Langsung ke konten utama

Freies Ermessen Dalam Hukum Administrasi Negara

 FREIES ERMESSEN
     Birokrasi sebenarnya merupakan instrumen kekuasaan yang didesain oleh penguasa untuk menjalankan keputusan-keputusan politiknya dalam arti formil. Namun dalam praktiknya birokrasi telah menjadi kekuatan politik yang potensial yang dapat merobohkan kekuasaan. Karena itu, sistem, proses dan prosedur penyelenggaraan negara dalam rangka pelaksanaan tugas pemerintahan negara dan pembangunan harus diatur oleh produk hukum.
Begitu luasnya cakupan tugas-tugas administrasi negara dan pemerintahan, sehingga diperlukan peraturan yang dapat mengarahkan penyelenggaraan administrasi pemerintahan menjadi lebih sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Patut disadari, bahwa problem kekuasaan, dan perihal kewenangan serta fenomena konflik struktural merupakan hal yang sukar untuk dipisahkan satu sama lain, terlebih bila berbicara mengenai tata kelola pemerintahan itu sendiri. Kekuasaan merupakan sumber kewenangan dan konflik merupakan konsekuensi yang ditimbulkan dari pelaksanaan kewenangan yang tidak jelas.
Hal ini sepenuhnya telah lama disadari oleh Weber sebagai bapak reformasi birokrasi, bahwa konflik merupakan konsekuensi dari tuntutan struktur birokratis terhadap adanya otoritas kewenangan untuk menjalankan fungsi-fungsi pemerintahan. Pemberian dan penggunaan kewenangan secara tidak terkontrol oleh hukum dan pengawasan masyarakat dapat menjerumuskan para penguasa birokrasi dan pejabat pemerintahan kepada perbuatan yang sewenang-wenang.
Hukum Administrasi Negara dapat diartikan sebagai perangkat hukum yang mengatur segala sesuatu yang berkaitan dengan administrasi negara. Administrasi negara di sini mencakup keseluruhan aktivitas yang dilakukan oleh administrasi negara di dalam menjalankan tugasnya sehari-hari, baik tugas yang berkaitan dengan layanan masyarakat (public service), pelaksanaan pembangunan, kegiatan perekonomian, peningkatan kesejahteraan, dan lain sebagainya.
Termasuk di sini adalah tugas yang dijalankan oleh administrasi negara untuk melaksanakan berbagai tugas yang diperintahkan oleh peraturan perundang-undangan. Sedangkan administrasi pemerintahan adalah tatalaksana dalam mengambil tindakan hukum dan/atau tindakan faktual oleh badan atau pejabat pemerintahan (unsur yang melaksanakan fungsi pemerintahan berdasarkan wewenang diluar kekuasaan legislatif dan yudisiil yang diperoleh melalui atribusi, delegasi dan mandat.
Peraturan kebijaksanaan (beleid regels), adalah merupakan produk hukum yang lahir dari kewenangan mengatur kepentingan umum secara mandiri atas dasar prinsip freies ermessen  yang dalam praktek banyak ditemukan dituangkan dalam bentuk Keputusan Presiden atau Keputusan Menteri. Akibatnya banyak sekali Keputusan Presiden yang ditetapkan, termasuk berkenaan dengan sesuatu materi ketentuan yang seharusnya dituangkan dalam bentuk Undang- Undang, ditetapkan sendiri oleh Presiden tanpa melibatkan Dewan Perwakilan Rakyat. Hal yang sama juga terjadi dengan para Menteri untuk memenuhi kebutuhan praktis di lapangan, biasa mengeluarkan ketentuan-ketentuan yang bersifat mengatur kepentingan umum dalam bentuk Keputusan Menteri belaka, sehingga bukan saja soal substansi yang diatur itu yang menjadi persoalan, tetapi juga berkenaan dengan bentuk hukum dan nomenklatur peraturan yang digunakan itu juga menimbulkan masalah9 dalam hal ini banyak ditemukan Keputusan Presiden dan Keputusan Menteri yang seharusnya materi muatannya adalah keputusan yang bersifat konkrit, individual dan final, tetapi ternyata materi muatannya adalah pengaturan yang bersifat umum. Saat ini di dalam Undang-Undang Nomor. 10 Tahun 2004 tentang pembentukan peraturan perundang-undangan Pasal 9 sampai dengan Pasal 13 sudah diatur bahwa materi muatan10 yang bersifat pengaturan yang bersifat umum dimuat didalam bentuk peraturan.

Disadari atau tidak, fakta emperik menunjukkan, bahwa banyaknya diskresi yang dikeluarkan oleh pejabat pemerintah dalam rangka pelaksanaan tugas-tugas pemerintahan berpotensi menimbulkan permasalahan hukum dan administratif, sehingga perlu diawasi oleh masyarakat beserta organisasi-organisasi NGO yang concern terhadap good governance. Melihat rawannya potensi kekacauan hukum dan administrasi yang ditimbulkan, maka diskresi harus dapat dipertanggungjawabkan (responsibility) sekaligus dipertanggunggugatkan (accountability). Oleh karena itu, penggunaan diskresi secara tepat sesuai dengan ketentuaan yang ada, yakni dengan senantiasa bersandar kepada asas-asas umum pemerintahan yang baik tentunya akan membawa manfaat bagi masyarakat. Dalam perspektif ini, perlu ditekankan bahwa seorang pejabat adminisatrasi pemerintahan dituntut harus dapat mempertanggungjawabkan tindakan diskresi yang dibuat olehnya kepada masyarakat tanpa perlu menunggu adanya gugatan secara legalisitik. Mengingat hal tersebut merupakan suatu kewajiban yang sifatnya melekat pada kewenangan yang menjadi dasar akan adanya tindakan diskresi yang merupakan bagian dari Freies Ermessen artinya kebebasan mempertimbangkan, bebas menilai, bebas menduga, dan bebas mengambil keputusan.

A.    Pengertian dari Freies Ermessen
Pengertian Freies Ermessen ; Freies berasal dari kata frei dan freie yang berarti bebas, merdeka, tidak terikat, lepas dan orang bebas. Ermessen yang berarti mempertimbangkan, menilai, menduga, penilaian, pertimbangan dan keputusan. Sedang secara etimologis, Freies Ermessen artinya orang yang bebas mempertimbangkan, bebas menilai, bebas menduga, dan bebas mengambil keputusan.
Pouvoir Discretionare atau Freies Ermessen merupakan kemerdekaan bertindak atas inisiatif dan kebijakan sendiri dari administrasi negara pada welfare state. Fungsi publik service dalam penyelenggaraan pemerintahan welfare state mengakibatkan terjadinya pergeseran sebagian kekuasaan antarlembaga negara yaitu dari lembaga legislative ke lembaga eksekutif (administrasi negara). Pengertian discretie dalam pourvoir discretionare adalah pejabat penguasa tidak boleh menolak mengambil keputusan dengan alasan “tidak ada peraturannya” dan oleh karena itu diberi kebebasan untuk mengambil keputusan menurut pendapat sendiri asalkan tidak melanggar asas yuriditas dan asas legalitas. Sedangkan hakikat diokrasi yaitu adanya kebebasan bertindak bagi administrasi negara untuk menjalankan fungsinya secara dinamis guna menyelesaikan persoalan-persoalan penting yang mendesak, sedang aturan untuk itu belum ada. Bukan kebebasan dalam arti yang seluas-luasnya dan tanpa batas, tetap terikat kepada batas-batas tertentu yang diperkenankan oleh hukum administrasi negara.
SF Marbun mengatakan bahwa dengan diberikannya kebebasan bertindak (freies ermessen) kepada administrasi negara dalam melaksanakan tugasnya mewujudkan welfare state atau social rechtstaat di Belanda sempat menimbulkan kekhawatiran bahwa akibat dari freies ermessen akan menimbulkan kerugian bagi warga masyarakat. Oleh karena itu untuk meningkatkan perlindungan hukum bagi warga masyarakat, tahun 1950 Panitia de Monchy di Netherland membuat laporan tentang asas-asas umum pemerintahan yang baik atau algemene beginselen van behoorlijk bestuur. Pada mulanya timbul keberatan dari pejabatpejabat dan pegawai-pegawai pemerintah di Netherland karena ada kekhawatiran bahwa Hakim atau Pengadilan Administrasi kelak akan mempergunakan istilah itu untuk memberikan penilaian terhadap kebijaksanaan-kebijaksanaan yang diambil pemerintah, namun keberatan demikian sekarang ini telah lenyap ditelan masa karena telah hilang relevansinya.
Dengan adanya freies ermessen ini berarti bahwa sebagian kekuasaan yang dipegang oleh badan pembentuk undang-undang dipindahkan ke dalam tangan pemerintah/administrasi negara, sebagai badan eksekutif. Jadi supremasi badan legislatif diganti oleh supremasi badan eksekutif  karena administrasi Negara melakukan penyelesaian masalah tanpa harus menunggu perubahan Undang- Undang dari bidang legislatif.  Hal tersebut karena pada prinsipnya Badan/Pejabat administrasi pemerintahan tidak boleh menolak untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat dengan alasan hukumnya tidak ada ataupun hukumnya ada tetapi tidak jelas, sepanjang hal tersebut masih menjadi kewenangannya.
    Penerapan Asas Freies Ermessen
Perwujudan sikap tindak dari administrasi negara dalam implementasi freies ermessen bisa terdiri dari beberapa hal diantaranya :
1.    Membentuk peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang yang secara materiil mengikat umum.
2.    Mengeluarkan beschikking yang bersifat konkrit, final dan individual.
3.    Melakukan tindak administrasi yang nyata dan aktif.
4.    Menjalankan fungsi quasi yudisial, terutama “ keberatan” dan “ banding administrasi”.
Dari perwujudan sikap tindak administrasi negara dapat ditentukan tolak ukur dari asas freies ermessen secara singkat yaitu :
1.    Adanya kebebasan atau keleluasaan administrasi negara untuk bertindak atas inisiatif sendiri.
2.    Untuk menyelesaikan persoalan-persoalan yang mendesak yang belum ada aturannya untuk itu.
3.    Harus dapat dipertanggungjawabkan.
C.    Sebab Diperlukannya Fries Ermessen
Salah satu aspek penting yang terkait dengan prinsip akuntabilitas dalam reformasi birokrasi Indoensia saat ini adalah perihal kewenangan diskresi. Sebagaimana diketahui, diskresi ataupun yang lazim dikenal dalam bahasa Jerman sebagai Freies Ermessen merupakan suatu bentuk penyimpangan terhadap asas legalitas dalam pengertian wet matigheid van bestuur. Prinsip ini merupakan unsure exception dari asas legalitas itu sendiri. Diskresi dapat dikatakan sebagai bentuk wewenang Badan atau Pejabat Pemerintahan yang memungkinkan untuk melakukan pilihan-pilihan dalam mengambil tindakan hukum dan/atau tindakan faktual dalam lingkup administrasi atau tata kelola suatu pemerintahan.
Lebih jauh, dalam pasal 1 ayat (5) Rancangan Undang Undang Administrasi Pemerintahan (RUU AP) ditegaskan, diskresi merupakan kewenangan Pejabat Administrasi Pemerintahan yang digunakan dalam mengambil keputusan untuk mengatasi masalah dengan memperhatikan batas-batas hukum yang berlaku, asas-asas umum pemerintahan yang baik dan norma-norma yang berkembang di masyarakat. Dengan kata lain Diskresi merupakan keputusan pejabat administrasi pemerintahan yang bersifat khusus, bertanggungjawab dan tidak melanggar asas-asas umum pemerintahan yang baik demi terselenggaranya kinerja administrasi yang sehat.
Bertolak dari definisi di atas, maka badan atau pejabat pemerintahan yang diberikan kewenangan diskresi dalam mengambil keputusan wajib mempertimbangkan tujuan diskresi, peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar diskresi, dan senantiasa memperhatikan asas-asas umum pemerintahan yang baik sebagaimana dipaparka diatas. Diantara asas-asas umum pemerintahan yang baik yang paling mendasar adalah larangan penyalahgunaan wewenang dan larangan bertindak sewenang-wenang. badan atau pejabat pemerintahan yang menggunakan diskresi wajib mempertanggungjawabkan keputusannya kepada pejabat atasannya dan masyarakat yang dirugikan akibat keputusan diskresi yang telah diambil. Pertanggungjawaban kepada atasan dilaksanakan dalam bentuk tertulis dengan memberikan alasan-alasan pengambilan keputusan diskresi.
Dengan demikian diskresi muncul karena adanya tujuan kehidupan bernegara yang harus dicapai, tujuan bernegara dari paham negara welfare state adalah untuk menciptakan kesejahteraan rakyat. Tidak dapat dipungkiri bahwa negara Indonesia-pun merupakan bentuk negara kesejahteraan modern yang tercermin dalam pembukaan UUD 1945. Dalam paragraf keempat dari pembukaan UUD 1945 tersebut tergambarkan secara tegas tujuan bernegara yang hendak dicapai. Untuk mencapai tujuan bernegara tersebut maka pemerintah berkewajiban memperhatikan dan memaksimalkan upaya keamanan sosial dalam arti seluas-luasnya.
Hal tersebut mengakibatkan pemerintah harus aktif berperan mencampuri bidang kehidupan sosial-ekonomi masyarakat (public service) yang mengakibatkan administrasi negara tidak boleh menolak untuk mengambil keputusan ataupun bertindak dengan dalih terjadi kekososngan hukum (rechtsvacuum). Oleh karena itu untuk  adanya keleluasaan bergerak, diberikan kepada administrasi negara (pemerintah) suatu kebebasan bertindak (pouvoir discretionnaire/freies ermessen).
  Asas-Asas yang Berkaitan dengan  Freies Ermessen
Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik dalam prakteknya, secara yuridis mengikat penyelenggara negara untuk dilaksanakan dalam tugas dan fungsinya. Dalam perspektif tata kelola pemerintahan, setiap badan atau pejabat pemerintahan dalam menjalankan tanggung jawabnya wajib melaksanakan asas-asas umum pemerintahan yang baik.
Asas kepastian hukum menghendaki keajegan, dan keadilan dalam setiap kebijakan penyelenggaraan pemerintahan. Asas keseimbangan mewajibkan Badan atau Pejabat Pemerintahan untuk menjaga, menjamin, paling tidak mengupayakan keseimbangan, antara kepentingan antar individu yang satu dengan kepentingan individu yang lain; keseimbangan antar individu dengan masyarakat; antar kepentingan warga negara dan masyarakat asing; antar kepentingan kelompok masyarakat yang satu dan kepentingan kelompok masyarakat yang lain; keseimbangan kepentingan antara pemerintah dengan warga negara; keseimbangan antara generasi yang sekarang dan kepentingan generasi mendatang termasuk keseimbangan antara manusia dan ekosistemnya. Asas ketidakberpihakan menghendaki badan atau pejabat pemerintahan dalam mengambil keputusan mempertimbangkan kepentingan para pihak secara keseluruhan dan tidak diskriminatif.
Asas kecermatan mengandung arti, bahwa suatu keputusan harus didasarkan pada informasi dan dokumen yang lengkap untuk mendukung legalitas pengambilan keputusan sehingga keputusan yang bersangkutan dipersiapkan dengan cermat sebelum keputusan tersebut diambil atau diucapkan.
Asas tidak menyalahgunakan kewenangan mengharuskan setiap badan atau pejabat pemerintahan tidak menggunakan kewenangannya untuk kepentingan pribadi atau kepentingan yang lain dan tidak sesuai dengan tujuan pemberian kewenangan tersebut.
Asas keterbukaan lebih cenderung pada aspek public service yang baik dan bagaimana masyarakat untuk memperoleh informasi yang benar, jujur, dan tidak diskriminatif dalam penyelenggaraan administrasi pemerintahan dengan tetap memperhatikan perlindungan atas hak asasi pribadi, golongan dan rahasia negara.
Asas profesionalitas mengutamakan keahlian yang sesuai dengan tugas dan kode etik yang berlaku bagi badan atau pejabat pemerintahan yang mengeluarkan keputusan pemerintahan yang bersangkutan.
Asas kepentingan umum lebih menekankan dimensi kebijakan pemerintah yang berdampak pada kesejahteraan umum dengan cara yang aspiratif, akomodatif, selektif dan tidak diskriminatif.
Terdapat beberapa parameter dalam hal batasan toleransi bagi Badan atau Pejabat pemerintahan dalam menggunakan asas diskresi ini yaitu;
1.    Adanya kebebasan atau keleluasaan administrasi negara untuk bertindak atas inisiatif sendiri;
2.    untuk menyelesaikan persoalan-persoalan yang mendesak yang belum ada aturannya untuk itu;
3.    tidak boleh mengakibatkan kerugian kepada masyarakat, harus dapat dipertanggungjawabkan secara hukum dan juga secara moral. Bila berbicara mengenai pertanggungjawaban maka diskresi akan terkait dengan permasalahan subyek yang memiliki kewenangan membuat diskresi.
Menurut Prof. Muchsan, subyek yang berwenang untuk membuat suatu diskresi adalah administrasi negara dalam pengertian sempit, yaitu eksekutif. Adapun basis argumentasi yuridisnya ialah bahwa pihak eksekutif yang lebih banyak bersentuhan dengan masalah pelayanan publik oleh karena itu diskresi hanya ada dipraktekan dan dikenal dalam tata kelola pemerintahan.
Bentuk-bentuk sederhana dari keputusan administrasi di luar peraturan perundang-undangan yang dapat dilihat dalam contoh kehidupan sehari-hari adalah memo yang dikeluarkan oleh pejabat, pengumuman, surat keputusan (SK) dan sejumlah bentuk lainnya.
Dalam rancangan Undang Undang Administrasi Pemerintahan (RUU AP) pun memperjelas penyelesaian sengketa yang ditimbulkan oleh diskresi yang sebelumnya belum terakomodir dalam UU PTUN. Mekanisme pertanggungjawaban menurut RUU AP ini adalah mekanisme pertanggungjawaban administrasi terkait dengan keputusan ataupun tindakan yang telah diambil oleh pejabat administrasi pemerintahan.
Menurut RUU AP Pasal 25 ayat (3) dinyatakan; pejabat administrasi pemerintahan yang menggunakan diskresi wajib mempertanggungjawabkan keputusannya kepada pejabat atasannya dan masyarakat yang dirugikan akibat keputusan diskresi yang telah diambil. Pertanggungjawaban kepada atasan dilaksanakan dalam bentuk tertulis dengan memberikan alasan-alasan pengambilan keputusan diskresi.
Sedangkan pertanggungjawaban kepada masyarakat diselesaikan  melalui proses peradilan. Keputusan dan/atau tindakan diskresi pejabat administrasi pemerintahan dapat diuji melalui Upaya Administratif atau gugatan di Peradilan Tata Usaha Negara. 
   Kelebihan dan Kekurangan Dalam Penggunaan Prinsip Freies Ermessen
Ada beberapa manfaat atau aspek kelebihan dalam penggunaan prinsip Freies Ermessen atau kebebasan bertindak oleh pejabat pemerintah yaitu diantaranya; pertama; kebijakan pemerintah yang bersifat emergency terkait hajat hidup orang banyak dapat segera diputuskan atau diberlakukan oleh pemerintah meskipun masih debatable secara yuridis atau bahkan terjadi kekosongan hukum sama sekali; kedua; badan atau pejabat pemerintah tidak terjebak pada formalisme hukum dengan asumsi bahwa tidak ada kekosongan hukum bagi setiap kebijakan publik (policy) sepanjang berkaitan dengan kepentingan umum atau masyarakat luas; ketiga; sifat dan roda pemerintahan menjadi makin fleksibel, sehingga sektor pelayanan publik makin hidup dan pembangunan bagi peningkatan kesejahtraan rakyat menjadi tidak statis alias tetap dinmais seiring dengan dinamika masyarakat dan perkembangan zaman.
Namun begitu, disisi lain kebebasan bertindak okleh apartur pemerintahan yang berwenang sudah tentu juga menimbulkan kompleksitas masalah karena sifatnya yang menyimpangi asas legalitas dalam arti yuridis (unsur exception).
Memang harus diakui apabila tidak digunakan secara cermat dan hati-hati maka penerapa asas freis ermessen ini rawan menjadi konflik struktural yang berkepanjangan antara penguasa versus masyarakat. Ada beberapa kerugian yang bisa saja terjadi jika tidak diantisipasi secara baik yakni diantaranya:
1.    Aparatur atau pejabat pemerintah bertindak sewenang-wenang karena terjadi ambivalensi kebijakan yang tidak dapat dipertanggujawabkan kepada masyarakat;
2.    Sektor pelayanan publik menjadi terganggu atau malah makin buruk akibat kebijakan yang tidak popoluer dan non-responsif diambil oleh pejabat atau aparatur pemerintah yang berwenang;
3.    Sektor pembangunan justru menjadi terhambat akibat sejumlah kebijakan (policy) pejabat atau aparatur pemerintah yang kontraproduktif dengan keinginan rakyat atau para pelaku pembangunan lainnya.
4.    Aktifitas perekonomian masyarakat justru menjadi pasif dan tidak berkembang akibat sejumlah kebijakan (policy) yang tidak pro-masyarakat dan terakhir adalah terjadi krisis kepecayaan publik terhadap penguasa dan menurunya wibawa pemernitah dimata masyarakat sebagai akibat kebijakan-kebijakannya yang dinilai tidak simpatik dan merugikan masyarakat.

    Freies Ermessen merupakan kemerdekaan bertindak atas inisiatif dan kebijakan sendiri dari administrasi Negara. Freies Ermessen merupakan suatu bentuk penyimpangan terhadap asas legalitas dalam pengertian wet matigheid van bestuur. Perwujudan sikap tindak dari administrasi negara dalam implementasi freies ermessen bisa terdiri dari beberapa hal diantaranya :
1.    Membentuk peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang yang secara materiil mengikat umum.
2.    Mengeluarkan beschikking yang bersifat konkrit, final dan individual.
3.    Melakukan tindak administrasi yang nyata dan aktif.
4.    Menjalankan fungsi quasi yudisial, terutama “ keberatan” dan “ banding administrasi”.

Sebagian kalangan oleh sarjana hukum administrasi Negara berargumen bahwa freies ermessen itu harus dibingkai dalam hukum yang tertulis. Hemat penulis kita tidak perlu memaksakan sifat freies ermessen yang demikian oleh karena memang freies ermessen itu bersumber dari hukum yang tidak tertulis. Sifat hukumnya yang bebas, tidak terikat seperti hukum yang tertulis (peraturan perundang-undngan).
Sebenarnya freies ermessen terinspirasi dari asas diskresi yang berarti kebebasan seorang pejabat untuk bertindak berdasarkan pikirannya demi kepentingan umum. Selalu kita mendapati di jalan umum misalnya ketika terjadi macet, maka meski lampu merah menyala polisi lalu lintas membiarkan kendaraan lewat di jalur lampu merah tersebut. Inilah sebenarnya contoh kecil dari penggunaan asas diskresi oleh polisi lalu lintas.
Diskresi diperlukan sebagai pelengkap asas legalitas, yaitu asas hukum yang menyatakan bahwa setiap tindak atau perbuatan administrasi negara harus berdasarkan ketentuan undang-undang, akan tetapi tidak mungkin bagi undang-undang untuk mengatur segala macam hal dalam praktek kehidupan sehari-hari. Oleh sebab itu diperlukan adanya kebebasan atau diskresi pada pejabat publik dalam melaksanakan tugas, fungsi dan kewajiban yang dibebankan kepadanya
Freies ermessen sendiri berasal dari bahasa Jerman. Secara eteimologi berasal dari dua kata freies dan ermessen. Pengertian Freies Ermessen berasal dari kata frei dan freie yang berarti bebas, merdeka, tidak terikat, lepas dan orang bebas. Ermessen yang berarti mempertimbangkan, menilai, menduga, penilaian, pertimbangan dan keputusan. Sedang secara etimologis, Freies Ermessen artinya orang yang bebas mempertimbangkan, bebas menilai, bebas menduga, dan bebas mengambil keputusan (Pouvoir Discretionare: Perancis, Discretionary Power: Inggris)
Oleh Marbun dan Ridwan HR mengemukakan bahwa freies ermessen merupakan kebebasan yang melekat bagi pemerintah atau administrasi Negara. Sebenarnya jika ditilik lebih jauh pengguanan asas freies ermessen oleh pejabat publik bertentangan dengan asas legalitas, namun hal itu tidak berarti tidak bisa kita mengatakan bahwa pejabat kemudian dilarang bertindak padahal itu atas nama demi kepentingan umum.
Meski  salah satu dari tujuan Negara adalah Negara hukum, tetapi arah atau sasaran utamanya adalah Negara kesejahteraan (welfare state). Oleh karena itu pejabat eksekutif yang lebih banyak bersentuhan dnegan pelaksanaan undang-undang tidak dapat dibatasi untuk tidak bertindak, ketika terjadi kekosongan hukum (wetvacuum) dan adanya peraturan pelaksanaan undang-undang yang perlu ditafsirkan (interpertate). Namun tetap kembali bahwa meski itu adalah tindakan diskresi pejabat tetap harus dipertanggungjawabkan secara hukum dan moral
SF Marbun mengemukakan bahwa dengan diberikannya kebebasan bertindak (freies ermessen) kepada administrasi negara dalam melaksanakan tugasnya mewujudkan welfare state atau social rechtstaat di Belanda sempat menimbulkan kekhawatiran bahwa akibat dari freies ermessen akan menimbulkan kerugian bagi warga masyarakat. Oleh karena itu untuk meningkatkan perlindungan hukum bagi warga masyarakat, tahun 1950 Panitia de Monchy di Netherland membuat laporan tentang asas-asas umum pemerintahan yang baik Atau Algemene Beginselen Van Behoorlijk Bestuur. Pada mulanya timbul keberatan dari pejabat-pejabat dan pegawai-pegawai pemerintah di Netherland karena ada kekhawatiran bahwa Hakim atau Pengadilan Administrasi kelak akan mempergunakan istilah itu untuk memberikan penilaian terhadap kebijaksanaan-kebijaksanaan yang diambil pemerintah, namun keberatan demikian sekarang ini telah lenyap ditelan masa karena telah hilang relevansinya.
Kemudian, kita juga tidak dapat menghilangkan penggunaan freies ermessen dalam hukum administrasi Negara, karena hal itu juga sudah dinyatakan secara tegas dalam Undang-undang Peradilan TUN (UU No. 5 Tahun  1986 jo UU No. 9 Tahun 2004), bahwa individu atau badan hukum perdata jika dirugikan dengan keluarnya KTUN, salah satu alasan dapat mengajukan gugatan ke PTUN adalah karena keputusan itu bertentang dengan Asas-Asas Uum Pemerintahan Yang Baik (AAUPB), jadi selain keputusan pejabat TUN dapat diuji karena bertentang dnegan peraturan perudang-undangan yang berlaku juga dapat diuji melalui AAUPB.
Bahkan dalam perkembangan di bidang hukum administrasi Negara freies ermessen dapat kemudian berwujud dalam hukum yang tertulis, yang biasa disebut dengan peraturan kebijakan (beleidsregel).
Terkait dengan AAUPB, sebagai anak kandung dari freies ermessen, oleh Wiarda membagi AAUPB itu dalam lima bagian:
  1. Perlakukan yang adil (fair play), menurut asas ini pemerintah diharapkan untuk terbuka dan jujur. Pemerintah harus memberikan kesempatan kepada warga Negara untuk mengemukakan pandangan dan pembelaan mereka.
  2. Ketelitian, asas ini menuntut ketelitan dan perhatian tentang pertimbangan yang layak terhadap berabagai kepentingan.
  3. Kemurnian tujuan, tindakan pemerintah harus ditujukan kepada tujuan yang diberikan oleh pembentuk undang-undang pada saat wewenang tersebut.
  4. Keseimbangan artinya semua kepentingan yang terlibat dalam suatu keputusan harus dipertimbangkan dengan seimbang termasuk dalam pengertian ini adalah kesewenang-wenangan, yaitu tidak dipertimbangkannya berbagai kepentingan atau kurang teliti terhadap perkara yang sama. Penyelesaiannnya berbeda, berarti terjadi ketidakseimbangan dalm mengambil keputusan.
  5. Kepastian hukum, asas ini mengharapkan administrasi Negara berpedoman pada peraturan yang dibuatnya, toleransi terhadap penyimpangan dilakukan berdasarkan keadilan khusus.
Dengan demikian segala keputusan TUN tidak hanya lagi dapat diuji melalu peraturan perundang-undangan yang berlaku, jikalau misalnya terjadi penyalahgunaan kewenangan (abuse of the power/ detornment of the pouvoir), terjadi pencaplokan kekuasaan (succession of the power) atau terjadi kesewenang-wenangan oleh pejabat tersebut ketika mengeluarkan keputusan (willekeur). Artinya saat ini, semakin luas alat atau instrument yang dapat digunakan sebagai alasan mengajukan gugatan ke peradilan administrasi (PTUN) dengan hadirnya AAUPB sebagai penerapan lebih lanjut dari asas freies ermessen.
Freies Ermessen (Asas Diskresi)
1. Pengertian Freies Ermessen
Sebelum membahas lebih jauh mengenai diskresi, terlebih dahulu perlu dipahami apa yang dimaksud dengan Freies Ermessenitu sendiri. Banyak pakar hukum yang memberikan definisi asas diskresi, menurut Saut P. Panjaitan, Freies Ermessen(pouvoir discretionnaire, Perancis) ataupun Freies Ermessen (Jerman) merupakan suatu bentuk penyimpangan terhadap asas legalitas dalam pengertian wet matigheid van bestuur, jadi merupakan ”kekecualian” dari asas legalitas. Menurut Prof. Benyamin, Freies Ermessen didefinisikan sebagai kebebasan pejabat mengambil keputusan menurut pertimbangannya sendiri. Dengan demikian, menurutnya setiap pejabat publik memiliki kewenangan diskresi. Selanjutnya Gayus T. Lumbuun mendefinisikan Freies Ermessen sebagai berikut:
“Freies Ermessen adalah kebijakan dari pejabat negara dari pusat sampai daerah yang intinya membolehkan pejabat publik melakukan sebuah kebijakan yang melanggar dengan undang-undang, dengan tiga syarat. Yakni, demi kepentingan umum, masih dalam batas wilayah kewenangannya, dan tidak melanggar Azas-azas Umum Pemerintahan yang Baik (AUPB).”
Mengenai definisi tersebut diatas, selanjutnya Gayus T. Lumbuun menjelaskan bahwa secara hukum mungkin orang yang menggunakan asas Freies Ermessentersebut melanggar, tetapi secara azas ia tidak melanggar kepentingan umum dan itu merupkan instant decision (tanpa rencana) dan itu bukan pelanggaran tindak pidana. Sedangkan definisi Freies Ermessenmenurut Sjachran Basah seperti dikutip oleh Patuan Sinaga, adalah:
”…, tujuan kehidupan bernegara yang harus dicapai…, melibatkan administrasi negara di dalam melaksanakan tugas-tugas servis publiknya yang sangat kompleks, luas lingkupnya, dan memasuki semua sektor kehidupan. Dalam hal administrasi negara memiliki keleluasaan dalam menentukan kebijakan-kebijakan walaupun demikian sikap tindaknya itu haruslah dapat dipertanggungjawabkan baik secara moral maupun hukum”.

Berdasarkan definisi yang diberikan oleh Syachran Basah tersebut, tersimpulkan bahwa unsur-unsur yang harus dipenuhi oleh suatu Freies Ermessenadalah:
1. Ada karena adanya tugas-tugas public service yang diemban oleh administratur negara;
2. Dalam menjalankan tugas tersebut, para administratur negara diberikan keleluasaan dalam menentukan kebijakan-kebijakan;
3. Kebijakan-kebijakan tersebut dapat dipertanggungjawabkan baik secara moral maupun hukum.
Dengan demikian Freies Ermessen muncul karena adanya tujuan kehidupan bernegara yang harus dicapai, tujuan bernegara dari faham negara kesejahteraan adalah untuk menciptakan kesejahteraan rakyat. Tidak dapat dipungkiri bahwa negara Indonesia-pun merupakan bentuk negara kesejahteraan modern yang tercermin dalam pembukaan UUD 1945. Dalam paragraf keempat dari pembukaan UUD 1945 tersebut tergambarkan secara tegas tujuan bernegara yang hendak dicapai. Untuk mencapai tujuan bernegara tersebut maka pemerintah berkewajiaban memperhatikan dan memaksimalkan upaya keamanan sosial dalam arti seluas-luasnya.
Hal tersebut mengakibatkan pemerintah harus aktif berperan mencampuri bidang kehidupan sosial-ekonomi masyarakat (public service) yang mengakibatkan administrasi negara tidak boleh menolak untuk mengambil keputusan ataupun bertindak dengan dalih ketiadaan peraturan perundang-undangan (rechtsvacuum). Oleh karena itu untuk adanya keleluasaan bergerak, diberikan kepada administrasi negara (pemerintah) suatu kebebasan bertindak yang seringkali disebut fries ermessen (Jerman) ataupun pouvoir discretionnaire (Perancis).
2. Batas Toleransi freis ermessen
Kebebasan bertindak sudah tentu akan menimbulkan kompleksitas masalah karena sifatnya menyimpangi asas legalitas dalam arti sifat ”pengecualian” jenis ini berpeluang lebih besar untuk menimbulkan kerugian kepada warga masyarakat. Oleh karena itu terhadap Freies Ermessenperlu ditetapkan adanya batas toleransi.
Batasan toleransi dari Freies Ermessenini dapat disimpulkan dari pemahaman yang diberikan oleh Sjahran Basah sebelumnya, yaitu adanya kebebasan atau keleluasaan administrasi negara untuk bertindak atas inisiatif sendiri; untuk menyelesaikan persoalan-persoalan yang mendesak yang belum ada aturannya untuk itu; tidak boleh mengakibatkan kerugian kepada masyarakat, harus dapat dipertanggungjawabkan secara hukum dan juga secara moral.
Jika kita berbicara mengenai pertanggungjawaban, maka Freies Ermessenakan terkait dengan permasalahan subyek yang memiliki kewenangan membuat diskresi, maka subyek yang berwenang untuk membuat suatu Freies Ermessenadalah administrasi negara dalam pengertian sempit, yaitu eksekutif. Argumentum yang dikedepankan sehubungan dengan hal ini adalah bahwa eksekutiflah yang lebih banyak bersentuhan dengan masalah pelayanan publik oleh karena itu Freies Ermessenhanya ada di lingkungan pemerintahan (eksekutif).
Bentuk-bentuk sederhana dari keputusan administrasi di luar peraturan perundang-undangan yang dapat dilihat dalam contoh kehidupan sehari-hari adalah memo yang dikeluarkan oleh pejabat, pengumuman, surat keputusan (SK), surat penetapan, dan lain-lain.
Menurut Prof. Muchsan, pelaksanaan Freies Ermessenoleh aparat pemerintah (eksekutif) dibatasi oleh 4 (empat) hal, yaitu:
1. Apabila terjadi kekosongan hukum;
2. Adanya kebebasan interprestasi;
3. Adanya delegasi perundang-undangan;
4. Demi pemenuhan kepentingan umum.
Selanjutnya mengenai apakah Freies Ermessenperlu diatur atau dibatasi Pakar Hukum Tata Negara Universitas Indonesia, Prof. Bintan R. Saragih berpendapat bahwa Freies Ermessentidak perlu diatur atau dibatasi karena sudah ada pertanggungjawabannya sendiri baik secara moral maupun hukum. Ditambahkan lagi oleh Prof. Bintan R. Saragih, bahwa pengaturan mengenai Freies Ermessenpejabat hanya lazim digunakan pada sistem parlementer, sementara sistem presidensial lebih menggunakan kebiasaan.
Penerapan Asas Freies ErmessenDalam Pembuatan Keputusan Tata Usaha Negara
Keputusan Tata Usaha Negara, disamping keputusan pelaksanaan (ececutive dececion atau gebonden beschikking) juga ada yang disebut dengan keputusan bebas (discretionary decision atau Vrije beschikking). Keputusan bebas ini biasa kita kenal dengan istilah asas Freies Ermessenatau freis ermessen. Aparat pemerintah (eksekutif) dalam pelaksanaan fungsinya (struktural maupun fungsional) dapat melakukan suatu tindakan berupa membuat suatu keputusan (beschikking) meskipun hal tersebut belum diatur secara tegas atau bertentangan dengan undang-undang.
Menurut Prof. Muchsan, asas Freies Ermessenharus berlandaskan pada 2 (dua) hal:
1. Landasan Yuridis.
2. Kebijakan.
Kebijakan disini dibagi menjadi dua kategori, pertama kebijakan yang bersifat mutlak (absolut) yang kedua yaitu kebijakan yang bersifat tidak mutlak (relatif), hal ini dapat terjadi karena hukumnya tidak jelas.
Berikut ini penulis memberikan contoh Freies Ermessenpositif yang dilakukan oleh aparat pemerintah:
“Di sebuah perempatan, kondisi jalanan macet, arus dari arah A terlalu padat sementara arah sebaliknya (arus B) lengang. Polisi kemudian memberi instruksi kepada pengendara dari arus A untuk terus berjalan walaupun lampu lalu lintas berwarna merah.”
Jika kita melihat contoh diatas, maka Freies Ermessentetap dapat digunakan dengan tujuan untuk menciptakan kesejahteraan rakyat. Untuk mencapai tujuan bernegara tersebut maka pemerintah berkewajiaban memperhatikan dan memaksimalkan upaya keamanan sosial dalam arti seluas-luasnya.
Hal tersebut mengakibatkan pemerintah harus aktif berperan mencampuri bidang kehidupan sosial-ekonomi masyarakat (public service) yang mengakibatkan administrasi negara tidak boleh menolak untuk mengambil keputusan ataupun bertindak dengan dalih ketiadaan peraturan perundang-undangan (rechtsvacuum). Oleh karena itu untuk adanya keleluasaan bergerak, diberikan kepada administrasi negara (pemerintah) suatu kebebasan bertindak yang seringkali disebut fries ermessen (Jerman) ataupun pouvoir discretionnaire (Perancis).
Kewenangan freies ermessen diberikan oleh pemerintah atas dasar fungsi pemerintah, yaitu untuk menyelenggarakan kesejahteraan umum, dan kewenangan ini merupakan konsekuensi logis dari konsep Negara hukum modern (welfare state). Namun, tentu saja kewenangan ini (freies ermessen) tidak dapat digunakan tanpa batas dan haruslah memenuhi unsur-unsur sebagai berikut:
a. Bertujuan untuk mengoptimalkan pelayanan public
b. Merupakan tindakan aktif dari administrasi Negara
c. Dimungkinkan oleh hokum
d. Atas inisiatif sendiri
e. Bertujuan untuk penyelesaian masalah-masalah penting yang timbul secara mendadak.
f. Dapat dipertanggungjawabkan

Dalam prakteknya, freies ermessen, dilakukan dalam hal-hal sebagai berikut:
a) Belum ada peraturan perundangan yang mengatur tentang penyelesaian secara konkrit terhadap suatu masalah tertentu, dimana masalah tersebut harus segera diselesaikan.
b) Peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar berbuat aparat pemerintah memberikan kebebasan sepenuhnya.
c) Adanya delegasi perundang-undangan, yang artinya aparat pemerintah diberi kekuasaan untuk mengatur sendiri sebuah urusan, yang sebenarnya kekuasaan itu merupakan kekuasaan aparat yang lebih tinggi tingkatannya. Misalnya, pemerintah daerah bebas untuk mengelola sumber-sumber keuangan daerah asalkan merupakan sumber yang sah.

Dalam ilmu Hukum Administrasi, freies ermessen ini diberikan hanya kepada pemerintah, dan ketika freies ermessen ini diwujudkan menjadi instrument yuridis yang tertulis, maka jadilah ia sebagai peraturan kebijaksanaan.
Diskresi (freies ermessen) adalah kebebasan bertindak atau mengambil keputusan pada pejabat publik yang berwenang berdasarkan pendapat sendiri. Diskresi diperlukan sebagai pelengkap asas legalitas, yaitu asas hukum yang menyatakan bahwa setiap tindak atau perbuatan administrasi negara harus berdasarkan ketentuan undang-undang, akan tetapi tidak mungkin bagi undang-undang untuk mengatur segala macam hal dalam praktek kehidupan sehari-hari. Oleh sebab itu diperlukan adanya kebebasan atau diskresi pada pejabat publik dalam melaksanakan tugas, fungsi dan kewajiban yang dibebankan kepadanya.


 Pustaka
1. Hardjon, Philipus M, Pengantar Hukum Administrasi Indonesia, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta, 1997.
2. Marbun, SF. ed, Pokok-pokok Pemikiran Hukum Administrasi Negara, UII Press, Yogyakarta, 2001.


A Siti Soetami, Hukum Administrasi Negara, Badan Penerbit Universitas Diponegoro Semarang,2000

Diana Halim Koentjoro, Hukum Administrasi Negara, Ghalia Indonesia, Bogor, 2004

Jimly Asshiddiqie, Format Kelembagaan Negara dan Pergeseran Kekuasaan Dalam UUD 1945, FH UII Press, Yogyakarta 2004

SF Marbun, Menggali dan Menemukan Asas-asas Umum Pemerintahan yang Baik Di Indonesia, dalam SF Marbun dkk, Dimensi-Dimensi Pemikiran Hukum Administrasi Negara, UII Press, Yogyakarta 2001

Komentar

Postingan populer dari blog ini

TEORI TENTANG PERUBAHAN HUKUM DAN MASYARAKAT

TEORI TENTANG PERUBAHAN HUKUM DAN MASYARAKAT A.       Beberapa Teori tentang Hukum dan Perubahan Sosial Perubahan sosial adalah segala perubahan pada lembaga kemasyarakatan di dalam masyarakat, yang mempengaruhi sistem sosialnya, termasuk nilai, sikap, dan pola perilaku di antara kelompok-kelompok masyarakat. Pada umumnya suatu perubahan di bidang tertentu akan mempengaruhi bidang lainnya. Maka dari itu jika diterapkan terhadap hukum maka sejauh manakah perubahan hukum mengakibatkan perubahan pada bidang lainnya. [1] Suatu perubahan sosial dan kebudayaan dapat pula bersumber pada sebab-sebab yang berasal dari luar masyarakat itu sendiri dan   bisa dari bangsa lain seperti: pertama, t erjadinya berbagai bencana alam menyebabkan masyarakat yang mendiami daerah-daerah itu terpaksa harus meninggalkan tempat tinggalnya dan mereka harus menyesuaikan diri dengan keadaan alam yang baru yang akan mengakibatkan terjadinya perubahan-perubahan pada ...

SEJARAH JUDICIAL REVIEW (KASUS MARBURY VS MADISON TAHUN 1803)

  SEJARAH   JUDICIAL   REVIEW (KASUS MARBURY VS MADISON TAHUN 1803)   Lembaga pengujian konstitusional yang sudah mendunia dan seperti yang kita kenal saat ini bermula dari putusan Supreme Court (Mahkamah Agung) AS dalam kasus Marbury versus Madison pada tahun 1803. Sejak saat itu “wabah” pengujian konstitusional atau yang populer disebut judicial review ini mulai menyebar dan akhirnya mendapat kedudukan yang penting dalam dunia hukum seperti sekarang ini. Begitu fenomenal dan luar biasanya putusan “Marbury vs Madison” ini, William H. Rehnquist menyebut kasus ini sebagai “most famous case ever decided by the US Supreme Court.” [1]   Selain itu para pakar juga menyebut kasus ini dengan berbagai sebutan/istilah, antara lain ‘most brilliant innovation’ atau ‘landmark decision’ bahkan ada pula yang menyebutnya dengan nada penuh pujian sebagai ‘single most important decision in American Constitutional Law.’ [2] Kasus ini sendiri bermula pada saat John Ad...

PERBEDAAN KONSEP PELANGGARAN HAM DAN KEJAHATAN BIASA DALAM PERSPEKTIF HUKUM DAN HAM INTERNASIONAL

  PENDAHULUAN Hak Asasi Manusia (HAM) adalah hak-hak yang dimiliki manusia semata-mata karena ia manusia. Umat manusia memilikinya bukan karena diberikan kepadanya oleh masyarakat atau berdasarkan hukum positif, melainkan semata-mata berdasarkan martabatnya sebagai manusia. [1] .Oleh karenanya meskipun setiap orang terlahir dengan warna kulit, jenis kelamin, bahasa, budaya dan kewarganegaraan berbeda tetap memiliki hak-hak yang sifatnya universal.Selain sifatnya yang universal, hak-hak itu tidak dapat dicabut (inalienable) , karena hak-hak tersebut melekat kepada dirinya sebagai manusia.Akan tetapi persoalan hak asasi manusia baru mendapat perhatian ketika pengimplementasikannya dalam kehidupan bersama manusia. Pemikiran tentang keselarasan hidup dalam masyarakat dikemukakan oleh Aristoteles pada abad ke- 4 SM, bahwa untuk mencapai tujuan hidup manusia membutuhkan manusia lain, sehingga keberadaan masyarakat mutlak agar individu Manusia dapat memiliki arti dan berkembang. [2] ...