1.
Teori Realisme
Hukum
Teori realisme hukum merupakan teori yang lahir dari teori empirisme yang
oleh David Hume dipadukan menjadi pengetahuan yang pada intinya mempunyai
pandangan bahwa hukum itu didapatkan pada kenyataan empiris (real).
Empirisme menolak pengetahuan yang hanya mengandalkan penalaran logis ala
rasionalisme abad 18. Ide-ide rasional menurut empirisme bukanlah
segala-galanya. Ia tidak bisa diandalkan sebagai sumber tunggal. Ide-ide itu
perlu dipastikan kebenarannya dalam dunia empiris. Dari situlah kebenaran
sejati dapat diraih.
Realisme hukum adalah suatu aliran pemikiran yang dimulai di Amerika
Serikat. Teori ini dipelopori oleh tokoh-tokoh terkenal dan terbaik dari
kalangan realism seperti : John Chipman Gray, Oliver Wendel Holmes, Jerome
Frank, Dan Karl Llewellyn. Realisme berarti berhubungan dengan dunia nyata,
dunia sebagaimana ia nyatakan berlangsung. Realism hukum berarti suatu studi
tentang hukum sebagai sesuatu yang benar-benar nyata dilaksanakan, ketimbang sekedar
hukum sebagai sederetan aturan yang hanya termuat dalam perundang-undangan,
tetapi tidak pernah dilaksanakan. Oleh karena itu, sebagian pakar memandang
bahwa pendekatan realis merupakan bagian penting dari pendekatan sosiologi
terhadap hukum.
Dengan demikian dapat dipahami bahwa substansi dari teori realisme adalah
hukum itu didasarkan pada kenyataan empiris bukan didasarkan pada peraturan
perundang-undangan. Hal ini mengindikasikan hukum itu tidak mesti
ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam bentuk tertulis. Akan tetapi menurut
teori ini, hukum itu apa yang sebenarnya terjadi dalam praktek empiris.
2. Macam-Macam Realisme Hukum
Sebagaimana yang telah dikemukakan di atas bahwa kajian dari teori Realisme
hukum yaitu mengkaji hukum dalam konteks realitas, maka tidak terlepas
kajiannya dengan praktek hakim di pengadilan sebagai penegak hukum (law
enforcement) dan prilaku manusia dalam kehidupan empiris. Oleh karena itu,
realism hukum itu dibagi menjadi dua kelompok, yakni Realisme hukum Amerika
yang menitikberatkan pada pengalaman-pengalaman praktis hakim dalam mengadili
perkara, dan Realisme hukum Skandinavia yang lebih menekankan pada prilaku
manusia sebagai suatu kenyataan empiris. Untuk lebih jelasnya, kedua golongan
tersebut akan digambarkan dalam uraian berikut ini:
a.
Realisme hukum Amerika
Aliran realisme hukum yang berkembang di Amerika memilki
teman sehaluan yang sama-sama menggunakan gerakan “realisme” adalah Realisme di
Skandinavia. Jika diamati beberapa ciri khas dari aliran realis
Skandinavia, aliran realisme tersebut mempunyai pandangan yang lebih
empirikal dari realisme hukum di bandingkan realism di amerika serikat.
Realisme hukum Amerika menempatkan empirisme dalam sentuhan pragmatisme
atau sikap hidup yang menekankan aspek manfaat dan kegunaan berdasarkan
pengalaman. Kehidupan sehari-hari adalah dunia pengalaman. Dunia pengalaman
tidak bisa dipotret lewat skema ideal-ideal yang spekulatif. Ia hanya bisa
ditangkap keutuhannya lewat pengalaman. Itulah sikap realistis untuk memahami
realita. Cirri utama dari realism Amerika didasarkan
pada manfaat praktis (pragmanisme). Pendekatan pragmatisme tidak percaya pada
bekerjanya hukum menurut ketentuan-ketentuan hukum di atas kertas. Hukum
bekerja mengikuti peristiwa-peristiwa konkrit.
Sumber hukum utama aliran ini adalah putusan hakim. Seperti yang
diungkapkan oleh Chipman Gray “all the law is judge made law”, semua
yang dimaksudkan dengan hukum adalah putusan hakim. Hakim lebih sebagai penemu
hukum daripada pembuat hukum yang mengandalkan peraturan perundang-undangan.
b.
Realisme Hukum Skandinavia
Aliran ini menempatkan empirisme dalam sentuhan psikologi. Aliran ini
berkembang di Uppsala, Swedia pada awal abad 20. Konsep penting dari realism
hukum Skandinavia adalah mencari kebenaran suatu pengertian dalam situasi
tertentu dengan menggunakan psikologi. Tidak seperti realisme hukum Amerika
(yang memberi perhatian pada praktek hukum dari para pelaksana hukum), realisme
hukum Skandinavia justrru menaruh perhatian pada prilaku manusia ketika berada
dalam “control” hukum. Dengan memanfaatkan psikologi, para eksponen aliran ini
mengkaji prilaku manusia (terhadap hukum) untuk menemukan arti hukum yang
sebenarnya.
Ekponen penganut realism hukum realism hukum Skandinavia di antaranya, Axel
Hegerstrom, Olivecrona, Lundstet, dan Ross. Para penganut ini secara tegas
menolak metafisika hukum, dengan membela nilai-nilai yang dapat diverifikasi
secara ilmiah atas gejala hukum yang faktual. Di sisi lain aliran ini juga
menolak ajaran Positivisme Hukum dari John
Austin, karena menurutnya; John Austin membiarkan begitu saja tanpa penjelasan
terhadap berbagai karakteristik yang hakiki dari hukum. Tegasnya, aliran
realisme Skandinavia memandang bahwa hukum itu berfungsi dalam masyarakat,
lebih dari hanya sekedar rasa takut (fear) kepada
perintah atasan atau takut terhadap sanksi dari pada penguasa. Padahal yang
penting ditemukan adalah, masyarakat mematuhi hukum adalah suatu tindakan yang
baik dan benar.
Dengan demikian dapat dipahami bahwa substansi penting dari realisme hukum
Skandinavia adalah lebih menekankan aspek psikologi hukum dalam kenyataan
empiris kehidupan manusia. Hukum memiliki relevansi erat dengan perilaku
masyarakat dalam kehidupan. Perbedaan dari
realisme Amerika dibanding dengan realisme Skandinavia yakni “menitikberatkan”
kepada “Perilaku-Perilaku Hakim”. Sementara aliran realisme Amerika melakukan
penyelidikan terhadap hukum yang tumbuh dari perhatian hak-hak dan kewajiban
subjek hukum atau dengan kata lain lebih banyak memfokuskan diri pada “gejala
hukum” di masyarakat.
3. Hukum Itu Perilaku Hakim
Perlu dikemukakan sekali lagi bahwa berbicara teori realisme hukum tidak
pernah luput tokoh yang mengembangkannya yakni hakim Oliver Wendel Holmes
(1841-1935) dam Jerome Frank (1889-1959), serta ahli ilmu social Karl Llewellyn
(1893-1957). Oliver Wendel Holmes sebagai seorang hakim
mengemukakan sebuah teori yang disebut dengan teori “hukum itu perilaku hakim”.
Dalam teorinya, holmes menjelaskan aturan hukum aturan hukum bukanlah poros
sebuah keputusan yang berbobot. Aturan tidak bisa diandalkan menjawab dunia
kehidupan yang kompleks. Lagi pula kebenaran riil bukan terletak dalam
undang-undang, tapi pada kenyataan hidup. Inilah titik tolak teori tentang
kebebasan hakim yang diusung oleh Oliver Holmes dan Jerome Franks (eksponen
realisme hukum Amerika). Hukum yang termuat dalam aturan, hanya suatu
generalisasi mengenai dunia ideal. Tapi menurut Holmes, seorang pelaksana hukum
(hakim) sesungguhnya menghadapi gejala-gejala hidup secara realistis.
Teori para pemikir realism bisa juga digolongkan sebagai salah satu versi
teori di bidang penerapan hukum. Karena ketika hukum diterapkan, hakim di
hadapapkan pada wilayah das sein, hukum tidak lagi berdiri dalam
singgasana das sollen. Artinya berdasarkan kasuistik hakim akan
menerapkan aturan-aturan hukum demi terwujudnya keadilan sebagaimana tujuan
hukum itu sendiri yakni mewujudkan keadilan bagi para pencari keadilan. Menurut
Geny sebagai penganut teori etis, tujuan hukum adalah untuk merealisasikan
keadilan bagi masyarakat. Sedangkan Jeremy Bentham dalam
teorinya yang sangat popular yakni Teori Utilities (endaemonistis)
menerangkan bahwa tujuan hukum ingin menjamin kebahagiaan yang terbesar bagi
mausia dalam jumlah yang sebanyak-banyaknya (the greatest good of the greatest number).
Pada hakekatnya menurut teori initujuan hokum adalah manfaat dalam menghasilkan
kesenangan atau kebahagiaan yang terbesar jumlahnya bagi orang.
Oleh karena itu, dalam melaksanakan tugas yudikatif power di
Pengadilan, hakim sering menggunakan pendekatan interpretion dalam
menggali nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat. Interpretation adalah
usaha untuk menggali, menemukan dan memahami nilai-nilai dan norma-norma yang
hidup dan berkembang dalam masyarakat, untuk dijadikan sebagai bahan (dasar)
pertimbangan dalam menyusun hukum dan menetapkan suatu keputusan dalam
menyelesaikan suatu permasalahan yang timbul dalam masyarakat, sehingga
terwujud tujuan hukum itu sendiri, yaitu keadilan. Bila melakukan suatu
pendekatan dalam mengamati fenomena social dalam masyarakat, yang kemudian
hasil pengamatan itu digunakan untuk memecahkan suatu permasalahan (dalam hal
ini adalah permasalahan hukum meliputi penggalian, penyusunan, pemeliharaan dan
penegakan hukum, maka dapat disebut tercapai tujuan interpretasi.
Pendekatan interpretasi di dunia pengadilan telah menjadi bagian dari
kebiasaan yang tidak terpisahkan di dunia pengadilan. Karena sifat dari hukum
itu selalu berubah-rubah (dinamis). Roscoe Pound mengemukakan dalam bukunya
yang berjudul interpretation of legal history, bahwa law must be
stable and yet it cannot stand still. Pound memperlihatkan usahanya untuk
mengungkapkan mengapa hukum itu selalu “dinamis” dengan menelusuri nilai-nilai
dan norma-norma yang ada dan berkembang dalam masyarakat yang selalu
berubah-rubah sesuai perkembangan pemikiran masyarakat pada setiap waktu dan
tempat. Kedinamisan hukum yang demikian, membuat pound berasumsi bahwa hukum
itu relative. Yang dimaksudkan relative disini adalah berubah sesuai dengan
waktu dan tempat yang sangat erat kaitannya dengan kebudayaan. Namun hukum
memiliki sifat universal karena hanya ada satu ide dari hukum, yaitu keadilan. Perubahan-perubahan social dan perubahan hukum atau
sebaliknya tidak selalu berlangsung bersama-sama. Artinya pada keadaan-keadaan
tertentu perkembangan hukum mungkin tertinggal oleh perkembangan unsure-unsur
lainnya dari masyarakat serta kebudayaannya atau mungkin hal yang sebaliknya
terjadi. Apabila hal demikian terjadi, maka terjadilah social lag, yaitu suatu
keadaan di mana terjadi ketidakseimbangan dalam perkembangan lembaga-lembaga
kemasyarakatan yang mengakibatkan terjadinya kepincangan-kepincangan.
4. Hukum Itu Rasa Wajib / Takut
Teori hukum itu rasa wajib / takut dikemukakan oleh Alf Ross dari kalangan
realism Scandinavia. Ross menempatkan hukum dalam kerangka fisio-psikis.
Menurut Ross, semua gejala yang muncul dalam pengalaman tentang hukum harus
diselidiki sebagai gejala psiko-fisis. Bagi Ross dan para pengikut realism
Scandanivia seperti Axel Hangerstrom, A.V. Lundstredt, K. Olivercrona,
ilmu hukum harus bertitik tolak dari kenyataan-kenyataan empiris yang relevan
dalam bidang hukum. Kenyataan itu didapatkan dalam perasaan-perasaan
psikologis. Perasaan itu tampak pada rasa wajib, rasa kuasa, ataupun rasa takut
akan reaksi lingkungan.
Dalam kerangka psikologis itulah, ross menjelaskan timbulnya hukum sebagai
aturan masyarakat yang bersifat mewajibkan karena ada hubungan antara perbuatan
yuridis dan sanksinya. Jika berbuat tidak sesuai seperti yang dituntut oleh
ketentuan hukum, maka akan dikenakan sanksi baginya, begitu juga sebaliknya
jika ia menaati aturan hukum, maka tidak akan dikenakan sanksi bagi dirinya.
Oleh karena adanya rasa takut yang dirasa oleh masyarakat terhadap sanksi
hukum, secara otomatis akan menaati aturan-aturan hukum yang berlaku.
Menurut Rossm timbulnya aturan yang bersifat wajib dapat diterangkan
melalui empat tahap, yaitu, adanya paksaan (an actual system of compulsion),
takut akan paksaan, situasi di mana orang-orang sudah mulai menjadi biasa
dengan cara hidup demikian dan lama kelamaan mulai memandang cara hidup itu
sebagai suatu yang seharusnya, dan yang terakhir situasi hidup bersama di mana
norma-norma kelakuan ditentukan oleh intansi-instansi yang berwibawa. Orang
akhirnya terbiasa merasa wajib untuk menaati apa yang diputuskan oleh pihak
yang berwibawa.
Dari berbagai pembahasan yang telah diuraikan di atas dapat dirumuskan
beberapa kesimpulan dalam uraian ringkas berikut ini.
1. Teori Realisme hukum
merupakan sebuah teori hukum yang bertugas mengakaji hukum yang berlaku dalam
kenyataan empiris masyarakat. Dengan kata lain, praktek realitas yang dilakukan
masyarakat menjadi kajian penting dalam teori ini. Hukum bukan hanya sekedar
yang terdapat dalam produk hukum atau ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam
perundang-undangan, akan tetapi hukum itu terlihat dalam tatanan praktis.
2. Teori hukum realisme
terbagi dalam dua bentuk, yaitu realisme Amerika dan Realisme Scandinivia.
Realism Amerika lebih menekankan pada praktek hukum dari pelaksana / penegak
hukum (law enforcement) dalam hal ini pengadilan sebagai lembaga Negara
yang diberikan tugas yudikatif untuk menerima, mengadili dan memutuskan perkara
yang diajukan kepadanya. Hakim yang akan menilai berdasarkan fakta-fakta
konkrit yang terdapat dalam persidangan atas kesalahan-kesalahan yang dilakukan
oleh seseorang atau lebih. Sedangakan realisme Scandinivia lebih menekankan
pada prilaku manusia dalam kenyataan empiris untuk menemukan arti hukum yang sebenarnya.
3. Terdapat dua teori hukum
yang mengkaji hukum dalam kenyataan empiris, yaitu teori “hukum itu Perilaku
hakim” yang dikemukakan oleh Oliver Holmes dan teori “Hukum itu rasa wajib /
takut” yang dikemukakan oleh Alf Ross. Teori hukum itu perilaku hakim
menerangkan bahwa, hakim lah sebagai pelaksana undang-undang yang menerapkan
hukum pada kenyataan empiris. Hakim yang mengetahui duduk persoalaannya ketika
mengadili kasus-kasus yang diajukan kepadanya. Sedangkan teori “hukum itu rasa
wajib/takut” menerangkan bahwa adanya pengaruh timbal balik antara sanksi hukum
dengan perilaku manusia. Sehingga masyarakat merasa wajib menaati hukum oleh
karena takut akan adanya sanksi yang dikenakan baginya bila tidak melaksanakan
sesuai dengan yang dikehendaki oleh undang-undang.
DAFTAR PUSTAKA
Achmad Ali, Wiwie
Heryani, Sosiologi Hukum (Kajian Empiris Terhadap Pengadilan, (Jakarta:
Kencana Prenada Media Group, 2012).
Bernard L. Tanya,
Yoan N. Simanjuntak, Markus Y. Hage, Teori Hukum (Strategi Tertib Manusia
Lintas Ruang dan Generasi), (Semarang: Genta Publising, 2003).
Qodry Azizy, Elektisisme
Hukum Nasional (Komptetisi Antara Hukum Islam dan Hukum Umum), (Yogyakarta:
Gama Media, 2004).
Sudikno
Mertokusumo, Mengenal Hukum Suatu Pengantar, (Yogyakarta: Liberty,
2003).
Sukarno Aburaera,
Muhadar, Maskun, Filsafat Hukum (Teori dan Praktek), (Jakarta: Kencana
Prenada media Group, 2013).
Soerjono
Soekanto, Pokok-Pokok Sosiologi Hukum, (Jakarta: Raja Grafindo Persada,
2005).
Zainuddin Ali, Sosiologi
Hukum, (Jakarta: Sinar Grafika, 2009).
.
Komentar
Posting Komentar