BAGAIMANA PROSES PENGESAHAN
PERJANJIAN INTERNASIONAL
MENJADI UNDANG-UNDANG DI INDONESIA
MENJADI UNDANG-UNDANG DI INDONESIA
Kedudukan Perjanjian Internasional sebagai Sumber Hukum Internasional
Dalam hukum internasional terdapat
beberapa sumber hukum internasional. Menurut sumber tertulis yang ada terdapat
dua konvensi yang menjadi rujukan apa saja yang menjadi sumber hukum
internasional. Pada Konvensi Den Haag XII, Pasal 7, tertanggal 18 Oktober 1907,
yang mendirikan Mahkamah Internasional Perampasan Kapal di Laut (International
Prize Court) dan dalam Piagam Mahkamah Internasional Permanen, Pasal 38
tertanggal 16 Desember 1920, yang pada saat ini tercantum dalam Pasal 38 Piagam
Mahkamah Internasional tertanggal 26 Juni 1945.
Sesuai dengan dua dokumen tertulis
tersebut yang berisi penunjukan pada sumber hukum formal, hanya dua dokumen
yang penting untuk dibahas, yaitu Piagam Mahkamah Internasional Permanen dan
Piagam Mahkamah Internasional. Ini disebabkan karena Mahkamah Internasional
mengenai Perampasan Kapal tidak pernah terbentuk, karena tidak tercapainya
minimum ratifikasi. Dengan demikian Pasal 38 Mahkamah Internasional Permanen
dan Pasal 38 ayat 1 Mahkamah Internasional, dengan demikian hukum positif yang
berlaku bagi Mahkamah Internasional dalam mengadili perkara yang diajukan
dihadapannya adalah:
- Perjanjian Internasional;
- Kebiasaan Internasional;
- Prinsip Hukum Umum;
- Keputusan Pengadilan dan ajaran para sarjana yang terkemuka dari berbagai negara sebagai sumber tambahan untuk menetapkan hukum.[
Perjanjian internasional yang
dimaksud adalah perjanjian yang dibuat atau dibentuk oleh dan diantara anggota
masyarakat internasional sebagai subjek hukum internasional dan bertujuan untuk
mengakibatkan hukum tertentu.
Dewasa ini dalam hukum internasional
kecendrungan untuk mengatur hukum internasional dalam bentuk perjanjian
intenasional baik antar negara ataupun antar negara dan organisasi
internasioanal serta negara dan subjek internasional lainnya telah berkembang
dengan sangat pesat, ini disebabkan oleh perkembangan yang pesat dari
masyarakat internasional, termasuk organisasi internasional dan negara-negara.
Perjanjian internasional yang dibuat
antara negara diatur dalam Vienna Convention on the Law of Treaties
(Konvensi Wina) 1969. Konvensi ini berlaku (entry into force) pada 27
Januari 1980. Dalam Konvensi ini diatur mengenai bagaimana prosedur perjanjian
internasional sejak tahap negosiasi hingga diratifikasi menjadi hukum nasional.
Banyak istilah yang digunakan untuk
perjanjian internasional diantaranya adalah traktat (treaty), pakta (pact),
konvensi (convention), piagam (statute), charter, deklarasi,
protokol, arrangement, accord, modus vivendi, covenant, dan lain-lain. Semua
ini apapun namanya mempunyai arti yang tidak berbeda dengan perjanjian
internasional.
Dalam praktik beberapa negara
perjanjian internasional dapat dibedakan menjadi dua golongan. Golongan pertama
adalah perjanjian yang dibentuk melalui tiga tahap pembentukan yakni
perundingan, penandatanganan dan ratifikasi. Golongan yang kedua adalah
perjanjian yang dibentuk melalui dua tahap, yaitu perundingan dan
penandatanganan. Untuk golongan pertama biasanya dilakukan untuk perjanjian
yang dianggap sangat penting sehingga memerlukan persetujuan dari dari badan
yang memiliki hak untuk mengadakan perjanjian (treaty making power). Hal
ini biasanya berdasarkan alasan adanya pembentukan hukum baru atau menyangkut
masalah keuangan negara. Sedangkan golongan kedua lebih sederhana, perjanjian
ini tidak dianggap begitu penting dan memerlukan penyelesaian yang cepat.
Selanjutnya apa yang menjadi ukuran
suatu perjanjian mana yang termasuk golongan yang penting, sehingga memerlukan
ratifikasi dari Dewan Perwakilan Rakyat dan perjanjian mana yang tidak di
Indonesia.
Proses pembentukan Perjanjian
Internasional, menempuh berbagai tahapan dalam pembentukan perjanjian
internasional, sebagai berikut:
- Penjajakan: merupakan tahap awal yang dilakukan oleh kedua pihak yang berunding mengenai kemungkinan dibuatnya suatu perjanjian internasional.
- Perundingan: merupakan tahap kedua untuk membahas substansi dan masalah-masalah teknis yang akan disepakati dalam perjanjian internasional.
- Perumusan Naskah: merupakan tahap merumuskan rancangan suatu perjanjian internasional.
- Penerimaan: merupakan tahap menerima naskah perjanjian yang telah dirumuskan dan disepakati oleh para pihak. Dalam perundingan bilateral, kesepakatan atas naskah awal hasil perundingan dapat disebut "Penerimaan" yang biasanya dilakukan dengan membubuhkan inisial atau paraf pada naskah perjanjian internasional oleh ketua delegasi masing-masing. Dalam perundingan multilateral, proses penerimaan (acceptance/approval) biasanya merupakan tindakan pengesahan suatu negara pihak atas perubahan perjanjian internasional.
- Penandatanganan : merupakan tahap akhir dalam perundingan bilateral untuk melegalisasi suatu naskah perjanjian internasional yang telah disepakati oleh kedua pihak. Untuk perjanjian multilateral, penandatanganan perjanjian internasional bukan merupakan pengikatan diri sebagai negara pihak. Keterikatan terhadap perjanjian internasional dapat dilakukan melalui pengesahan (ratification/accession/acceptance/approval).
Bagaimana Pengesahan Pernjanjian
Internasional di Indonesia
Pembuatan dan pengesahan perjanjian internasional antara Pemerintah Indonesia dengan pemerintah negara-negara lain, organisasi internasional dan subjek hukum internasional lain adalah suatu perbuatan hukum yang sangat penting karena mengikat negara dengan subjek hukum internasional lainnya. Oleh sebab itu pembuatan dan pengesahan suatu perjanjian internasional dilakukan berdasarkan undang-undang.
Sebelum adanya Undang-Undang No. 24
tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional, kewenangan untuk membuat
perjanjian internasional seperti tertuang dalam Pasal 11 Undang Undang Dasar
1945, menyatakan bahwa Presiden mempunyai kewenangan untuk membuat perjanjian
internasional dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat. Pasal 11 UUD 1945 ini
memerlukan suatu penjabaran lebih lanjut bagaimana suatu perjanjian
internasional dapat berlaku dan menjadi hukum di Indonesia. Untuk itu melalui
Surat Presiden No. 2826/HK/1960 mencoba menjabarkan lebih lanjut Pasal 11 UUD
1945 tersebut.
Pengaturan tentang perjanjian
internasional selama ini yang dijabarkan dalam bentuk Surat Presiden No.
2826/HK/1960, tertanggal 22 Agustus 1960, yang ditujukan kepada Ketua Dewan
Perwakilan Rakyat, dan telah menjadi pedoman dalam proses pengesahan perjanjian
internasional selama bertahun-tahun. Pengesahan perjanjian internasional
menurut Surat Presiden ini dapat dilakukan melalui undang-undang atau keputusan
presiden, tergantung dari materi yang diatur dalam perjanjian internasional.
Tetapi dalam prateknya pelaksanaan dari Surat Presiden ini banyak terjadi
penyimpangan sehingga perlu untuk diganti dengan Undang-Undang yang mengatur
secara khusus mengenai perjanjian internasional.
Hal ini kemudian yang menjadi alasan
perlunya perjanjian internasional diatur dalam Undang-Undang No. 24 Tahun 2000.
Dalam Undang Undang No. 24 Tahun 2000, adapun isi yang diatur dalam
undang-undang tersebut adalah:
- Ketentuan Umum
- Pembuatan Perjanjian Internasional
- Pengesahan Perjanjian Internasional
- Pemberlakuan Perjanjian Internasional
- Penyimpanan Perjanjian Internasional
- Pengakhiran Perjanjian Internasional
- Ketentuan Peralihan
- Ketentuan Penutup
Dalam pengesahan perjanjian
internasional terbagi dalam empat kategori, yaitu:
- Ratifikasi (ratification), yaitu apabila negara yang akan mengesahkan suatu perjanjian internasional turut menandatangani naskah perjanjian internasional;
- Aksesi (accesion), yaitu apabila negara yang akan mengesahkan suatu perjanjian internasional tidak turut menandatangani naskah perjanjian;
- Penerimaan (acceptance) atau penyetujuan (approval) yaitu pernyataan menerima atau menyetujui dari negara-negara pihak pada suatu perjanjian internasional atas perubahan perjanjian internasional tersebut;
- Selain itu juga ada perjanjian-perjanjian internasional yang sifatnya self-executing (langsung berlaku pada saat penandatanganan).
Dalam suatu pengesahan perjanjian internasional
penandatanganan suatu perjanjian tidak serta merta dapat diartikan sebagai
pengikatan para pihak terhadap perjanjian tersebut. Penandatanganan suatu
perjanjian internasional memerlukan pengesahan untuk dapat mengikat. Perjanjian
internasional tidak akan mengikat para pihak sebelum perjanjian tersebut
disahkan.
Seseorang yang mewakili pemerintah
dengan tujuan menerima atau menandatangani naskah suatu perjanjian atau
mengikatkan negara terhadap perjanjian internasional, memerlukan Surat Kuasa (Full
Powers). Pejabat yang tidak memerlukan surat kuasa adalah Presiden dan
Menteri.
Tetapi penandatanganan suatu
perjanjian internasional yang menyangkut kerjasama teknis sebagai pelaksanaan
dari perjanjian yang sudah berlaku dan materinya berada dalam lingkup
kewenangan suatu lembaga negara atau lembaga pemerintah, baik departemen maupun
non-departemen, dilakukan tanpa memerlukan surat kuasa.
Pengesahan perjanjian internasional
oleh pemerintah dilakukan sepanjang dipersyaratkan oleh perjanjian interansional
tersebut. Pengesahan suatu perjanjian internasional dilakukan berdasarkan
ketetapan yang disepakati oleh para pihak. Perjanjian internasional yang
memerlukan pengesahan mulai berlaku setelah terpenuhinya prosedur pengesahan
yang diatur dalam undang-undang.
Pengesahan perjanjian internasional
dilakukan dengan undang-undang atau keputusan Presiden. Pengesahan dengan
undang-undang memerlukan persetujuan DPR. Pengesahan dengan keputusan Presiden
hanya perlu pemberitahuan ke DPR.
Pengesahan perjanjian internasional dilakukan melalui undang-undang apabila berkenaan dengan:
Pengesahan perjanjian internasional dilakukan melalui undang-undang apabila berkenaan dengan:
- masalah politik, perdamaian, pertahanan, dan keamanan negara;
- perubahan wilayah atau penetapan batas wilayah negara;
- kedaulatan atau hak berdaulat negara;
- hak asasi manusia dan lingkungan hidup;
- pembentukan kaidah hukum baru;
- pinjaman dan/atau hibah luar negeri.
Di dalam mekanisme fungsi dan
wewenang, DPR dapat meminta pertanggung jawaban atau keterangan dari pemerintah
mengenai perjanjian internasional yang telah dibuat. Apabila dipandang
merugikan kepentingan nasional, perjanjian internasional tersebut dapat
dibatalkan atas permintaan DPR, sesuai dengan ketentuan yang ada dalam
undang-undang No. 24 tahun 2000.
Indonesia sebagai negara yang
menganut paham dualisme, hal ini terlihat dalam Pasal 9 ayat 2 UU No. 24 tahun
2000, dinyatakan bahwa:
”Pengesahan perjanjian internasional
sebagaimana dimaksud dalam ayat(1) dilakukan dengan undang-undang atau
keputusan presiden.”
Dengan demikian pemberlakuan
perjanjian internasional ke dalam hukum nasional indonesia tidak serta merta.
Hal ini juga memperlihatkan bahwa Indonesia memandang hukum nasional dan hukum
internasional sebagai dua sistem hukum yang berbeda dan terpisah satu dengan
yang lainnya.
Perjanjian internasional harus
ditransformasikan menjadi hukum nasional dalam bentuk peraturan
perundang-undangan. Perjanjian internasional sesuai dengan UU No. 24 tahun
2000, diratifikasi melalui undang-undang dan keputusan presiden. Undang-undang
ratifikasi tersebut tidak serta merta menjadi perjanjian internasional menjadi
hukum nasional Indonesia, undang-undang ratifikasi hanya menjadikan Indonesia
sebagai negara terikat terhadap perjanjian internasional tersebut. Untuk
perjanjian internasional tersebut berlaku perlu dibuat undang-undang yang lebih
spesifik mengenai perjanjanjian internasional yang diratifikasi, contoh
Indonesia meratifikasi International Covenant on Civil and Political Rights
melalui undang-undang, maka selanjutnya Indonesia harus membuat undang-undang
yang menjamin hak-hak yang ada di covenant tersebut dalam undang-undang yang
lebih spesifik.
Perjanjian internasional yang tidak
mensyaratkan pengesahan dalam pemberlakuannya, biasanya memuat materi yang
bersifat teknis atau suatu pelaksana teknis terhadap perjanjian induk. Perjanjian
internasional seperti ini dapat lansung berlaku setelah penandatanganan atau
pertukaran dokumen perjanjian/nota diplomatik, atau melalui cara lain yang
disepakati dalam perjanjian oleh para pihak.
Perjanjian yang termasuk dalam
kategori ini diantaranya adalah perjanjian yang materinya mengatur secara
teknis kerjasama bidang pendidikan, sosial, budaya, pariwisata, penerangan
kesehatan, pertanian, kehutanan dan kerjasam antar propinsi atau kota.
Perjanjian internasional mulai berlaku dan mengikat para pihak setelah memenuhi
ketentuan yang ditetapkan dalam perjanjian tersebut.
DAFTAR PUSTAKA
Mochtar
Kusumaatmadja, Pengantar Hukum Internasional, Alumni, Jakarta 2003
A Shearer, Starke’s
International Law, 11th ed., Butterworths, USA, 1984
Undang-Undang dan Konvensi Internasional
Vienna Convention on the
Law of Treaties, Vienna 1969
Surat Presiden No.
2826/HK/1960, tanggal 22 Agustus 1960.
Undang-undang No. 24
tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional, Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2000 Nomor 185.
Komentar
Posting Komentar