UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2010 TENTANG PENCEGAHAN DAN PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 8 TAHUN 2010
NOMOR 8 TAHUN 2010
TENTANG
PENCEGAHAN DAN PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang
|
:
|
a.
|
bahwa tindak pidana Pencucian Uang
tidak hanya mengancam stabilitas perekonomian dan integritas sistem keuangan,
tetapi juga dapat membahayakan sendi-sendi kehidupan bermasyarakat,
berbangsa, dan bernegara berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945;
|
|||
b.
|
bahwa pencegahan dan pemberantasan
tindak pidana Pencucian Uang memerlukan landasan hukum yang kuat untuk
menjamin kepastian hukum, efektivitas penegakan hukum, serta penelusuran dan
pengembalian Harta Kekayaan hasil tindak pidana;
|
|||||
c.
|
bahwa Undang-Undang Nomor 15 Tahun
2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang sebagaimana telah diubah dengan
Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2003 perlu disesuaikan dengan perkembangan
kebutuhan penegakan hukum, praktik, dan standar internasional sehingga perlu
diganti dengan undang-undang baru;
|
|||||
d.
|
bahwa berdasarkan pertimbangan
sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c, perlu membentuk
Undang-Undang tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian
Uang;
|
|||||
Mengingat
|
:
|
|||||
Dengan Persetujuan
Bersama
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA dan PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA |
||||||
MEMUTUSKAN:
|
||||||
Menetapkan
|
:
|
UNDANG-UNDANG TENTANG PENCEGAHAN DAN
PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG.
|
||||
BAB I
KETENTUAN UMUM Pasal 1 |
||||||
Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud
dengan:
|
||||||
1.
|
Pencucian Uang adalah segala
perbuatan yang memenuhi unsur-unsur tindak pidana sesuai dengan ketentuan
dalam Undang-Undang ini.
|
|||||
2.
|
Pusat Pelaporan dan Analisis
Transaksi Keuangan yang selanjutnya disingkat PPATK adalah lembaga independen
yang dibentuk dalam rangka mencegah dan memberantas tindak pidana Pencucian
Uang.
|
|||||
3.
|
Transaksi adalah seluruh kegiatan
yang menimbulkan hak dan/atau kewajiban atau menyebabkan timbulnya hubungan
hukum antara dua pihak atau lebih.
|
|||||
4.
|
Transaksi Keuangan adalah Transaksi
untuk melakukan atau menerima penempatan, penyetoran, penarikan,
pemindahbukuan, pentransferan, pembayaran, hibah, sumbangan, penitipan,
dan/atau penukaran atas sejumlah uang atau tindakan dan/atau kegiatan lain
yang berhubungan dengan uang.
|
|||||
5.
|
Transaksi Keuangan Mencurigakan
adalah:
|
|||||
a.
|
Transaksi Keuangan yang menyimpang
dari profil, karakteristik, atau kebiasaan pola Transaksi dari Pengguna Jasa
yang bersangkutan;
|
|||||
b.
|
Transaksi Keuangan oleh Pengguna Jasa
yang patut diduga dilakukan dengan tujuan untuk menghindari pelaporan
Transaksi yang bersangkutan yang wajib dilakukan oleh Pihak Pelapor sesuai
dengan ketentuan Undang-Undang ini;
|
|||||
c.
|
Transaksi Keuangan yang dilakukan
atau batal dilakukan dengan menggunakan Harta Kekayaan yang diduga berasal
dari hasil tindak pidana; atau
|
|||||
d.
|
Transaksi Keuangan yang diminta oleh
PPATK untuk dilaporkan oleh Pihak Pelapor karena melibatkan Harta Kekayaan
yang diduga berasal dari hasil tindak pidana.
|
|||||
6.
|
Transaksi Keuangan Tunai adalah
Transaksi Keuangan yang dilakukan dengan menggunakan uang kertas dan/atau
uang logam.
|
|||||
7.
|
Pemeriksaan adalah proses
identifikasi masalah, analisis, dan evaluasi Transaksi Keuangan Mencurigakan
yang dilakukan secara independen, objektif, dan profesional untuk menilai
dugaan adanya tindak pidana.
|
|||||
8.
|
Hasil Pemeriksaan adalah penilaian
akhir dari seluruh proses identifikasi masalah, analisis dan evaluasi
Transaksi Keuangan Mencurigakan yang dilakukan secara independen, objektif,
dan profesional yang disampaikan kepada penyidik.
|
|||||
9.
|
Setiap Orang adalah orang
perseorangan atau Korporasi.
|
|||||
10.
|
Korporasi adalah kumpulan orang
dan/atau kekayaan yang terorganisasi, baik merupakan badan hukum maupun bukan
badan hukum.
|
|||||
11.
|
Pihak Pelapor adalah Setiap Orang
yang menurut Undang-Undang ini wajib menyampaikan laporan kepada PPATK.
|
|||||
12.
|
Pengguna Jasa adalah pihak yang
menggunakan jasa Pihak Pelapor.
|
|||||
13.
|
Harta Kekayaan adalah semua benda
bergerak atau benda tidak bergerak, baik yang berwujud maupun yang tidak
berwujud, yang diperoleh baik secara langsung maupun tidak langsung.
|
|||||
14.
|
Personil Pengendali Korporasi adalah
setiap orang yang memiliki kekuasaan atau wewenang sebagai penentu kebijakan
Korporasi atau memiliki kewenangan untuk melakukan kebijakan Korporasi
tersebut tanpa harus mendapat otorisasi dari atasannya.
|
|||||
15.
|
Permufakatan Jahat adalah perbuatan
dua orang atau lebih yang bersepakat untuk melakukan tindak pidana Pencucian
Uang.
|
|||||
16.
|
Dokumen adalah data, rekaman, atau
informasi yang dapat dilihat, dibaca, dan/atau didengar, yang dapat
dikeluarkan dengan atau tanpa bantuan suatu sarana, baik yang tertuang di
atas kertas atau benda fisik apa pun selain kertas maupun yang terekam secara
elektronik, termasuk tetapi tidak terbatas pada:
|
|||||
a.
|
tulisan, suara, atau gambar;
|
|||||
b.
|
peta, rancangan, foto, atau
sejenisnya;
|
|||||
c.
|
huruf, tanda, angka, simbol, atau
perforasi yang memiliki makna atau dapat dipahami oleh orang yang mampu
membaca atau memahaminya.
|
|||||
17.
|
Lembaga Pengawas dan Pengatur adalah
lembaga yang memiliki kewenangan pengawasan, pengaturan, dan/atau pengenaan
sanksi terhadap Pihak Pelapor.
|
|||||
18.
|
Pengawasan Kepatuhan adalah
serangkaian kegiatan Lembaga Pengawas dan Pengatur serta PPATK untuk memastikan
kepatuhan Pihak Pelapor atas kewajiban pelaporan menurut Undang-Undang ini
dengan mengeluarkan ketentuan atau pedoman pelaporan, melakukan audit
kepatuhan, memantau kewajiban pelaporan, dan mengenakan sanksi.
|
|||||
Pasal 2
|
||||||
(1)
|
Hasil tindak pidana adalah Harta
Kekayaan yang diperoleh dari tindak pidana:
|
|||||
a.
|
korupsi;
|
|||||
b.
|
penyuapan;
|
|||||
c.
|
narkotika;
|
|||||
d.
|
psikotropika;
|
|||||
e.
|
penyelundupan tenaga kerja;
|
|||||
f.
|
penyelundupan migran;
|
|||||
g.
|
di bidang perbankan;
|
|||||
h.
|
di bidang pasar modal;
|
|||||
i.
|
di bidang perasuransian;
|
|||||
j.
|
kepabeanan;
|
|||||
k.
|
cukai;
|
|||||
l.
|
perdagangan orang;
|
|||||
m.
|
perdagangan senjata gelap;
|
|||||
n.
|
terorisme;
|
|||||
o.
|
penculikan;
|
|||||
p.
|
pencurian;
|
|||||
q.
|
penggelapan;
|
|||||
r.
|
penipuan;
|
|||||
s.
|
pemalsuan uang;
|
|||||
t.
|
perjudian;
|
|||||
u.
|
prostitusi;
|
|||||
v.
|
di bidang perpajakan;
|
|||||
w.
|
di bidang kehutanan;
|
|||||
x.
|
di bidang lingkungan hidup;
|
|||||
y.
|
di bidang kelautan dan perikanan;
atau
|
|||||
z.
|
tindak pidana lain yang diancam
dengan pidana penjara 4 (empat) tahun atau lebih, yang dilakukan di wilayah
Negara Kesatuan Republik Indonesia atau di luar wilayah Negara Kesatuan
Republik Indonesia dan tindak pidana tersebut juga merupakan tindak pidana
menurut hukum Indonesia.
|
|||||
(2)
|
Harta Kekayaan yang diketahui atau
patut diduga akan digunakan dan/atau digunakan secara langsung atau tidak
langsung untuk kegiatan terorisme, organisasi teroris, atau teroris
perseorangan disamakan sebagai hasil tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) huruf n.
|
|||||
BAB II
TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG Pasal 3 |
||||||
Setiap Orang yang menempatkan,
mentransfer, mengalihkan, membelanjakan, membayarkan, menghibahkan,
menitipkan, membawa ke luar negeri, mengubah bentuk, menukarkan dengan mata
uang atau surat berharga atau perbuatan lain atas Harta Kekayaan yang
diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dengan tujuan menyembunyikan atau menyamarkan
asal usul Harta Kekayaan dipidana karena tindak pidana Pencucian Uang dengan
pidana penjara paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling banyak
Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah).
|
||||||
Pasal 4
|
||||||
Setiap Orang yang menyembunyikan atau
menyamarkan asal usul, sumber, lokasi, peruntukan, pengalihan hak-hak, atau
kepemilikan yang sebenarnya atas Harta Kekayaan yang diketahuinya atau patut
diduganya merupakan hasil tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2
ayat (1) dipidana karena tindak pidana Pencucian Uang dengan pidana penjara
paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling banyak Rp5.000.000.000,00
(lima miliar rupiah).
|
||||||
Pasal 5
|
||||||
(1)
|
Setiap Orang yang menerima atau
menguasai penempatan, pentransferan, pembayaran, hibah, sumbangan, penitipan,
penukaran, atau menggunakan Harta Kekayaan yang diketahuinya atau patut
diduganya merupakan hasil tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2
ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda
paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
|
|||||
(2)
|
Ketentuan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) tidak berlaku bagi Pihak Pelapor yang melaksanakan kewajiban pelaporan
sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini.
|
|||||
Pasal 6
|
||||||
(1)
|
Dalam hal tindak pidana Pencucian
Uang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3, Pasal 4, dan Pasal 5 dilakukan oleh
Korporasi, pidana dijatuhkan terhadap Korporasi dan/atau Personil Pengendali
Korporasi.
|
|||||
(2)
|
Pidana dijatuhkan terhadap Korporasi
apabila tindak pidana Pencucian Uang:
|
|||||
a.
|
dilakukan atau diperintahkan oleh
Personil Pengendali Korporasi;
|
|||||
b.
|
dilakukan dalam rangka pemenuhan
maksud dan tujuan Korporasi;
|
|||||
c.
|
dilakukan sesuai dengan tugas dan
fungsi pelaku atau pemberi perintah; dan
|
|||||
d.
|
dilakukan dengan maksud memberikan
manfaat bagi Korporasi.
|
|||||
Pasal 7
|
||||||
(1)
|
Pidana pokok yang dijatuhkan terhadap
Korporasi adalah pidana denda paling banyak Rp100.000.000.000,00 (seratus
miliar rupiah).
|
|||||
(2)
|
Selain pidana denda sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), terhadap Korporasi juga dapat dijatuhkan pidana
tambahan berupa:
|
|||||
a.
|
pengumuman putusan hakim;
|
|||||
b.
|
pembekuan sebagian atau seluruh
kegiatan usaha Korporasi;
|
|||||
c.
|
pencabutan izin usaha;
|
|||||
d.
|
pembubaran dan/atau pelarangan
Korporasi;
|
|||||
e.
|
perampasan aset Korporasi untuk
negara; dan/atau
|
|||||
f.
|
pengambilalihan Korporasi oleh
negara.
|
|||||
Pasal 8
|
||||||
Dalam hal harta terpidana tidak cukup
untuk membayar pidana denda sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3, Pasal 4, dan
Pasal 5, pidana denda tersebut diganti dengan pidana kurungan paling lama 1
(satu) tahun 4 (empat) bulan.
|
||||||
Pasal 9
|
||||||
(1)
|
Dalam hal Korporasi tidak mampu
membayar pidana denda sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1), pidana
denda tersebut diganti dengan perampasan Harta Kekayaan milik Korporasi atau
Personil Pengendali Korporasi yang nilainya sama dengan putusan pidana denda
yang dijatuhkan.
|
|||||
(2)
|
Dalam hal penjualan Harta Kekayaan
milik Korporasi yang dirampas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak
mencukupi, pidana kurungan pengganti denda dijatuhkan terhadap Personil
Pengendali Korporasi dengan memperhitungkan denda yang telah dibayar.
|
|||||
Pasal 10
|
||||||
Setiap Orang yang berada di dalam
atau di luar wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang turut serta
melakukan percobaan, pembantuan, atau Permufakatan Jahat untuk melakukan
tindak pidana Pencucian Uang dipidana dengan pidana yang sama sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 3, Pasal 4, dan Pasal 5.
|
||||||
BAB III
TINDAK PIDANA LAIN YANG BERKAITAN DENGAN TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG Pasal 11 |
||||||
(1)
|
Pejabat atau pegawai PPATK, penyidik,
penuntut umum, hakim, dan Setiap Orang yang memperoleh Dokumen atau
keterangan dalam rangka pelaksanaan tugasnya menurut Undang-Undang ini wajib
merahasiakan Dokumen atau keterangan tersebut, kecuali untuk memenuhi
kewajiban menurut Undang-Undang ini.
|
|||||
(2)
|
Setiap Orang yang melanggar ketentuan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama
4 (empat) tahun.
|
|||||
(3)
|
Ketentuan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) tidak berlaku bagi pejabat atau pegawai PPATK, penyidik, penuntut umum,
dan hakim jika dilakukan dalam rangka memenuhi kewajiban sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
|||||
Pasal 12
|
||||||
(1)
|
Direksi, komisaris, pengurus atau
pegawai Pihak Pelapor dilarang memberitahukan kepada Pengguna Jasa atau pihak
lain, baik secara langsung maupun tidak langsung, dengan cara apa pun
mengenai laporan Transaksi Keuangan Mencurigakan yang sedang disusun atau telah
disampaikan kepada PPATK.
|
|||||
(2)
|
Ketentuan mengenai larangan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku untuk pemberian informasi
kepada Lembaga Pengawas dan Pengatur.
|
|||||
(3)
|
Pejabat atau pegawai PPATK atau
Lembaga Pengawas dan Pengatur dilarang memberitahukan laporan Transaksi
Keuangan Mencurigakan yang akan atau telah dilaporkan kepada PPATK secara
langsung atau tidak langsung dengan cara apa pun kepada Pengguna Jasa atau pihak
lain.
|
|||||
(4)
|
Ketentuan mengenai larangan
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) tidak berlaku dalam rangka pemenuhan
kewajiban menurut Undang- Undang ini.
|
|||||
(5)
|
Pelanggaran atas ketentuan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (3) dipidana dengan pidana
penjara paling lama 5 (lima) tahun dan pidana denda paling banyak
Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
|
|||||
Pasal 13
|
||||||
Dalam hal terpidana tidak mampu
membayar pidana denda sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (5), pidana
denda tersebut diganti dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun 4
(empat) bulan.
|
||||||
Pasal 14
|
||||||
Setiap Orang yang melakukan campur
tangan terhadap pelaksanaan tugas dan kewenangan PPATK sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 37 ayat (3) dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua)
tahun dan denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
|
||||||
Pasal 15
|
||||||
Pejabat atau pegawai PPATK yang
melanggar kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 ayat (4) dipidana
dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan denda paling banyak
Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
|
||||||
Pasal 16
|
||||||
Dalam hal pejabat atau pegawai PPATK,
penyidik, penuntut umum, atau hakim, yang menangani perkara tindak pidana
Pencucian Uang yang sedang diperiksa, melanggar ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 83 ayat (1) dan/atau Pasal 85 ayat (1) dipidana dengan
pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun.
|
||||||
BAB IV
PELAPORAN DAN PENGAWASAN KEPATUHAN Bagian Kesatu Pihak Pelapor Pasal 17 |
||||||
(1)
|
Pihak Pelapor meliputi:
|
|||||
a.
|
penyedia jasa keuangan:
|
|||||
1.
|
bank;
|
|||||
2.
|
perusahaan pembiayaan;
|
|||||
3.
|
perusahaan asuransi dan perusahaan
pialang asuransi;
|
|||||
4.
|
dana pensiun lembaga keuangan;
|
|||||
5.
|
perusahaan efek;
|
|||||
6.
|
manajer investasi;
|
|||||
7.
|
kustodian;
|
|||||
8.
|
wali amanat;
|
|||||
9.
|
perposan sebagai penyedia jasa giro;
|
|||||
10.
|
pedagang valuta asing;
|
|||||
11.
|
penyelenggara alat pembayaran
menggunakan kartu;
|
|||||
12.
|
penyelenggara e-money dan/atau
e-wallet;
|
|||||
13.
|
koperasi yang melakukan kegiatan
simpan pinjam;
|
|||||
14.
|
pegadaian;
|
|||||
15.
|
perusahaan yang bergerak di bidang
perdagangan berjangka komoditi; atau
|
|||||
16.
|
penyelenggara kegiatan usaha
pengiriman uang.
|
|||||
b.
|
penyedia barang dan/atau jasa lain:
|
|||||
1.
|
perusahaan properti/agen properti;
|
|||||
2.
|
pedagang kendaraan bermotor;
|
|||||
3.
|
pedagang permata dan perhiasan/logam
mulia;
|
|||||
4.
|
pedagang barang seni dan antik; atau
|
|||||
5.
|
balai lelang.
|
|||||
(2)
|
Ketentuan mengenai Pihak Pelapor
selain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
|
|||||
Bagian Kedua
Penerapan Prinsip Mengenali Pengguna Jasa Pasal 18 |
||||||
(1)
|
Lembaga Pengawas dan Pengatur
menetapkan ketentuan prinsip mengenali Pengguna Jasa.
|
|||||
(2)
|
Pihak Pelapor wajib menerapkan
prinsip mengenali Pengguna Jasa yang ditetapkan oleh setiap Lembaga Pengawas
dan Pengatur sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
|
|||||
(3)
|
Kewajiban menerapkan prinsip
mengenali Pengguna Jasa sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan pada
saat:
|
|||||
a.
|
melakukan hubungan usaha dengan
Pengguna Jasa;
|
|||||
b.
|
terdapat Transaksi Keuangan dengan
mata uang rupiah dan/atau mata uang asing yang nilainya paling sedikit atau
setara dengan Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah);
|
|||||
c.
|
terdapat Transaksi Keuangan
Mencurigakan yang terkait tindak pidana Pencucian Uang dan tindak pidana
pendanaan terorisme; atau
|
|||||
d.
|
Pihak Pelapor meragukan kebenaran
informasi yang dilaporkan Pengguna Jasa.
|
|||||
(4)
|
Lembaga Pengawas dan Pengatur wajib
melaksanakan pengawasan atas kepatuhan Pihak Pelapor dalam menerapkan prinsip
mengenali Pengguna Jasa.
|
|||||
(5)
|
Prinsip mengenali Pengguna Jasa
sekurang-kurangnya memuat:
|
|||||
a.
|
identifikasi Pengguna Jasa;
|
|||||
b.
|
verifikasi Pengguna Jasa; dan
|
|||||
c.
|
pemantauan Transaksi Pengguna Jasa.
|
|||||
(6)
|
Dalam hal belum terdapat Lembaga
Pengawas dan Pengatur, ketentuan mengenai prinsip mengenali Pengguna Jasa dan
pengawasannya diatur dengan Peraturan Kepala PPATK.
|
|||||
Pasal 19
|
||||||
(1)
|
Setiap Orang yang melakukan Transaksi
dengan Pihak Pelapor wajib memberikan identitas dan informasi yang benar yang
dibutuhkan oleh Pihak Pelapor dan sekurang-kurangnya memuat identitas diri,
sumber dana, dan tujuan Transaksi dengan mengisi formulir yang disediakan
oleh Pihak Pelapor dan melampirkan Dokumen pendukungnya.
|
|||||
(2)
|
Dalam hal Transaksi dilakukan untuk
kepentingan pihak lain, Setiap Orang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib
memberikan informasi mengenai identitas diri, sumber dana, dan tujuan
Transaksi pihak lain tersebut.
|
|||||
Pasal 20
|
||||||
(1)
|
Pihak Pelapor wajib mengetahui bahwa
Pengguna Jasa yang melakukan Transaksi dengan Pihak Pelapor bertindak untuk
diri sendiri atau untuk dan atas nama orang lain.
|
|||||
(2)
|
Dalam hal Transaksi dengan Pihak
Pelapor dilakukan untuk diri sendiri atau untuk dan atas nama orang lain,
Pihak Pelapor wajib meminta informasi mengenai identitas dan Dokumen
pendukung dari Pengguna Jasa dan orang lain tersebut.
|
|||||
(3)
|
Dalam hal identitas dan/atau Dokumen
pendukung yang diberikan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak lengkap,
Pihak Pelapor wajib menolak Transaksi dengan orang tersebut.
|
|||||
Pasal 21
|
||||||
(1)
|
Identitas dan Dokumen pendukung yang
diminta oleh Pihak Pelapor harus sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan yang ditetapkan oleh setiap Lembaga Pengawas dan Pengatur.
|
|||||
(2)
|
Pihak Pelapor wajib menyimpan catatan
dan Dokumen mengenai identitas pelaku Transaksi paling singkat 5 (lima) tahun
sejak berakhirnya hubungan usaha dengan Pengguna Jasa tersebut.
|
|||||
(3)
|
Pihak Pelapor yang tidak melakukan
kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dikenai sanksi sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
|||||
Pasal 22
|
||||||
(1)
|
Penyedia jasa keuangan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 17 ayat (1) huruf a wajib memutuskan hubungan usaha
dengan Pengguna Jasa jika:
|
|||||
a.
|
Pengguna Jasa menolak untuk mematuhi
prinsip mengenali Pengguna Jasa; atau
|
|||||
b.
|
penyedia jasa keuangan meragukan
kebenaran informasi yang disampaikan oleh Pengguna Jasa.
|
|||||
(2)
|
Penyedia jasa keuangan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) wajib melaporkannya kepada PPATK mengenai tindakan
pemutusan hubungan usaha tersebut sebagai Transaksi Keuangan Mencurigakan.
|
|||||
Bagian Ketiga
Pelaporan Paragraf 1 Penyedia Jasa Keuangan Pasal 23 |
||||||
(1)
|
Penyedia jasa keuangan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 17 ayat (1) huruf a wajib menyampaikan laporan kepada
PPATK yang meliputi:
|
|||||
a.
|
Transaksi Keuangan Mencurigakan;
|
|||||
b.
|
Transaksi Keuangan Tunai dalam jumlah
paling sedikit Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) atau dengan mata
uang asing yang nilainya setara, yang dilakukan baik dalam satu kali
Transaksi maupun beberapa kali Transaksi dalam 1 (satu) hari kerja; dan/atau
|
|||||
c.
|
Transaksi Keuangan transfer dana dari
dan ke luar negeri.
|
|||||
(2)
|
Perubahan besarnya jumlah Transaksi
Keuangan Tunai sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b ditetapkan dengan
Keputusan Kepala PPATK.
|
|||||
(3)
|
Besarnya jumlah Transaksi Keuangan
transfer dana dari dan ke luar negeri yang wajib dilaporkan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf c diatur dengan Peraturan Kepala PPATK.
|
|||||
(4)
|
Kewajiban pelaporan atas Transaksi
Keuangan Tunai sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dikecualikan
terhadap:
|
|||||
a.
|
Transaksi yang dilakukan oleh
penyedia jasa keuangan dengan pemerintah dan bank sentral;
|
|||||
b.
|
Transaksi untuk pembayaran gaji atau
pensiun; dan
|
|||||
c.
|
Transaksi lain yang ditetapkan oleh
Kepala PPATK atau atas permintaan penyedia jasa keuangan yang disetujui oleh
PPATK.
|
|||||
(5)
|
Kewajiban pelaporan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf b tidak berlaku untuk Transaksi yang
dikecualikan.
|
|||||
Pasal 24
|
||||||
(1)
|
Penyedia jasa keuangan wajib membuat
dan menyimpan daftar Transaksi yang dikecualikan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 23 ayat (4).
|
|||||
(2)
|
Penyedia jasa keuangan yang tidak
membuat dan menyimpan daftar Transaksi yang dikecualikan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dikenai sanksi administratif.
|
|||||
Pasal 25
|
||||||
(1)
|
Penyampaian laporan Transaksi
Keuangan Mencurigakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (1) huruf a
dilakukan sesegera mungkin paling lama 3 (tiga) hari kerja setelah penyedia
jasa keuangan mengetahui adanya unsur Transaksi Keuangan Mencurigakan.
|
|||||
(2)
|
Penyampaian laporan Transaksi
Keuangan Tunai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (1) huruf b dilakukan
paling lama 14 (empat belas) hari kerja terhitung sejak tanggal Transaksi
dilakukan.
|
|||||
(3)
|
Penyampaian laporan Transaksi
Keuangan transfer dana dari dan ke luar negeri sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 23 ayat (1) huruf c dilakukan paling lama 14 (empat belas) hari kerja
terhitung sejak tanggal Transaksi dilakukan.
|
|||||
(4)
|
Penyedia jasa keuangan yang tidak
menyampaikan laporan kepada PPATK sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat
(2), dan ayat (3), dikenai sanksi administratif.
|
|||||
(5)
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai
bentuk, jenis, dan tata cara penyampaian laporan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur dengan Peraturan Kepala PPATK.
|
|||||
Pasal 26
|
||||||
(1)
|
Penyedia jasa keuangan dapat
melakukan penundaan Transaksi paling lama 5 (lima) hari kerja terhitung sejak
penundaan Transaksi dilakukan.
|
|||||
(2)
|
Penundaan Transaksi sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dilakukan dalam hal Pengguna Jasa:
|
|||||
a.
|
melakukan Transaksi yang patut diduga
menggunakan Harta Kekayaan yang berasal dari hasil tindak pidana sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1);
|
|||||
b.
|
memiliki rekening untuk menampung
Harta Kekayaan yang berasal dari hasil tindak pidana sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 2 ayat (1); atau
|
|||||
c.
|
diketahui dan/atau patut diduga
menggunakan Dokumen palsu.
|
|||||
(3)
|
Pelaksanaan penundaan Transaksi
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dicatat dalam berita acara penundaan
Transaksi.
|
|||||
(4)
|
Penyedia jasa keuangan memberikan
salinan berita acara Penundaan Transaksi kepada Pengguna Jasa.
|
|||||
(5)
|
Penyedia jasa keuangan wajib
melaporkan penundaan Transaksi kepada PPATK dengan melampirkan berita acara
penundaan Transaksi dalam waktu paling lama 24 (dua puluh empat) jam
terhitung sejak waktu penundaan Transaksi dilakukan.
|
|||||
(6)
|
Setelah menerima laporan penundaan
Transaksi sebagaimana dimaksud pada ayat (5) PPATK wajib memastikan
pelaksanaan penundaan Transaksi dilakukan sesuai dengan Undang-Undang ini.
|
|||||
(7)
|
Dalam hal penundaan Transaksi telah
dilakukan sampai dengan hari kerja kelima, penyedia jasa keuangan harus
memutuskan akan melaksanakan Transaksi atau menolak Transaksi tersebut.
|
|||||
Paragraf 2
Penyedia Barang dan/atau Jasa lain Pasal 27 |
||||||
(1)
|
Penyedia barang dan/atau jasa lain
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (1) huruf b wajib menyampaikan
laporan Transaksi yang dilakukan oleh Pengguna Jasa dengan mata uang rupiah
dan/atau mata uang asing yang nilainya paling sedikit atau setara dengan
Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) kepada PPATK.
|
|||||
(2)
|
Laporan Transaksi sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) disampaikan paling lama 14 (empat belas) hari kerja
terhitung sejak tanggal Transaksi dilakukan.
|
|||||
(3)
|
Penyedia barang dan/atau jasa lain
yang tidak menyampaikan laporan kepada PPATK sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dan ayat (2) dikenai sanksi administratif.
|
|||||
Paragraf 3
Pelaksanaan Kewajiban Pelaporan Pasal 28 |
||||||
Pelaksanaan kewajiban pelaporan oleh
Pihak Pelapor dikecualikan dari ketentuan kerahasiaan yang berlaku bagi Pihak
Pelapor yang bersangkutan.
|
||||||
Pasal 29
|
||||||
Kecuali terdapat unsur penyalahgunaan
wewenang, Pihak Pelapor, pejabat, dan pegawainya tidak dapat dituntut, baik
secara perdata maupun pidana, atas pelaksanaan kewajiban pelaporan menurut
Undang-Undang ini.
|
||||||
Pasal 30
|
||||||
(1)
|
Pengenaan sanksi administratif
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (4) dan Pasal 27 ayat (3) dilakukan
oleh Lembaga Pengawas dan Pengatur sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
|
|||||
(2)
|
Dalam hal Lembaga Pengawas dan
Pengatur sebagaimana dimaksud pada ayat (1) belum dibentuk, pengenaan sanksi
administratif terhadap Pihak Pelapor dilakukan oleh PPATK.
|
|||||
(3)
|
Sanksi administratif yang dikenakan
oleh PPATK sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat berupa:
|
|||||
a.
|
peringatan;
|
|||||
b.
|
teguran tertulis;
|
|||||
c.
|
pengumuman kepada publik mengenai
tindakan atau sanksi; dan/atau
|
|||||
d.
|
denda administratif.
|
|||||
(4)
|
Penerimaan hasil denda administratif
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf d dinyatakan sebagai Penerimaan
Negara Bukan Pajak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
|||||
(5)
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata
cara pemberian sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur
dengan Peraturan Kepala PPATK.
|
|||||
Bagian Keempat
Pengawasan Kepatuhan Pasal 31 |
||||||
(1)
|
Pengawasan Kepatuhan atas kewajiban
pelaporan bagi Pihak Pelapor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (1)
dilakukan oleh Lembaga Pengawas dan Pengatur dan/atau PPATK.
|
|||||
(2)
|
Dalam hal Pengawasan Kepatuhan atas
kewajiban pelaporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dilakukan atau
belum terdapat Lembaga Pengawas dan Pengatur, Pengawasan Kepatuhan atas
kewajiban pelaporan dilakukan oleh PPATK.
|
|||||
(3)
|
Hasil pelaksanaan Pengawasan
Kepatuhan yang dilakukan oleh Lembaga Pengawas dan Pengatur sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) disampaikan kepada PPATK.
|
|||||
(4)
|
Tata cara pelaksanaan Pengawasan
Kepatuhan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur oleh Lembaga
Pengawas dan Pengatur dan/atau PPATK sesuai dengan kewenangannya.
|
|||||
Pasal 32
|
||||||
Dalam hal Lembaga Pengawas dan
Pengatur menemukan Transaksi Keuangan Mencurigakan yang tidak dilaporkan oleh
Pihak Pelapor kepada PPATK, Lembaga Pengawas dan Pengatur segera menyampaikan
temuan tersebut kepada PPATK.
|
||||||
Pasal 33
|
||||||
Lembaga Pengawas dan Pengatur wajib
memberitahukan kepada PPATK setiap kegiatan atau Transaksi Pihak Pelapor yang
diketahuinya atau patut diduganya dilakukan baik langsung maupun tidak
langsung dengan tujuan melakukan tindak pidana Pencucian Uang sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 3, Pasal 4, dan Pasal 5.
|
||||||
BAB V
PEMBAWAAN UANG TUNAl DAN INSTRUMEN PEMBAYARAN LAIN KE DALAM ATAU KE LUAR DAERAH PABEAN INDONESIA Pasal 34 |
||||||
(1)
|
Setiap orang yang membawa uang tunai
dalam mata uang rupiah dan/atau mata uang asing, dan/atau instrumen
pembayaran lain dalam bentuk cek, cek perjalanan, surat sanggup bayar, atau
bilyet giro paling sedikit Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah) atau yang
nilainya setara dengan itu ke dalam atau ke luar daerah pabean Indonesia
wajib memberitahukannya kepada Direktorat Jenderal Bea dan Cukai.
|
|||||
(2)
|
Direktorat Jenderal Bea dan Cukai
wajib membuat laporan mengenai pembawaan uang tunai dan/atau instrumen
pembayaran lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan menyampaikannya kepada
PPATK paling lama 5 (lima) hari kerja sejak diterimanya pemberitahuan.
|
|||||
(3)
|
PPATK dapat meminta informasi
tambahan dari Direktorat Jenderal Bea dan Cukai mengenai pembawaan uang tunai
dan/atau instrumen pembayaran lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
|
|||||
Pasal 35
|
||||||
(1)
|
Setiap orang yang tidak
memberitahukan pembawaan uang tunai dan/atau instrumen pembayaran lain
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat (1) dikenai sanksi administratif
berupa denda sebesar 10% (sepuluh perseratus) dari seluruh jumlah uang tunai
dan/atau instrumen pembayaran lain yang dibawa dengan jumlah paling banyak
Rp300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah).
|
|||||
(2)
|
Setiap orang yang telah
memberitahukan pembawaan uang tunai dan/atau instrumen pembayaran lain
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat (1), tetapi jumlah uang tunai
dan/atau instrumen pembayaran lain yang dibawa lebih besar dari jumlah yang
diberitahukan dikenai sanksi administratif berupa denda sebesar 10% (sepuluh
perseratus) dari kelebihan jumlah uang tunai dan/atau instrumen pembayaran
lain yang dibawa dengan jumlah paling banyak Rp300.000.000,00 (tigaratus juta
rupiah).
|
|||||
(3)
|
Sanksi administratif sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) yang berkaitan dengan pembawaan uang
tunai diambil langsung dari uang tunai yang dibawa dan disetorkan ke kas
negara oleh Direktorat Jenderal Bea dan Cukai.
|
|||||
(4)
|
Direktorat Jenderal Bea dan Cukai
harus membuat laporan mengenai pengenaan sanksi administratif sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dan menyampaikannya kepada PPATK paling
lama 5 (lima) hari kerja sejak sanksi administratif ditetapkan.
|
|||||
Pasal 36
|
||||||
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata
cara pemberitahuan pembawaan uang tunai dan/atau instrumen pembayaran lain,
pengenaan sanksi administratif, dan penyetoran ke kas negara sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 34 dan Pasal 35 diatur dengan Peraturan Pemerintah.
|
||||||
BAB VI
PUSAT PELAPORAN DAN ANALISIS TRANSAKSI KEUANGAN Bagian Kesatu Kedudukan Pasal 37 |
||||||
(1)
|
PPATK dalam melaksanakan tugas dan
kewenangannya bersifat independen dan bebas dari campur tangan dan pengaruh
kekuasaan mana pun.
|
|||||
(2)
|
PPATK bertanggung jawab kepada
Presiden.
|
|||||
(3)
|
Setiap Orang dilarang melakukan
segala bentuk campur tangan terhadap pelaksanaan tugas dan kewenangan PPATK.
|
|||||
(4)
|
PPATK wajib menolak dan/atau
mengabaikan segala bentuk campur tangan dari pihak mana pun dalam rangka
pelaksanaan tugas dan kewenangannya.
|
|||||
Pasal 38
|
||||||
(1)
|
PPATK berkedudukan di Ibukota Negara
Kesatuan Republik Indonesia.
|
|||||
(2)
|
Dalam hal diperlukan, perwakilan
PPATK dapat dibuka di daerah.
|
|||||
Bagian Kedua
Tugas, Fungsi, dan Wewenang Pasal 39 |
||||||
PPATK mempunyai tugas mencegah dan
memberantas tindak pidana Pencucian Uang.
|
||||||
Pasal 40
|
||||||
Dalam melaksanakan tugas sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 39, PPATK mempunyai fungsi sebagai berikut:
|
||||||
a.
|
pencegahan dan pemberantasan tindak
pidana Pencucian Uang;
|
|||||
b.
|
pengelolaan data dan informasi yang
diperoleh PPATK;
|
|||||
c.
|
pengawasan terhadap kepatuhan Pihak
Pelapor; dan
|
|||||
d.
|
analisis atau pemeriksaan laporan dan
informasi Transaksi Keuangan yang berindikasi tindak pidana Pencucian Uang
dan/atau tindak pidana lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1).
|
|||||
Pasal 41
|
||||||
(1)
|
Dalam melaksanakan fungsi pencegahan
dan pemberantasan tindak pidana Pencucian Uang sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 40 huruf a, PPATK berwenang:
|
|||||
a.
|
meminta dan mendapatkan data dan
informasi dari instansi pemerintah dan/atau lembaga swasta yang memiliki
kewenangan mengelola data dan informasi, termasuk dari instansi pemerintah
dan/atau lembaga swasta yang menerima laporan dari profesi tertentu;
|
|||||
b.
|
menetapkan pedoman identifikasi
Transaksi Keuangan Mencurigakan;
|
|||||
c.
|
mengoordinasikan upaya pencegahan
tindak pidana Pencucian Uang dengan instansi terkait;
|
|||||
d.
|
memberikan rekomendasi kepada
pemerintah mengenai upaya pencegahan tindak pidana Pencucian Uang;
|
|||||
e.
|
mewakili pemerintah Republik
Indonesia dalam organisasi dan forum internasional yang berkaitan dengan
pencegahan dan pemberantasan tindak pidana Pencucian Uang;
|
|||||
f.
|
menyelenggarakan program pendidikan
dan pelatihan antipencucian uang; dan
|
|||||
g.
|
menyelenggarakan sosialisasi
pencegahan dan pemberantasan tindak pidana Pencucian Uang.
|
|||||
(2)
|
Penyampaian data dan informasi oleh
instansi pemerintah dan/atau lembaga swasta kepada PPATK sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) huruf a dikecualikan dari ketentuan kerahasiaan.
|
|||||
(3)
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata
cara penyampaian data dan informasi oleh instansi pemerintah dan/atau lembaga
swasta sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a diatur dengan Peraturan
Pemerintah.
|
|||||
Pasal 42
|
||||||
Dalam melaksanakan fungsi pengelolaan
data dan informasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 huruf b, PPATK
berwenang menyelenggarakan sistem informasi.
|
||||||
Pasal 43
|
||||||
Dalam rangka melaksanakan fungsi
pengawasan terhadap kepatuhan Pihak Pelapor sebagaimana dimaksud dalam Pasal
40 huruf c, PPATK berwenang:
|
||||||
a.
|
menetapkan ketentuan dan pedoman tata
cara pelaporan bagi Pihak Pelapor;
|
|||||
b.
|
menetapkan kategori Pengguna Jasa
yang berpotensi melakukan tindak pidana Pencucian Uang;
|
|||||
c.
|
melakukan audit kepatuhan atau audit
khusus;
|
|||||
d.
|
menyampaikan informasi dari hasil
audit kepada lembaga yang berwenang melakukan pengawasan terhadap Pihak
Pelapor;
|
|||||
e.
|
memberikan peringatan kepada Pihak
Pelapor yang melanggar kewajiban pelaporan;
|
|||||
f.
|
merekomendasikan kepada lembaga yang
berwenang mencabut izin usaha Pihak Pelapor; dan
|
|||||
g.
|
menetapkan ketentuan pelaksanaan
prinsip mengenali Pengguna Jasa bagi Pihak Pelapor yang tidak memiliki
Lembaga Pengawas dan Pengatur.
|
|||||
Pasal 44
|
||||||
(1)
|
Dalam rangka melaksanakan fungsi
analisis atau pemeriksaan laporan dan informasi sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 40 huruf d, PPATK dapat:
|
|||||
a.
|
meminta dan menerima laporan dan
informasi dari Pihak Pelapor;
|
|||||
b.
|
meminta informasi kepada instansi
atau pihak terkait;
|
|||||
c.
|
meminta informasi kepada Pihak
Pelapor berdasarkan pengembangan hasil analisis PPATK;
|
|||||
d.
|
meminta informasi kepada Pihak
Pelapor berdasarkan permintaan dari instansi penegak hukum atau mitra kerja
di luar negeri;
|
|||||
e.
|
meneruskan informasi dan/atau hasil
analisis kepada instansi peminta, baik di dalam maupun di luar negeri;
|
|||||
f.
|
menerima laporan dan/atau informasi
dari masyarakat mengenai adanya dugaan tindak pidana Pencucian Uang;
|
|||||
g.
|
meminta keterangan kepada Pihak
Pelapor dan pihak lain yang terkait dengan dugaan tindak pidana Pencucian
Uang;
|
|||||
h.
|
merekomendasikan kepada instansi
penegak hukum mengenai pentingnya melakukan intersepsi atau penyadapan atas
informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan;
|
|||||
i.
|
meminta penyedia jasa keuangan untuk
menghentikan sementara seluruh atau sebagian Transaksi yang diketahui atau
dicurigai merupakan hasil tindak pidana;
|
|||||
j.
|
meminta informasi perkembangan
penyelidikan dan penyidikan yang dilakukan oleh penyidik tindak pidana asal
dan tindak pidana Pencucian Uang;
|
|||||
k.
|
mengadakan kegiatan administratif
lain dalam lingkup tugas dan tanggung jawab sesuai dengan ketentuan
Undang-Undang ini; dan
|
|||||
l.
|
meneruskan hasil analisis atau
pemeriksaan kepada penyidik.
|
|||||
(2)
|
Penyedia jasa keuangan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf i harus segera menindaklanjuti setelah menerima
permintaan dari PPATK.
|
|||||
Pasal 45
|
||||||
Dalam melaksanakan kewenangannya
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang ini, terhadap PPATK tidak berlaku
ketentuan peraturan perundang-undangan dan kode etik yang mengatur
kerahasiaan.
|
||||||
Pasal 46
|
||||||
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata
cara pelaksanaan kewenangan PPATK diatur dengan Peraturan Presiden.
|
||||||
Bagian Ketiga
Akuntabilitas Pasal 47 |
||||||
(1)
|
PPATK membuat dan menyampaikan
laporan pelaksanaan tugas, fungsi, dan wewenangnya secara berkala setiap 6
(enam) bulan.
|
|||||
(2)
|
Laporan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) disampaikan kepada Presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat.
|
|||||
Bagian Keempat
Susunan Organisasi Pasal 48 |
||||||
Susunan organisasi PPATK terdiri
atas:
|
||||||
a.
|
kepala;
|
|||||
b.
|
wakil kepala;
|
|||||
c.
|
jabatan struktural lain; dan
|
|||||
d.
|
jabatan fungsional.
|
|||||
Pasal 49
|
||||||
(1)
|
Kepala PPATK sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 48 huruf a mewakili PPATK di dalam dan di luar pengadilan.
|
|||||
(2)
|
Kepala PPATK dapat menyerahkan
kewenangan mewakili sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada Wakil Kepala
PPATK, seorang atau beberapa orang pegawai PPATK, dan/atau pihak lain yang
khusus ditunjuk untuk itu.
|
|||||
Pasal 50
|
||||||
Kepala PPATK adalah penanggung jawab
yang memimpin dan mengendalikan pelaksanaan tugas, fungsi, dan wewenang
PPATK.
|
||||||
Pasal 51
|
||||||
Untuk dapat diangkat sebagai Kepala
atau Wakil Kepala PPATK, seorang calon harus memenuhi syarat sebagai berikut:
|
||||||
a.
|
warga negara Indonesia;
|
|||||
b.
|
berusia paling rendah 40 (empat
puluh) tahun dan paling tinggi 60 (enam puluh) tahun pada saat pengangkatan;
|
|||||
c.
|
sehat jasmani dan rohani;
|
|||||
d.
|
takwa, jujur, adil, dan memiliki
integritas pribadi yang baik;
|
|||||
e.
|
memiliki salah satu keahlian di
bidang ekonomi, akuntansi, keuangan, atau hukum dan pengalaman kerja di
bidang tersebut paling singkat 10 (sepuluh) tahun;
|
|||||
f.
|
bukan pemimpin partai politik;
|
|||||
g.
|
bersedia memberikan informasi
mengenai daftar Harta Kekayaan;
|
|||||
h.
|
tidak merangkap jabatan atau
pekerjaan lain; dan
|
|||||
i.
|
tidak pernah dijatuhi pidana penjara.
|
|||||
Pasal 52
|
||||||
(1)
|
Wakil Kepala PPATK bertugas membantu
Kepala PPATK.
|
|||||
(2)
|
Wakil Kepala PPATK dalam melaksanakan
tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertanggung jawab kepada Kepala
PPATK.
|
|||||
(3)
|
Dalam hal Kepala PPATK berhalangan,
Wakil Kepala PPATK bertanggung jawab memimpin dan mengendalikan pelaksanaan
tugas, fungsi, dan wewenang PPATK.
|
|||||
Pasal 53
|
||||||
Kepala dan Wakil Kepala PPATK
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 48 huruf a dan huruf b diangkat dan
diberhentikan oleh Presiden.
|
||||||
Pasal 54
|
||||||
(1)
|
Kepala dan Wakil Kepala PPATK sebelum
memangku jabatannya wajib mengucapkan sumpah atau janji menurut agama dan
kepercayaannya di hadapan Presiden.
|
|||||
(2)
|
Sumpah atau janji sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) berbunyi sebagai berikut:
|
|||||
"Saya bersumpah/berjanji bahwa
saya untuk menjadi Kepala/Wakil Kepala PPATK langsung atau tidak langsung
dengan nama dan dalih apa pun tidak memberikan atau menjanjikan untuk
memberikan sesuatu kepada siapa pun".
|
||||||
"Saya bersumpah/berjanji bahwa
saya dalam melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatan ini tidak
akan menerima langsung atau tidak langsung dari siapa pun juga sesuatu janji
atau pemberian dalam bentuk apa pun".
|
||||||
"Saya bersumpah/berjanji bahwa
saya akan merahasiakan kepada siapa pun hal-hal yang menurut peraturan
perundang-undangan wajib dirahasiakan".
|
||||||
"Saya bersumpah/berjanji bahwa
saya akan melaksanakan tugas dan kewenangan selaku Kepala/Wakil Kepala PPATK
dengan sebaik-baiknya dan dengan penuh rasa tanggung jawab".
|
||||||
"Saya bersumpah/berjanji bahwa
saya akan setia terhadap negara, konstitusi, dan peraturan perundang-undangan
yang berlaku".
|
||||||
Pasal 55
|
||||||
Kepala dan Wakil Kepala PPATK
memegang jabatan selama 5 (lima) tahun dan dapat diangkat kembali hanya untuk
1 (satu) kali masa jabatan berikutnya.
|
||||||
Pasal 56
|
||||||
Jabatan Kepala atau Wakil Kepala
PPATK berhenti karena:
|
||||||
a.
|
meninggal dunia;
|
|||||
b.
|
mengundurkan diri;
|
|||||
c.
|
berakhir masa jabatannya; atau
|
|||||
d.
|
diberhentikan.
|
|||||
Pasal 57
|
||||||
(1)
|
Pemberhentian Kepala atau Wakil
Kepala PPATK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56 huruf d dilakukan karena:
|
|||||
a.
|
bertempat tinggal di luar wilayah
Negara Kesatuan Republik Indonesia;
|
|||||
b.
|
kehilangan kewarganegaraannya sebagai
warga negara Indonesia;
|
|||||
c.
|
menderita sakit terus-menerus yang
penyembuhannya memerlukan waktu lebih dari 3 (tiga) bulan yang tidak
memungkinkan melaksanakan tugasnya;
|
|||||
d.
|
dijatuhi pidana penjara berdasarkan
putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap;
|
|||||
e.
|
merangkap jabatan;
|
|||||
f.
|
dinyatakan pailit oleh pengadilan;
atau
|
|||||
g.
|
melanggar sumpah atau janji jabatan.
|
|||||
(2)
|
Dalam hal Kepala dan/atau Wakil
Kepala PPATK menjadi terdakwa tindak pidana yang berkaitan dengan
penyalahgunaan jabatannya, Kepala dan/atau Wakil Kepala PPATK diberhentikan
sementara dari jabatannya.
|
|||||
(3)
|
Dalam hal tuntutan terhadap Kepala
dan/atau Wakil Kepala PPATK menjadi terdakwa dinyatakan tidak terbukti
berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap,
jabatan yang bersangkutan dipulihkan kembali.
|
|||||
(4)
|
Pemberhentian sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dan ayat (2) ditetapkan oleh Presiden.
|
|||||
Pasal 58
|
||||||
(1)
|
Kepala dan Wakil Kepala PPATK berhak
memperoleh penghasilan, hak-hak lain, penghargaan, dan fasilitas.
|
|||||
(2)
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai
penghasilan, hak-hak lain, penghargaan, dan fasilitas bagi Kepala dan Wakil
Kepala PPATK diatur dengan Peraturan Pemerintah.
|
|||||
Pasal 59
|
||||||
Kepala PPATK dapat mengangkat tenaga
ahli paling banyak 5 (lima) orang untuk memberikan pertimbangan mengenai
masalah tertentu sesuai dengan bidang keahliannya.
|
||||||
Pasal 60
|
||||||
Ketentuan lebih lanjut mengenai
susunan organisasi dan tata kerja PPATK diatur dengan Peraturan Presiden.
|
||||||
Bagian Kelima
Manajemen Sumber Daya Manusia Pasal 61 |
||||||
Kepala PPATK adalah pejabat pembina
kepegawaian di lingkungan PPATK.
|
||||||
Pasal 62
|
||||||
(1)
|
Kepala PPATK selaku pejabat pembina
kepegawaian menyelenggarakan manajemen sumber daya manusia PPATK yang
meliputi perencanaan, pengangkatan, pemindahan, pengembangan, pemberhentian,
dan pemberian remunerasi.
|
|||||
(2)
|
Penyelenggaraan manajemen sumber daya
manusia PPATK sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disusun dan dilaksanakan
berdasarkan prinsip meritokrasi.
|
|||||
(3)
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai
manajemen sumber daya manusia PPATK sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur
dengan Peraturan Pemerintah.
|
|||||
Bagian Keenam
Pembiayaan Pasal 63 |
||||||
Biaya untuk pelaksanaan tugas PPATK
dibebankan kepada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara.
|
||||||
BAB VII
PEMERIKSAAN DAN PENGHENTIAN SEMENTARA TRANSAKSI Pasal 64 |
||||||
(1)
|
PPATK melakukan pemeriksaan terhadap
Transaksi Keuangan Mencurigakan terkait dengan adanya indikasi tindak pidana
Pencucian Uang atau tindak pidana lain.
|
|||||
(2)
|
Dalam hal ditemukan adanya indikasi
tindak pidana Pencucian Uang atau tindak pidana lain, PPATK menyerahkan Hasil
Pemeriksaan kepada penyidik untuk dilakukan penyidikan.
|
|||||
(3)
|
Dalam melaksanakan penyidikan
sebagaimana dimaksud pada ayat (2), penyidik melakukan koordinasi dengan
PPATK.
|
|||||
Pasal 65
|
||||||
(1)
|
PPATK dapat meminta penyedia jasa
keuangan untuk menghentikan sementara seluruh atau sebagian Transaksi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44 ayat (1) huruf i.
|
|||||
(2)
|
Dalam hal penyedia jasa keuangan
memenuhi permintaan PPATK sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pelaksanaan
penghentian sementara dicatat dalam berita acara penghentian sementara
Transaksi.
|
|||||
Pasal 66
|
||||||
(1)
|
Penghentian sementara Transaksi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 65 ayat (1) dilaksanakan dalam waktu paling
lama 5 (lima) hari kerja setelah menerima berita acara penghentian sementara
Transaksi.
|
|||||
(2)
|
PPATK dapat memperpanjang penghentian
sementara Transaksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam waktu paling
lama 15 (lima belas) hari kerja untuk melengkapi hasil analisis atau
pemeriksaan yang akan disampaikan kepada penyidik.
|
|||||
Pasal 67
|
||||||
(1)
|
Dalam hal tidak ada orang dan/atau
pihak ketiga yang mengajukan keberatan dalam waktu 20 (dua puluh) hari sejak
tanggal penghentian sementara Transaksi, PPATK menyerahkan penanganan Harta
Kekayaan yang diketahui atau patut diduga merupakan hasil tindak pidana
tersebut kepada penyidik untuk dilakukan penyidikan.
|
|||||
(2)
|
Dalam hal yang diduga sebagai pelaku
tindak pidana tidak ditemukan dalam waktu 30 (tiga puluh) hari, penyidik
dapat mengajukan permohonan kepada pengadilan negeri untuk memutuskan Harta
Kekayaan tersebut sebagai aset negara atau dikembalikan kepada yang berhak.
|
|||||
(3)
|
Pengadilan sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) harus memutus dalam waktu paling lama 7 (tujuh) hari.
|
|||||
BAB VIII
PENYIDIKAN, PENUNTUTAN, DAN PEMERIKSAAN DI SIDANG PENGADILAN Bagian Kesatu Umum Pasal 68 |
||||||
Penyidikan, penuntutan, dan
pemeriksaan di sidang pengadilan serta pelaksanaan putusan yang telah
memperoleh kekuatan hukum tetap terhadap tindak pidana sebagaimana dimaksud
dalam Undang-Undang ini dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan, kecuali ditentukan lain dalam Undang-Undang ini.
|
||||||
Pasal 69
|
||||||
Untuk dapat dilakukan penyidikan,
penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan terhadap tindak pidana
Pencucian Uang tidak wajib dibuktikan terlebih dahulu tindak pidana asalnya.
|
||||||
Pasal 70
|
||||||
(1)
|
Penyidik, penuntut umum, atau hakim
berwenang memerintahkan Pihak Pelapor untuk melakukan penundaan Transaksi
terhadap Harta Kekayaan yang diketahui atau patut diduga merupakan hasil
tindak pidana.
|
|||||
(2)
|
Perintah penyidik, penuntut umum,
atau hakim sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dilakukan secara tertulis
dengan menyebutkan secara jelas mengenai:
|
|||||
a.
|
nama dan jabatan yang meminta
penundaan Transaksi;
|
|||||
b.
|
identitas Setiap Orang yang
Transaksinya akan dilakukan penundaan;
|
|||||
c.
|
alasan penundaan Transaksi; dan
|
|||||
d.
|
tempat Harta Kekayaan berada.
|
|||||
(3)
|
Penundaan Transaksi sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dilakukan paling lama 5 (lima) hari kerja.
|
|||||
(4)
|
Pihak Pelapor wajib melaksanakan
penundaan Transaksi sesaat setelah surat perintah/permintaan penundaan
Transaksi diterima dari penyidik, penuntut umum, atau hakim.
|
|||||
(5)
|
Pihak Pelapor wajib menyerahkan
berita acara pelaksanaan penundaan Transaksi kepada penyidik, penuntut umum,
atau hakim yang meminta penundaan Transaksi paling lama 1 (satu) hari kerja
sejak tanggal pelaksanaan penundaan Transaksi.
|
|||||
Pasal 71
|
||||||
(1)
|
Penyidik, penuntut umum, atau hakim
berwenang memerintahkan Pihak Pelapor untuk melakukan pemblokiran Harta
Kekayaan yang diketahui atau patut diduga merupakan hasil tindak pidana dari:
|
|||||
a.
|
Setiap Orang yang telah dilaporkan
oleh PPATK kepada penyidik;
|
|||||
b.
|
tersangka; atau
|
|||||
c.
|
terdakwa.
|
|||||
(2)
|
Perintah penyidik, penuntut umum,
atau hakim sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dilakukan secara tertulis
dengan menyebutkan secara jelas mengenai:
|
|||||
a.
|
nama dan jabatan penyidik, penuntut
umum, atau hakim;
|
|||||
b.
|
identitas Setiap Orang yang telah
dilaporkan oleh PPATK kepada penyidik, tersangka, atau terdakwa;
|
|||||
c.
|
alasan pemblokiran;
|
|||||
d.
|
tindak pidana yang disangkakan atau
didakwakan; dan
|
|||||
e.
|
tempat Harta Kekayaan berada.
|
|||||
(3)
|
Pemblokiran sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dilakukan paling lama 30 (tiga puluh) hari kerja.
|
|||||
(4)
|
Dalam hal jangka waktu pemblokiran
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) berakhir, Pihak Pelapor wajib mengakhiri
pemblokiran demi hukum.
|
|||||
(5)
|
Pihak Pelapor wajib melaksanakan
pemblokiran sesaat setelah surat perintah pemblokiran diterima dari penyidik,
penuntut umum, atau hakim.
|
|||||
(6)
|
Pihak Pelapor wajib menyerahkan
berita acara pelaksanaan pemblokiran kepada penyidik, penuntut umum, atau
hakim yang memerintahkan pemblokiran paling lama 1 (satu) hari kerja sejak
tanggal pelaksanaan pemblokiran.
|
|||||
(7)
|
Harta Kekayaan yang diblokir harus
tetap berada pada Pihak Pelapor yang bersangkutan.
|
|||||
Pasal 72
|
||||||
(1)
|
Untuk kepentingan pemeriksaan dalam
perkara tindak pidana Pencucian Uang, penyidik, penuntut umum, atau hakim
berwenang meminta Pihak Pelapor untuk memberikan keterangan secara tertulis
mengenai Harta Kekayaan dari:
|
|||||
a.
|
orang yang telah dilaporkan oleh
PPATK kepada penyidik;
|
|||||
b.
|
tersangka; atau
|
|||||
c.
|
terdakwa.
|
|||||
(2)
|
Dalam meminta keterangan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), bagi penyidik, penuntut umum, atau hakim tidak
berlaku ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur rahasia bank dan
kerahasiaan Transaksi Keuangan lain.
|
|||||
(3)
|
Permintaan keterangan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) harus diajukan dengan menyebutkan secara jelas
mengenai:
|
|||||
a.
|
nama dan jabatan penyidik, penuntut
umum, atau hakim;
|
|||||
b.
|
identitas orang yang terindikasi dari
hasil analisis atau pemeriksaan PPATK, tersangka, atau terdakwa;
|
|||||
c.
|
uraian singkat tindak pidana yang
disangkakan atau didakwakan; dan
|
|||||
d.
|
tempat Harta Kekayaan berada.
|
|||||
(4)
|
Permintaan sebagaimana dimaksud pada
ayat (3) harus disertai dengan:
|
|||||
a.
|
laporan polisi dan surat perintah
penyidikan;
|
|||||
b.
|
surat penunjukan sebagai penuntut
umum; atau
|
|||||
c.
|
surat penetapan majelis hakim.
|
|||||
(5)
|
Surat permintaan untuk memperoleh
keterangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (3) harus
ditandatangani oleh:
|
|||||
a.
|
Kepala Kepolisian Negara Republik
Indonesia atau kepala kepolisian daerah dalam hal permintaan diajukan oleh
penyidik dari Kepolisian Negara Republik Indonesia;
|
|||||
b.
|
pimpinan instansi atau lembaga atau
komisi dalam hal permintaan diajukan oleh penyidik selain penyidik Kepolisian
Negara Republik Indonesia;
|
|||||
c.
|
Jaksa Agung atau kepala kejaksaan
tinggi dalam hal permintaan diajukan oleh jaksa penyidik dan/atau penuntut
umum; atau
|
|||||
d.
|
hakim ketua majelis yang memeriksa
perkara yang bersangkutan.
|
|||||
(6)
|
Surat permintaan sebagaimana dimaksud
pada ayat (5) ditembuskan kepada PPATK.
|
|||||
Pasal 73
|
||||||
Alat bukti yang sah dalam pembuktian
tindak pidana Pencucian Uang ialah:
|
||||||
a.
|
alat bukti sebagaimana dimaksud dalam
Hukum Acara Pidana; dan/atau
|
|||||
b.
|
alat bukti lain berupa informasi yang
diucapkan, dikirimkan, diterima, atau disimpan secara elektronik dengan alat
optik atau alat yang serupa optik dan Dokumen.
|
|||||
Bagian Kedua
Penyidikan Pasal 74 |
||||||
Penyidikan tindak pidana Pencucian
Uang dilakukan oleh penyidik tindak pidana asal sesuai dengan ketentuan hukum
acara dan ketentuan peraturan perundang-undangan, kecuali ditentukan lain
menurut Undang-Undang ini.
|
||||||
Pasal 75
|
||||||
Dalam hal penyidik menemukan bukti
permulaan yang cukup terjadinya tindak pidana Pencucian Uang dan tindak
pidana asal, penyidik menggabungkan penyidikan tindak pidana asal dengan
penyidikan tindak pidana Pencucian Uang dan memberitahukannya kepada PPATK.
|
||||||
Bagian Ketiga
Penuntutan Pasal 76 |
||||||
(1)
|
Penuntut umum wajib menyerahkan
berkas perkara tindak pidana Pencucian Uang kepada pengadilan negeri paling
lama 30 (tiga puluh) hari kerja terhitung sejak tanggal diterimanya berkas
perkara yang telah dinyatakan lengkap.
|
|||||
(2)
|
Dalam hal penuntut umum telah
menyerahkan berkas perkara kepada pengadilan negeri sebagaimana dimaksud pada
ayat (1), ketua pengadilan negeri wajib membentuk majelis hakim perkara
tersebut paling lama 3 (tiga) hari kerja sejak diterimanya berkas perkara
tersebut.
|
|||||
Bagian Keempat
Pemeriksaan di Sidang Pengadilan Pasal 77 |
||||||
Untuk kepentingan pemeriksaan di
sidang pengadilan, terdakwa wajib membuktikan bahwa Harta Kekayaannya bukan
merupakan hasil tindak pidana.
|
||||||
Pasal 78
|
||||||
(1)
|
Dalam pemeriksaan di sidang
pengadilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 77, hakim memerintahkan terdakwa
agar membuktikan bahwa Harta Kekayaan yang terkait dengan perkara bukan
berasal atau terkait dengan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat
(1).
|
|||||
(2)
|
Terdakwa membuktikan bahwa Harta
Kekayaan yang terkait dengan perkara bukan berasal atau terkait dengan tindak
pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dengan cara mengajukan
alat bukti yang cukup.
|
|||||
Pasal 79
|
||||||
(1)
|
Dalam hal terdakwa telah dipanggil
secara sah dan patut tidak hadir di sidang pengadilan tanpa alasan yang sah,
perkara dapat diperiksa dan diputus tanpa hadirnya terdakwa.
|
|||||
(2)
|
Dalam hal terdakwa hadir pada sidang
berikutnya sebelum putusan dijatuhkan, terdakwa wajib diperiksa dan segala
keterangan saksi dan surat yang dibacakan dalam sidang sebelumnya dianggap
sebagai diucapkan dalam sidang yang sekarang.
|
|||||
(3)
|
Putusan yang dijatuhkan tanpa
kehadiran terdakwa diumumkan oleh penuntut umum pada papan pengumuman
pengadilan, kantor pemerintah daerah, atau diberitahukan kepada kuasanya.
|
|||||
(4)
|
Dalam hal terdakwa meninggal dunia
sebelum putusan dijatuhkan dan terdapat bukti yang cukup kuat bahwa yang
bersangkutan telah melakukan tindak pidana Pencucian Uang, hakim atas
tuntutan penuntut umum memutuskan perampasan Harta Kekayaan yang telah
disita.
|
|||||
(5)
|
Penetapan perampasan sebagaimana
dimaksud pada ayat (4) tidak dapat dimohonkan upaya hukum.
|
|||||
(6)
|
Setiap Orang yang berkepentingan
dapat mengajukan keberatan kepada pengadilan yang telah menjatuhkan penetapan
sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dalam waktu 30 (tiga puluh) hari sejak
tanggal pengumuman sebagaimana dimaksud pada ayat (3).
|
|||||
Pasal 80
|
||||||
(1)
|
Dalam hal hakim memutus sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 79 ayat (3), terdakwa dapat mengajukan banding.
|
|||||
(2)
|
Pengajuan banding sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) harus dilakukan langsung oleh terdakwa paling lama 7
(tujuh) hari setelah putusan diucapkan.
|
|||||
Pasal 81
|
||||||
Dalam hal diperoleh bukti yang cukup
bahwa masih ada Harta Kekayaan yang belum disita, hakim memerintahkan jaksa
penuntut umum untuk melakukan penyitaan Harta Kekayaan tersebut.
|
||||||
Pasal 82
|
||||||
Dalam hal tindak pidana dilakukan
oleh Korporasi, panggilan disampaikan kepada pengurus di tempat tinggal
pengurus atau di tempat pengurus berkantor.
|
||||||
BAB IX
PELINDUNGAN BAGI PELAPOR DAN SAKSI Pasal 83 |
||||||
(1)
|
Pejabat dan pegawai PPATK, penyidik,
penuntut umum, atau hakim wajib merahasiakan Pihak Pelapor dan pelapor.
|
|||||
(2)
|
Pelanggaran terhadap ketentuan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memberikan hak kepada pelapor atau ahli
warisnya untuk menuntut ganti kerugian melalui pengadilan.
|
|||||
Pasal 84
|
||||||
(1)
|
Setiap Orang yang melaporkan
terjadinya dugaan tindak pidana Pencucian Uang wajib diberi pelindungan
khusus oleh negara dari kemungkinan ancaman yang membahayakan diri, jiwa,
dan/atau hartanya, termasuk keluarganya.
|
|||||
(2)
|
Ketentuan mengenai tata cara
pemberian pelindungan khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam
peraturan perundang-undangan.
|
|||||
Pasal 85
|
||||||
(1)
|
Di sidang pengadilan, saksi, penuntut
umum, hakim, dan orang lain yang terkait dengan tindak pidana Pencucian Uang
yang sedang dalam pemeriksaan dilarang menyebutkan nama atau alamat pelapor
atau hal lain yang memungkinkan dapat terungkapnya identitas pelapor.
|
|||||
(2)
|
Dalam setiap persidangan sebelum
sidang pemeriksaan dimulai, hakim wajib mengingatkan saksi, penuntut umum,
dan orang lain yang terkait dengan pemeriksaan perkara tersebut mengenai
larangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
|
|||||
Pasal 86
|
||||||
(1)
|
Setiap Orang yang memberikan
kesaksian dalam pemeriksaan tindak pidana Pencucian Uang wajib diberi
pelindungan khusus oleh negara dari kemungkinan ancaman yang membahayakan
diri, jiwa, dan/atau hartanya, termasuk keluarganya.
|
|||||
(2)
|
Ketentuan mengenai tata cara
pemberian pelindungan khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam
peraturan perundang-undangan.
|
|||||
Pasal 87
|
||||||
(1)
|
Pelapor dan/atau saksi tidak dapat
dituntut, baik secara perdata maupun pidana, atas laporan dan/atau kesaksian
yang diberikan oleh yang bersangkutan.
|
|||||
(2)
|
Saksi yang memberikan keterangan
palsu di atas sumpah dipidana sesuai dengan ketentuan dalam Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana.
|
|||||
BAB X
KERJA SAMA DALAM PENCEGAHAN DAN PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG Pasal 88 |
||||||
(1)
|
Kerja sama nasional yang dilakukan
PPATK dengan pihak yang terkait dituangkan dengan atau tanpa bentuk kerja
sama formal.
|
|||||
(2)
|
Pihak yang terkait sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) adalah pihak yang mempunyai keterkaitan langsung atau
tidak langsung dengan pencegahan dan pemberantasan tindak pidana Pencucian
Uang di Indonesia.
|
|||||
Pasal 89
|
||||||
(1)
|
Kerja sama internasional dilakukan
oleh PPATK dengan lembaga sejenis yang ada di negara lain dan lembaga
internasional yang terkait dengan pencegahan dan pemberantasan tindak pidana
Pencucian Uang.
|
|||||
(2)
|
Kerja sama internasional yang
dilakukan PPATK dapat dilaksanakan dalam bentuk kerja sama formal atau
berdasarkan bantuan timbal balik atau prinsip resiprositas.
|
|||||
Pasal 90
|
||||||
(1)
|
Dalam melakukan pencegahan dan
pemberantasan tindak pidana Pencucian Uang, PPATK dapat melakukan kerja sama
pertukaran informasi berupa permintaan, pemberian, dan penerimaan informasi
dengan pihak, baik dalam lingkup nasional maupun internasional, yang meliputi:
|
|||||
a.
|
instansi penegak hukum;
|
|||||
b.
|
lembaga yang berwenang melakukan
pengawasan terhadap penyedia jasa keuangan;
|
|||||
c.
|
lembaga yang bertugas memeriksa
pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara;
|
|||||
d.
|
lembaga lain yang terkait dengan
pencegahan dan pemberantasan tindak pidana Pencucian Uang atau tindak pidana
lain terkait dengan tindak pidana Pencucian Uang; dan
|
|||||
e.
|
financial intelligence unit negara lain.
|
|||||
(2)
|
Permintaan, pemberian, dan penerimaan
informasi dalam pertukaran informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat
dilakukan atas inisiatif sendiri atau atas permintaan pihak yang dapat
meminta informasi kepada PPATK.
|
|||||
(3)
|
Permintaan informasi sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) kepada PPATK diajukan secara tertulis dan
ditandatangani oleh:
|
|||||
a.
|
hakim ketua majelis;
|
|||||
b.
|
Kepala Kepolisian Negara Republik
Indonesia atau kepala kepolisian daerah;
|
|||||
c.
|
Jaksa Agung atau kepala kejaksaan
tinggi;
|
|||||
d.
|
pimpinan instansi atau lembaga atau
komisi dalam hal permintaan diajukan oleh penyidik, selain penyidik
Kepolisian Negara Republik Indonesia;
|
|||||
e.
|
pemimpin, direktur atau pejabat yang
setingkat, atau pemimpin satuan kerja atau kantor di lembaga yang berwenang
melakukan pengawasan terhadap penyedia jasa keuangan;
|
|||||
f.
|
pimpinan lembaga yang bertugas
memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara;
|
|||||
g.
|
pimpinan dari lembaga lain yang
terkait dengan pencegahan dan pemberantasan tindak pidana Pencucian Uang atau
tindak pidana lain terkait dengan tindak pidana Pencucian Uang; atau
|
|||||
h.
|
pimpinan financial intelligence
unit negara lain.
|
|||||
Pasal 91
|
||||||
(1)
|
Dalam rangka mencegah dan memberantas
tindak pidana Pencucian Uang, dapat dilakukan kerja sama bantuan timbal balik
dalam masalah pidana dengan negara lain melalui forum bilateral atau
multilateral sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
|||||
(2)
|
Kerja sama bantuan timbal balik
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilaksanakan jika negara dimaksud
telah mengadakan perjanjian kerja sama bantuan timbal balik dengan Negara
Kesatuan Republik Indonesia atau berdasarkan prinsip resiprositas.
|
|||||
Pasal 92
|
||||||
(1)
|
Untuk meningkatkan koordinasi
antarlembaga terkait dalam pencegahan dan pemberantasan tindak pidana
Pencucian Uang, dibentuk Komite Koordinasi Nasional Pencegahan dan
Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang.
|
|||||
(2)
|
Pembentukan Komite Koordinasi
Nasional Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang diatur
dengan Peraturan Presiden.
|
|||||
BAB XI
KETENTUAN LAIN-LAIN Pasal 93 |
||||||
Dalam hal ada perkembangan konvensi
internasional atau rekomendasi internasional di bidang pencegahan dan
pemberantasan tindak pidana Pencucian Uang dan pendanaan terorisme, PPATK dan
instansi terkait dapat melaksanakan ketentuan tersebut sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
|
||||||
BAB XII
KETENTUAN PERALIHAN Pasal 94 |
||||||
Pada saat Undang-Undang ini mulai
berlaku:
|
||||||
a.
|
PPATK yang dibentuk berdasarkan
Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang
sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2003 tentang
Perubahan atas Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana
Pencucian Uang, ditetapkan sebagai PPATK berdasarkan Undang-Undang ini.
|
|||||
b.
|
PPATK yang dibentuk berdasarkan
Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang
sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2003 tentang
Perubahan atas Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian
Uang tetap menjalankan tugas, fungsi, dan wewenangnya berdasarkan
Undang-Undang ini.
|
|||||
c.
|
Susunan organisasi PPATK yang
dibentuk berdasarkan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana
Pencucian Uang sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 25 Tahun
2003 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 tentang Tindak
Pidana Pencucian Uang tetap berlaku sampai terbentuknya susunan organisasi
PPATK yang baru berdasarkan Undang-Undang ini.
|
|||||
d.
|
Kepala dan Wakil Kepala PPATK yang
diangkat berdasarkan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana
Pencucian Uang sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 25 Tahun
2003 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 tentang Tindak
Pidana Pencucian Uang tetap menjalankan tugas, fungsi, dan wewenangnya sampai
dengan diangkatnya Kepala dan Wakil Kepala PPATK yang baru paling lambat 1
(satu) tahun sejak berlakunya Undang-Undang ini.
|
|||||
e.
|
Komite Koordinasi Nasional Pencegahan
dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang yang dibentuk berdasarkan
Keputusan Presiden Nomor 1 Tahun 2004 tetap menjalankan tugas, fungsi, dan
wewenangnya sampai dibentuk Komite Koordinasi Nasional Pencegahan dan
Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang berdasarkan Undang-Undang ini.
|
|||||
Pasal 95
|
||||||
Tindak Pidana Pencucian Uang yang
dilakukan sebelum berlakunya Undang-Undang ini, diperiksa dan diputus dengan
Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang
sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2003 tentang Perubahan
atas Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang.
|
||||||
BAB XIII
KETENTUAN PENUTUP Pasal 96 |
||||||
Pelaksanaan kewajiban pelaporan oleh
penyedia barang dan/atau jasa lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat
(1) dilaksanakan paling lambat 2 (dua) tahun setelah Undang-Undang ini
diundangkan.
|
||||||
Pasal 97
|
||||||
Pelaksanaan kewajiban pelaporan
Transaksi Keuangan transfer dana dari dan ke luar negeri sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 23 ayat (1) huruf c dilaksanakan paling lambat 5 (lima) tahun
setelah Undang-Undang ini diundangkan.
|
||||||
Pasal 98
|
||||||
Semua peraturan pelaksanaan
Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang
sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2003 tentang
Perubahan atas Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana
Pencucian Uang, dinyatakan tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan atau
belum diganti berdasarkan Undang-Undang ini.
|
||||||
Pasal 99
|
||||||
Pada saat Undang-Undang ini mulai
berlaku, Undang-Undang Nomor
15 Tahun 2002
tentang Tindak Pidana Pencucian Uang (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2002 Nomor 30, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4191)
sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor
25 Tahun 2003
tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 tentang Tindak
Pidana Pencucian Uang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor
108, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4324) dicabut dan
dinyatakan tidak berlaku.
|
||||||
Pasal 100
|
||||||
Undang-Undang ini mulai berlaku pada
tanggal diundangkan.
|
||||||
Agar setiap orang mengetahuinya,
memerintahkan pengundangan Undang-Undang ini dengan penempatannya dalam
Lembaran Negara Republik Indonesia.
|
||||||
Disahkan di Jakarta
|
||||||
pada tanggal 22 Oktober 2010
|
||||||
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
|
||||||
ttd.
|
||||||
DR.
H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO
|
||||||
Diundangkan di Jakarta
|
||||||
pada tanggal 22 Oktober 2010
|
||||||
MENTERI
HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
|
||||||
REPUBLIK
INDONESIA,
|
||||||
ttd.
|
||||||
PATRIALIS
AKBAR
|
||||||
LEMBARAN
NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2010 NOMOR 122
|
Komentar
Posting Komentar