Langsung ke konten utama

Teori- Teori Sosiologi Hukum Menurut Para Pakar


Teori- Teori Sosiologi Hukum Menurut Para Pakar

1.        Hukum itu Jiwa Rakyat (F.C.V Savigny)

Dibawah terminologi volgeist (jiwa bangsa), Savigny mengkonstruksikan teorinya tentang hukum. Menurutnya, terdapat hubungan organik antara hukum dengan watak atau karakter suatu bangsa. Hukum hanyalah cerminan dari volgeist. Oleh karena itu, ”hukum adat” yang tumbuh dan berkembang dalam rahim volgeist, harus dipandang sebagai hukum kehidupan yang sejati. Hukum sejati itu, tidak dibuat. Ia harus ditemukan. Legislasi hanya penting selama ia memiliki sifat deklaratif terhadap hukum sejati itu.

Inti dari ajaran F. K. V. Savigny adalah sebagai berikut:

“...law grows with the growth and strengthnes with the strength of the people and finally dies away as a nation loses its nationality...”

Sehingga dapat ditarik kesimpulan bahwa:

1.              Hukum ditemukan dan tidak dibuat. Pertumbuhan hukum pada dasarnya merupakan perkembangan organis yang tidak sengaja. Oleh karena itu perundang-udangan lebih rendah daripada kebiasaan atau adat-istiadat;

2.              Oleh karena hukum berkembang dari taraf yang sederhana ke taraf yang kompleks atau rumit sesuai dengan perkembangan masyarakat, maka kesadaran hukum terungkapkan melalui ahli-ahli hukum yang membuat formulasi prinsip-prinsip hukum (pada masyarakat-masyrakat modern). Akan tetapi para ahli hukum tersebut tetap merupakan sarana dari kesadaran hukum masyarakat.

3.              Tak ada hukum yang bersifat universal. Oleh karena hukum timbul dari masyarakat yang mempunyai ciri-ciri yang khas. Dalam hal ini Savigny berpegang teguh pada analogi hukum dengan bahasa. Selanjutnya dikatakan bahwa “.. the volksgeistmanifests itself in the law of the people; it it therefore essential to follow up the evolution of the volksgeist by legal historical research”.

Memfungsikan Teori:

Menurut hemat penulis, teori inilah yang hendaknya menjadi acuan dasar bagi wets-gever di Indonesia dalam bagaimana hukum (tertulis) itu dinormakan. Sudah menjadi rahasia umum, bahwa aturan hukum yang dibuat oleh pembentuk undang-undang selama ini hanya berorientasi dalam konteks up-to-bottom. Bahwa pembentukan suatu aturan didasarkan atas kehendak penguasa, dan kemudian diturunkan pada level masyarakat. Ia tidak mengandung aspirasi sosial yang pada dasarnya menjadi hal penting dalam perumusan. Paradigma semacam ini tentunya akan menghasilkan tipologi hukum yang represif dan pro-otorier. Ini tentunya bertentangan dengan nilai-nilai yang terkandung dalam pancasila.

Hendaknya, nilai-nilai yang terkandung dalam level bawah inilah yang harus diangkat pada level atas. Kristalisasi dan harmonisasi hukum adat menjadi sangat penting, karena setiap negara tentunya memiliki cara pandang hukum yang berbeda pula. Sehingga transplantasi hukum (asing) yang terjadi di Indonesia belakangan ini, sangatlah diharamkan menurut teori “volgeist” ini. Jiwa bangsa inilah yang menjadi jantung hukum dari suatu negara (Indonesia).





2.        Hukum itu Aturan yang Hidup (Eugen Ehrlich)

Menurutnya, hukum bukanlah sebuah konsep intelektual. Ia merupakan konsep yang saling berbagi dalam makna dan pengalaman hidup dengan realitas masyarakat. Dalam konteks yang lebih luas, hukum memiliki hubungan yang erat dengan manusia. Ia bukan sesuatu yang formal, melainkan sesuatu yang eksistensial. Karena, Ehrilich membangun teorinya tentang hukum dengan beranjak dari ide masyarakat.

Mengapa hukum itu hidup? Karena hukum itu bukan sesuatu yang ditambahkan dari luar secara a-historis. Ia justu meruapakan sesuatu yang eksistensial dalam sejarah hidup masyarakat. Hukum diwujudkan dan diungkapkan dalam kelakuan mereka sendiri. Hukum adalah “hukum sosial”. Begitulah kira-kira pendapat yang dikemukakan oleh Ehrlich. Hukum dalam dunia pengalaman manusia yang bergumul dengan kehidupan sehari-hari. Ia terbentuk lewat kebiasaan. Kebiasaan itu lambat laun mengikat dan menjadi tatanan yang efektif. Lalu kehidupan berjalan dalam tatanan itu. kekuatan mengikat “hukum yang hidup” tidak ditentukan oleh kewibawaan dan kompetensi kewibawaan negara.

Memfungsikan Teori:

Sama seperti pandangan yang disampaikan oleh Savigny, bahwa Ehrlich memandang hukum yang ideal bukanlah suatu konsep yang hitam-putih yang bersifat formal. Melainkan hukum yang berangkat dari ide, gagasan, dan pengalaman yang terjadi dalam masyarakat. Dalam hal ini, rakyat mempunyai kedaulatan penuh dalam menentukan rumusan dan formulasi aturan hukum. Bukankah hukum itu ditujukan untuk mengaharmonisasi-kan berbagai kepentingan dalam masyarakat? Sehingga sudah sewajarnya apabila aturan itu berasal dari masyarakat, yang kemudian (dapat) digugat demi kepentingan rakyat.

Setiap aturan hukum yang hanya didasarkan atas arogansi kekuasaan, yang dengan gegabah membanggakan hukum asing, kemudian ditransplantasikan dalam sistem hukum nasional, tidak jarang akan mendapatkan reaksi keras dalam masyarakat. Dewasa ini, pergulatan masalah hukum yang terjadi tidak hanya terletak pada degradasi moral penegak hukum, melainkan hukum itu sendiri yang telah cacat sejak lahir. Ia mendoktrinasi-kan aparat hukum dengan nilai-nilai positivis, yang tentunya akan membatasi mereka dalam menjatukan keputusan hukum. Sehingga tidak heran apabila adagium “aparat hukum (hakim) hanya sebagai corong undang-undang”, menjadi kalimat baku yang secara sah diakui oleh masyarakat.

3.        Hukum itu Gejala Sosial (Theodor Geiger)

Hukum bukanlah aturan formal dalam wujud undang-undang. Ia merupakan norma yang hidup dalam hati orang-orang. Menurut Geiger, realitas suatu norma (yang sebenarnya) adalah terletak pada kenyataan bahwa norma itu terjelma dalam tingkah laku anggota-anggota masyarakat, dan (pasti) tiap orang akan bereaksi bila norma itu dilanggar.

Bagi Geiger, hukum (sebagai norma yang sebenarnya) merupakan bagian dari masyarakat yang dinamis. Masyarakat itu bukan benda. Ia merupakan “sebuah proses” (gesellschaft ist kein ding, sondern em prozess). Norma-norma hukum, dan berlakunya norma-norma itu tidak luput dari proses ini. Hukum harus dipandang sebagai kenyataan-kenyataan sosial yang dinamis juga.

Kiranya jelas, cara mengenal “norma yang sebenarnya” bukan dengan membuka kitab hukum, melainkan dengan cara melihat fakta. Pertama, bahwa orang-orang bertindak menuruti norma itu. Kedua, fakta bahwa jika orang tidak menuruti norma-norma itu, mereka dikenai sanksi. Lewat kedua fakta itulah, orang mengenal adanya norma hukum.

Memfungsikan Teori:

Dalam konteks permasalahan hukum di Indonesia kekinian, teori ini sangatlah tepat menjadi solusi alternatif dalam penanganan yang progresif. Hukum tidak dapat dilihat dalam dogmat yang sempit. Sebagai ilmu yang inter-disipliner, hukum mau tidak mau harus berafiliasi dengan ilmu lain, tidak terkeciali ilmu sosial. Bagi ilmu hukum yang hanya memandang secara inklusif ke dalam, tentunya akan meciptakan situasi arogansi terhadap masyarakat. Hal inilah yang terjadi dalam realitas hukum di Indonesia.

Selama ini, paradigma aparat hukum yang terbentuk adalah legal positivis. Hal ini sudah tidak relevan lagi, apabila kita berbicara konteks hukum modern yang menjunjung nilai keadilan. Begitu juga masyarakat Indonesia. Bagi bangsa Indonesia yang kaya akan suasana hukum adat, penerapan hukum tertulis sangatlah mengusik kepentingan mereka. Hal ini menjadi perhatian kita bersama, bagaimana pertarungan nilai kepastian hukum dan keadilan hukum dapat menemukan titik sinkronisasi.

4.        Hukum itu Perilaku Hakim (Oliver Wondell Holmes)

Menurutnya, aturan hukum bukanlah poros sebuah keputusan yang berbobot. Aturan tidak bisa diandalkan menjawab dunia kehidupan yang begitu kompleks. Dan lagi pula, kebenaran yang riil, bukan terletak dalam undang-undang, tapi pada kenyataan hidup. Inilah tiitk tolak teori tentang kebebasan hakim yang diusung oleh Holmes dan Jerome Frank (eksponen realisme hukum Amerika). Hukum yang termuat dalam aturan-aturan, hanya suatu generalisai mengenai dunia ideal.

Aturan-aturan hukum, di mata Holmes, hanya menjadi salah satu faktor yang patut dipertimbangkan dalam keputusan yang “berbobot”. Faktor moral, soal kemanfaatan, dan keutamaan kepentingan sosial, menjadi faktor yang tidak kalah penting dalam mengambil keputusan yang benar.

Menurut Holmes, pemecahan masalah  hukum tidak hanya dilakukan dengan logika hukum semata-mata, akan tetapi diperlukan bantuan hasil-hasil penelitian olmu-ilmu sosial. Hal ini disebabkan, oleh karena tidak akan mungkin sesoerang mempunyai kemampuan untuk berfilsafat tentang hukum, tanpa memikirkan kekuatan-kekuatan luar yang membentuk hukum tadi.

Memfungsikan Teori:

Inilah yang menjadi persoalan krusial di negeri ini, yaitu adanya ketidakpercayaan (distrust) masyarakat terhadap aparat hukum. Tidak berlebihan apabila masyarakat bersikap demikian, karena memang beginilah kondisinya. Penjatuhan hukuman koruptor yang korupsi ber-milyaran bahkan triliyunan rupiah, sangat berbanding terbalik dengan kondisi yang ada bila yang berbuat jahat adalah masyarakat kelas bawah. Diksriminasi tidak hanya terjadi pada kelas sosial, tapi juga merambah dunia hukum.

Penulis melihat titik kulminasi terparah terletak pada penjatuhan putusan hakim yang sangat beraroma positivis. Walaupun, sudah dibuka celah bagi hakim untuk menggali nilai-nilai luhur tidak tertulis dalam formulais putusannya, namun hal ini menjadi tidak efektif ketika paradigma yang terjadi adalah positivis legalistik.

Kekacauan masyarakat yang haus akan keadilan hukum, kemudian diperparah dengan adanya degradasi kualitas putusan hakim. Tidak sedikit hakim hanya menerapkan konsep silogisme (premis umum, premis khusus, dan kesimpulan). Hakim yang baik hendaknya menjadi sosok tuntunan bagi masyarakt dalam mencari keadilan. Bukan sebaliknya.

5.    Hukum Progresif (Satjipto Rahardjo)

Menurut Satjipto, pemikiran hukum perlu kembali pada filosofi dasarnya, yaitu hukum untuk manusia. Hukum progresif tidak menerima hukum sebagai institusi yang mutlak serta final, melainkan sangat ditentukan oleh kemampuannya untuk mengabdi kepada manusia.

Dengan filosofi tersebut, maka manusia menjadi penentu dan titik orientasi hukum. Hukum bertugas melayani manusia, bukan sebaliknya. Oleh karena itu, hukum bukan merupakan institusi yang lepas dari kepentingan manusia. Lebih lanjut, Satjipto mengungkapkan bahwa mutu hukum haruslah ditentukan oleh kemampuannya untuk mengabdi pada kesejahteraan manusia. Ini menyebabkan hukum progresif menganut “ideologi”: hukum yang pro-keadilan dan hukum yang pro-rakyat. Dengan ideologi ini, dedikasi para pelaku hukum mendapat tempat yang utama untuk melakukan pemulihan. Para pelaku hukum dituntut mengedepankan kejujuran dan ketulusan dalam penegakan hukum. Mereka harus memiliki empati dan kepedulian pada penderitaan rakyat dan bangsa ini. Kepentingan rakyat (kesejahteraan dan kebahagiannya), harus menjadi titik orientasi dan tujuan akhir penyelenggaraan hukum.

Menurutnya, bagi konsep hukum yang progresif, hukum tidak mengabdi bagi dirinya sendiri, melainkan untuk tujuan yang berada di luar dirinya. Oleh karena itu, hukum progresif meninggalkan tradisi analytical jurisprudence atau rechtsdogmatic yang cenderung menepis dunia di luar dirinya, seperti manusia, masyarakat, dan kesejahteraannya. Maka dalam hal ini, regulasi hukum akan selalu dikaitkan dengan tujuan-tujuan sosial yang melampaui narasi tekstual aturan.

Karena hukum progresif menempatkan kepentingan dan kebutuhan manusia/ rakyat sebagai titik orientasinya, maka ia harus memiliki kepekaan pada persoalan-persoalan yang timbul dalam hubungan-hubungan manusia. Salah satu persoalan krusial dalam hubungan sosial adalah keterbelengguan manusia dalam stuktur-struktur yang menindas, baik politik, ekonomi, maupun sosial budaya. Dalam konteks ketebelengguan dimaksud, hukum progresif harus tampil sebagai institusi yang emansipatoris (membebaskan) dari ketaatan hukum terhadap logika dan peraturan (logic and rule).

Lebih lanjut, hukum progresif merupakan koreksi terhadap kelemahan sistem hukum modern yang sarat dengan birokrasi serta ingin membebaskan diri dari dominasi suatu tipe hukum liberal. Hukum progresif menolak pendapat bahwa ketertiban (order) hanya bekerja melalui institusi-institusi kenegaraan. Hukum progresif ditujukan untuk melindungi rakyat menuju kepada ideal hukum dan menolak status-quo serta tidak ingin menjadikan hukum sebagai teknologi yang tidak bernurani, melainkan institusi yang bermoral.

Memfungsikan Teori:

Inilah Grand Theory yang menjadi sangat fenomenal ditengah kesadaran hukum masyarakat atas paham positivis. Teori yang dikemukakan oleh Satjipto Rahardjo ini menyajikan gagasan yang menarik. Tidak seperti pemikir-pemikir hukum terdahulu yang memandang hukum secara pragmatis, kini Satjipto lebih memandang hukum secara progresif. Maksudnya, hukum haruslah bersifat membebaskan. Ia tidak boleh menolak anasir-anasir asing (non-hukum), yang selama ini sangat ditentang oleh penganut paham positivistik.

Hukum pembebasan inilah yang hendak diintrodusir oleh beliau dalam reformasi sistem hukum di Indonesia. Tepatnua, pembebasan dari logika dan peraturan (logics and rules). Ia tidak menghendaki aturan hukum hanya ditujukan untuk kepentingan hukum itu sendiri. Tapi lebih luas, ia harus dapat memberikan manfaat bagi masyarakat. Karena hukum itu rahim-nya berasal dari masyarakat. Hukum sejatinya tidak mengabdi kepada penguasa, kekuasaan, bahkan kepada hukum itu sendiri. Melainkan pengabdian yang didasarkan atas manusia sebagai organ sosial.

Namun, bila dikaitkan dengan realitas hukum saat ini, maka hal ini menjadi nihil. Kenihilan terjadi karena tidak adanya kesadaran dari pemegang kekuasaan untuk merubah paradigma legisten ke arah yang lebih manusiawi. Hukum harus dan mutlak bersifat humanis. Ia bukanlah robot yang hanya bergerak bila disuruh oleh pemilik-nya (baca: pemegang kekuasaan). Oleh karenanya, hukum yang mengedepankan aspek sosial dan masyarakat menjadi sangat urgent untuk diterapkan saat ini.













































DAFTAR PUSTAKA

Rahardjo, Satjipto. 2009. Hukum Progresif: Sebuah Sintesa Hukum Indonesia. Yogyakarta: Genta Publishing
Salman, R. Otje. 1987. Disiplin Hukum dan Displin Sosial: Bahan Bacaan Awal. Penyunting: Soerjono Soekanto dan Otje Salman. Jakarta: CV. Rajawali Press
Soekanto, Soerjono. 1983. Pengantar Sejarah Hukum. Bandung: Penerbit Alumni
Tanya, Bernard L, Markus N. Simanjuntak, et. al. 2010. Teori Hukum: Strategi Tertib Manusia Lintas Ruang dan Generasi. Yogyakarta: Genta Publishing
Wignjosoebroto, Soetandyo. 2002. Hukum: Paaradgima, Metode, dan Dinamika Permasalahannya. Jakarta: Elsam dan Huma

Komentar

Postingan populer dari blog ini

TEORI TENTANG PERUBAHAN HUKUM DAN MASYARAKAT

TEORI TENTANG PERUBAHAN HUKUM DAN MASYARAKAT A.       Beberapa Teori tentang Hukum dan Perubahan Sosial Perubahan sosial adalah segala perubahan pada lembaga kemasyarakatan di dalam masyarakat, yang mempengaruhi sistem sosialnya, termasuk nilai, sikap, dan pola perilaku di antara kelompok-kelompok masyarakat. Pada umumnya suatu perubahan di bidang tertentu akan mempengaruhi bidang lainnya. Maka dari itu jika diterapkan terhadap hukum maka sejauh manakah perubahan hukum mengakibatkan perubahan pada bidang lainnya. [1] Suatu perubahan sosial dan kebudayaan dapat pula bersumber pada sebab-sebab yang berasal dari luar masyarakat itu sendiri dan   bisa dari bangsa lain seperti: pertama, t erjadinya berbagai bencana alam menyebabkan masyarakat yang mendiami daerah-daerah itu terpaksa harus meninggalkan tempat tinggalnya dan mereka harus menyesuaikan diri dengan keadaan alam yang baru yang akan mengakibatkan terjadinya perubahan-perubahan pada ...

SEJARAH JUDICIAL REVIEW (KASUS MARBURY VS MADISON TAHUN 1803)

  SEJARAH   JUDICIAL   REVIEW (KASUS MARBURY VS MADISON TAHUN 1803)   Lembaga pengujian konstitusional yang sudah mendunia dan seperti yang kita kenal saat ini bermula dari putusan Supreme Court (Mahkamah Agung) AS dalam kasus Marbury versus Madison pada tahun 1803. Sejak saat itu “wabah” pengujian konstitusional atau yang populer disebut judicial review ini mulai menyebar dan akhirnya mendapat kedudukan yang penting dalam dunia hukum seperti sekarang ini. Begitu fenomenal dan luar biasanya putusan “Marbury vs Madison” ini, William H. Rehnquist menyebut kasus ini sebagai “most famous case ever decided by the US Supreme Court.” [1]   Selain itu para pakar juga menyebut kasus ini dengan berbagai sebutan/istilah, antara lain ‘most brilliant innovation’ atau ‘landmark decision’ bahkan ada pula yang menyebutnya dengan nada penuh pujian sebagai ‘single most important decision in American Constitutional Law.’ [2] Kasus ini sendiri bermula pada saat John Ad...

PERBEDAAN KONSEP PELANGGARAN HAM DAN KEJAHATAN BIASA DALAM PERSPEKTIF HUKUM DAN HAM INTERNASIONAL

  PENDAHULUAN Hak Asasi Manusia (HAM) adalah hak-hak yang dimiliki manusia semata-mata karena ia manusia. Umat manusia memilikinya bukan karena diberikan kepadanya oleh masyarakat atau berdasarkan hukum positif, melainkan semata-mata berdasarkan martabatnya sebagai manusia. [1] .Oleh karenanya meskipun setiap orang terlahir dengan warna kulit, jenis kelamin, bahasa, budaya dan kewarganegaraan berbeda tetap memiliki hak-hak yang sifatnya universal.Selain sifatnya yang universal, hak-hak itu tidak dapat dicabut (inalienable) , karena hak-hak tersebut melekat kepada dirinya sebagai manusia.Akan tetapi persoalan hak asasi manusia baru mendapat perhatian ketika pengimplementasikannya dalam kehidupan bersama manusia. Pemikiran tentang keselarasan hidup dalam masyarakat dikemukakan oleh Aristoteles pada abad ke- 4 SM, bahwa untuk mencapai tujuan hidup manusia membutuhkan manusia lain, sehingga keberadaan masyarakat mutlak agar individu Manusia dapat memiliki arti dan berkembang. [2] ...