Teori Imunitas
Konsep
kekebalan negara sebenarnya telah menjadi pusat perhatian dan perdebatan para
ahli hukum internasional sejak abad ke 19. Namun, dalam beberapa tahun
terakhir, terdapat suatu fenomena baru yaitu usaha kodifikasi hukum
internasional yang mendorong ke arah penetapan posisi negara-negara dan
kelompok-kelompok negara dalam kaitannya dengan kekebalan negara Terhadap
masalah kekebalan negara, menunjukan bahwa perkembangan hukum
kekebalan negara tidak perlu membahasnya secara khusus,
karena sebagian besar sumber hukum kekebalan negara diperoleh
dari keputusan-keputusan pengadilan sebagai bukti praktek negara
dalam bidang ini. Tetapi saat ini terdapat kecenderungan ke arah pembatasan
kekebalan negara pada tingkatan-tingkatan tertentu yang disebut iure imperii.
Oleh karena itu, tidak ada negara yang mengeluarkan kebijaksanaan
yang bertentangan dengan kecenderungan ini.
Adanya
kecenderungan untuk membatasi kekebalan negara, masalah kekebalan negara dari
yurisdiksi negara lain tetap merupakan bagian penting
hukum internasional. Karena kekebalan negara pada dasarnya
mencerminkan struktur hubungan internasional yang diatur oleh hukum
internasional. Dan salah satu ciri kedaulatan adalah kekebalan negara dari
campur tangan atau gangguan dalam pergaulan
internasional. Oleh karena itu, masalah kedaulatan sangat erat hubungannya
dengan yurisdiksi negara. Namun, dalam hukum internasional prinsip kekebalan
negara harus diartikan sebagai hak-hak dan kewajiban-kewajiban (positif), agar
prinsip ini dapat mendefinisikan tindakan-tindakan yang melanggar dan tidak
melanggar hukum.
Terhadap
konsep kekebalan negara sebagian ahli memandang adanya perkembangan
yang dapat mengubah konsep klasik kekebalan negara,
karena turut campurnya negara dalam bidang
perekonomian nasional dan internasional yang semakin
meluas. Keadaan ini merupakan latar belakang sosial perubahan konsep kekebalan
negara yang merupakan perubahan sifat, dan fungsi
negara pada umumnya. Seperti, pembentukan
perusahaan-perusahaan milik negara, monopoli perdagangan asing dan berbagai
bentuk perdagangan yang dilakukan oleh negara,
menyebabkan perubahan-perubahan penting dalam hukum kekebalan negara.
Namun
yang terpenting adalah bahwa kekebalan negara hanya berlaku dalam kasus-kasus
di mana kekebalan negara dapat berfungsi menjamin kepentingan negara atau
kepentingan masyarakat internasional secara keseluruhan, bukan untuk hubungan
ekonomi biasa. Karena pada umumnya pada hubungan ekonomi internasional
terdapat dua bentuk: (1) Suatu negara dapat menjalin hubungan langsung dengan
negara-negara lain sebagai pemerintah;
(2) hubungan melalui perusahaan-perusahaan negara yang
tidak bertindak atas nama negara.
Lain
halnya jika perusahaan-perusahaan negara dianggap sebagai organ negara dalam
kaitannya dengan konsep hukum internasional, maka dalam keadaan-keadaan
tertentu perusahaan negara berhak menuntut kekebalan. Karena tidak ada
ukuran-ukuran yang diakui secara universal dalam hukum internasional untuk
mendefinisikan perusahaan negara sebagai organ negara atau kekayaan negara
Karena dilain pihak perusahaan milik negara dipandang sebagai badan hukum
terpisah dan memliki otonomi finansial dan ekonomi tertentu.
Sedangkan menurut Undang-undang Hukum Perdata
negara-negara sosialis di Eropa, perusahaan milik negara
tidak bertanggung jawab atas utang negara, demikian pula negara tidak
bertanggung jawab atas utang perusahaan negara Perlu pula diketahui bahwa
perusahaan negara meskipun tidak diakui sebagai pemilik asetnya, tapi dapat
bertindak untuk kepentingan sendiri baik tanggung jawab maupun kewajibannya.
Dalam
hal ini yang perlu mendapat perhatian adalah bahwa kedudukan perusahaan milik
negara harus ditentukan berdasarkan lex personalis yaitu atas dasar
hukum negara pemilik, kecuali perusahaan-perusahaan yang didirikan di luar
negeri harus tunduk pada peraturan-peraturan negara bersangkutan. Pengadilan
negara Barat berpendapat bahwa perusahaan-perusahaan milik negara tidak berhak
atas kekebalan di bawah hukum internasional, karena perusahaan negara bukan
merupakan kekayaan umum negara. Oleh karena itu, bagi masalah-masalah lainnya
diatur oleh hukum perdata internasional bukan oleh hukum internasional publik.
KPE
Lasok dalam membahas kasus Rorimplex berpendapat bahwa perusahaan-perusahaan
milik negara pada umumnya tidak memiliki keinginan sendiri, tapi hanya
menjalankan keinginan Pemerintah. Namun, dalam beberapa hal organ negara
mempunyai hak untuk mengadakan perjanjian dengan perusahaan-perusahaan atau
individu-individu dari negara lain (asing), meskipun kedudukannya untuk
melakukan kegiatan ekonomi atau bisnis nampaknya sulit.
Keragaman
isi kontrak yang dilakukan oleh organ negara, memberikan bukti bahwa hukum
kontrak sangat berbeda dari kasus ke kasus dan dapat menimbulkan
konsekuensi-konsekuensi pada penerapan kekebalan negara. Oleh karena itu,
pemberian kekebalan bagi negara yang terlibat dalam kontrak antar negara dapat
memperkuat kedudukan hukum, ekonomi dan politik negara-negara tersebut
dalam hubungan mereka dengan perusahan-perusahaan
asing. Berdasarkan hal tersebut tidak realistis jika kekebalan negara hanya
dapat diperluas ke dalam jenis-jenis kontrak antar negara tertentu.
Doktrin Tindakan Negara (Act of State Doctrine)
Dalam
hubungannya dengan kekebalan negara, terdapat sebuah doktrin yang disebut doktrin
tindakan negara (Act of State Doctrine) atau Secondary Immunity
Doktrin tindakan negara telah lama menjadi bagian yang tidak tersentuh oleh
perubahan yurisprudensi Inggris. Di Inggris dan Amerika Serikat kasus-kasus tindakan
negara relatif langka dan
kurang mendapat perhatian selama
bertahun-tahun sebelum kasus Sabbatino Tetapi
kasus-kasus yang terjadi telah memperlihatkan
suatu indikasi bahwa doktrin tindakan negara akan cukup penting dimasa
mendatang. Sebagaimana timbulnya aktivitas-aktivitas negara dalam bidang
ekonomi. Doktrin ini tampaknya baru dapat
diberlakukan, jika perisai kekebalan negara dapat ditembus.
Doktrin
ini merupakan aturan sebagai langkah kedua yang dapat dijadikan pedoman oleh
pengadilan dalam memberikan putusan. Apakah peraturan
hukum negara asing dapat diberlakukan jika negara asing
tersebut bertindak dalam yurisdiksinya. Doktrin ini tidak jauh berbeda dengan
doktrin kedaulatan, karena kedua doktrin
tersebut pertimbangannya atas dasar yang
sama yaitu menghormati kedaulatan negara lain
Pengertian
doktrin tindakan negara tidak saja mencakup pelaksanaan kedaulatan
oleh kekuasaan eksekutif atau administratif dari suatu
negara merdeka dan berdaulat, atau aparat-aparatnya atau pejabat-pejabatnya
yang sah. Tetapi merupakan tindakan-tindakan legislatif dan administratif
seperti Undang-undang, dan Peraturan Pemerintah. Oleh karena itu, doktrin
tindakan negara akan muncul dalam berbagai
bentuknya, seperti suatu doktrin pemerintah asing untuk menyita harta
kekayaan di dalam yurisdiksinya yang dipermasalahkan oleh pihak swasta yang
mendasarkan keabsahan haknya atas suatu pembelian dari pemerintah asing.
Di
negara-negara Anglo Saxon, Inggris dan Amerika
serikat, hakim-hakimnya telah memegang teguh doktrin tindakan negara ini. Jika
suatu tindakan berasal dari negara berdaulat yang diakui oleh pemerintah negara
mereka, maka hakim di negara-negara Anglo Saxon akan menyatakan tidak
berwenang untuk mengadakan pengujian terhadap perbuatan-perbuatan negara yang
telah diakui sebagai negara berdaulat (iure imperii). Contoh klasik
doktrin tindakan negara telah diterapkan pada kasus Luther lawan Sagor di
Pengadilan Inggris pada tahun 1921, dari kasus tersebut dapat disimpulkan bahwa
doktrin tindakan negara tidak memiliki
otoritas lebih tinggi dibandingkan dengan sejumlah putusan
Mahkamah Agung Amerika Serikat, seperti dalam perkara Underhill.
Namun,
tampaknya putusan pengadilan Inggris telah memberikan pengaruh lebih penting
dalam penerapan doktrin ini. Prinsip doktrin tindakan negara dalam
bentuknya yang modern dapat diketahui dari kasus Hatch lawan Baez. Hakim
Gilbert yang menangani kasus tersebut menyatakan :
“Berdasarkan
sikap saling menghormati di antara bangsa-bangsa dan hukum internasional,
pengadilan suatu negara tidak dapat mengadili tindakan-tindakan dari pemerintah
negara lain yang dilakukan di dalam wilayahnya sendiri” Dalam kasus tersebut,
sebagaimana telah diputuskan oleh Hakim Gilbert tindakan-tindakan yang
dilakukan oleh tergugat sesuai dengan kapasitasnya sebagai Presiden Republik
San Domingo, yang dianggap cukup untuk dijadikan
dasar keputusan Pengadilan mengenai kekebalan pribadi
yang dinikmati pejabat-pejabat pemerintah negara asing atas
tindakannya yang dilakukan sesuai kapasitasnya. Sehubungan
dengan hal tersebut, pengadilan menyimpulkan hal-hal sebagai
berikut:
“Meskipun
individu tersebut kebal terhadap gugatan pengadilan asing, tetapi pelaksanaan
kedaulatan suatu negara harus memelihara perdamaian dan
harmonisasi di antara bangsa-bangsa
Dari
simpulan ini tampak bukan saja negara yang dipandang mempunyai kekebalan (ratione
personae), tetapi juga tindakan-tindakannya harus dianggap kebal dan tidak
dapat diuji oleh hakim asing. Inilah suatu
imunitas ratione materae atau juga doktrin tindakan negara.
Untuk
mengantisipasi kasus-kasus selanjutnya, perlu adanya keselarasan antara
pengadilan dengan pihak organ negara terkait, terutama dalam kaitannya dengan
tindakan-tindakan negara asing yang berdaulat untuk menerapkan dan
mengakui hak-hak negara asing yang didasarkan pada niat baik yang
dituntut pada kehidupan masyarakat internasioal
yang merupakan bangsa-bangsa beradab.
Di
samping itu, batas-batas doktrin tindakan negara dapat
ditemui melalui peraturan-peraturan yang biasa digunakan dalam Conflict
of Laws. Sehubungan dengan hal tersebut dapat dikemukakan : (a) jika
negara asing yang berdaulat atau wakil-wakilnya
sebagai tergugat, caedit questio,
berlaku doktrin kekebalan negara; (b) jika tindakan negara
tersebut menimbulkan gugatan di antara pihak-pihak swasta, dan sengketa
tersebut kemudian mengarah pada hukum asing, maka hukum yang berlaku adalah
hukum perdata internasional; (c) jika kerugian dilakukan berdasarkan lex
loci delicti commisi, maka pengadilan forum harus menanganinya jika
tergugat setuju atas gugatan tersebut; (d) jika suatu konfiskasi atas harta benda
telah terjadi, maka lex rei sitae akan berlaku, jia tidak bertentangan
dengan hukum internasional; (e) jika keabsahan suatu Undang-undang negara asing
menjadi masalah, maka hakim harus dapat menempatkan kedudukannya agar tidak
bertentangan dengan negara asing tersebut.
Bankes
yang melakukan pendekatan dari segi hukum perdata internasional, mengatakan
bahwa pada kenyataannya lex rei sitae didasarkan pada pertimbangan
kebijaksanaan publik negara forum (public policy of the forum)
yang tidak dapat dihindari. Selanjutnya Warrington mengatakan, bahwa pada prinsipnya keabsahan
tindakan-tindakan suatu negara yang merdeka dan berdaulat, baik yang berkaitan
dengan harta benda maupun orang tidak dapat
diuji oleh pengadilan suatu negara selama tindakan tersebut berada dalam
yurisdiksinya.
Berdasarkan
uraian di atas, bermacam-macam pendapat mengenai doktrin tindakan negara, tidak
perlu dibandingkan apakah doktrin tersebut
merupakan ketentuan hukum internasional publik
atau apakah harus dikarakteristikan sebagai ketentuan hukum perdata intenasional.
Karena tidak ada prinsip hukum internasional publik yang mensyaratkan
penerimaan ketentuan tersebut melalui pengadilan nasional. Dan tidak
pernah ada gugatan di pengadilan internasional sebagai akibat gagalnya
menerapkan doktrin tindakan negara.
Daftar
Pustaka:
Andras
Bragyova, Reflection Immunity of State from the Point of View of
International Law, in Question of International Law, Hanna Bokor-Szego ed.,
Kluwer, 1986
Bistline-Loomis,
The Foreign Soverign Immunities Act in Practice, AJIL vol. 73, 1979
D.P.
O’Connel, International Law, London, 1965
Gerald
Fitzmaurice, State Immunity from Proceedingin Foreign Courts, BYIL vol.14/1933
Gerald
von Glahn, Law Among Nation, New York, 1981
Ian
Brownlie, Principles of Public International Law, Clarendon
Press, London, 1990
Ita
Gambiro, Perjanjian Lisensi dan Technical Assistence, Pusat Pengkajian
Hukum, Jakarta, 1990
JHL
Morris, Cases on Private International Law, London, 1960
Michael
Singer, The Act of State Doctrine of the United Kingdom an Analysis
With Comparison to United States Practice, AJIL 75/1981
Michael
Zander, The Act of State Doctrine, in The International Law in Twentieth
Century, New York, 1966
Mochtar
Kusumaatmadja & Eti R. Agoes, Pengantar Hukum Internasional, PT.
Alumni Bandung, 2003,
Putusan
United States Court of Appeal, 5th, circuit, Aprl. 25-1979
Komentar
Posting Komentar