Konvensi Jenewamerupakan salah satu konvensi yang berlangsung di Jenewa, Swiss.
Pasal 3 Konvensi Jenewa tahun 1949 meletakkan dasar Hukum Humaniter dengan merumuskan bahwa dalam masa konflik bersenjata. Maka, orang-orang yang dilindugi oleh konvensi ini harus "in all circumstances be treated humanely, without any adverse distinction founded on race, color, religion or faith, sex, birth, or wealth, or other similar criteria…" padahal sebelum tahun 1949, perlindungan hukum hanya diberikan pada personel militer.
Konvensi-konvensi Jenewa meliputi empat perjanjian (treaties)
dan tiga protokol tambahan yang menetapkan standar dalam hukum internasional (international
law) mengenai perlakuan kemanusiaan bagi korban perang. Istilah Konvensi
Jenewa, dalam bentuk tunggal, mengacu pada persetujuan-persetujuan 1949, yang
merupakan hasil perundingan yang dilakukan seusai Perang Dunia II.
Persetujuan-persetujuan tersebut berupa diperbaharuinya ketentuan-ketentuan
pada tiga perjanjian yang sudah ada dan diadopsinya perjanjian keempat. Rumusan
keempat perjanjian 1949 tersebut ekstensif, yaitu berisi pasal-pasal yang
menetapkan hak-hak dasar bagi orang yang tertangkap dalam konflik militer,
pasal-pasal yang menetapkan perlindungan bagi korban luka, dan pasal-pasal yang
menyikapi masalah perlindungan bagi orang sipil yang berada di dalam dan di
sekitar kawasan perang. Keempat perjanjian 1949 tersebut telah diratifikasi,
secara utuh ataupun dengan reservasi, oleh 194 negara.Pasal 3 Konvensi Jenewa tahun 1949 meletakkan dasar Hukum Humaniter dengan merumuskan bahwa dalam masa konflik bersenjata. Maka, orang-orang yang dilindugi oleh konvensi ini harus "in all circumstances be treated humanely, without any adverse distinction founded on race, color, religion or faith, sex, birth, or wealth, or other similar criteria…" padahal sebelum tahun 1949, perlindungan hukum hanya diberikan pada personel militer.
Konvensi-konvensi Jenewa tidak berkenaan dengan penggunaan senjata perang, karena permasalahan tersebut dicakup oleh Konvensi-konvensi Den Haag 1899 dan 1907 dan Protokol Jenewa.
"Orang yang dilindungi berhak, dalam segala keadaan, untuk memperoleh penghormatan atas dirinya, martabatnya, hak-hak keluarganya, keyakinan dan ibadah keagamaannya, dan kebiasaan serta adat-istiadatnya. Mereka setiap saat diperlakukan secara manusiawi dan dilindungi, terutama terhadap segala bentuk kekerasan atau ancaman kekerasan dan terhadap penghinaan dan keingintahuan publik. Perempuan dilindungi secara istimewa terhadap setiap penyerangan atas martabatnya, terutama terhadap pemerkosaan, pelacuran paksa, atau setiap bentuk penyerangan tidak senonoh (indecent assault). Tanpa merugikan ketentuan-ketentuan mengenai keadaan kesehatan, usia, dan jenis kelamin, semua orang yang dilindungi diperlakukan dengan penghormatan yang sama oleh Peserta konflik yang menguasai mereka, tanpa pembeda-bedaan merugikan yang didasarkan pada, terutama, ras, agama, atau opini politik. Namun, Peserta konflik boleh mengambil langkah-langkah kontrol dan keamanan menyangkut orang-orang yang dilindungi sebagaimana yang mungkin diperlukan sebagai akibat dari perang yang bersangkutan." (Pasal 27, Konvensi Jenewa Keempat)
Pada tahun
1862, Henry Dunant menerbitkan
bukunya, Memory of Solferino (Kenangan Solferino), mengenai kengerian
perang. Pengalaman Dunant menyaksikan perang mengilhaminya untuk mengusulkan:
- dibentuknya
perhimpunan bantuan yang permanen untuk memberikan bantuan kemanusiaan
pada masa perang, dan
- dibentuknya
perjanjian antarpemerintah yang mengakui kenetralan perhimpunan tersebut
dan memperbolehkannya memberikan bantuan di kawasan perang.
Usulan yang
pertama berujung pada dibentuknya Palang Merah (Red Cross) sedangkan usulan
yang kedua berujung pada dibentuknya Konvensi Jenewa Pertama. Atas kedua
pencapaian ini, Henry Dunant pada tahun 1901 menjadi salah seorang penerima Penghargaan Nobel Perdamaian
yang untuk pertama kalinya dianugerahkan.
Kesepuluh
pasal Konvensi Jenewa Pertama diadopsi untuk pertama kalinya pada tanggal 22
Agustus 1864 oleh dua belas negara. Clara Barton memainkan peran penting dalam
mengkampanyekan peratifikasian Konvensi Jenewa Pertama oleh Amerika Serikat,
yang akhirnya meratifikasi konvensi tersebut pada tahun 1882.
Perjanjian
yang kedua diadopsi untuk pertama kalinya dalam Konvensi Jenewa untuk Perbaikan
Keadaan Anggota Angkatan Bersenjata yang Terluka dan Sakit di Laut, yang
ditandatangani pada tanggal 6 Juli 1906 dan secara spesifik berkenaan dengan
anggota Angkatan Bersenjata di laut. Perjanjian ini dilanjutkan dalam Konvensi
Jenewa mengenai Perlakuan Tawanan Perang, yang ditandatangani pada tanggal 27
Juli 1929 dan mulai berlaku pada tanggal 19 Juni 1931. Terinspirasi oleh
gelombang antusiasme akan kemanusiaan dan perdamaian yang muncul seusai Perang
Dunia II dan oleh kegusaran publik atas berbagai kejahatan perang yang terungkap
dalam Pengadilan
Nuremberg, maka pada tahun 1949 diadakan serangkaian konferensi dengan hasil berupa
diteguhkan, diperluas, dan diperbaharuinya ketiga Konvensi Jenewa yang sudah
ada dan diadopsinya Konvensi Jenewa mengenai Perlindungan Orang Sipil di Masa
Perang, sebuah perjanjian yang baru dan rinci.
Meskipun
sudah cukup rinci, di kemudian hari perjanjian-perjanjian tersebut didapati
masih belum lengkap. Justru, hakikat konflik bersenjata (armed conflicts) itu
sendiri mengalami perubahan sejak dimulainya era Perang Dingin sehingga
banyak pihak akhirnya berpendapat bahwa Konvensi-konvensi Jenewa 1949 menyikapi
realitas yang sebagian besar sudah punah. Di satu pihak, sebagian besar konflik
bersenjata yang terjadi dalam era Perang Dingin adalah konflik bersenjata
internal atau perang saudara. Di lain pihak, semakin banyak dari perang yang terjadi
adalah perang asimetris. Lebih-lebih, konflik bersenjata moderen memakan korban
yang semakin lama semakin banyak di kalangan orang sipil. Perubahan-perubahan
tersebut menimbulkan kebutuhan untuk menyediakan perlindungan yang nyata bagi
orang dan objek sipil pada masa konflik bersenjata, dan ini berarti perlunya
dilakukan pembaharuan terhadap Konvensi Den Haag 1899 dan 1907. Dengan
mengingat perkembangan-perkembangan tersebut, maka pada tahun 1977 diadopsi dua
Protokol yang memperluas Konvensi-konvensi Jenewa 1949 dengan sejumlah
ketentuan yang memberikan perlindungan tambahan. Pada tahun 2005, sebuah
Protokol ketiga diadopsi pula. Protokol yang ringkas ini menetapkan sebuah
tanda perlindungan (protective sign) tambahan bagi dinas kesehatan
angkatan bersenjata, yaitu Kristal Merah, sebagai alternatif untuk lambang
Palang Merah dan Bulan Sabit Merah yang dipakai di mana-mana itu, yaitu bagi
negara-negara yang merasa kedua lambang ini kurang tepat.
Konvensi-konvensi
Jenewa terdiri dari berbagai aturan yang berlaku pada masa konflik bersenjata,
dengan tujuan melindungi orang yang tidak, atau sudah tidak lagi, ikut serta
dalam permusuhan, antara lain:
- kombatan
yang terluka atau sakit
- tawanan
perang
- orang
sipil
- personel
dinas medis dan dinas keagamaan
Dalam ranah
diplomasi, istilah konvensi mempunyai arti yang lain dari artinya yang biasa,
yaitu pertemuan sejumlah orang. Dalam diplomasi, konvensi mempunyai arti
perjanjian internasional atau traktat. Ketiga Konvensi Jenewa yang terdahulu
direvisi dan diperluas pada tahun 1949, dan pada tahun itu juga ditambahkan
Konvensi Jenewa yang keempat.
- Konvensi
Jenewa Pertama (First Geneva Convention), mengenai Perbaikan Keadaan
Anggota Angkatan Bersenjata yang Terluka dan Sakit di Darat, 1864
- Konvensi
Jenewa Kedua (Second Geneva Convention), mengenai Perbaikan Keadaan
Anggota Angkatan Bersenjata yang Terluka, Sakit, dan Karam di Laut, 1906
- Konvensi
Jenewa Ketiga (Third Geneva Convention), mengenai PerlakuanTawanan Perang,
1929
- Konvensi
Jenewa Keempat (Fourth Geneva Convention), mengenai Perlindungan Orang
Sipil di Masa Perang, 1949
Satu
rangkaian konvensi yang terdiri dari empat konvensi ini secara keseluruhan
disebut sebagai “Konvensi-konvensi Jenewa 1949” atau, secara lebih
sederhana, “Konvensi Jenewa”.
Konvensi-konvensi
Jenewa 1949 telah dimodifikasi dengan tiga protokol amandemen, yaitu:
- Protokol
I (1977), mengenai Perlindungan Korban Konflik Bersenjata Internasional
- Protokol
II (1977), mengenai Perlindungan Konflik Bersenjata Non-internasional
- Protokol
III (2005), mengenai Adopsi Lambang Pembeda Tambahan
Aplikasi
Konvensi-konvensi
Jenewa berlaku pada masa perang dan konflik bersenjata, yaitu bagi pemerintah
yang telah meratifikasi ketentuan-ketentuan konvensi tersebut. Ketentuan rinci
mengenai aplikabilitas Konvensi-konvensi Jenewa diuraikan dalam Pasal 2 dan 3
Ketentuan yang Sama. Masalah aplikabilitas ini telah menimbulkan sejumlah
kontroversi. Ketika Konvensi-konvensi Jenewa berlaku, maka pemerintah harus
merelakan sebagian tertentu dari kedaulatan nasionalnya (national sovereignty)
untuk dapat mematuhi hukum internasional. Konvensi-konvensi Jenewa bisa saja
tidak sepenuhnya selaras dengan konstitusi atau nilai-nilai budaya sebuah
negara tertentu. Meskipun Konvensi-konvensi Jenewa menyediakan keuntungan bagi
individu, tekanan politik bisa membuat pemerintah menjadi enggan untuk menerima
tanggung jawab yang ditimbulkan oleh konvensi-konvensi tersebut.
Pasal 2 Ketentuan yang Sama, mengenai Konflik
Bersenjata Internasional
Pasal ini
menyatakan bahwa Konvensi-konvensi Jenewa berlaku pada semua kasus konflik
internasional di mana sekurang-kurangnya satu dari negara-negara yang berperang
telah meratifikasi Konvensi-konvensi tersebut. Terutama:
- Konvensi-konvensi
Jenewa berlaku pada semua kasus perang yang dideklarasikan (declared
war) antara negara-negara penandatangan. Pengertian ini merupakan
pengertian yang asli tentang aplikabilitas dan mendahului pengertian versi
1949.
- Konvensi-konvensi
Jenewa berlaku pada semua kasus konflik bersenjata antara dua negara
penandatangan atau lebih, pun tanpa adanya deklarasi perang. Pengertian
ini ditambahkan pada tahun 1949 untuk mengakomodasi situasi-situasi yang
mempunyai seluruh karakteristik perang walaupun tanpa deklarasi perang
yang formal, misalnya aksi polisional (police action).
- Konvensi-konvensi
Jenewa berlaku bagi negara penandatangan walaupun negara lawan bukan
penandatangan, tetapi hanya jika negara lawan tersebut “menerima dan
menerapkan ketentuan-ketentuan” Konvensi-konvensi ini.
Pasal 1
Protokol I lebih lanjut mengklarifikasi bahwa konflik bersenjata melawan
dominasi penjajah atau pendudukan asing juga berkualifikasi sebagai konflik
internasional. Bila kriteria tentang konflik internasional terpenuhi, maka
perlindungan yang disediakan oleh Konvensi-konvensi tersebut dianggap berlaku
sepenuhnya. zzzz
Pasal 3 Ketentuan yang Sama, mengenai Konflik
Bersenjata Non-internasional
Pasal ini
menyatakan bahwa aturan-aturan minimum tertentu tentang perang sebagaimana
terdapat di dalamnya juga berlaku pada konflik bersenjata yang tidak
berkarakter internasional tetapi berlangsung di dalam batas-batas wilayah
sebuah negara. Aplikabilitas pasal ini bersandar pada penafsiran tentang istilah
konflik bersenjata. Misalnya, pasal tersebut berlaku pada konflik antara
pasukan Pemerintah dan pasukan pemberontak atau antara dua pasukan pemberontak
atau pada konflik lain yang mempunyai seluruh karakteriastik perang tetapi
berlangsung di dalam batas-batas wilayah sebuah negara. Sekelompok kecil
individu yang melakukan penyerangan terhadap markas kepolisian tidak dianggap
sebagai konflik bersenjata yang tunduk pada pasal ini, tetapi sebagai konflik
bersenjata yang tunduk hanya pada hukum nasional negara yang bersangkutan.
Dalam
konflik bersenjata non-internasional, yang berlaku dari Konvensi-konvensi
Jenewa bukanlah seluruh ketentuannya tetapi hanya ketentuan dalam jumlah
terbatas sebagaimana terdapat dalam redaksi Pasal 3 dan, di samping itu, dalam
redaksi Protokol II. Alasan pembatasan tersebut ialah bahwa banyak pasal dari
Konvensi-konvensi Jenewa akan bertentangan dengan hak-hak Negara Berdaulat.
Ringkasnya:
- Orang
yang tidak ambil bagian aktif dalam permusuhan diperlakukan secara
manusiawi (termasuk anggota militer yang sudah tidak ambil bagian aktif
lagi karena sakit, cedera, atau tertawan).
- Korban
luka dan korban sakit dikumpulkan dan dirawat serta diperlakukan dengan
respek.
Penegakan
Kuasa Perlindungan
Istilah
kuasa perlindungan (protecting power) mempunyai arti spesifik
berdasarkan Konvensi-konvensi ini. Kuasa perlindungan ialah sebuah negara yang
tidak ikut serta dalam sebuah konflik bersenjata tetapi setuju untuk mengurus
kepentingan sebuah negara lain yang menjadi peserta konflik tersebut. Kuasa
perlindungan berfungsi sebagai mediator yang memungkinkan terjadinya komunikasi
antara pihak-pihak peserta konflik. Kuasa perlindungan juga berfungsi memantau
implementasi Konvensi-konvensi ini, misalnya dengan cara mengunjungi kawasan
konflik dan tawanan perang. Kuasa perlindungan harus bertindak sebagai
pendamping (advocate) bagi tawanan, korban luka, dan orang sipil.
Pelanggaran berat
Tidak semua
pelanggaran atas Konvensi-konvensi Jenewa diperlakukan setara. Kejahatan yang
paling serius disebut dengan istilah pelanggaran berat (grave breaches)
dan secara hukum ditetapkan sebagai kejahatan perang (war crime).
Pelanggaran berat atas Konvensi Jenewa Kedua dan Ketiga antara lain adalah
tindakan-tindakan berikut ini jika dilakukan terhadap orang yang dilindungi
oleh konvensi tersebut:
- pembunuhan
sengaja, penyiksaan, atau perlakuan tidak manusiawi, termasuk eksperimen
biologi
- dengan
sengaja menyebabkan penderitaan besar atau cedera serius terhadap jasmani
atau kesehatan
- memaksa
orang untuk berdinas di angkatan berrsenjata sebuah negara yang bermusuhan
- dengan
sengaja mencabut hak atas pengadilan yang adil (right to a fair trial)
dari seseorang
Tindakan
berikut ini juga dianggap sebagai pelanggaran berat atas Konvensi Jenewa
Keempat:
- penyanderaan
- penghancuran
dan pengambilalihan properti secara ekstensif yang tidak dapat dibenarkan
berdasarkan prinsip kepentingan militer dan dilaksanakan secara melawan
hukum dan secara tanpa alasan.
- deportasi,
pemindahan, atau pengurungan yang melawan hukum
Negara yang
menjadi peserta Konvensi-konvensi Jenewa harus memberlakukan dan menegakkan
peraturan perundang-undangan yang menghukum setiap kejahatan tersebut.
Negara-negara juga berkewajiban mencari orang yang diduga telah melakukan
kejahatan tersebut, atau yang diduga telah memerintahkan dilakukannya kejahatan
tersebut, serta mengadili orang tersebut, apapun kebangsaan orang tersebut dan
di mana pun kejahatan tersebut dilakukan. Prinsip yurisdiksi universal ini juga
berlaku bagi penegakan hukum atas pelanggaran berat. Untuk tujuan itulah maka
Mahkamah Pidana Internasional untuk Rwanda (International Criminal Tribunal
for Rwanda) dan Mahkamah Pidana Internasional untuk eks-Yugoslavia (International
Criminal Tribunal for the former Yugoslavia) dibentuk oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk melakukan penuntutan atas berbagai pelanggaran
yang diduga telah terjadi.
Konvensi-konvensi Jenewa dewasa ini
Meskipun
peperangan telah mengalami perubahan dramatis sejak diadopsinya
Konvensi-konvensi Jenewa 1949, konvensi-konvensi tersebut masih dianggap
sebagai batu penjuru Hukum Humaniter Internasional kontemporer. Konvensi-konvensi
tersebut melindungi kombatan yang berada dalam keadaan hors de combat (tidak
dapat ikut bertempur lagi) serta melindungi orang sipil yang terjebak dalam
kawasan perang. Perjanjian-perjanjian tersebut menjalankan fungsinya dalam
semua konflik bersenjata internasional yang belum lama ini terjadi, termasuk
Perang Afghanistan (2001- sekarang), Invasi Irak 2003, invasi
Chechnya (1994-sekarang), dan Perang di Georgia (2008). Peperangan moderen
terus mengalami perubahan, dan dewasa ini proporsi konflik bersenjata yang
bersifat non-internasional semakin meningkat [misalnya: Perang Saudara di Sri
Lanka, Perang Saudara di Sudan, dan Konflik Bersenjata di Kolombia. Pasal 3
Ketentuan yang Sama menangani situasi-situasi tersebut, dengan dilengkapi oleh
Protokol II (1977). Pasal dan protokol tersebut menguraikan standar hukum
minimum yang harus diikuti untuk konflik internal. Mahkamah internasional,
terutama Mahkamah Pidana Internasional untuk eks-Yugoslavia, telah membantu
mengklarifikasi hukum internasional di bidang tersebut. Dalam putusannya
mengenai kasus Jaksa Penuntut v. Dusko Tadic tahun 1999, Mahkamah Pidana
Internasional untuk bekas Yugoslavia menetapkan bahwa pelanggaran berat berlaku
tidak hanya pada konflik internasional, tetapi juga pada konflik bersenjata
internal. Lebih lanjut, Pasal 3 Ketentuan yang Sama dan Protokol II dianggap
sebagai hukum internasional kebiasaan (customary
international law), yang memungkinkan dilakukannya penuntutan atas
kejahatan perang yang dilakukan oleh kelompok-kelompok yang belum secara formal
menerima ketentuan-ketentuan Konvensi Jenewa.
KONVENSI
MONTEVIDEO
Konvensi-konvensi
Den Haag adalah dua
perjanjian internasional sebagai hasil perundingan yang dilakukan dalam
konferensi-konferensi perdamaian internasional di Den Haag, Belanda: Konvensi
Den Haag Pertama (1899) dan Konvensi Den Haag Kedua (1907). Bersama Konvensi-konvensi Jenewa,
Konvensi-konvensi Den Haag adalah sebagian dari pernyataan-pernyataan formal
pertama tentang hukum perang dan kejahatan perang dalam
batang tubuh Hukum Internasional yang baru berkembang pada waktu
itu. Konferensi internasional yang ketiga direncanakan untuk diadakan pada
tahun 1914 dan kemudian dijadwal ulang untuk tahun 1915. Namun, konferensi
tersebut tidak pernah terlaksana karena pecahnya Perang Dunia I. Walther
Schücking, seorang sarjana hukum internasional dan aktivis perdamaian aliran
neo-Kant dari Jerman, menyebut konferensi-konferensi tersebut sebagai “serikat
internasional konferensi Den Haag”. Dia melihat konferensi-konferensi tersebut
sebagai inti dari sebuah federasi internasional yang akan mengadakan pertemuan
berkala untuk menegakkan keadilan dan menyusun prosedur hukum internasional
bagi penyelesaian damai atas sengketa. Dia menegaskan bahwa “dengan
diselenggarakannya Konferensi yang Pertama dan Kedua itu, sebuah serikat
politik yang pasti yang terdiri dari negara-negara di dunia telah tercipta.”
Berbagai badan yang dibentuk oleh Konferensi-konferensi tersebut, antara lain Pengadilan Arbitrase Permanen, adalah
“agen-agen atau organ-organ serikat tersebut.”
Usaha besar
dalam kedua konferensi tersebut ialah untuk membentuk sebuah pengadilan
internasional yang mengikat yang melakukan arbitrase wajib untuk menyelesaikan
sengketa internasional, sebuah pengadilan yang waktu itu dianggap perlu untuk
menggantikan institusi perang. Namun, usaha ini tidak mencapai sukses dalam
konferensi 1899 maupun 1907. Konferensi Pertama secara umum sukses dan berfokus
pada usaha perlucutan senjata. Konferensi Kedua gagal menciptakan pengadilan
internasional yang mengikat yang melakukan arbitrase wajib, tetapi berhasil
memperbesar mekanisme arbitrase sukarela. Konferensi ini menetapkan sejumlah
konvensi yang mengatur penagihan utang, aturan perang, dan hak serta kewajiban
negara netral. Selain merundingkan perlucutan senjata dan arbitrase wajib,
kedua konferensi tersebut juga merundingkan hukum perang dan kejahatan
perang. Dalam
Perang Dunia I, banyak dari aturan-aturan yang ditetapkan dalam
Konvensi-konvensi Den Haag dilanggar, terutama oleh Jerman.
Sebagian
besar negara besar (great powers), termasuk Amerika Serikat, Inggris,
Rusia, Prancis, China, dan Kekaisaran Persia, lebih
menyukai arbitrase internasional yang mengikat, tetapi syaratnya ialah bahwa
proses voting harus menghasilkan persetujuan dengan suara bulat. Beberapa
negara, dengan dipimpin oleh Jerman, memveto gagasan ini.
Konvensi Den Haag 1899
Konferensi
perdamaian 1899 diselenggarakan atas usulan yang disampaikan pada tanggal 29
Agustus 1898 oleh Nicolai II dari Rusia. Nicolai dan menteri luar
negerinya, yaitu seorang bangsawan bernama Mikhail Nikolayevich Muravyov, memainkan
peran penting dalam mengawali proses penyelenggaraan konferensi tersebut.
Konferensi ini diselenggarakan mulai tanggal 18 Mei 1899 dan menghasilkan
Konvensi Den Haag 1899, yang ditandatangani pada tanggal 29 Juli tahun yang
sama dan mulai berlaku pada tanggal 4 September 1900. Konvensi Den Haag 1899
terdiri dari empat bagian utama dan tiga deklarasi tambahan (karena alasan
tertentu, bagian utama yang terakhir identik dengan deklarasi tambahan yang
pertama dan kedua haruslah diperhatikan sebagaimana yang dimaksud pada ayat
pertama :
- I –
Penyelesaian Damai atas Sengketa Internasional (Pacific Settlement of
International Disputes)
- II –
Hukum dan Kebiasaan Perang Darat (Laws and Customs of War on Land)
- III –
Penyesuaian Prinsip-prinsip Konvensi Jenewa 1864 terhadap Peperangan Laut
(Adaptation to Maritime Warfare of Principles of Geneva Convention of
1864)
- IV –
Larangan Peluncuran Proyektil dan Bahan Peledak dari Balon (Prohibiting
Launching of Projectiles and Explosives from Balloons)
- Deklarasi
I – Mengenai Peluncuran Proyektil dan Bahan Peledak dari Balon (On the
Launching of Projectiles and Explosives from Balloons)
- Deklarasi
II – Mengenai Penggunaan Proyektil yang Tujuannya Ialah Menyebarkan Gas
Pencekik atau Gas Perusak (On the Use of Projectiles the Object of
Which is the Diffusion of Asphyxiating or Deleterious Gases)
- Deklarasi
III – Mengenai Penggunaan Peluru yang Mengembang atau Merata dengan Mudah
dalam Tubuh Manusia (On the Use of Bullets Which Expand or Flatten
Easily in the Human Body)
Efek utama
dari Konvensi tersebut ialah dilarangnya penggunaan teknologi moderen
jenis-jenis tertentu dalam perang: pemboman dari udara, perang kimia (chemical
warfare), dan peluru dengan ujung berongga (hollow point bullets).
Konvensi Den Haag 1899 juga menetapkan dibentuknya Pengadilan Arbitrase
Permanen (''Permanent Court of Arbitration'').
Konvensi Den Haag 1907
Konferensi
perdamaian yang kedua diadakan pada tahun 1907. Konferensi ini secara umum
gagal dan hanya menghasilkan beberapa keputusan. Namun, bertemunya
negara-negara besar dalam konferensi ini menjadi model bagi upaya-upaya kerja
sama internasional yang dilakukan di kemudian hari di abad ke-20.
Konferensi
yang kedua ini sebenarnya telah diserukan akan diadakan pada tahun 1904, atas
saran Presiden Theodore
Roosevelt, tetapi ditunda karena terjadinya perang antara Rusia dan Jepang.
Konferensi Perdamaian Kedua tersebut kemudian diadakan dari tanggal 15 Juni
sampai dengan 18 Oktober 1907 untuk memperluas isi Konvensi Den Haag yang
semula, dengan mengubah beberapa bagian dan menambahkan sejumlah bagian lain,
dengan fokus yang lebih besar pada perang laut. Pihak Inggris mencoba
mengegolkan ketentuan mengenai pembatasan persenjataan, tetapi usaha ini
digagalkan oleh sejumlah negara lain, dengan dipimpin oleh Jerman, karena
Jerman khawatir bahwa itu merupakan usaha Inggris untuk menghentikan
pertumbuhan armada Jerman. Jerman juga menolak usulan tentang arbitrase wajib.
Namun, konferensi tersebut berhasil memperbesar mekanisme untuk arbitrase
sukarela dan menetapkan sejumlah konvensi yang mengatur penagihan utang, aturan
perang, dan hak serta kewajiban negara netral
Perjanjian
Final ditandatangani pada tanggal 18 Oktober 1907 dan mulai berlaku pada
tanggal 26 Januari 1910. Perjanjian ini terdiri dari tiga belas seksi, yang dua
belas di antaranya diratifikasi dan berlaku:
- I —
Penyelesaian Damai atas Sengketa Internasional
- II —
Pembatasan Penggunaan Kekuatan untuk Penagihan Utang Kontrak
- III —
Pembukaan Permusuhan
- IV —
Hukum dan Kebiasaan Perang Darat
- V — Hak
dan Kewajiban Negara dan Orang Netral Bilamana Terjadi Perang Darat
- VI —
Status Kapal Dagang Musuh Ketika Pecah Permusuhan
- VII —
Konversi Kapal Dagang Menjadi Kapal Perang
- VIII —
Penempatan Ranjau Kontak Bawah Laut Otomatis
- IX —
Pemboman oleh Pasukan Angkatan Laut di Masa Perang
- X —
Penyesuaian Prinsip-prinsip Konvensi Jenewa terhadap Perang Laut
- XI —
Pembatasan Tertentu Menyangkut Pelaksanaan Hak Menangkap dalam Perang Laut
- XII —
Pendirian Pengadilan Hadiah Internasional (Tidak diratifikasi]
- XIII –
Hak dan Kewajiban Negara Netral dalam Perang Laut
Selain itu
ditandatangani pula dua deklarasi:
- Deklarasi
I — yang isinya memperluas isi Deklarasi II dari Konferensi 1899 untuk
mencakup jenis-jenis lain dari pesawat terbang
- Deklarasi
II —- mengenai arbitrase wajib
Delegasi
Brazil dipimpin oleh negarawan Ruy Barbosa, yang kontribusinya sangat penting
bagi dipertahankannya prinsip kesetaraan hukum negara-negara. Delegasi Inggris
beranggotakan antara lain 11th Lord Reay (Donald James Mackay), Sir Ernest Satow, dan Eyre Crowe. Delegasi Rusia dipimpin oleh Fyodor Martens.
==Protokol
Jenewa untuk Konvensi Den Haag Meskipun tidak dirundingkan di Den Haag, Prokol
Jenewa untuk Konvensi Den Haag dianggap sebagai tambahan untuk Konvensi
tersebut. Protokol yang ditandatangani pada tanggal 17 Juni 1925 dan mulai
berlaku pada tanggal 8 Februari 1928 ini secara permanen melarang penggunaan
segala bentuk cara perang kimia dan cara perang biologi. Protokol yang hanya mempunyai
satu seksi ini berjudul “Protokol Pelarangan atas Penggunaan Gas Pencekik, Gas
Beracun, atau Gas-gas Lain dalam Perang dan atas Penggunaan Cara-Cara Berperang
dengan Bakteri” (Protocol for the Prohibition of the Use in War of
Asphyxiating, Poisonous or Other Gases, and of Bacteriological Methods of
Warfare). Protokol ini disusun karena semakin meningkatnya kegusaran publik
terhadap perang kimia menyusul dipergunakannya gas mustard dan agen-agen serupa
dalam Perang Dunia
I dan karena
adanya kekhawatiran bahwa senjata kimia dan senjata biologi bisa menimbulkan
konsekuensi-konsekuensi mengerikan dalam perang di kemudian hari. Hingga hari
ini, protokol tersebut telah diperluas dengan Konvensi Senjata Biologi (''Biological Weapons Convention'') (1972) dan
Konvensi Senjata Kimia (''Chemical Weapons Convention'') (1993).
Komentar
Posting Komentar