, dimana salah satu perairan di
Indonesia tercemar oleh tumpahan minyak yang diakibatkan oleh negara lain.
Tumpahan minyak tersebut berasal dari semburan ladang minyak di Australia yang
bernama Montara. Proyek minyak lepas pantai tersebut gagal dalam melakukan
pengeboran pada 21 Agustus 2009 lalu sehingga minyak yang berasal dari dasar
laut menyembur dan mengotori perairan Australia dan menyebar hingga melewati
batas ZEE Indonesia. Pencemaran ini merupakan masalah yang sangat penting bagi
Indonesia. Hal ini dikarenakan bahwa pencemaran sudah memasuki wilayah Zona
Ekonomi Eksklusif (ZEE) Indonesia. Zona Ekonomi Eksklusif itu sendiri diartikan
sebagai suatu daerah diluar laut territorial yang lebarnya tidak boleh melebihi
200 mil diukur dari garis pangkal yang digunakan untuk mengukur lebar laut
territorial, dimana Negara pantai memiliki hak-hak lebih di dalam daerah Zona
Ekonomi Eksklusif ini. Antara lain adalah hak-hak untuk berdaulat. Perlu
dilihat disini adalah bahwa perbedaan ZEE dengan Laut Teritorial adalah bahwa
di dalam ZEE Negara pantai hanya dapat menikmati hak – hak berdaulat, bukan
kedaulatan penuh[3].
Akibat dari pencemaran tersebut, maka ada
dampak yang dirasakan oleh Indonesia. Berbicara mengenai dampak jangka pendek dari
pencemaran ini, hal tersebut akan dirasakan langsung oleh penduduk yang daerah
sekitar (nelayan NTT). Sebagai contoh adalah usaha budidaya kelautan dan
perikanan di Timor barat, Pulau Rote, Sabu dan Sumba gagal total. Padahal
hampir sebagian besar warga NTT menggunakan wilayah laut timor sebagai mata
pencahariannya. Hal ini mengakibatkan nasib kurang lebih 17 ribu warga NTT yang
menggantungkan hidupnya dari laut terancam[4].
Sedangkan dalam dampak jangka panjang
yang diakibatkan dari pencemaran ini antara lain adalah terancam punahnya
ekosistem kelautan seperti Ikan tuna, paus, lumba-lumba, pari, hiu, dan tujuh
spesies penyu laut yang berada di daerah laut timor ini. Hal ini diperburuk
dengan meluas ke perairan di sekitar Kabupaten Rote Ndao, bahkan hingga Laut
Sawu, terutama sekitar Kabupaten Sabu Raijua dan pantai selatan Pulau Timor[5].
Dalam United Nation Convention on The
Law of The Sea (UNCLOS 1982) pasal 192 mengenai pencemaran pada laut lepas
dinyatakan bahwa :
“Negara–Negara
diwajibkan untuk melindungi dan memelihara lingkungan kelautan sesuai dengan
aturan – aturan internasional dan perundang – undangan nasional”.
Selain pasal tersebut, perlindungan
lingkungan laut terutama dalam hal pencemaran karena tumpahan minyak juga
diatur dalam instrument hukum internasional lainnya. Diantaranya “Konvensi
Jenewa 1958” mengenai rezim laut lepas yaitu pada pasal 24, yang berbunyi : “Every
state shall draw up regulations to prevent pollution of the seas by the
discharge oil from ships of pipelines or resulting from the exploitation and
exploration of the seabed and its subsoil taking account to the existing treaty
provisions on the subject”. (setiap
negara wajib mengadakan peraturan-peraturan untuk mencegah pencemaran laut yang
disebabkan oleh minyak yang berasal dari kapal atau pipa laut atau yang
disebabkan oleh eksplorasi dan ekploitasi dasar laut dan tanah dibawahnya
dengan memperhatiakn ketentuan-ketentuan perjanjian internasional yang ada
mengenai masalah ini).
Kemudian ada juga Deklarasi Stockholm
tahun 1972 yang terdiri dari 26 asas, dimana pada asas ke 7 dikatakan bahwa :
“State shall take all possible steps to prevent pollution of the seas by
substance that are liable to create hazard to human healt, to harm living
resources and marine live, to damage amenities or to interfere with other
legitimate uses of the sea”. (negara berkewajiban untuk mengambil
tindakan-tindakan guna mencegah pencemaran laut yang membahayakan
kesehatan dan kesejahteraan manusia, sumber kekayaan hayati laut
terhadap penggunaan lingkungan laut). Namun sangat disayangkan, karena walaupun
instrument yang mengatur tentang perlindungan terhadap kelestarian
lingkungan khususnya laut telah ada dari dulu, namun dalam
pelaksanaannya tetap saja tidak sepenuhnya bisa berjalan dengan baik. Masih
sering terjadi kasus pencemaran lingkungan khususnya laut, bahkan dewasa ini
pencemaran laut semakin menjamur dimana–mana baik itu diakibatkan oleh kapal,
pengeboran ataupun sampah–sampah yang dibuang sembarangan. Sangat penting untuk
mengetahui secara mendalam mengenai bagaimanakah hukum internasional memberikan
perlindungan terhadap kelestarian lingkungan laut. Selain itu, tindakan-tindakan
apakah yang seharusnya ditempuh oleh para pihak yang terlibat dalam sengketa
pencemaran lintas batas Indonesia yang dilakukan oleh Australia. Sehingga
Penulis mengambil judul “Penyelesaian Pencemaran Laut Lintas
Batas Akibat Kebocoran Minyak Montara Australia Menurut Konvensi
Hukum Laut 1982”.
B. Rumusan
Masalah :
Berdasarkan
latar belakang diatas, maka rumusan masalah yang diangkat adalah sebagai
berikut:
1. Bagaimana
upaya–upaya yang dilakukan oleh kedua negara yang bersangkutan dalam
menyelesaikan masalah tersebut?
2. Apa
kendala yang dihadapi dalam penerapan ketentuan yang diatur dalam konvensi
hukum laut 1982 terkait dengan penyelesaian pencemaran lintas batas tersebut?
C.
Tujuan
Masalah :
1. Mengetahui
upaya-upaya kedua negara dalam penyelesaian masalah pencemaran laut.
2. Mengetahui
subtansi UNCLOS 1982 dalam penyelesaian masalah tersebut.
D.
Manfaat
Masalah :
Bahwa dengan mempelajari UNCLOS 1982 dan
peraruran lainnya, kita dapat mengetahui bagaimana upaya-upaya kedua negara
dalam menyelesaikan kasus tersebut agar kita dapat menjaga kualitas laut serta
kelestarian laut.
BAB II
PEMBAHASAN
1. Upaya-upaya
yang dilakukan oleh kedua negara yang bersangkutan dalam meyelesaikan masalah.
Masalah ini bermula dari ledakan yang
terjadi di rig West Atlas pada tanggal 21 Agustus 2009, yaitu ketika
sebuah platform sumur minyak Montara di Laut Timor yang terletak sekitar
690 km arah barat, Darwin mengalami kegagalan dalam pengeboran minyak sehingga
mengakibatkan ledakan yang terjadi pada salah satu pipa penyalur minyak dari
dasar laut ke permukaan.
Lokasi kilang minyak tersebut memang
berada dalam yurisdiksi Australia, namun yang menjadi masalah adalah ketika
tumpahan minyak tersebut memasuki yurisdiksi negara lain yang dalam hal ini
adalah Indonesia. Ledakan kilang minyak tersebut mengakibatkan perairan
Australia Barat, Timor Leste dan Indonesia tercemar oleh minyak mentah, dimana
tumpahan minyak tersebut berlangsung selama 74 hari, hingga 3 November 2009.
Tumpahan minyak tersebut menggenangi areal seluas 2500 mil persegi pada 30
Agustus 2009; kemudian pada 3 September 2009 mulai memasuki wilayah Indonesia
dengan posisi pada tanggal 29 September 2009 berada sejauh sekitar 50 mil dari
batas wilayah perairan laut antara Indonesia-Australia. Sejak itulah hasil tangkapan
laut nelayan serta aktivitas ekonomi masyarakat pesisir Provinsi NTT merosot
tajam, hingga tinggal delapan persen dari hasil normal sebelum pencemaran terjadi.
Upaya-upaya yang dilakukan oleh Indonesia.
Ø 2
Oktober 2009 : Pemerintah Daerah Nusa Tenggara Timur (NTT) pada tanggal membentuk
posko untuk memonitor tumpahan minyak Montara langsung ke lapangan.
Ø 6 Oktober 2009 :
Yayasan Peduli Timor Barat (YPTB) mengirim sampel air untuk diteliti.
Ø 15
Oktober 2009 : WWF Indonesia membuat press release tentang kasus Montara
dan mendorong Pemerintah Indonesia berkoordinasi dengan Pemerintah Australia
untuk melindungi kawasan Coral Triangle.
Ø Oktober-November
2009 : Beberapa menteri RI (Luar Negeri, Perhubungan, Kelautan dan Perikanan,
serta Lingkungan) melakukan koordinasi untuk menangani isu minyak Montara dan
menunjuk Tim Nasional Penanggulangan Keadaan Darurat Tumpahan Minyak di Laut,
yang diketuai Freddy Numbed, untuk bernegosiasi tentang kompensasi.
Ø 11
Mel 2010 : YPTB mengirim dokumen klaim kepada Pemerintah Australia.
Ø 15-17
Juli 2010 : Menteri Luar Negeri Marty Natalegawa mengonfirmasi bahwa Pemerintah
RI akan melakukan investigasi dan mengajukan klaim kompensasi. Tim advokasi
pencemaran LautTimor dibentuk dan dipimpin Masnellyarti Hilman dari KLH.
Ø 20
JuIi 2010 : Presiden RI mulai memberikan pernyataan kepada publik bahwa
Indonesia akan mengajukan klaim kompensasi kepada PTTEP. Staf khusus presiden,
Velix Wanggai, menyatakan bahwa tim investigasi telah berada di NTT.
Ø 26
Agustus 2010 :
·
Pertemuan tim advokasi
pencemaran Laut Timor dan PTTEP.
·
Pemerintah mengklaim
kompensasi hingga Rp 22 trilyun kepada PTTEP.
Ø 28
Agustus 2010 : PTTEP menolak klaim dan tidak mengakui data ilmiah versi
Pemerintah RI.
Ø Oktober
2010 : Pemerintah RI menyerahkan dokumen riset yang telah diperbarui kepada
PTTEP.
Ø 18
November 2010 : PTTEP kembali menolak klaim Pemerintah RI[6].
Pihak Australia sendiri juga menyatakan
telah mengambil tindakan dalam menanggulangi
pencemaran yang terjadi terkait akibat ledakan kilang minyak
montara
tersebut. Antara lain operasi penyelamatan atau pembersihan laut dari
tumpahan
minyak tersebut berlangsung, setelah lima kali percobaan kebocoran
berhasil
ditutup menggunakan lumpur sebanyak 3.400 barel yang dipompakan ke
sumur
minyak. Terkait dengan penganggulangan pencemaran tersebut, pemerintah
Australia
menyatakan fokus pada pembatasan dampak tumpahan minyak dari sumur
minyak
Montara dan akan terus memberikan informasi yang terbaru kepada pihak
berwenang
di Indonesia. Prioritasnya adalah untuk meminimalisir dampak tumpahan
minyak
pada lingkungan hidup yang dalam hal ini lingkungan laut, khususnya
perairan
antara Indonesia dengan Australia. Bagian terbesar dari tumpahan minyak
terdapat
di perairan Australia di suatu area di dekat sumur minyak Montara.
Tindakan pembersihan besar-besaran
berlangsung dengan menerapkan pengurai dan melakukan operasi pengendalian dan
pemulihan dengan menggunakan boom dan
skimmer.
Australia
juga menyatakan telah memonitor gerakan gumpalan-gumpalan
minyak
yang telah terurai dan lapisan minyak melalui penerbangan di atas laut setiap
hari,
dimana penerbangan terakhir dilakukan pada Selasa 27 Oktober. Penerbangan
tersebut
mengindikasikan gumpalan-gumpalan minyak yang telah terurai dan lapisan
minyak
tetap berada di ZEE Indonesia. Gumpalan minyak yang telah terurai teramati
pada
21 September, sekitar 94 kilometer sebelah tenggara Pulau Roti. Penerbangan
di
atas mengindikasikan yang terdapat di ZEE Indonesia utamanya adalah lapisan
minyak,
dengan kadang kala gumpalan kecil minyak yang telah terurai. Bagian
utama
tumpahan minyak kini berada lebih dari 248 kilometer dari garis pantai
Indonesia.
Australia
terus memonitor situasi dan selalu memberi tahu Indonesia tentang
gerakan
minyak dan lapisan minyak, dan upaya tanggap kami yang ekstensif. Kami
akan
melakukan koordinasi secara dekat dengan pihak berwenang Indonesia tentang
upaya
monitor mereka. Sebagai bagian dari tanggapan terus-menerus terhadap
tumpahan
minyak, dua kapal tanggap memasuki ZEE Indonesia pada 23 September
2009
untuk melakukan operasi pengendalian dan pemulihan, dengan menggunakan
boom dan skimmer tumpahan
minyak, pada gumpalan-gumpalan minyak yang lebih
kental
yang terlihat dari pesawat udara. Upaya ini didukung oleh pesawat terbang di
udara
untuk mengarahkan kapal ke gumpalan-gumpalan minyak yang lebih kental.
Australia
memberi tahu Indonesia tentang kehadiran kapal tersebut dan kegiatan
mereka
di ZEE Indonesia. Operasi ini selesai dilakukan dalam beberapa hari dan kapal
tersebut telah kembali ke ZEE Australia dan kini beroperasi di sekitar
anjungan[7].
2. Apa
kendala yang dihadapi dalam penerapan ketentuan yang diatur dalam konvensi hukum
laut 1982 terkait dengan penyelesaian pencemaran lintas batas tersebut?
Kendala yang dihadapi dalam penerapan
ketentuan yang diatur dalam Konvensi Hukum Laut 1982 terkait
penyelesaian pencemaran lintas batas antara Indonesia dengan Australia
antara lain adalah Hukum Laut lebih mengatur mengenai "Tanggung
Jawab Setiap Negara" Tidak diatur didalamnya perihal nilai ganti rugi yang
harus diberikan oleh Negara yang melakukan pencemaran. Meskipun UNCLOS telah
mengatur mengenai hak dan kewajiban setiap negara dalam mengelola kekayaan
hayati yang ada dilaut namun tetap saja ada kendala yang dihadapi dalam penerapan
UNCLOS dalam masalah yang terjadi antara Indonesia dengan Australia. Salah
satunya adalah penentuan ganti rugi yang dilihat dari sudut materiil tidaklah
diatur secara pasti didalam UNCLOS. Namun UNCLOS mengatur lebih kepada "kewajiban"
ganti rugi dengan kata lain pertanggung jawaban. Kemudian kendala
lainnya adalah Indonesia tidak mempunyai bukti yang kuat untuk melakukan
gugatan. Terkait dengan adanya laporan tes positif minyak Australia akan
membahas laporan ini dengan pemerintah Indonesia dan melakukan pengujian
sampel untuk dibandingkan dengan sampel dari minyak Montara atau minyak
yang lazim beredar di perairan Timur Indonesia. Australia menyatakan sangatlah
kecil kemungkinannya bahwa minyak Montara akan mencapai perairan pesisir
Indonesia. Terkait dengan Laporan Banyaknya Ikan yang mati, Australia telah
melakukan pengujian tingkat keracunan (toxicity) pada ikan yang terdapat
di sekitar tumpahan minyak di perairan Australia, dan hasilnya memperlihatkan
ketiadaan kontaminasi. Jenis dan jumlah minyak yang diamati di ZEE
Indonesia dipandang tidak mengakibatkan ancaman signifikan pada
lingkungan laut. Terkait dengan pernyataan adanya upaya tanggap dari
Australia untuk menanggulangi masalah ini.
Kemudian kendala terakhir
dalam penyelesaian masalah pencemaran lintasbatas ini adalah Indonesia tidak
melakukan tindakan pencegahan sebagaimana telah
ditetapkan
dalam UNCLOS 1982 Sejak terjadinya kasus kegagalan dalam
pengeboran
yang dilakukan oleh PTTEP Australia di Montara, belum ada tindakantindakan
perlindungan
ataupun pencegahan terhadap pencemaran lingkungan laut
dan
biota laut di laut Timor dari pihak Indonesia sendiri, padahal dalam kasus ini
Indonesia
merupakan negara yang wilayah lautnya tercemar oleh minyak yang
diakibatkan
aktifitas pengelolaan laut negara tetangga Australia. Hal ini yang
memberatkan
Indonesia manakala Indonesia akan membawa kasus Montara ke
Pengadilan
Internasional, dikarenakan Indonesia sendiri tidak mengambil tindakan
penanggulangan
yang cepat sejak terjadinya kebocoran.
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
1.
Menyikapi permasalahan
yang di atas sudah sepatutnya kedua belah pihak mengambil langkah penyelesaian
sesuai dengan yang telah diatur didalam UNCLOS 1982, dikarenakan kedua negara
juga sama-sama telah meratifikasi UNCLOS 1982 sehingga kedua negara memiliki
ikatan hukum dengan UNCLOS 1982 mana kala terjadi sengketa terkait dengan laut
internasional. Indonesia memang telah mengambil tindakan atas kasus pencemaran
yang terjadi, yaitu diawali dengan pembentukan posko untuk memonitor tumpahan
minyak Montara langsung ke lapangan yang telah dilakukan oleh Pemerintah Daerah
Nusa Tenggara Timur (NTT). Kemudian WWF Indonesia membuat press release tentang
kasus Montara dan mendorong Pemerintah Indonesia berkoordinasi dengan
Pemerintah Australia untuk melindungi kawasan Coral Triangle. Selain itu
beberapa menteri RI (Luar Negeri, Perhubungan, Kelautan dan Perikanan, serta
Lingkungan) juga telah melakukan koordinasi untuk menangani isu minyak Montara
dan menunjuk Tim Nasional Penanggulangan Keadaan Darurat Tumpahan Minyak di
Laut, yang diketuai Freddy Numbed, untuk bernegosiasi tentang kompensasi.
Kemudian Indonesia mengajukan klaim kepada pemerintah Australia, yang membuat diadakannya
pertemuan tim advokasi pencemaran laut timor dan PTTEP. Dalam klaimnya,
indonesia mengajukan tuntutan ganti rugi kepada australia, hanya saja Australia
menolak dengan dalih tidak disertai dengan data yang Valid. Terkait dengan
upaya kedua negara terhadap penanggulangan pencemaran laut yang diakibatkan
oleh ledakan kilang minyak di Australia ini, Asutralia sendiri telah melakukan
sedikitnya lima kali percobaan. Yang pada akhirnya kebocoran berhasil ditutup
menggunakan lumpur sebanyak 3.400 barel yang dipompakan ke sumur minyak. Selama
proses penanggulangan, Australia menyatakan terus memberikan informasi yang
terbaru kepada pihak berwenang di Indonesia. Selain dengan menutup sumber
ledakan dengan lumpur, tindakan pembersihan besar-besaran berlangsung dengan 12
menerapkan pengurai dan melakukan operasi pengendalian dan pemulihan dengan
menggunakan boom dan skimmer. Dimana upaya ini didukung oleh
pesawat terbang di udara untuk mengarahkan kapal ke gumpalan-gumpalan minyak
yang lebih kental. Australia memberi tahu Indonesia tentang kehadiran kapal
tersebut dan kegiatan mereka di ZEE Indonesia. Operasi ini selesai dilakukan
dalam beberapa hari dan kapal tersebut telah kembali ke ZEE Australia dan kini beroperasi
di sekitar anjungan. Meskipun Kilang Minyak Montara tersebut merupakan milik
dari suatu Perusahaan Thailand, akan tetapi bila melihat pada prinsip tanggung
jawab negara maka Australia tetap harus bertanggung jawab sebagai negara tempat
pengeboran dilakukan dengan kata lain Tanggung Jawab tersebut merupakan Tanggung
jawab yang bersifat Absolut atau mutlak. Dikarenakan selain telah melakukan
pencemaran, pencemaran tersebut juga telah masuk dan mencemari wilayah perairan
Indonesia serta telah menyebabkan kerugian bagi Indonesia khususnya penduduk
sekitar laut Timor.
2.
Kendala-kendala yang dihadapi dalam penerapan
Konvensi Hukum Laut 1982 dalam kasus pencemaran lintas batas yang diakibatkan
kilang minyak montara ini adalah meskipun dalam UNCLOS 1982 dituliskan secara
jelas perihal tanggung jawab negara dalam akan tetapi UNCLOS 1982 tidak menentukan
sistem pengganti kerugian yang dapat dijadikan dasar dalam penyelesaian kasus
pencemaran lintas batas antara Indonesia dengan Australia. Hal ini yang menjadi
salah satu kendala bagi Indonesia dalam menentukan besarnya ganti rugi yang
harus dipenuhi Australia. Bagi Indonesia sendiri kendala yang dihadapi dalam
mengajukan klaim ganti rugi terhadap pemerintah Australia adalah Indonesia
tidak memiliki data-data yang kuat untuk dapat dijadikan sebagai dasar
tuntutan. Kemudian pemerintah Australia cepat mengambil tindakan penanggulangan
terhadap pencemaran tersebut, sedangkan Indonesia yang dalam kasus ini
merupakan negara penderita, dikarenakan wilayah laut nya (Laut Timor) tercemar
oleh muntahan minyak yang berasal dari ledakan kilang minyak lepas pantai 13 Montara
di Australia, lamban dalam melakukan pencegahan pencemaran. Dikarenakan
lambanya respon dari pemerintah Indonesia dalam menangani kasus tersebut hal
itu berdampak pada pertimbangan Indonesia untuk mengangkat kasus ke pengadilan internasional,
dikarenakan hal itu berarti bahwa Indonesia tidak menjalankan MoU antara
Indonesia dengan Australia terkait dengan perlindungan laut dari pencemaran
serta respon yang cepat terhadap pencemaran laut antara kedua negara.
B.
SARAN
1. Dalam
melakukan penyelesaian sengketa pencemaran lintas batas tersebut Indonesia
dengan Australia sudah seharusnya kedua negara melakukan penelitian serta
melakukan pengambilan sampel langsung ke lapangan secara bersama-sama, ditempat
atau titik yang dirasa oleh kedua negara baik Indonesia maupun Australia
mengalami pencemaran langsung ataupun terkena dampak dari pencemaran laut
tersebut. Sebagaimana dijelaskan diatas bahwa Indonesia memang telah mengambil
tindakan atas kasus pencemaran yang terjadi, yaitu diawali dengan pembentukan
posko untuk memonitor tumpahan minyak Montara langsung ke lapangan yang telah
dilakukan oleh Pemerintah Daerah Nusa Tenggara Timur (NTT). Akan tetapi
seharusnya Indonesia lebih memanfaatkan keberadaan Tim Nasional Penanggulangan Keadaan
Darurat Tumpahan Minyak di Laut, yang diketuai Freddy Numbed, untuk mengambil
tindakan cepat dan tanggap terhadap pencemaran laut maupun dampaknya. Selain
itu TIMNAS Penanggulangan Keadaan Darurat tersebut tentunya memiliki hak penuh
sebagai perwakilan dari Indonesia untuk bernegosiasi maupun mengajukan gugatan
kepada Australia.
2. Baik
Indonesia maupun Australia, dalam menghadapi kasus pencemaran laut baik itu
terjadi didalam negara sendiri maupun kasus pencemaran lintas batas seperti
diatas, sudah seharusnya melakukan tindakan-tindakan sebagaimana telah
ditentukan dalam UNCLOS 1982, karena UNCLOS 1982 mengandung dasar-dasar yang
dapat dijadikan acuan dalam menyelesaikan sengketa terkait dengan laut
internasional. Terlebih Indonesia dan Australia merupakan 14 negara
yang meratifikasi UNCLOS 1982, hal tersebut mengakibatkan Indonesia dan
Australia terikat secara hukum dengan negara-negara lain yang juga telah
meratifikasi UNCLOS 1982 walaupun hukum nasional dari masing-masing negara
tersebut juga memiliki hukum positifnya sendiri terkait dengan pencemaran lau
DAFTAR PUSTAKA
1. Em
Juk Fajri, Ratu Aprilia Senja, Kamus besar Bahasa Indonesia, Difa
Publisher.
2. Starke,
J. G., 2004, Pengantar Hukum Internasional 1, Sinar Grafika, Jakarta.
3. Undang-Undang
No. 17 Tahun 1985 (UU peratifikasi UNCLOS 1982).
4. Undang-Undang
No. 32 Tahun 2009 Tentang “Perlindumgan Lingkungan Hidup” (UUPLH).
5. Deklarasi
Juanda 13 Desember 1957.
6. http://rahmawidhiasari.blogspot.com/
, “Mengkritisi Kelambatan Pemerintah dalam Penyelesaian Pencemaran Minyak
Montara”. Diakses pada tanggal 18 April 2015.
7. http://indomaritimeinstitute.org/?p=274.
“Pencemaran Lingkungan , Tumpahan Minyak dari Celah Timor Rusak Ekosistem
Laut”. Diakses pada tanggal 18 April 2015.
9. http://www.migas.esdm.go.id/tracking/beritakemigasan/detil/253897/Kronologi-Tumpahan-Minyak-Montara.
Diakses pada 19 April
2016.
[2] Hal ini
dimulai dari peluncuran kapal pengangkut minyak pertama Gluckauf pada 1885,
serta terjadinya pencemaran laut terbesar yang pernah ada ketika tanker Torrey
Canyon yang kandas di pantai selatan Inggris menumpahkan 35 juta gallons crudel
oil di barat daya perairan inggris pada tahun 1967.
[3] Heru
Prijanto Hukum Laut Internasional
[4]http://rahmawidhiasari.blogspot.com/ , “Mengkritisi
Kelambatan Pemerintah dalam Penyelesaian Pencemaran Minyak Montara”. Diakses
pada tanggal 18 maret 2015
[5] http://indomaritimeinstitute.org/?p=274, “Pencemaran Lingkungan , Tumpahan Minyak
dari Celah Timor Rusak Ekosistem Laut”. Diakses pada tanggal
18 maret 2015
[6]http://www.migas.esdm.go.id/tracking/berita-kemigasan/detil/253897/Kronologi-
Tumpahan-Minyak-Montara. Diakses pada 19 maret 2015
besar Australia di Indonesia
terhadap Pers)
Komentar
Posting Komentar