Langsung ke konten utama

Tugas Delik-Delik Di Luar Kodifikasi Kelas A



Tugas Delik-Delik Di Luar Kodifikasi Kelas A

1.  Jurnal Tentang Tindak Pidana di Bidang Perikanan
Secara teoritis, tindak pidana di bidang  perikanan dibedakan kedalam tiga macam, yakni Illegal fishing, Unregulated Fishing, dan Unreported Fishing.
a)  Illegal Fishing adalah kegiatan penangkapan ikan secara illegal diwilayah perairan atau ZEE suatu negara, dengan tidak memiliki ijin dari negara pantai. Menurut organisasi regional yang bergerak di bidang perencanaan dan pengelolaan perikanan yakni International Plan of Action (IPOA), yang dimaksud dengan illegal fishing adalah kegiatan menangkap ikan yang
1)  Dilakukan oleh orang atau kapal  asing pada suatu perairan yang menjadi yurisdiksi suatu negara tanpa ijin dari negara tersebut atau bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku
2)  Bertentangan dengan peraturan nasional yang berlaku atau kewajiban internasional
3)  Dilakukan oleh kapal yang mengibarkan bendera suatu negara yang menjadi anggota organisasi pengelolaan perikanan regional, tetapi beroperasi tidak sesuai dengan ketentuan pelestarian dan pengelolaan yang diterapkan oleh organisasi  tersebut atau ketentuan hukum internasional yang berlaku
b)  Unreported Fishing atau kegiatan perikanan yang tidak dilaporkan adalah suatu kegiatan penangkapan ikan yang :
1)  Tidak pernah dilaporkan atau dilaporkan secara tidak benar kepada instansi yang berwenang, tidak  sesuai dengan peraturan perundang-undangan nasional
2)  Dilakukan di area yang menjadi kompetensi organisasi pengelolaan perikanan regional, namun tidak pernah dilaporkan atau dilaporkan secara tidak benar, tidak sesuai dengan prosedur pelaporan dari organisasi tersebut.
Sedangkan menurut Aji Sularso, Unreported Fishing adalah kegiatan penangkapan ikan di perairan wilayah atau Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) suatu negara yang tidak dilaporkan baik operasionalnya maupun data kapal dan hasil tangkapannyac) Unregulated Fishing atau Kegiatan perikanan yang tidak diatur adalah kegiatan penangkapan ikan yang :
1) Dilakukan pada suatu area atau stok ikan yang belum diterapkan ketentuan pelestarian dan pengelolaan dan kegiatan penangkapan tersebut dilaksanakan dengan cara yang tidak sesuai dengan tanggung jawab negara untuk pelestarian dan pengelolaan sumber daya ikan sesuai hukum internasional
2) Dilakukan pada suatu area yang menjadi kewenangan organisasi pengelolaan perikanan regional, yang dilakukan oleh kapal tanpa kewarganegaraan, atau yang mengibarkan bendera suatu negara yang tidak  menjadi anggota organisasi tersebut, dengan cara yang tidak sesuai atau bertentangan dengan ketentuan pelestarian dan pengelolaan dari organisasi tersebut
Secara yuridis formal, pengaturan mengenai tindak pidana perikanan di indonesia terdapat didalam Undang-undang No. 31 Tahun 2004 tentang Perikanan, yang telah diperbaharui dengan undang-undang No. 45 tahun 2009. Dimana berdasarkan Pasal 103 Undang-undang Perikanan, tindak pidana perikanan dibagi atas 2 (dua) jenis  tindak pidana, yaitu tindak pidana kejahatan dibidang perikanan dan tindak pidana pelanggaran dibidang perikanan.
Adapun yang termasuk kedalam kualifikasi Tindak pidana kejahatan dibidang perikanan adalah tindak pidana yang diatur didalam pasal  84, Pasal 85, Pasal 86, Pasal 88, Pasal 91, Pasal 92, Pasal 93, dan pasal 94 Undang-undang Perikanan. Sedangkan yang termasuk kedalam tindak pidana pelanggaran dibidang perikanan adalah tindak pidana sebagaimana yang diatur didalam pasal 87, Pasal 89, Pasal 90, Pasal 95, Pasal 96, Pasal 97, Pasal 98, Pasal 99, dan Pasal 100 Undang-undang Perikanan.
UPAYA PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA TERTENTU DIWILAYAH PERAIRAN LAUT INDONESIA MELALUI OPTIMALISASI PERAN TNI ANGKATAN LAUT DALAM BIDANG PENEGAKAN HUKUM

 

2. Pengadilan Perikanan di Indonesia

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Pengadilan Perikanan adalah Pengadilan Khusus di lingkungan peradilan umum yang berwenang memeriksa, mengadili, dan memutus tindak pidana di bidang perikanan. Pengadilan Perikanan dibentuk berdasarkan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan.

Tempat Kedudukan

Hingga saat ini terdapat sepuluh Pengadilan Perikanan di seluruh Indonesia. Pengadilan Perikanan dibentuk pertama kali pada tahun 2004 di Pengadilan Negeri Jakarta Utara, Pengadilan Negeri Medan, Pengadilan Negeri Pontianak, Pengadilan Negeri Bitung, dan Pengadilan Negeri Tual. Pada tahun 2010 berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 15 tahun 2010 dibentuk Pengadilan Perikanan di Pengadilan Negeri Tanjung Pinang dan Pengadilan Negeri Ranai. Kemudian pada tahun 2014 berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 6 tahun 2010, Pengadilan Perikanan juga dibentuk di Pengadilan Negeri Ambon, Pengadilan Negeri Sorong dan Pengadilan Negeri Merauke. Daerah hukum Pengadilan Perikanan berada sesuai dengan daerah hukum Pengadilan Negeri.

Referensi


3. Putusan Pengadilan Negeri Tentang Tindak Pidana Perikanan


Putusan PN BANJARMASIN Nomor 869/Pid/Sus/2010/PN/BJM Tahun 2010
Nomor
869/Pid/Sus/2010/PN/BJM
Tingkat Proses
Pertama
Tanggal Register
23-07-2010
Tahun Register
Jenis Perkara
Pidana Khusus
Klasifikasi
Sub Klasifikasi
Jenis Lembaga Peradilan
PN
Lembaga Peradilan
Tahun
Tanggal Musyawarah
16-08-2010
Tanggal Dibacakan
16-08-2010
Amar
HUKUM
Hakim
Majelis
Hakim Ketua
AMRIL, SH,M.Hum
Hakim Anggota
SUSWANTI,SH,M.Hum IRFAN,SH,MH
Panitera
SAFRUDDIN,SE,SH
Yurisprudensi
Tidak
Status Tahanan
Ya
Berkekuatan Hukum Tetap
Ya
4. Dasar Hukum Penenggelaman Kapal Di Indonesia, apakah kapal Indonesia juga dapat di tenggelamkan?
Penjelasan Umum Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 Tentang Perikanan (“UU Perikanan”) yang menyebutkan bahwa  terdapat beberapa kelemahan yang terdapat dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan di atas, maka dirasa perlu untuk melakukan perubahan terhadap Undang-Undang tersebut, yang salah satunya adalah kemungkinan penerapan tindakan hukum berupa penenggelaman kapal asing yang beroperasi di wilayah pengelolaan perikanan Negara Republik Indonesia.

Berdasarkan penelusuran kami dalam UU Perikanan, sama halnya seperti penerapan sanksi pada tindak pidana lain pada umumnya, penerapan sanksi pada tindak pidana di bidang perikanan adalah berupa pidana penjara dan/atau denda. Selain itu, memang benar bahwa salah satu penerapan hukum pidana dalam bidang perikanan juga berupa penenggelaman kapal asing yang beroperasi di wilayah Indonesia.

Adapun pasal soal penenggelaman kapal asing dapat kita temukan dalam Pasal 69 ayat (4) UU Perikanan yang berbunyi:

(1) Kapal pengawas perikanan berfungsi melaksanakan pengawasan dan penegakan hukum di bidang perikanan dalam wilayah pengelolaan perikanan Negara Republik Indonesia.
(2) Kapal pengawas perikanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dapat dilengkapi dengan senjata api.
(3) Kapal pengawas perikanan dapat menghentikan, memeriksa, membawa, dan menahan kapal yang diduga atau patut diduga melakukan pelanggaran di wilayah pengelolaan perikanan Negara Republik Indonesia ke pelabuhan terdekat untuk pemrosesan lebih lanjut.
(4) Dalam melaksanakan fungsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) penyidik dan/atau pengawas perikanan dapat melakukan tindakan khusus berupa pembakaran dan/atau penenggelaman kapal perikanan yang berbendera asing berdasarkan bukti permulaan yang cukup.

Dengan demikian, penenggelaman kapal perikanan berbendera asing merupakan tindakan khusus yang dilakukan oleh kapal pengawas perikanan dalam menjalankan fungsinya sekaligus sebagai penegak hukum di bidang perikanan. Yang dimaksud dengan “kapal pengawas perikanan” adalah kapal pemerintah yang diberi tanda tertentu untuk melakukan pengawasan dan penegakan hukum di bidang perikanan (lihat Penjelasan Pasal 69 ayat (1) UU Perikanan).

Namun, hal penting yang perlu diperhatikan terkait penenggelaman kapal asing ini adalah penenggelaman itu tidak boleh dilakukan sewenang-wenang dan harus berdasarkan bukti permulaan yang cukup.

Yang dimaksud dengan “bukti permulaan yang cukup” adalah bukti permulaan untuk menduga adanya tindak pidana di bidang perikanan oleh kapal perikanan berbendera asing, misalnya kapal perikanan berbendera asing tidak memiliki Surat Izin Penangkapan Ikan (“SIPI”) dan Surat Izin Kapal Pengangkut Ikan (“SIKPI”), serta nyata-nyata menangkap dan/atau mengangkut ikan ketika memasuki wilayah pengelolaan perikanan Negara Republik Indonesia. Ketentuan ini menunjukkan bahwa tindakan khusus tersebut tidak dapat dilakukan dengan sewenang-wenang, tetapi hanya dilakukan apabila penyidik dan/atau pengawas perikanan yakin bahwa kapal perikanan berbendera asing tersebut betul-betul melakukan tindak pidana di bidang perikanan. Demikian yang dijelaskan dalam Penjelasan Pasal 69 ayat (4) UU Perikanan.

Menjawab pertanyaan Anda, ini artinya memang penenggelaman kapal asing itu sudah dibenarkan oleh undang-undang, asal sesuai dengan prosedur yang ditentukan oleh undang-undang. Di samping itu, sebagaimana dijelaskan dalam artikel Penenggelaman Kapal Asing Pencuri Ikan Dilindungi UU, soal dampaknya dalam upaya penegakan hukum laut di Indonesia, Anggota Komisi III DPR, S. Dasco Ahmad mengatakan bahwa penenggelaman kapal ikan asing dipastikan akan menimbulkan efek jera karena kapal tersebut merupakan alat produksi utama pelaku pencurian. Kalau kapal dan perlengkapannya yang berharga mahal tersebut ditenggelamkan, pencuri akan berpikir seribu kali untuk mengulangi pencurian di wilayah Indonesia karena motif pencurian adalah mencari keuntungan.

Selain itu, Dasco menambahkan bahwa praktik pembakaran dan penenggelaman kapal ikan asing yang tertangkap tangan mencuri ikan adalah praktik yang lumrah yang juga dilakukan banyak negara lain. Selain itu, persoalan pencurian ikan oleh kapal asing bukanlah persoalan hilangnya sumber daya perikanan belaka melainkan juga soal pelanggaran kedaulatan negara yang merupakan hal sangat prinsip bagi kita. Kita harus tunjukkan bahwa dalam hal penegakan hukum dan kedaulatan kita tidak pernah main-main.



Dasar Hukum:

Komentar

Postingan populer dari blog ini

TEORI TENTANG PERUBAHAN HUKUM DAN MASYARAKAT

TEORI TENTANG PERUBAHAN HUKUM DAN MASYARAKAT A.       Beberapa Teori tentang Hukum dan Perubahan Sosial Perubahan sosial adalah segala perubahan pada lembaga kemasyarakatan di dalam masyarakat, yang mempengaruhi sistem sosialnya, termasuk nilai, sikap, dan pola perilaku di antara kelompok-kelompok masyarakat. Pada umumnya suatu perubahan di bidang tertentu akan mempengaruhi bidang lainnya. Maka dari itu jika diterapkan terhadap hukum maka sejauh manakah perubahan hukum mengakibatkan perubahan pada bidang lainnya. [1] Suatu perubahan sosial dan kebudayaan dapat pula bersumber pada sebab-sebab yang berasal dari luar masyarakat itu sendiri dan   bisa dari bangsa lain seperti: pertama, t erjadinya berbagai bencana alam menyebabkan masyarakat yang mendiami daerah-daerah itu terpaksa harus meninggalkan tempat tinggalnya dan mereka harus menyesuaikan diri dengan keadaan alam yang baru yang akan mengakibatkan terjadinya perubahan-perubahan pada ...

SEJARAH JUDICIAL REVIEW (KASUS MARBURY VS MADISON TAHUN 1803)

  SEJARAH   JUDICIAL   REVIEW (KASUS MARBURY VS MADISON TAHUN 1803)   Lembaga pengujian konstitusional yang sudah mendunia dan seperti yang kita kenal saat ini bermula dari putusan Supreme Court (Mahkamah Agung) AS dalam kasus Marbury versus Madison pada tahun 1803. Sejak saat itu “wabah” pengujian konstitusional atau yang populer disebut judicial review ini mulai menyebar dan akhirnya mendapat kedudukan yang penting dalam dunia hukum seperti sekarang ini. Begitu fenomenal dan luar biasanya putusan “Marbury vs Madison” ini, William H. Rehnquist menyebut kasus ini sebagai “most famous case ever decided by the US Supreme Court.” [1]   Selain itu para pakar juga menyebut kasus ini dengan berbagai sebutan/istilah, antara lain ‘most brilliant innovation’ atau ‘landmark decision’ bahkan ada pula yang menyebutnya dengan nada penuh pujian sebagai ‘single most important decision in American Constitutional Law.’ [2] Kasus ini sendiri bermula pada saat John Ad...

PERBEDAAN KONSEP PELANGGARAN HAM DAN KEJAHATAN BIASA DALAM PERSPEKTIF HUKUM DAN HAM INTERNASIONAL

  PENDAHULUAN Hak Asasi Manusia (HAM) adalah hak-hak yang dimiliki manusia semata-mata karena ia manusia. Umat manusia memilikinya bukan karena diberikan kepadanya oleh masyarakat atau berdasarkan hukum positif, melainkan semata-mata berdasarkan martabatnya sebagai manusia. [1] .Oleh karenanya meskipun setiap orang terlahir dengan warna kulit, jenis kelamin, bahasa, budaya dan kewarganegaraan berbeda tetap memiliki hak-hak yang sifatnya universal.Selain sifatnya yang universal, hak-hak itu tidak dapat dicabut (inalienable) , karena hak-hak tersebut melekat kepada dirinya sebagai manusia.Akan tetapi persoalan hak asasi manusia baru mendapat perhatian ketika pengimplementasikannya dalam kehidupan bersama manusia. Pemikiran tentang keselarasan hidup dalam masyarakat dikemukakan oleh Aristoteles pada abad ke- 4 SM, bahwa untuk mencapai tujuan hidup manusia membutuhkan manusia lain, sehingga keberadaan masyarakat mutlak agar individu Manusia dapat memiliki arti dan berkembang. [2] ...