UU SPPA ini merupakan
pengganti dari Undang- Undang Nomor 3 Tahun 1997 Tentang Pengadilan Anak “UU Pengadilan Anak”) yang bertujuan agar dapat terwujud peradilan yang benar-benar
menjamin perlindungan kepentingan terbaik terhadap anak yang berhadapan dengan
hukum. UU Pengadilan Anak dinilai sudah tidak sesuai lagi dengan kebutuhan
hukum dalam masyarakat dan belum secara komprehensif memberikan perlindungan
khusus kepada anak yang berhadapan dengan hukum.
Adapun substansi yang
diatur dalam UU SPPA antara lain mengenai penempatan anak yang menjalani proses
peradilan dapat ditempatkan di Lembaga Pembinaan Khusus Anak (LPKA). Substansi
yang paling mendasar dalam Undang-Undang ini adalah pengaturan secara tegas mengenai Keadilan Restoratif dan Diversi yang dimaksudkan untuk menghindari dan menjauhkan anak dari
proses peradilan sehingga dapat menghindari stigmatisasi terhadap anak yang
berhadapan dengan hukum dan diharapkan anak dapat kembali ke dalam lingkungan
sosial secara wajar. Demikian antara lain yang disebut dalam bagian Penjelasan
Umum UU SPPA.
Keadilan Restoratif merupakan suatu proses Diversi, yaitu semua pihak yang terlibat
dalam suatu tindak pidana tertentu bersama-sama mengatasi masalah serta
menciptakan suatu kewajiban untuk membuat segala sesuatunya menjadi lebih baik
dengan melibatkan korban, anak, dan masyarakat dalam mencari solusi untuk
memperbaiki, rekonsiliasi, dan menenteramkan hati yang tidak berdasarkan
pembalasan. Diversi adalah pengalihan penyelesaian perkara anak dari proses
peradilan pidana ke proses di luar peradilan pidana.
Berikut kami rangkum
hal-hal penting yang diatur dalam UU SPPA:
1. Definisi Anak di Bawah Umur
UU SPPA mendefenisikan anak di bawah umur sebagai anak yang
telah berumur 12 tahun tetapi belum berumur 18 tahun, dan membedakan anak yang
terlibat dalam suatu tindak pidana dalam tiga kategori:
a. Anak yang menjadi pelaku tindak pidana (Pasal 1 angka 3 UU
SPPA);
b. Anak yang menjadi korban tindak pidana (Anak Korban) (Pasal 1
angka 4 UU SPPA); dan
c. Anak yang menjadi saksi tindak pidana (Anak Saksi) (Pasal 1
angka 5 UU SPPA)
Sebelumnya, UU
Pengadilan Anak tidak
membedakan kategori Anak Korban dan Anak Saksi. Konsekuensinya, Anak Korban dan
Anak Saksi tidak mendapatkan perlindungan hukum. Hal ini mengakibatkan banyak
tindak pidana yang tidak terselesaikan atau bahkan tidak dilaporkan karena anak
cenderung ketakutan menghadapi sistem peradilan pidana.
2. Penjatuhan Sanksi
Menurut UU SPPA, seorang pelaku tindak pidana anak dapat
dikenakan dua jenis sanksi, yaitu tindakan, bagi
pelaku tindak pidana yang berumur di bawah 14 tahun (Pasal 69 ayat (2) UU
SPPA) danPidana, bagi pelaku tindak pidana yang berumur 15 tahun ke
atas.
a. Sanksi Tindakan yang dapat dikenakan kepada anak meliputi (Pasal
82 UU SPPA):
• Pengembalian kepada orang tua/Wali;
• Penyerahan kepada seseorang;
• Perawatan di rumah sakit jiwa;
• Perawatan di LPKS;
• Kewajiban mengikuti pendidikan formal dan/atau pelatihan yang
diadakan oleh pemerintah atau badan swasta;
• Pencabutan surat izin mengemudi; dan/atau
• Perbaikan akibat tindak pidana.
b. Sanksi Pidana
Sanksi pidana yang dapat dikenakan kepada pelaku tindak pidana
anak terbagi atas Pidana
Pokok dan Pidana Tambahan(Pasal 71 UU SPPA):
Pidana Pokok terdiri atas:
· Pidana peringatan;
· Pidana dengan syarat, yang terdiri atas: pembinaan di luar
lembaga, pelayanan masyarakat, atau pengawasan;
· Pelatihan kerja;
· Pembinaan dalam lembaga;
· Penjara.
Pidana Tambahan terdiri dari:
· Perampasan keuntungan yang diperoleh dari tindak pidana; atau
· Pemenuhan kewajiban adat.
Selain itu, UU SPPA juga mengatur dalam hal anak belum berumur
12 (dua belas) tahun melakukan atau diduga melakukan tindak pidana, Penyidik,
Pembimbing Kemasyarakatan, dan Pekerja Sosial Profesional mengambil keputusan untuk:
(lihat Pasal
21 UU SPPA)
a. menyerahkannya kembali kepada orang tua/Wali; atau
b. mengikutsertakannya dalam program pendidikan, pembinaan, dan
pembimbingan di instansi pemerintah atau LPKS di instansi yang menangani bidang
kesejahteraan sosial, baik di tingkat pusat maupun daerah, paling lama 6 (enam)
bulan.
3. Hak-hak Anak
Setiap anak dalam proses peradilan pidana berhak: (Pasal 3 UU
SPPA)
a. diperlakukan secara manusiawi dengan memperhatikan kebutuhan
sesuai dengan umurnya;
b. dipisahkan dari orang dewasa;
c. memperoleh bantuan hukum dan bantuan lain secara efektif;
d. melakukan kegiatan rekreasional;
e. bebas dari penyiksaan, penghukuman atau perlakuan lain yang
kejam, tidak manusiawi, serta merendahkan derajat dan martabatnya;
f. tidak dijatuhi pidana mati atau pidana seumur hidup;
g. tidak ditangkap, ditahan, atau dipenjara, kecuali sebagai upaya
terakhir dan dalam waktu yang paling singkat;
h. memperoleh keadilan di muka pengadilan anak yang objektif, tidak
memihak, dan dalam sidang yang tertutup untuk umum;
i. tidak dipublikasikan identitasnya;
j. memperoleh pendampingan orang tua/Wali dan orang yang dipercaya
oleh anak;
k. memperoleh advokasi sosial;
l. memperoleh kehidupan pribadi;
m. memperoleh aksesibilitas, terutama
bagi anak cacat;
n. memperoleh pendidikan;
o. memperoleh pelayananan kesehatan; dan
p. memperoleh hak lain sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
Pasal 4 UU SPPA menyatakan
bahwa anak yang sedang menjalani masa pidana berhak atas:
a. Remisi atau pengurangan masa pidana;
b. Asimilasi;
c. Cuti mengunjungi keluarga;
d. Pembebasan bersyarat;
e. Cuti menjelang bebas;
f. Cuti bersyarat;
g. Hak-hak lain sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
4. Penahanan
Pasal 32 ayat (2) UU SPPA menyatakan
bahwa penahanan terhadap anak hanya dapat dilakukan dengan syarat anak telah
berumur 14 (empat belas) tahun, atau diduga melakukan tindak pidana dengan
ancaman pidana penjara tujuh tahun atau lebih. Jika masa penahanan sebagaimana
yang disebutkan di atas telah berakhir, anak wajib dikeluarkan dari tahanan
demi hukum.
5. Pemeriksaan Terhadap Anak Sebagai Saksi atau
Anak Korban
UU SPPA ini memberikan kemudahan bagi anak saksi atau anak
korban dalam memberikan keterangan di pengadilan. Saksi/korban
yang tidak dapat hadir untuk memberikan keterangan di depan sidang pengadilan
dengan alasan apapun dapat memberikan keterangan di luar sidang pengadilan
melalui perekaman elektronik yang dilakukan oleh Pembimbing Kemasyarakatan
setempat, dengan dihadiri oleh Penyidik atau Penuntut Umum, dan Advokat atau
pemberi bantuan hukum lainnya yang terlibat dalam perkara tersebut. Anak
saksi/korban juga diperbolehkan memberikan keterangan melalui pemeriksaan jarak
jauh dengan menggunakan alat komunikasi audiovisual. Pada saat memberikan
keterangan dengan cara ini, anak harus didampingi oleh orang tua/Wali,
Pembimbing Kemasyarakatan atau pendamping lainnya [lihat Pasal 58 ayat (3) UU SPPA].
6. Hak Mendapatkan Bantuan Hukum
UU SPPA memperbolehkan anak yang terlibat dalam tindak pidana
untuk mendapatkan bantuan hukum tanpa mempermasalahkan jenis tindak pidana
telah dilakukan.
Anak berhak mendapatkan bantuan hukum di setiap tahapan
pemeriksaan, baik dalam tahap penyelidikan, penyidikan, penuntutan, maupun
tahap pemeriksaan di pengadilan (Pasal
23 UU SPPA). Anak
Saksi/Anak Korban wajib didampingi oleh orang tua/Wali, orang yang dipercaya
oleh anak, atau pekerja sosial dalam setiap tahapan pemeriksaan. Akan tetapi, jika orang tua dari anak tersebut adalah pelaku tindak pidana, maka orang tua/Walinya tidak wajib
mendampingi (Pasal 23 Ayat (3) UU SPPA).
7. Lembaga Pemasyarakatan
Dalam Pasal
86 ayat (1) UU SPPA, anak yang belum selesai menjalani pidana di Lembaga Pembinaan
Khusus Anak (“LPKA”) dan telah mencapai umur 18 (delapan belas) tahun
dipindahkan ke lembaga pemasyarakatan pemuda. Pengaturan tersebut tidak ada
dalam Pasal 61 UU Pengadilan
Anak.
Walaupun demikian, baik UU SPPA dan UU Pengadilan Anak sama-sama
mengatur bahwa penempatan anak di Lembaga Pemasyarakatan dilakukan dengan
menyediakan blok tertentu bagi mereka yang telah mencapai umur 18 (delapan
belas) tahun sampai 21 (dua puluh satu) tahun (Penjelasan Pasal 86 ayat (2)
UU SPPA dan Penjelasan Pasal 61 ayat (2) UU Pengadilan Anak).
Komentar
Posting Komentar