Langsung ke konten utama

RESUME KEGIATAN BEDAH BUKU DENGAN TEMA ‘’KONSTITUSI DAN MAHKAMAH KONSTITUSI’’ KERJASAMA MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN LEMBAGA DEBAT HUKUM DAN KONSTITUSI FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS HASANUDDIN


RESUME KEGIATAN BEDAH BUKU DENGAN TEMA ‘’KONSTITUSI DAN MAHKAMAH KONSTITUSI’’ KERJASAMA MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN LEMBAGA DEBAT HUKUM DAN KONSTITUSI FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS HASANUDDIN

PENDAHULUAN
“Orang yang berada di birokrasi biasanya sangat sibuk dan tidak sempat menulis. Kalau orang sibuk masih bisa menulis itu pasti luar biasa, seperti almarhum Baharuddin Lopa.” Demikian disampaikan Hakim Konstitusi Saldi Isra dalam pengantarnya pada acara bedah buku yang bertema “Konstitusi dan Mahkamah Konstitusi”, Jum’at, (25/10), di Aula Prof. Dr. Baharuddin Lopa, Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin Makassar. Saldi menambahkan, dirinya banyak mengenal sosok Baharuddin Lopa dari karya-karya tulisnya.
Menurut Saldi, menulis adalah kebutuhan mendasar di lembaga seperti MK karena wujud di ujung hasil kerja MK adalah tulisan putusan, yang bisa menjadi sumber bacaan untuk ditanggapi dalam tulisan yang lain. Saldi mengatakan bahwa untuk menulis sudah pasti harus membaca. Namun tradisi membaca dinilainya tidak lagi menjadi tradisi di kalangan mahasiswa fakultas hukum, “Atau memang ada yang salah dalam proses mengajar. Kita terlalu banyak membaca teori tapi tidak membaca putusan MK yang bisa menjadi hukum baru,” kata Guru Besar Hukum Universitas Andalas itu.
Saldi menambahkan, buku-buku yang diluncurkan oleh mantan Hakim Konstitusi, para Hakim Konstitusi serta para pegawai di lingkungan Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal MK sebenarnya adalah pandangan internal atau pun orang yang pernah berada dalam internal MK terhadap sebuah isu atau pun perkara yang pernah diputus. Apa yang tertuang dalam 25 buku yang dibedah ini, menurutnya, bisa menjadi bahan perdebatan di luar MK sehingga bisa mendorong kalangan luar untuk memberikan pendapat terhadap buku-buku tersebut, atau bahkan menuliskan pendapatnya dalam buku yang lain.
Saldi menjelaskan, para Hakim Konstitusi juga membutuhkan input dari masyarakat dalam hal hukum konstitusi. Saldi menontohkan kasus Marbury melawan Madison yang diputus Mahkamah Agung Amerika Serikat sudah ditulis dalam lebih dari 30.000 tulisan. Menurutnya, putusan MK dalam hal kolom kosong yang terjadi di Pilkada Kota Makassar seharusnya bisa menjadi bahan thesis, desertasi, atau pun skripsi.
Dalam kesempatan itu, enam buku yang dibahas adalah Hukum Internasional Ruang Angkasa karya Hakim Konstitusi I Dewa Gede Palguna, Hukum Tata Niaga Pertanian karya Sekertaris Jenderal MK M Guntur Hamzah, Etik Hakim Konstitusi karya Wiryanto, Hak Ingkar Hakim Konstitusi karya Syamsudin Noer, Sengketa Pilkada karya Hani Adhani, dan Penghayat Kepercayaan karya Winda Wijayanti.
Dalam kesempatan yang sama, juga berlangsung kompetisi debat konstitusi serta kompetisi peradilan semu. Universitas Trunojoyo berhasil meraih juara satu sekaligus menyabet pembicara terbaik kompetisi debat konstitusi yang diikuti oleh 13 perguruan tinggi. Sementara peradilan semu konstitusi yang diikuti oleh tiga perguruan tinggi berhasil dimenangkan Universitas Halu Oleo. 


PEMBAHASAN
1.       Hukum Internasional Ruang Angkasa karya Hakim Konstitusi I Dewa Gede Palguna
Hukum udara dan angkasa luar (antariksa) merupakan salah satu cabang hukum internasional yang relative baru karena mulai berkembang pada permulaan abad ke 20 setelah munculnya pesawat udara. Setiap negara pada dasarnya memiliki kedaulatan penuh dan ekskusif atas wilayah udara di atas teritorialnya. Hal ini merupakan salah satu prinsip yang diatur dalam Konvensi Chicago 1944. Ketentuan tersebut mengindikasikan bahwa setiap negara berhak untuk membuat aturan sendiri demi kepentingan nasional. Namun, ketentuan nasional itu harus diberlakukan tanpa perbedaan kepada setiap negara. Hukum penerbangan baru timbul ketika manusia mulai mengarungi udara dan erat berhubungan dengan kemajuan-kemajuan yang dicapai dalam lapangan teknik penerbangan, terutama dalam beberapa tahun sebelum dan sesudah perang dunia II. Hukum udara dan hukum angkasa merupakan lapangan hukum yang tersendiri, karena hukum udara ini mengatur suatu obyek yang mempunyai sifat yang khusus. Hukum udara internasional mengenal beberapa teori delimitasi ruang udara dan ruang angkasa. Antara lain Schater Air Space Theory diperkenalkan oleh Oscar Scahater. Jenks Free Space Theory (teori ruang angkasa bebas) diperkenalkan oleh C Wilfred Jenks, Haley’s International Unanimity Theory (teori persetujuan internasional) diperkenalkan oleh Andrew G. Haley dan Cooper’s Control Theory (teori pengawasan) diperkenalkan oleh John Cobb Cooper. Banyaknya para ahli memberikan argumentasi keilmuan tentang delimitasi ruang udara dan ruang angksa. Mereka memberikan warna tersendiri dan pemahaman yang mendalam serta teliti. Pendapat mereka dijadikan sebagai doktrina (pendapat para ahli hukum) sebagaimana tertera dalam pasal 38 Statuta Mahkamah Pengadilan Internasional. Dan dijadikan sebagai sumber hukum formil bagi para hakim dalam memutus sebuah perkara hukum.
Pasca amandemen UUD Negara Republik Indonesia 1945 Pasal 33 ayat (3) yang berbunyi “Bumi, air dan kekayaan yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat” penguasaan negara yang ada dalam Pasal 33 ayat (3) tersebut hanya mengatur pada bumi, air dan yang terkandung di dalamnya. Padahal saat ini keberadaan ruang angkasa berhubungan erat dengan hajat hidup orang banyak, salah satunya pemanfaatan GSO (geo stationary orbit) yang merupakan sumber daya alam terbatas. Sehingga hal tersebut menimbulkan masalah baru khususnya bagi Indonesia sebagai negara khatulistiwa yang mana penempatan GSO berada di atasnya. Masalah tersebut adalah bagaimana internalisasi terkait konsep penguasaan negara menurut Pasal 33 ayat (3) UUD NRI 1945 terhadap pemanfaatan sumber daya alam yang ada dalam wilayah ruang angkasa, serta bagaimana regulasi-regulasi yang mengatur terkait pemanfaatan sumber daya alam di wilayah ruang angkasa apakah sudah sesuai dipergunakan sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat. Dalam penelitian ini digunakan metode penelitian analisis kualitatif. Hasil dari penelitian ini memberikan gambaran bahwa keberadaan ruang angkasa memiliki peranan penting bagi setiap negara, khususnya keberadaan GSO sebagai sumber daya alam terbatas, keberadan GSO hanya ada di atas khatulistiwa dan Indonesia salah satu negara yang dilalui garis khatulistiwa. Beragam konvensi internasional yang telah disahkan ke dalam peraturan di Indonesia maupun regulasi yang ada di Indonesia berkenaan dengan pemanfaatan ruang angkasa sampai saat ini belum memberikan manfaat dan pengaturan yang komprehensif terkait memanfaatkan sumber daya alam yang terkandung dalam wilayah ruang angkasa tersebut, sehingga menjadi suatu keharusan bagi Indonesia sebagai negara yang berdaulat untuk memberikan jaminan secara konstitusional bagi keberadaan sumber daya alam yang ada dalam wilayah ruang angkasa untuk dipergunakan sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat.


2.       Hukum Tata Niaga Pertanian karya Sekertaris Jenderal MK M Guntur Hamzah
Buku ini berisi tentang pengertian, sejarah, landasan dan ruang lingkup dan prinsip-prinsip tata niaga produk pertanian. Di samping itu, buku ini juga berbicara banyak tentang hakikat, urgensi dan fungsi tata niaga produk pertanian, serta hubungannya campur tangan pemerintah baik sebagai regulator maupun fasilitator pembangunan di bidang pertanian. Ada beberapa isu hukum menarik yang dapat ditarik pembaca. Salah satu yang perlu digarisbawahi di dalam buku ini adalah aturan-aturan hukum tata niaga produk pertanian di samping merupakan rambu-rambu (guidelines) bagi pelaksanaan tata niaga produk pertanian, juga sebagai sarana transformasional untuk meningkatkan kesejahteraan petani. Aturan-aturan hukum itu, seyogianya dibentuk guna mengimplementasikan fungsi tata niaga produk pertanian yang berkeadilan sosial, dan juga sebagai wujud pelaksanaan Pasal 33 ayat 3 UUD 1945. Akan tetapi, aturan hukum – yang ada hingga saat ini—masih bersifat parsial dan kehilangan konteks dengan jiwa Pasal 33 ayat 3 UUD 1945 sehingga pengaturan hukum dan pelaksanaan tata niaga produk pertanian yang berlangsung selama ini sering kali merugikan petani dan masyarakat pada umumnya. Keadaan ini tentu saja menimbulkan stigma di kalangan petani bahwa negara maupun pemerintah tidak sungguh-sungguh menyelesaikan masalah tata niaga produk pertanian secara komprehensif. Karena itu, melalui buku ini juga diberikan rekomendasi penting guna mendukung dan membantu pelaku ekonomi, pemerintah, petani dan masyarakat pada umumnya dalam berinteraksi di bidang perdagangan dan ketataniagaan, juga untuk mendorong tata kelola produk pertanian yang meningkatkan kesejahteraan petani dan keluarganya, serta masyarakat pada umumnya.
3.       Etik Hakim Konstitusi karya Wiryanto
Gagasan terbesar yang dibangun dan ditulis dalam buku ini terpantik dari kegelisahan Penulis terhadap pentingnya keberadaan pranata ideal guna menjaga Hakim Konstitusi agar senantiasa berada pada koridor kewibawaan, kehormatan, keluhuran martabat, dan kemuliaannya. Penulis memulai alur pandangan dari pertanyaan dan isu mendasar mengenai sistem pengawasan etik terhadap hakim konstitusi, yaitu apakah hakim konstitusi seharusnya diawasi? Kalaupun kemudian perlu diawasi, apakah pengawasan etik dimungkinkan secara eksternal atau cukup dengan pengawasan etik secara internal saja?
Dalam buku ini, Penulis mengajukan dua postulat mengenai pentingnya rekonstruksi normatif sistem pengawasan etik Hakim Konstitusi, yaitu pertama, rekonstruksi normatif melalui Perubahan UUD 1945 dan kedua, rekonstruksi normatif melalui Perubahan UU Mahkamah Konstitusi (MK). Di samping itu, Penulis juga melakukan analisis mengenai evolusi sistem pengawasan etik hakim konstitusi, baik dari sisi norma maupun penegakannya. Dari hasil analisis tersebut, Penulis memberikan beberapa masukan dalam rangka rekonstruksi sistem pengawasan etik Hakim Konstitusi.
‘’Hakim Konstitusi merupakan jabatan terhormat (officium nobile) dan mulia. Oleh karena itu, seorang hakim konstitusi berkewajiban memelihara kehormatan, keluhuran martabat dan perilaku yang baik dalam rangka mempertahankan kehormatan dan kemuliaan yang disandangnya itu. Dalam perspektif inilah pengawasan etik yang dilakukan berdasarkan konstitusi dan peraturan perundang-undangan terhadap hakim konstitusi memperoleh arti pentingnya.’’ Prof. Dr. Arief Hidayat, S.H., M.S. (Hakim Konstitusi RI)
 ‘’Sudah banyak para pemikir, akademisi maupun pakar yang mengulas dan menuangkan dalam karya akademiknya mengenai kode etik hakim konstitusi, namun buku ini mengulas lebih dalam mengenai kode etik hakim konstitusi serta penegakannya. Buku ini menyajikan postulat penting dan menarik  untuk dicermati perihal rekonstruksi sistem pengawasan perilaku dan kode etik hakim konstitusi demi menjaga wibawa dan martabat hakim konstitusi.’’ Prof. Dr. M. Guntur Hamzah, S.H., M.H. (Sekretaris Jenderal Mahkamah Konstitusi RI)
4.       Hak Ingkar Hakim Konstitusi karya Syamsudin Noer
Penulisan buku ini dilatarbelakangi belum adanya kejelasan konsep hak ingkar terhadap hakim konstitusi yang independen dan imparsial dalam mewujudkan pemenuhan hak konstitusional para pihak berperkara di Mahkamah Konstitusi (MK). Sementara perwujudan hak ingkar tidak dapat dihindari, karena para pihak yang bersengketa selalu menginginkan keadilan.
Keadilan hanya dihasilkan oleh hakim independen dan imparsial dalam memeriksa, mengadili, dan memutus perkara. Syamsudin menuturkan bahwa konsep hak ingkar terhadap hakim konstitusi dalam hak konstitusional perlu memperhatikan dan melihat pelaksanaan peradilan yang adil untuk semua.Hak atas fair trial (peradilan yang adil dan tidak memihak) adalah sebuah norma yang dirancang untuk melindungi individu dari pembatasan yang tidak sah dan sewenang-wenang.
Hak untuk mendapatkan peradilan yang adil sudah seharusnya didapat oleh para pencari keadilan yang sedang bersengketa. Tetapi tidak jarang para pihak yang bersengketa mendapatkan ketidakadilan sedari awal. Ketidakadilan yang didapatkan pihak yang berperkara disebabkan karena mendapatkan seorang hakim yang seolah sudah memainkan peran dengan menunjukkan perilaku yang kurang adil dan cenderung memihak kepada pihak lain.
"Perlu adanya pengintegrasian norma hak ingkar terhadap hakim konstitusi menggunakan rumusan norma yang sesuai dengan asas hukum, yang mempunyai materi muatan bersifat kekinian dan kenantian yang konstruktif serta memiliki kekhususan karakteristik yang sesuai dengan pengadilan dan hukum acaranya," tambahnya
5.       Sengketa Pilkada karya Hani Adhani
9 Desember 2015 merupakan hari bersejarah dalam proses demokrasi di Indonesia dimana pada tanggal tersebut akan dilaksanakan Pilkada secara serentak di beberapa daerah provinsi, kabupaten/kota di seluruh Indonesia. Tahapan ini mengawali ide Pilkada serentak yang nantinya akan dilakukan bertahap yaitu gelombang pertama pada tahun 2015, gelombamg kedua pada tahun 2017, gelombang ketiga pada tahun 2018, gelombang keempat pada tahun 2020, gelombang kelima pada tahun 2022, gelombang keenam pada tahun 2023 dan Pilkada serentak secara nasional pada tahun 2027.
Beberapa permasalahan ternyata muncul pada saat proses awal penyelengaraan Pilkada serentak gelombang pertama tahun 2015 ini. Salah satu isu yang cukup menjadi perbincangan nasional adalah adanya beberapa daerah yang ternyata hanya mencalonkan 1 (satu) pasangan calon atau lebih dikenal dengan calon tunggal. Kelima daerah tersebut adalah Kabupaten Tasikmalaya, Jawa Barat; Kabupaten Blitar, Jawa Timur; Kota Mataram, Nusa Tenggara Barat; Kota Samarinda, Kalimantan Timur dan Kabupaten Timor Tengah Utara, Nusa Tenggara Timur. Namun setelah masa perpanjangan pendaftaran calon akhirnya dipastikan hanya 3 (tiga) daerah yang hanya mempunyai calon tunggal dan dipastikan tidak dapat mengelar Pilkada Tahun 2015 yaitu Kabupaten Tasikmalaya, Jawa Barat; Kabupaten Blitar, Jawa Timur dan Kabupaten Timor Tengah Utara, Nusa Tenggara Timur.
Adanya fakta bahwa ternyata di beberapa daerah yang akan mengikuti Pilkada hanya diikuti oleh satu pasangan calon (calon tunggal) pada akhirnya memunculkan wacana agar calon tunggal juga diakomodir dan dimasukan dalam undang-undang Pilkada karena apabila mengacu kepada Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi Undang-Undang perihal tentang calon tunggal memang belum diatur.

Putusan MK
Mengingat waktu yang sangat pendek dan mepet, ada juga yang mengusulkan agar Presiden mengeluarkan Perppu tentang calon tunggal karena apabila menggunaka jalur perubahan atau revisi undang-undang pilkada yang salah satu klausanya adalah mengakomodir adanya calon tunggal prosesnya akan memakan waktu yang lama. Pada akhirnya wacana agar calon tunggal yang saat ini ada juga agar dapat diakomodir dalam pelaksanaan Pilkada Serentak tahun 2015,  pada akhirnya masuk menjadi perkara pengujian undang-undang di Mahkamah Konstitusi. Pada tanggal 6 Agustus 2015, Efendi Ghazali mengajukan permohonan pengujian konstitusionalitas Pasal 49 ayat (8) dan ayat (9), Pasal 50 ayat (8) dan ayat (9), Pasal 51 ayat (2), Pasal 52 ayat (2), serta Pasal 54 ayat (4), ayat (5) dan ayat (6) UU 8 Tahun 2015 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi Undang-Undang terhadap UUD 1945 yang kemudian diregistrasi dengan Nomor Perkara 100/PUU-XIII/2015.
Adapun yang menjadi pokok argumentasi permohonan Pemohon dalam pengujian undang-undang tersebut adalah berpusat pada masalah terganggunya atau bahkan tidak dapat diselenggarakannya pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah sebagaimana dijadwalkan disebabkan oleh adanya ketentuan dalam norma Undang-Undang yang dimohonkan pengujian yang mempersyaratkan paling sedikit ada dua pasangan calon kepala daerah dan wakil kepala daerah.
Mahkamah Konstitusi akhirnya pada tanggal 29 September 2015 membacakan putusan perkara 100/PUU-XIII/2015 dan menyatakan mengabulkan sebagian permohonan Pemohon dan menyatakan Pasal 49 ayat (9), Pasal 50 ayat (9),  Pasal 51 ayat (2), 52 ayat (2), Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, Dan Walikota Menjadi Undang-Undang bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sepanjang tidak dimaknai mencakup pengertian “termasuk menetapkan 1 (satu) pasangan Calon Gubernur dan Calon Wakil Gubernur peserta Pemilihan dalam hal setelah jangka waktu 3 (tiga) hari dimaksud terlampaui namun tetap hanya ada 1 (satu) pasangan Calon Gubernur dan Calon Wakil Gubernur”;
             Mahkamah Konstitusi dalam pertimbangan hukumnya juga memperjelas tentang teknis mekanisme penyelenggaraan Pilkada dengan calon tunggal yaitu dipadankan dengan plebisit dengan cara meminta rakyat (pemilih) untuk menentukan pilihannya apakah “Setuju” atau “Tidak Setuju” dengan pasangan calon tersebut.  Menurut MK, apabila ternyata suara rakyat lebih banyak memilih “Setuju” maka pasangan calon tersebut ditetapkan sebagai kepala daerah dan wakil kepala daerah terpilih dan sebaliknya, apabila ternyata suara rakyat lebih banyak memilih “Tidak Setuju” maka pemilihan ditunda sampai Pemilihan Kepala Daerah serentak berikutnya. MK menyatakan, penundaan demikian tidaklah bertentangan dengan konstitusi sebab pada dasarnya rakyatlah yang telah memutuskan penundaan itu melalui pemberian suara “Tidak Setuju” tersebut.
Kesiapan KPU
          Pasca putusan tersebut, KPU Pusat sebagai penyelenggara Pilkada menindaklanjuti segera putusan MK tersebut dengan memerintahkan kepada KPU Kabupaten Tasikmalaya, Kabupaten Blitar dan Kabupaten Timur Tengah Utara untuk segera melanjutkan proses tahapan pemilihan yang sempat tertunda karena adanya calon tunggal tersebut. Secara teknis penyelengaraan, tahapan Pilkada calon tunggal dengan mekanisme Plebisit sebenarnya sama dengan tahapan pemilihan dengan mekanisme Pilkada dengan calon lebih dari satu, yang berbeda adalah surat suara yang yang memang hanya mencantumkan calon tunggal dan tulisan dalam surat suara dibawah pasangan calon yang tertera setuju atau tidak setuju.
          KPU terus melakukan rapat kordinasi untuk mempersiapkan Pilkada untuk 3 (tiga) daerah yang memiliki calon tunggal tersebut khususnya terkait waktu tahapan yang memang harus dilaksanakan bersamaan dengan daerah lainnya yaitu pada tanggal 9 Desember 2015. Apabila dilihat dari sisi teknis pelaksanaan sebenarnya tidak ada yang sulit bagi KPU untuk melaksanakan tahapan Pilkada dengan mekanisme plebisit ini karena secara kasat mata dengan satu pasangan calon (calon tunggal) maka pelaksanaannya pun menjadi tidak rumit seperti layaknya pilkada yang diikuti oleh pasangan calon lebih dari satu. KPU pastinya juga akan melakukan rapat kordinasi dengan Bawaslu dan DKPP guna nantinya mempersiapkan draft Peraturan KPU tentang tahapan Pilkada Calon Tunggal yang nantinya akan di konsultasikan ke DPR dan Pemerintah.
Sengketa di MK  
Mahkamah Konstitusi yang diberikan kewenangan sementara untuk memutus sengketa hasil Pilkada dalam dataran teknis peraturan telah mengeluarkan Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 1 Tahun 2015 tentang Pedoman Beracara Dalam Perkara Perselisihan Hasil Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota, Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 2 Tahun 2015 tentang Tahapan, Kegiatan dan  Jadwal Penanganan Perkara Perselisihan Hasil Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota, serta Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 3 Tahun 2015 tentang Pedoman Penyusunan Permohonan Pemohon, Jawaban Termohon dan Keterangan Pihak Terkait.
Secara garis besar Peraturan Mahkamah Konstitusi tersebut memang dibuat dalam kondisi normal dengan pengertian Pilkada yang diikuti oleh pasangan calon lebih dari satu sehingga apabila ada sengketa maka pihak yang bersengketa jelas terbagi sebagaimana dijelaskan dalam Peraturan Mahkamah Konstitusi yaitu Pemohon (pasangan calon peserta Pilkada), Termohon (KPU) dan Pihak Terkait (Pasangan Calon yang memiliki suara terbanyak yang ditetapkan Termohon yang memiliki kepentingan langsung terhadap permohonan yang diajuakan Pemohon).
Dalam ketiga peraturan Mahkamah Konstitusi tersebut memang tidak diatur tentang sengketa calon tunggal dengan mekanisme Plebisit seperti yang telah diputuskan Mahkamah Konstitusi dalam perkara 100/PUU-XIII/2015 karena ketiga Peraturan tersebut ditetapkan pada tanggal 24 Agustus 2015 sebelum putusan perkara 100/PUU-XIII/2015. Adanya usulan agar MK juga membuat aturan khusus mengenai Pilkada dengan mekanisme Plebisit ini memang harus dipertimbangkan secara seksama yang nantinya juga harus disinkronkan dengan Peraturan KPU dan juga peraturan Bawaslu yang mungkin juga akan dibuat untuk mengakomodir mekanisme Plebisit tersebut.
Apabila kita mengacu kepada PMK 1 Tahun 2015 maka Pemohon yang dapat mengajukan permohonan sengketa ke MK adalah pasangan calon Gubernur, Bupati dan Walikota sedangkan Pihak Terkait adalah Pasangan Calon Pemenang Pilkada yang memperoleh suara terbanyak. Dalam Pilkada yang diikuti oleh lebih dari satu pasangan calon proses pengajuan sengketa ke MK sudah jelas, namun hal tersebut akan berbeda apabila hanya dikuti oleh satu pasangan calon (calon tunggal). Sengketa calon tunggal di MK banyak menimbulkan pertanyaan yang harus dijawab bukan hanya oleh KPU, Bawaslu dan DKPP tetapi pastinya harus dijawab oleh MK sebagai lembaga pengawal demokrasi untuk menjaga adanya kepastian hukum dalam proses Pilkada Calon Tunggal tersebut.
Permasalahan tentang apakah calon tunggal yang kalah suara pada saat pelaksanaan Plebisit dapat menjadi Pemohon ke MK?, atau apakah masyarakat pemilih yang memilih tidak setuju dapat menjadi Pihak Terkait dalam sengketa tersebut? begitupun sebaliknya apakah masyarakat pemilih yang kalah suara pada saat pelaksanaan Plebisit dapat menjadi Pemohon ke MK?, berapa persentase batas perolehan suara bagi calon tunggal yang akan ditetapkan menjadi pasangan calon terpilih bila seandainya menang dalam Plebisit tersebut?. Tentunya berbagai pertanyaan dan permasalahan tersebut harus segera dijawab bukan hanya oleh KPU, Bawaslu, dan DKPP tetapi juga oleh MK sebagai penafsir tunggal konstitusi dan penjaga demokrasi. Patut kita tunggu langkah yang akan dilakukan oleh KPU, Bawaslu, DKPP dan MK dalam menyikapi sengketa calon tunggal ini dalam upaya menjaga marwah demokratisasi di Negara yang kita cintai ini.
6.       Penghayat Kepercayaan karya Winda Wijayanti.
Empat orang penghayat kepercayaan, masing-masing Nggay Mehang Tana, Pagar Damanra Sirait, Arnol Purba, dan Carlim, mengajukan permohonan uji materiil Pasal 61 Ayat (1) & (2), dan Pasal 64 Ayat (1) & (5) UU Nomor 23 Tahun 2006  jo UU Nomor 24 Tahun 2013 tentang Perubahan UU Administrasi Kependudukan (UU Adminduk) kepada Mahkamah Konstitusi.Para pemohon menyebutkan alasan pokok permohonan uji materiil atas UU Adminduk. Bagi mereka, pengaturan pengosongan kolom agama dalam Kartu Keluarga (KK) dan KTP elektronik dalam UU tersebut merugikan hak konstitusional warga penghayat kepercayaan dan dinilai diskriminatif. Pengaturan pengosongan kolom agama berakibat pada kesulitan sulitnya mereka dalam mengakses dokumen kependudukan, seperti akta nikah dan akta kelahiran, serta mencari pekerjaan.Dalam konteks yang lebih luas, pengosongan kolom agama dalam KK dan KTP elektronik berkaitan dengan ihwal mendasar tentang status hukum penghayat kepercayaan dalam kerangka kewarganegaraan (citizenship).
Tiga Pilar Penting
Melalui Putusan Mahkamah Konstitusi No. 97/PUU-XIV/2016 (Putusan MK 97/2016), Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan permohonan para pemohon secara keseluruhan. Putusan MK 97 meletakkan tiga pilar penting jaminan konstitusional terhadap penghayat kepercayaan.
Pertama, putusan MK 97/2016 menyebutkan bahwa kata “agama” dalam Pasal 61 ayat (1) & (2) dan Pasal 64 ayat (1) & (5) UU Adminduk bertentangan dengan konstitusi dan dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, sepanjang tidak termasuk “kepercayaan.” Mahkamah Konstitusi menggunakan penafsiran original intent dari rumusan Pasal 29 UUD 1945 untuk mempertegas gagasan awal tentang istilah “kepercayaan” sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari istilah “agama” dalam konstitusi kita.
Kedua, Putusan MK 97/2016 mempertegas hak atas agama, termasuk kepercayaan, adalah hak konstitusional warga (constitutional rights) dan merupakan bagian dari hak asasi manusia. Hak tersebut bersifat “natural rights,” yaitu hak alamiah pada setiap manusia yang tidak bisa dikurangi dalam keadaan apa pun.Dalam konteks ini, MK mempertegas posisi negara sebagai pengemban tanggung jawab (duty bearers) untuk memenuhi, melindungi, dan menghormati setiap individu penghayat kepercayaan sebagai pemegang hak (rights holders).
Ketiga, Putusan MK 97/2016 meletakkan prinsip kepastian hukum dan persamaan di depan hukum sebagai dasar menguji konstitusionalitas UU Adminduk. MK menguji pelaksanaan prinsip-prinsip tersebut secara substantif, yaitu bahwa pengosongan kolom agama bagi penghayat kepercayaan di dalam KK dan KTP elektronik melahirkan ketidakjelasan status hukum dalam administrasi kependudukan. Pengaturan tersebut melahirkan ketidakpastian hukum, melanggar prinsip persamaan di depan hukum, dan bersifat diskriminatif.Tiga pilar Putusan MK 97/2016 di atas adalah koreksi mendasar tentang posisi status kewarganegaraan (citizenship) penghayat kepercayaan untuk diletakkan kembali secara utuh sebagai warga negara. Status kewarganegaraan yang utuh adalah pintu masuk bagi penghayat kepercayaan untuk berpartisipasi secara setara dengan kelompok masyarakat lainnya dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Artinya, dasar ratio legis Putusan MK 97/2016 sebenarnya adalah penolakan segala bentuk diskriminasi.
Pelaksanaan Putusan
Putusan MK 97/2016 sebagai negative legislator bersifat final dan mengikat. Sebagai putusan hukum yang tidak mengadili secara konkret (in concreto) persoalan hukum, namun mengadili norma hukum, maka mesti diiringi dengan pelaksanaan oleh pemerintah. Sebagai penerima mandat pelaksana keputusan, pemerintah mesti menyediakan aturan teknis dan perangkat yang memadai agar putusan MK 97/2016 terlaksana secara konkret.Kementerian Dalam Negeri adalah kementerian yang berwenang untuk melaksanakan Putusan MK 97/2016 berdasarkan kewenangan dan bidangnya. Dalam konteks ini, Kementerian Dalam Negeri cukup melahirkan aturan pada tingkat Peraturan Menteri untuk memastikan perangkat teknis dan anggaran dalam pelaksanaan Putusan MK 97/2016 tersebut.
Dengan demikian, Putusan MK 97/2016 adalah pengakuan konstitusional terhadap penghayat kepercayaan dan momentum perubahan untuk mengembalikan marwah hak konstitusional warga negara yang nondiskriminatif. Tentu saja perubahan tersebut akan bermakna jika pelaksanaan Putusan MK 97/2016 tersebut dilaksanakan secara konsisten dan konkret oleh pemerintah sebagai penerima mandat konstitusi.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

TEORI TENTANG PERUBAHAN HUKUM DAN MASYARAKAT

TEORI TENTANG PERUBAHAN HUKUM DAN MASYARAKAT A.       Beberapa Teori tentang Hukum dan Perubahan Sosial Perubahan sosial adalah segala perubahan pada lembaga kemasyarakatan di dalam masyarakat, yang mempengaruhi sistem sosialnya, termasuk nilai, sikap, dan pola perilaku di antara kelompok-kelompok masyarakat. Pada umumnya suatu perubahan di bidang tertentu akan mempengaruhi bidang lainnya. Maka dari itu jika diterapkan terhadap hukum maka sejauh manakah perubahan hukum mengakibatkan perubahan pada bidang lainnya. [1] Suatu perubahan sosial dan kebudayaan dapat pula bersumber pada sebab-sebab yang berasal dari luar masyarakat itu sendiri dan   bisa dari bangsa lain seperti: pertama, t erjadinya berbagai bencana alam menyebabkan masyarakat yang mendiami daerah-daerah itu terpaksa harus meninggalkan tempat tinggalnya dan mereka harus menyesuaikan diri dengan keadaan alam yang baru yang akan mengakibatkan terjadinya perubahan-perubahan pada ...

SEJARAH JUDICIAL REVIEW (KASUS MARBURY VS MADISON TAHUN 1803)

  SEJARAH   JUDICIAL   REVIEW (KASUS MARBURY VS MADISON TAHUN 1803)   Lembaga pengujian konstitusional yang sudah mendunia dan seperti yang kita kenal saat ini bermula dari putusan Supreme Court (Mahkamah Agung) AS dalam kasus Marbury versus Madison pada tahun 1803. Sejak saat itu “wabah” pengujian konstitusional atau yang populer disebut judicial review ini mulai menyebar dan akhirnya mendapat kedudukan yang penting dalam dunia hukum seperti sekarang ini. Begitu fenomenal dan luar biasanya putusan “Marbury vs Madison” ini, William H. Rehnquist menyebut kasus ini sebagai “most famous case ever decided by the US Supreme Court.” [1]   Selain itu para pakar juga menyebut kasus ini dengan berbagai sebutan/istilah, antara lain ‘most brilliant innovation’ atau ‘landmark decision’ bahkan ada pula yang menyebutnya dengan nada penuh pujian sebagai ‘single most important decision in American Constitutional Law.’ [2] Kasus ini sendiri bermula pada saat John Ad...

PERBEDAAN KONSEP PELANGGARAN HAM DAN KEJAHATAN BIASA DALAM PERSPEKTIF HUKUM DAN HAM INTERNASIONAL

  PENDAHULUAN Hak Asasi Manusia (HAM) adalah hak-hak yang dimiliki manusia semata-mata karena ia manusia. Umat manusia memilikinya bukan karena diberikan kepadanya oleh masyarakat atau berdasarkan hukum positif, melainkan semata-mata berdasarkan martabatnya sebagai manusia. [1] .Oleh karenanya meskipun setiap orang terlahir dengan warna kulit, jenis kelamin, bahasa, budaya dan kewarganegaraan berbeda tetap memiliki hak-hak yang sifatnya universal.Selain sifatnya yang universal, hak-hak itu tidak dapat dicabut (inalienable) , karena hak-hak tersebut melekat kepada dirinya sebagai manusia.Akan tetapi persoalan hak asasi manusia baru mendapat perhatian ketika pengimplementasikannya dalam kehidupan bersama manusia. Pemikiran tentang keselarasan hidup dalam masyarakat dikemukakan oleh Aristoteles pada abad ke- 4 SM, bahwa untuk mencapai tujuan hidup manusia membutuhkan manusia lain, sehingga keberadaan masyarakat mutlak agar individu Manusia dapat memiliki arti dan berkembang. [2] ...